Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang


Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah saat ini merupakan
permasalahan yang kompleks dan kerugian yang diderita sungguh besar
terutama bagi pengguna jalan, seperti terjadinya waktu tempuh yang lama,
kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain. Penyebab kerusakan jalan
antara lain disebabkan karena beban lalulintas berulang yang berlebihan
(overloading), panas/suhu udara, air dan hujan, serta mutu awal produk jalan
yang jelek. Kerugian secara individu tersebut akan menjadi akumulasi kerugian
ekonomi global bagi daerah tersebut.
Pengawasan dan pengamanan jalan (penanganan muatan lebih) merupakan
amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Pada pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa untuk keselamatan,
keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas, jalan wajib dilengkapi antara
lain dengan alat pengawasan dan pengamanan jalan yang umumnya digunakan
juga disebut dengan jembatan timbang ( Pos Pemeriksaan Terpadu ).
Penanganan muatan lebih angkutan barang sampai saat ini masih belum dapat
terwujud seperti yang diharapkan. Terdapat banyak hal yang mengindikasikan
bahwa penanganan muatan lebih masih perlu diperbaiki.
Overloading merupakan suatu kondisi dimana kendaraan membawa
muatan lebih dari batas muatan yang telah ditetapkan baik ketetapan dari
kendaraan maupun jalan (Silvia Sukrman, 2010). Tingkat kerusakan jalan
akibat pembebanan muatan lebih ( excessive overloading) sebelum umur teknis
jalan tercapat, sehingga hal ini akan membutuhkan biaya tambahan untuk
mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk
jalan yang lain pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan
terganggu. Untuk itu, diambil penelitian mengenai Evaluasi Muatan Berlebih
Ditinjau dari Manfaat dan Biaya Pemeliharaan Jalan.
2

1.2 Rumusan Masalah


Perkerasan jalan seharusnya berfungsi dengan baik dan bertahan sampai
pada umur rencana. Tetapi kenyataannya di lapangan perkerasan jalan yang
rusak sebelum tiba pada umur perencanaan. Oleh sebab itu sebelum
memutuskan perbaikan yang tepat perlu dipahami mengapa terjadinya
kerusakan dini pada perkerasan jalan.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :
1. 5 Jenis Kerusakan Struktural dalam perkerasan jalan.
2. 5 Jenis Kerusakan Fungsional dalam perkerasan jalan.
3. Untuk Mengetahui Penyebab Kerusakan Jalan.

1.3 Batasan Masalah


Karena keterbatasan dalam hal waktu, kemampuan, dan kesempatan
mahasiswa dalam penelitian. Maka penelitian ini hanya akan membahas
mengenai Kerusakan Aspal di Jalan Raya.

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini antara lain:


1. Ruas jalan yang dibahas adalah ruas Jalan Helvetia,Medan Area dan Jalan
Air Bersih
2. Jenis Kerusakan yang ditinjau adalah keretakan jalan (cracking), kerusakan tepi
(edge break), alur (rutting), keriting (corrugations), lubang-lubang (patholes),
jembul (shoving), penurunan setempat (deformations), kegemukan aspal
(bleeding), pelepasan butiran (raveling), tambalan (patching), pengausan (polished
aggregate), pembengkakan jalan (swell), tonjolan (bumps and sags), penurunan
pada bahu jalan (lane/shoulder drop off).
3. Data lalu lintas diperoleh melalui survei langsung yang dilakukan pada bulan
Februari 2020.
1.4 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui jenis-jenis kerusakan permukaan jalan yang ada pada Jalan
Helvetia,Medan Area dan Air Bersih
2. Untuk Mengetahui Jenis Kerusakan Aspal yang ditinjau.
3. Untuk Mengetahui Jenis Kerusakan Struktural dan Fungsional dalam
Perkerasan Jalan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

Kerusakan jalan disebabkan antara lain karena beban lalu lintas berulang
yang berlebihan (Overload), panas atau suhu udara, air dan hujan, serta mutu awal
produk jalan yang jelek. Oleh sebab itu disamping direncanakan secara tepat jalan
harus dipelihara dengan baik agar dapat melayani pertumbuhan lalu lintas selama
umur rencana. Pemeliharaan jalan rutin maupun berkala perlu dilakukan untuk
mempertahankan keamanan dan kenyamanan jalan bagi pengguna dan menjaga
daya tahan atau keawetan sampai umur rencana. (Suwardo dan Sugiharto, 2004).

Survei kondisi perkerasan perlu dilakukan secara periodik baik struktural


maupun nonstruktural untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan yang ada.
Pemeriksaan nonstruktural (fungsional) antara lain bertujuan untuk memeriksa
kerataan (roughness), kekasaran (texture), dan kekesatan (skid resistance).
Pengukuran sifat kerataan lapis permukaan jalan akan bermanfaat di dalam usaha
menentukan program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan. Di Indonesia
pengukuran dan evaluasi tingkat kerataan jalan belum banyak dilakukan salah
satunya dikarenakan keterbatasan peralatan. Karena kerataan jalan berpengaruh
pada keamanan dan kenyamanan pengguna jalan maka perlu dilakukan
pemeriksaan kerataan secara rutin sehingga dapat diketahui kerusakan yang harus
diperbaiki. (Suwardo dan Sugiharto, 2004).

