Anda di halaman 1dari 9

PPh Pasal 21 (Upah Karyawan)

1. Uraian Jenis Pajak

PPh 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri. Elemen dalam
Potongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu biaya jabatan, biaya pensiun, BPJS Kesehatan dan
ketenagakerjaan

Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah jumlah upah pekerja yang akan dikenakan potongan PPh
21 setelah dikalkulasikan dengan tunjangan karyawan, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan,
dan lainnya. Penghasilan Tida Kena Pajak (PTKP) komponen penting yang merupakan
pengurang jumlah nilai penghasilan bruto bagi wajib pajak yang tidak dikenakan pajak.

Tarif pajak orang pribadi berdasarakan UU HPP yang memperbaharui Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh.

0 sampai dengan Rp.60.000.000,- 5%

Di atas Rp.60.000.000 sampai dengan Rp.250.000.000,- 15%

Di atas Rp.250.000.000 sampai dengan Rp.500.000.000,- 25%

Di atas Rp.500.000.000 sampai dengan Rp.5.000.0000.000,- 30%

Diatas Rp.5.000.000.000,- 35%

Penghasilan yang terkait PPh 21

a. Benefit In Cash (BIC)


Di dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh diatur bahwa penggantian atau imbalan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh merupakan objek pajak, dalam hal ini objek
PPh Pasal 21.

b. Benefit In Kind (BIK)

Di Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh disebutkan bahwa penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak,
Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

2. Contoh Transaksi

Ibu Minah merupakan karyawan di PT Sejahtera Bersama dengan gaji pada bulan Januari
sebesar Rp 11.000.000 dan iuran pensiun Rp 400.000. Ibu Minah sudah menikah namun belum
mempunyai anak.

Rp
Penghasilan Bruto setahun 132.000.000
Dikurangi :
Biaya Jabatan Rp
6.000.000
Rp
Iuran pensiun setahun 4.800.000
Rp
Penghasilan Netto setahun 121.200.000
Rp
Penhgasilan Tidak Kena Pajak (K/0) 58.500.000
Rp
Pribadi 54.000.000
Rp
Kawin 4.500.000
Rp
Penghasilan Kena Pajak 62.700.000
PPh 21
Rp
5% x 60.000.000 3.000.000
Rp
15% x 2.700.000 405.000
Rp
PPh 21 Terhutanh setahun 3.405.000
Rp
PPh 21 terhutang sebulan 283.750

3. Analisis Tax planning

Perencanaan pajak untuk menghitung PPh Pasal 21 dapat digunakan 4 (empat) alternatif.
Menurut Zain (2007:89) dalam Sahilatua (2013 : 239) 4 alternatif yang bisa digunakan untuk
menghitung PPh Pasal 21 yaitu: 1) PPh pasal 21 ditanggung pegawai (gross method); 2) PPh
pasal 21 ditanggung pemberi kerja (net basis); 3) PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan
pajak (gross); 4) PPh pasal 21 di gross up.
Tidak ada keharusan sebuah perusahaan memakai metode tersebut, jadi tergantung kebijakan
perusahaan. Namun pemilihan metode dikaitkan dengan efisiensi PPh pasal 21, dan efisiensi PPh
badan

a. PPh Pasal 21 ditanggung karyawan (Gross Method)

Dengan metode gross, jumlah PPh Pasal 21 tersebut akan dipotong dari penghasilan karyawan,
kewajiban perusahan adalah menyetor PPh Pasal 21 yang telah dipotong dan melaporkan PPh
tersebut. Sehingga dari sisi karyawan, penghasilannya menjadi lebih kecil. Sedangkan dari sisi
perusahaan, tidak akan mengurangi laba perusahaan karena tidak mengeluarkan beban pajak.
Namun perlu diingat bahwa beban yang kecil akan meningkatkan laba perusahaan yang juga
akan berimbas pada tingginya PPhBadan.

b. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (Net Method)

Sedangkan pada metode net penghasilan karyawan tidak akan dikurangi dengan pajak, karena
pajak sepenuhnya merupakan beban perusahaan. Karena jumlah PPh Pasal 21 yang ditanggung
perusahaan tidak dimasukkan dalam perhitungan SPT PPh Pasal 21 maka tidak diperbolehkan
untuk menguranginya dari penghasilan bruto perusahaan sebagai biaya deductible, sehingga
metode net bagi perusahaan merupakan nondeductible expense. Sehingga pada laporan keuangan
fiskal biaya pajak ini akan menjadi koreksi positif yang akan menambah laba perusahaan
sehingga PPh Badan menjadi lebih besar.

c. PPh Pasal 21 ditunjang sebagian oleh perusahaan (Mixed Method)

Perusahaan memberikan tunjangan yang besarnya tidak sama dengan pajak terutang. Bagi
karyawan tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan yang akan diperhitungkan
dalam pemotongan PPh Pasal 21. Sedangkan bagi perusahaan, PPh Pasal 21 yang diberikan
dalam bentuk tunjangan dapat dibiayakan oleh perusahaan, sedangkan jika selisihnya ditanggung
perusahaan merupakan biaya nondeductible.

d. PPh Pasal 21 ditunjang perusahaan (Gross up Method)

Dalam metode gross up sebenarnya tidak berpengaruh terhadap penghasilan yang diterima
karyawan (take home pay), tetapi untuk penghitungan gross up penghasilan karyawan menjadi
lebih besar sebesar PPh yang ditambahkan. Dari segi komersial, kebijakan menerapkan PPh
Pasal 21 secara gross upakan terlihat memberatkan perusahaan karena beban pajak yang
membesar tersebut tampak seperti pemborosan. Namun pada saat melakukan koreksi fiskal,
beban pajak tersebut dapatdibiayakan (deductible) sehingga akan mengurangi besarnya
penghasilan kena pajak yang akan mengakibatkan PPh Badan yang terutang akan menjadi kecil.
Kenaikan beban perusahaan dari PPh Pasal 21 tersebut akan tereliminasi dengan penurunan PPh
Badan karena beban PPh Pasal 21 tersebut dapat dibiayakan, bahkan penurunan PPh Badan
tersebut lebih besar dari kenaikan PPh Pasal 21, sehingga akan tercipta efisiensi pajak pada
perusahaan.

Namun penentuan strategi yang akan digunakan dalam perencanaan pajak untuk melakukan
efisiensi PPh Badan harus memperhatikan jenis penghasilan dan pemberi penghasilan. Bagi
sebuah perusahaan yang dikenakan PPh Final, BIC dan BIK yang diberikan kepada
karyawan merupakan objek pajak. Artinya, metode apapun yang dipilih oleh perusahaan,
gross, net, gross – up maupun mixed, maka metode tersebut tetap merupakan non- deductible
expense. Sebab bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan
PPh bersifat final, biaya apapun yang dikeluarkan tidak lagi diperhitungkan dalam
penghitungan PPh atas penghasilan usahanya.
Selain metode perhitungan PPh Pasal 21 tersebut, strategi efisiensi PPh badan lainnya yang harus
diperhatikan oleh perusahaan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan adalah:

1. Bagi sebuah perusahaan yang pada akhir tahun pembukuannya memperoleh laba dan
pengenaan PPh badannya tidak final, agar diupayakan seminimal mungkin memberikan BIK
kepada karyawan, hal ini dikarenakan pengeluaran tersebut merupakan non – deductible
expense. Jika terlalu banyak pengeluaran dalam bentuk BIK dapat mengakibatkan PPh Badan
yang meningkat karena biaya tersebut tidak dapat dikoreksi fiskal.

2. Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian BIK akan menurunkan