Penilaian tipe dan kondisi permukaan jalan yang ada merupakan aspek yang
paling penting dalam penentuan sebuah proyek, sebab karakteristik inilah yang
akan menentukan satuan nilai manfaat ekonomis yang ditimbulkan oleh adanya
perbaikan jalan.

2.2 Definisi Jalan


Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,

Jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006). Jalan raya
pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu (Bina Marga 1997).
1. Klasifikasi jalan menurut fungsinya terdiri atas 4 golongan (UU No. 22 Tahun
2009) yaitu :
a. Jalan arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan tinggi dan jumlah jalan masuk yang di
batasi secara efisien.
b. Jalan kolektor, yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul atau
pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan lokal, yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah.
Dalam pasal 6 dan pasal 9 peraturan pemerintah No. 34 tahun 2006 tentang
jalan dijelaskan bahwa, fungsi jalan terdapat pada sistem jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan skunder yang merupakan bagian dari sitem jaringan jalan
yang merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan
jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan
hierarki.
Sitem jaringan jalan primer, meruapakan sistem jaringan jalan yang
menghubungkan antar kawasan perkotaan, yang diatur secara berjenjang sesuai
dengan peran perkotaan yang dihubungkannya. Untuk melayani lalu lintas terus
menerus maka ruas-ruas jalan dalam sitem jaringan jalan primer tidak terputus
walaupun memasuki kawassan perkotaan. Sitem jaringan jalan sekumder,
merupakan sistem jaringan jalan yang menghubugkan antar kawasaan di dalam
perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang
dihubungkannya.
2. Klasifikasi menurut kelas jalan
Menurut UU No.22 Tahun 2009 jalan dikelompokan dalam beberapa kelas
berdasarkan :
1. Fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan
jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.
2. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi
kendaraan bermotor.

Pengelompokan jalan menurut kelas jalan dapat dilihat pada Tabel 2.1
dibawah ini.

Tabel 2.1 Pembagian Kelas Jalan dan Daya Dukung Beban

Kelas Karekteristi Muatan Sumbu


Jalan Fungsi k Kendaraan Terberat
Jalan (m) (MST)
Panjang Lebar
I Arteri 18 2,50 > 10 Ton
II Arteri 18 2,50 10 Ton
III A Arteri/Kolektor 18 2,50 8 Ton
III B Kolektor 12 2,50 8 Ton
III C Lokal 9 2,10 8 Ton
Sumber : Peraturan Perundangan UU No. 22 Tahun 2009

a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,
dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton.
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
(dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua
belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus)
milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton.
c. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000
(sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus)

milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton.


d. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
millimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) millimeter,
dan muatan terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
3. Klasifikasi menurut medan jalan (Bina Marga 1997)
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi
medan yang diproyeksikan hanya mempertimbangkan keseragaman kondisi
medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan
pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2.2 Klasfkasi Menurut Medan Jalan


Jenis
Notasi Kemiringan Medan (%)
Medan
Datar D <3
Berbu B 3-25
kit
Pegun G >25
ungan
Sumber : Bina Marga 1997
4. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (UU No.22 Tahun 2009)
Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari jalan nasional,
jalan profinsi, jalan kabubaten/kotamadya, dan jalan desa.
a. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis
nasional, serta jalan tol.
b. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan setrategis
nasional.
c. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer
yang tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sitem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten
d. Jalan kota/kotamadya, merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota,
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar
persil, serta menghubungkan antar pusat pemukiman yang berada di dalam
kota.
e. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan
atau antar pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.

2.3 Jenis Perkerasan


Pada umumnya pembuatan jalan menempuh jarak beberapa kilometer
sampai ratusan kilometer bahkan melewati medan yang berbukit, berliku-liku dan
berbagai masalah lainnya. Oleh karena itu jenis konstruksi perkerasan harus
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap tempat atau daerah yang akan dibangun jalan
tersebut, khususnya mengenai bahan material yang digunakan diupayakan mudah
didapatkan disekitar trase jalan yang akan dibangun, sehigga biaya pembangunan
dapat ditekan.
Sukirman (1999) menyatakan bahwa berdasarkan bahan pengikatnya
konstruksi jalan dapat dibedakan menjadi tiga (3) macam yaitu :
a. Lapis Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai
bahan pengikat. Guna dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada
pemakai jalan, maka konstruksi perkerasan jalan harus memenuhi syarat-
syarat tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Syarat-syarat berlalu lintas
Konstruksi perkerasan lentur dipandang dari keamanan dan kenyamanan berlalu
lintas harus memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Permukaan yang rata, tidak bergelombang, tidak melendut dan tidaak
berlubang.
b. Permukaan cukup kaku sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat
beban yang bekerja di atasnya.
c. Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban
dan permukaan jalan sehingga tidak mudah selip.
d. Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari.

2. Syarat-syarat struktural
Konstruksi perkerasan jalan dipandang dari segi kemampuan memikul dan
menyebarkan beban, harus memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban/muatan
lalu lintas ke tanah dasar.
b. Kedap terhadap air sehingga air tidak mudah meresap ke lapisan di
bawahnya.
c. Permukaan mudah mengalirkan air sehingga air hujan yang jatuh di
atasnya dapat cepat dialirkan.
d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan
deformasi yang berarti.
Untuk dapat memenuhi hal-hal tersebut di atas, perencanaan dan pelaksanaan
konstruksi perkerasan lentur jalan harus mencakup :

1. Perencanaan tebal masing-masing lapisan perkerasan


Dengan memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu lintas yang
akan dipikulnya, keadaan lingkungan, jenis lapisan yang dipilih, dapatlah
ditentukan tebal masing-masing lapisan berdasarkan beberapa metode yang
ada.
2. Analisa campuran bahan
Dengan memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat yang tersedia,
direcanakanlah suatu susunan campuran tertentu sehingga terpenuhi
spesifikasi dari jenis lapisan yang dipilih.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan
Perencanaan tebal perkerasan yang baik, susunan campuran yang
memenuhi syarat, belumlah dapat menjamin dihasilkannya lapisan perkerasan
yang memenuhi apa yang diinginkan jika tidak dilakukan pengawasan
pelakasanaan yang cermat mulai dari tahap penyiapan lokasi dan material
sampai tahap pencampuran atau penghamparan dan akhirnya pada tahap
pemadatan dan pemeliharaan.
Lapisan-lapisan dari perkerasan lentur bersifat memikul dan menyebarkan
beban lalu lintas ke tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan
tersebut adalah :

1. Lapisan permukaan (surface coarse)


Lapisan permukaan adalah bagian perkerasan jalan yang paling atas.
Lapisan tersebut berfungsi sebagai berikut :
a. Lapis perkerasan penahan beban roda yang mempunyai stabilitas tinggi
untuk menahan roda selama masa pelayanan.
b. Lapisan kedap air, air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke
lapisan bawah dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut.
c. Lapis aus, lapisan ulang yang langsung menderita gesekan akibat roda
kendaraan.
d. Lapis-lapis yang menyebabkan beban ke lapisan di bawahnya sehingga
dapat dipikul oleh lapisan lain dengan daa dukung yang lebih jelek.
2. Lapisan pondasi atas (base coarse)
Lapisan pondasi atas adalah bagian lapis perkerasan yang terletak antara
lapis permukaan dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila
tidak menggunakan lapis pondasi bawah). Karena terletak tepat di bawah
permukaan perkerasan, maka lapisan ini menerima pembebanan yang berat
dan paling menderita akibat muatan, oleh karena itu material yang
digunakan harus berkualitas sangat tinggi dan pelaksanaan konstruksi
harus dilakukan dengan cermat. Fungsi lapis pondasi atas adalah :

a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
b. Lapis peresapan untuk pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

Bahan untuk lapis pondasi atas cukup kuat dan awet sehingga dapat
menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk
digunakan sebagai bahan pondasi hendaknya dilakukan penyelidikan dan
pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknis.
Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR > 50 %, PI < 4 %)
Dapat digunakan sebagai bahan lapisan pondasi atas, antara lain batu
merah, kerikil dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

3. Lapisan pondasi bawah (sub-base coarse)


Lapisan pondasi bawah adalah lapis perkerasan yang terletak antara
lapis pondasi atas dan tanah dasar. Fungsi lapis pondasi bawah adalah :
a. Menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
b. Efisieni penggunaan material lebih murah dari pada lapisan di atasnya.
c. Lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
d. Lapisan partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapisan pondasi
atas.

Bahannya dari bermacam-macam bahan setempat (CBR > 20 %, PI < 10


%) yang relatif jauh lebih baik dengan tanah dasar dapat digunakan sebagai
bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau
semen portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar didapat bantuan yang
efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

4. Lapisan tanah dasar (subgrade)


Tanah dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan tanah
galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan
permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Kekuatan
dan keawetan konstruksi perkerasan jalan tergantung dari sifatsifat daya dukung
tanah dasar.
Persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah
tertentu akibat beban lalu lintas.
b. Sifat kembang susut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata, sukar ditentukan secara pasti
ragam tanah yang sangat berbeda sifat dan kelembabannya.
d. Lendutan atau lendutan balik.
Gambar 2.1 Susunan lapis perkerasan lentur
Sumber : Bina Marga No.03/M/N/B/1983
b. Kontruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement).
Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) adalah lapis perkerasan
yang menggunakan semen sebagai bahan ikat antar materialnya. Pelat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa
lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas dilimpahkan ke pelat beton, mengingat
biaya yang lebih mahal dibanding perkerasan lentur perkerasan kaku jarang
digunakan, tetapi biasanya digunakan pada proyek-proyek jalan layang, apron
bandara, dan jalanjalan tol.
Karena beton akan segera mengeras setelah dicor, dan pembuatan beton
tidak dapat menerus, maka pada perkerasan ini terdapat sambungan-
sambungan beton atau joint. Pada perkerasan ini juga slab beton akan ikut
memikul beban roda, sehingga kualitas beton sangat menentukan kualitas pada
rigid pavement.

Gambar 2.2 Lapis rigid


pavement Sumber : Bina Marga No.03/M/N/B/1983
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement).
Perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat
berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku. Perkerasan komposit
merupakan gabungan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) dan lapisan
perkerasan lentur (flexible pavement) di atasnya, dimana kedua jenis
perkerasan ini bekerja sama dalam memikul beban lalu lintas. Untuk ini maka
perlu ada persyaratan ketebalan perkerasan aspal agar mempunyai kekakuan
yang cukup serta dapat mencegah retak refleksi dari perkerasan beton di
bawahnya.

Gambar 2.3 Lapis perkerasan komposit (compoite

pavement) Sumber : Bina Marga No.03/M/N/B/1983

2.4 Faktor Penyebab Kerusakan


Menurut Sukirman (1999) kerusakan pada konstruksi perkersasan jalan
dapat disebabkan oleh :
1. Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban dan repetisi beban,
2. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase yang tidak berjalan
dengan baik, naiknya air akibat sifat kapilaritas,
3. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan oleh sifat material itu
sendiri atau bias disebabkan oleh sistem pengolahan bahan itu sendiri,
4. Iklim di Indonesia yang tropis cenderung mengakibatkan suhu udara dan
curah hujan yang umumnya tinggi sehingga dapat menjadi salah satu
penyebeab kerusakan jalan yang ada di Indonesia ini,
5. Kondisi tanah yang tidak setabil, kemungkinan bisa disebabkan oleh sistem
pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah
dasarnya itu sendiri,
6. Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.
Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh
satu faktor saja, tetapi dapat juga merupakan gabungan dari penyebab yang
saling berkaitan. Sebagai contoh adalah retak pinggir, pada awalnya dapat
diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak
pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis di bawahnya yang
melemahkan ikatan antara aspal dengan agregat, hal ini dapat menimbulkan
lubang-lubang, disamping melemahkan daya dukung lapisan di bawahnya.
Dalam mengevaluasi keruskan jalan perlu di tentukan :
1. Jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya,
2. Tingkat kerusakan (distress severity),
3. Jumlah kerusakan (distress amount).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis-Jenis Kerusakan Permukaan jalan

Kerusakan yang terjadi disebabkan tidak hanya dari faktor saja, akan tetapi
bisa juga diakibatkan oleh gabungan dari penyebab kerusakan yang saling
berkaitan. Dibawah dijelaskan Beberapa Kerusakan jalan :

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan objek penelitian adalah Ruas Jalan Helvetia,Medan
Area dan Jalan Air Bersih
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Jenis-Jenis Kerusakan Permukaan jalan

Kerusakan yang terjadi disebabkan tidak hanya dari faktor saja, akan tetapi
bisa juga diakibatkan oleh gabungan dari penyebab kerusakan yang saling
berkaitan. Kerusakan jalan dapat disebabkan oleh :

1. Beban lalu lintas kendaraan


2. Iklim tropis dimana curah hujan di Indonesia tinggi yang menyababkan
rusaknya perkerasan akibat air.
3. Kondisi tanah tidak stabil
4. Kesalahan manusia pada saat pengerjaan.

Pavement Condition Index (PCI) adalah petunjuk penilaian untuk kondisi


perkerasan (Shahin,1994). Terdapat 10 jenis kerusakan jalan yang kami tinjau,
yaitu :

1. Retak Kulit Buaya (Aligator Cracking)


Retak yang berbentuk jaringan yang tersusun oleh bidang bersegi
banyak (polygon) dengan lebar celah lebih besar atau sama dengan 3mm.
Jaringan ini biasanya tidak terlalu luas, apabila daerah yang mengalami retak
buaya luas, kemungkinan disebabkan oleh repetisi beban lalu lintas yang
melewati beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan jalan.
Kemungkinan penyebab retak buaya adalah :
a. Bahan perkerasan kurang baik
b. Pelapukan permukaan perkerasan jalan
c. Tanah dasar kurang stabil
d. Bahan lapis pondasi dalam keadaan jenuh air
Berikut gambar Kerusakan Aspal yang kami tinjau dijalan Helvetia :

Gambar 3.1 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracking)

2. Kegemukan (Bleeding)
Kondisi ini terjadi akibat adanya konsentrasi aspal pada bagian
tertentu di permukaan jalan. Secara visual terlihat lapisan tipis aspal tanpa
agregat diatas permukaan perkerasan, pada kondisi suhu tinggi atau pada lalu
lintas yang berat akan terlihat jejak alur ban kendaraan yang melewatinya.
Kondisi ini dapat membahayakan pengguna jalan karena menyebabkan jalan
licin.
Kemungkinan penyebabnya antara lain :
a. Penggunaan aspal yang berlebih atau tidak merata
b. Tidak menggunakan aspal yang sesuai
c. Keluarnya aspal dari lapisan bawah yang mengalami kelebihan aspal
Tingkat kerusakan
Berikut gambar Kerusakan Aspal yang kami tinjau dijalan Helvetia

Gambar 3.2 Kegemukan (Bleeding)


3. Retak Kotak-Kotak ( Block Cracking )

Retak ini berbentuk kotak – kotak dengan ukuran kurang lebih 200mm
x 200mm. Kerusakan ini umumnya terjadi pada lapisan tambahan (overlay)
yang

menggambarkan pola retakan perkerasan dibawahnya. tetapi tidak menutup


kemungkinan terjadi juga di lapis permukaan tanpa lapisan tambahan.
Kemungkinan penyebab kerusakan ini adalah :

a. Merambatnya retak susut yang terjadi pada lapisan perkersan


dibawahnya
b. Retak pada lapis permukaan yang tidak segera diperbaiki dengan tepat
sebelum dilakukan penambahan lapisan (overlay)
c. Terjadi perbedaan penurunan timbunan atau pemotongan badan jalan
dengan struktur perkerasan
d. Pada bagian tanah dasar dan lapis pondasi mengalami perubahan
volume
e. Dibawah lapis perkerasan terdapat akar pohon atau utilitas lainnya.

Gambar 3.3 Retak Kotak Kotak (Block Cracking)


4. Cekungan ( Bumb and Sags )
Bendul yang menonjol keatas, pemindahan pada lapisan yang
disebabkan oleh tidak stabilnya lapis perkerasan. Penyebab bendul
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Pada lapisan ac terdapat bendul atau tonjolan yang berada dibawah
PCC
b. Lapisan aspal yang bergelombang membentuk lapisan seperti lensa
cembung
c. Adanya retakan pada perkerasan yang menjembul keatas
Longsor kecila dan retak kebawah atau pemindahan pada lapisan
perkerasan membentuk cekungan. Cekungan dan cembungan yang berjumalh
banyak pada perkerasan biasa disebut gelombang.

Berikut gambar Kerusakan Aspal yang kami tinjau dijalan Helvetia ;

Gambar 3.4 Cekungan (Bumb and Sags)

5. Keriting (Corrugation)

Kerusakan ini biasanya terjadi pada tempat berhenti kendaraan yang


disebabkan oleh pengereman kendaraan, secara visual terlihat berupa
gelombang pada lapis permukaan dengan alur arah melintang jalan dan
disebut juga sebagai Plastic Movement. Kemungkinan penyebabnya adalah :

a. Stabilitas lapis permukaan yang rendah


b. Material yang digunakan tidak tepat, salah satunya adalah agregat yang
tidak bersudut
c. Agregat halus yang digunakan terlalu banyak
d. Lapis pondasi yang bergelombang
e. Lalu lintas dibuka sebelum perkerasan siap(untuk perkerasan
menggunakan aspal cair )
Berikut gambar Kerusakan Aspal yang kami tinjau dijalan Helvetia

Gambar 3.5 Keriting (Corrugation)

6. Amblas (Depression)
Bentuk kerusakan ini berupa turun atau amblasnya lapisan perkerasan
pada daerah tertentu dengan atau tanpa retak. Umumnya memiliki kedalaman
lebih dari 2 cm dan akan menampung atau meresapkan air kedalam lapisan
dibawahnya. kemungkinan penyebab kerusakannya adalah :
a. Struktur bagian bawah perkerasan tidak mampu menahan beban
kendaraan yang berlebih.
b. Turunnya tanah dasar yang menyebabkan perkerasan ikut turun
c. Pemadatan yang kurang

baik Tingkat kerusakan :

L = Kedalaman 0,5-1 inch (13-25 mm).

M = Kedalaman 1-2 inch (25-50 mm).

H = Kedalaman >2 inch (>50 mm)


Gambar 3.6 Amblas (Depression)
Sumber : Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07
7. Retak Samping (Edge Cracking)
Kerusakan ini ditandai dengan adanya retak sejajar jalur lalu lintas
dan juga biasanya berukuran 1- 2 kaki (0,3m – 0,6m) dari pinggir perkerasan.
Kemungkinan penyebabnya adalah :
a. Lapis pondasi yang berada di pinggir menjadi lemah akibat cuaca
maupun beban lalu lintas
b. Bergesernya pondasi dan kondisi tanah yang buruk
c. Drainase yang tidak baik
d. Kurangnya dukungan dari arah lateral (dari bahu

jalan) Tingkat kerusakan :

L = Retak yang tidak disertai perenggangan perkerasan.

M = Retak yang beberapa mempunyai celah yang agak lebar.

H = Retak dengan lepas perkerasan samping


Gambar 3.7 Retak Pinggir (Edge Cracking)

Sumber : Sumber : ASTM Internasional, D 6433 –

07

8. Retak Sambung (Joint Reflect Cracking)


Kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay) yang
menunjukkan pola keretakan dalam perkerasan dibawahnya. kerusakan ini
umumnya terjadi pada lapis perkerasan aspal yang berada diatas perkerasan
kaku berupa beton (semen portland). Pola kerusakan yang dihasilkan berupa
retak memanjang, melintang,, diagonal atau blok. Kemungkinan penyebab
kerusakan ini adalah :

a. Adanya perubahan temperatur atau perubahan kadar air yang


menyebabkan adanya gerakan vertikal atau horisontal pada lapis
tambahan (overlay)
b. Adanya pergerakan tanah dan lapisan pondasi
c. Tanah dengan kadar lempung tinggi kadar ainya berkurang.

Tingkat kerusakan :

L = Retak dengan lebar 10 mm.

M = Retak dengan lebar 10 mm – 76 mm.

H = Retak dengan lebar >76 mm.


Gambar 3.8 Retak Sambung (Joint Reflect Cracking)

9. Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Lane/ Shoulder Drop Off)


Kerusakan ini berupa adanya beda ketinggian antara permukaan
perkerasan dengan permukaan bahu jalan atau bisa juga berupa tanah di
sekitarnya dimana permukaan perkerasan lebih tinggi terhadap bahu jalan.
Kemungkinan penyebab kerusakan ini adalah :
a. Lebar perkerasan yang kurang
b. Terjadi erosi atau gerusan pada bahu jalan
c. Dilakukan pelapisan perkerasan (overlay), namun tidak dilakukan
pembentukan bahu jalan.
Tingkat kerusakan :
L = Turun sampai 1 – 2 inch (25 mm – 50 mm).
M = Turun sampai 2 – 4 inch (50 mm – 102 mm).
H = Turun sampai >4 inch (>102 inch)
Gambar 3.9 Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Lane/ Shoulder Drop Off)

10. Retak Memanjang / Melintang (Longitudinal / Transverse Cracking )


Keretakan berjajar yang terdiri dari beberapa celah terjadi dengan arah
memanjang atau melintang perkerasan. Kemungkinan penyebabnya adalah :
a. Sambungan perkerasan yang lemah
b. Retak penyusutan lapis perkerasan yang merambat dari bawah
sampai ke permukaan perkerasan.
c. Material bagu samping yang tidak optimal
d. Terjadi perubahan volume tanah dasar yang umumnya terjadi pada
lempung di tanah dasar.

Tingkat kerusakan :

L = Lebar retak <3/8 inch (10 mm).

M = Lebar retak 3/8 – 3 inch (10 mm – 76 mm).

H = Lebar retak >3 inch (76 mm).

Gambar 3.10 Retak Memanjang / Melintang (Longitudinal /


Transverse Cracking)

11. Tambalan (Patching end Utility Cut Patching)


Tambalan bertujuan untuk mengembalikan perkerasan yang rusak
dengan material baru untuk memperbaiki perkerasan sebelumnya pada seluruh
atau beberapa keadaan yang rusak pada badan jalan tersebut. Kemungkinan
kerusakan ini disebabkan oleh :
a. Penggalian pemasangan saluran atau pemasangan pipa.
b. Perbaikan pada perkerasan jalan.

Tingkat kerusakan :

L = Luas 10 sqr ft (0,9 m2).

M = Luas 15 sqr ft (1,35 m2).

H = Luas 25 sqr ft (2,32 m2).

Gambar 3.11 Tambalan (Patching end Utility Cut Patching)

12. Pengausan Agregat (Polished Agregat)


Kerusakn ini berupa lepasnya butiran agregat akibat adanya gaya
pengereman atau pada daerah dimana terjadi pengurangan kecepatan. Jumlah
pelepasan butiran dimana pemeriksaan masih menyatakan bahwa agregat
tersebut dapat dipertahankan kekuatan dibawah aspal, permukaan agregat
yang licin. Kerusakan ini dapat menjadi indikasi bahawa nomor skid
resistence test adalah rendah. Kemungkinan penyebab kerusakan ini adalah :
a. Agregat tidak tahan aus terhadao roda kendaraan
b. Agregat yanf digunakan bulat dan licin (bukan hasil dari mesin
pemecah batu)
c. Penerapan lalu lintas yang berulang, dimana agregat menjadi licin.

Tingkat kerusakan :
L = Agregat masih menunjukan kekuatan.

M = Agregat sedikit mempunyai kekuatan.

H = Pengausan tanpa menunjukan

kekuatan

Gambar 3.12 Pengausan Agregat (Polished Agregat)

13. Lubang ( Pathhole)


Kerusakan berupa lubang yang dapat menampung dan meresapkan ait
pada jalan. Umumnya kerusakan ini berada di dekat retakan pada daerah yang
memiliki drainase kurang baik. Kemungkinan penyebabnya adalah :
a. Pelapukan aspal
b. Kadar aspal rendah
c. Sistem drainase kurang baik
d. Agregat yang digunakan tidak baik
e. Campuran tidak memenuhi suhu yang disyaratkan
f. Kerusakan lanjutan dari kerusakan yang lain seperti retak dan
pelepasan butiran.

Tingkat Kerusakan :

L = Kedalaman 0,5 – 1 inci (12,5 mm – 25,4 mm)

M = Kedalaman 1 – 2 inci (25,4 mm – 50,8 mm)

H = Kedalaman >2 inci (>50,8 mm)


36

Gambar 3.13 Lubang ( Pathhole)

14. Rusak Perpotongan Rel ( Railroad Crossing)


Kerusakan berupa penurunan atau benjolan disekitar jalur rel akibat
perbedaan karakteristik bahan. Kerusakan ini umumnya terjadi pada
persilangan rel dan jalan raya. Penyebab kerusakan ini adalah :
a. Material perkerasan jalan yang tidak bisa menyatu dengan jalan rel
b. Amblasnya perkerasan yang menyebabkan adanya perbedaan elevasi.
c. Pelaksanaan pemasangan rel yang buruk.

Tingkat kerusakan :
L = Kedalaman 0,25 inch – 0,5 inch (6 mm – 13 mm).

M = Kedalaman 0,5 inch – 1 inch (13 mm – 25 mm).

H = Kedalaman >1 inch (>25 mm).


37

Gambar 3.14 Rusak Perpotongan Rel ( Railroad Crossing)

15. Alur (Rutting)


Terdapat pada lintasan roda sejajar dengan as jalan dan berbentuk alur.
Kerusakan ini juga dikenal dengan istilah longitudinal ruts atau channel /
rutting. Kemungkinan penyebabnya adalah :

a. Beban lalu lintas berlebih yang tidak sanggup ditahan oleh lapisan
permukaan.
b. Kurang padatnya lapisan pondasi atau lapisan perkerasan
c. Stabilitas pada lapis permukaan dan lapis pondasi rendah, sehingga
terjadi deformasi.

Tingkat kerusakan :

L = Kedalaman alur rata-rata ¼ - ½ in. (6 – 13 mm)

M = Kedalaman alur rata-rata ½ - 1 in. (13 – 25,5 mm)

H = Kedalaman alur rata-rata 1 in. (25,4 mm)


38

Gambar 3.15 Alur (Rutting)


16. Sungkur ( Shoving )
Perpindahan lapisan perkerasan pada bagian tertentu akibat aspal yang
tidak stabil dan terangkat ketika menerima beban lalu lintas. Beban kendaraan
yang melintas akan mendorong berlawanan dengan perkerasan dan
menyebabkan adanya gelombang pada lapis perkerasan. Penyebab kerusakan
ini adalah :
a. Lapisan tanah dan lapisan perkerasan dengan stabilitas rendah
b. Daya dukung lapis permukaan yang kurang
c. Beban kendaraan terlalu berat
d. Lalu lintas dibuka sebelum perkerasan

siap Tingkat kerusakan :

L = Sungkur hanya pada satu tempat.

M = Sungkur pada beberapa tempat.

H = Sungkur sudah hampir seluruh permukaan pada area tertentu.


39

Gambar 3.16 Sungkur ( Shoving )

17. Patah Slip (Slippage Cracking)


Retakan yang berbentuk setengah bulan atau bulan sabit akibat
terdorongnya lapis perkerasan yang merusak bentuk lapis perkerasan.
Penyebab keruskannya adalah :
a. Pencampuran dan kekuatan lapis perkerasan yang buruk.
b. Lapisan perekat kurang merata
c. Kurangnya lapis perekat
d. Agregat halus yang digunakan terlalu banyak
e. Lapis permukaan kurang padat.

Tingkat kerusakan :

L = Lebar retak <3/8 inch (10 mm).

M = Lebar retak 3/8 – 1,5 inch (10 mm – 38 mm).

H = Lebar retak >1,5 inch (>38 mm).


40

Gambar 3.17 Patah Slip (Slippage Cracking)

Sumber : Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07

Grafik 3.17 Deduct Value Patah Slip (Slippage Cracking)

Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07

18. Mengembang Jembul (Swell)


Kerusakan ini mempunyai ciri lapisan perkerasan yang berangsur
bergelombang dengan panjang kurang lebih 10 kaki (10m). Kerusakan ini
disertai dengan retak lapisan perkerasan dan umumnya disebabkan oleh
perubahan cuaca atau tanah dasar yang menyembul keatas. Penyebab
kerusakan ini adalah :
Tingkat kerusakan :
L = Perkerasan mengembang yang tidak selalu dapat terlihat oleh mata.
38

M = Perkerasan mengembang dengan adanya gelombang yang kecil.


H = Perkerasan mengembang dengan adanya gelombang besar.

Gambar 3.18 Mengembang Jembul (Swell)


Sumber : Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07

Grafik 3.18 Deduct Value Mengembang Jembul (Swell)

Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07

19. Pelepasan Butir (Weathering / Raveling)


Kerusakan ini berupa hilangnya aspal atau tar pengikat dan
mengelupasnya partikel agregat. Kerusakan ini menunjukkan aspal pengikat
tidak kuat untuk menahan dorongan roda kendaraan atau kualitas campuran
yang jelek. Penyebab kerusakan ini adalah :
a. Tumpahnya minyak bahan bakar ke lapis permukaan
b. Pelapukan material pengikat atau agregat
c. Pemadatan kurang
d. Material yang digunakan kotor
39

e. Penggunaan aspal yang kurang memadai


f. Suhu pemadatan kurang

Tingkat kerusakan :

L = Pelepasan butiran yang ditandai lapisan kelihatan agregat.

M = Pelepasan agregat dengan butiran-butiran yang lepas.

H =Pelepasan butiran dengan ditandai dengan agregatlepas dengan


membentuk lubang-lubang kecil.

Gambar 3.19 Pelepasan Butir (Weathering / Raveling)

Sumber : Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07

Grafik 3.19 Deduct Value Pelepasan Butir (Weathering / Raveling)

Sumber : ASTM Internasional, D 6433 – 07


40

A. Metode Perbaikan
Berdasarkan penjelasan dari Bina Marga tahun 1992 tentang
Pemeliharaan Rutin Jalan dan Jembatan, terdapat beberapa metode
perbaikan standar yang dilaksananakan seperti perbaikan P1(penebaran
pasir), P2 (pengaspalan), P3(penutupan retak), P4(pengisian
retak),P5(penambalan lubag), dan P6(perataan). Masing-masing perbaikan
tersebut digunakan untuk jenis kerusakan yang berbeda dan penanganan
yang berbeda.
1. P1 Penebaran pasir
(Sanding) Jenis kerusakan :
a. Kegemukan aspal pada perkerasan jalan

Penanganan :

a. Bersihkan daerah tersebut dengan Air Compressor.


b. Taburkan pasir kasar pada daerah yangakan diperbaiki
(ketebalan >10mm).
c. Padatkan dengan Babby Roller.
2. P2 Pengaspalan (Local Sealing)
Jenis Kerusakan :
a. Retak garis atau retak memanjang/melintang untuk retak
halus (<2mm) dan jarak antara retakan renggang.
b. Retak rambut
Penanganan :
a. Bersihkan bagian yang akan ditangani sampai permukaaan
jalan bersih dan kering.
b. Beri tanda pada daerah yang akan ditangani dengan bentuk
persegi dengan cat atau kapur.
c. Semprotkan aspal emulsi sebanyak 1,5 kg/𝑚2 pada bagian
yang sudah diberi tanda sehingga merata.
d. Tebarkan pasir kasar atau agregat halus, dan ratakan hingga
menutup seluruh daerah yang ditangani.
41

e. Bila digunakan agregat halus, padatkan dengan pemadat


ringan.
3. P3 Melapis Retakan (Cracking sealing)
Jenis Kerusakan :
a. Retak garis memanjang atau melintang jalan untuk retak
halus <2mm dan jarak antar retakan rapat.

Penanganan :

a. Berishkan bagian yang akan diperbaiki hingga bersih dan


kering.
b. Beri tanda pada daerah yang akan diperbaiki dengan cat
atau kapur.
c. Buat campuran aspal emulsi dengan pasir, perbandingan
campuran:
1) Pasir : 20liter
2) Aspal emulsi : 6 liter
Aduk campuran tersebut hingga merata.
d. Tebar dan ratakan campuran tersebut pada seluruh daerah
yang sudah diberi tanda.

4. P4 Mengisi Retakan (Cracking Filling)


Jenis kerusakan :
a. Retak garis atau retak memanjang dengan lebar retakan
>2mm

Penanganan :

a. Berishkan bagian yang akan diperbaiki hingga bersih dan


kering.
b. Beri tanda pada daerah yang akan diperbaiki dengan cat
atau kapur.
c. Isi retakan dengan aspal minyak panas.
42

d. Tutup retakan yang sudah diisi aspal dengan pasir kasar.


5. P5 penambalan Lubang
(Patching) Jenis kerusakan :
a. Lubang dengan kedalaman >20mm.
b. Rutak kulit buaya >2mm.
c. Alur dengan kondisi cukup parah.
d. Retak pinggir.
e. Keriting dengan kondisi sudah parah.
f. Mengembang jembul dengan kondisi parah.
g. Amblas dengan kedalaman >50mm.

Penanganan :

a. Beri tanda pada daerah yang akan diperbaiki dengan cat


atau kapur.tanda tersebut harus mencakup daerah yang
memiliki perkerasan baik.
b. gali lapisan jalan pada daerah yang sidah diberi tanda
persegi, hingga mencapai lapisan yang padat.
c. Tepi galian harus tegak, daasar galian harus rata dan
mendatar.
d. Padatkan dasar galian.
e. Isi lubang dengan bahan pengganti, yaitu :
1) Bahan lapis pondasi agrefat.
2) Atau campuran aspal dingin.
f. Padatkan lapis demi lapis. Pada lapis terakhir, lebihkan
tebal bahan pengganti sehingga diperoleh permukaan akhir
yang padat dan rata dengan permukaan jalan.
g. lakukan laburan aspal setempat diatas lapisan terakhir.
6. P6 Perataan (Levelling)
Jenis kerusakan :
a. Alur dengan kondisi ringan.
b. Keriting dengan kondisi ringan.
c. Lubang dengan kedalaman <20mm
d. Mengembang jembul dengan kondisi ringan.
43

e. Amblas dengan kedalaman <50mm.


Penanganan :
a. Berishkan bagian yang akan diperbaiki hingga bersih dan
kering.
b. Beri tanda pada daerah yang akan diperbaiki dengan cat
atau kapur.
c. Siapkan campuran aspal dingin (Cold Mix)
d. Semprotkan lapis perekat(tack coat) dengan takaran 0,5
km/𝑚2.
e. Tebarkan campuran aspal dingin pada daerah yang sudah
ditandai. Ratakan dan lebihkan ketebalan hamparan hingga
kira-kira 1/3 dalam cekungan.
f. Padatkan dengan mesin penggilas hingga rata.

Anda mungkin juga menyukai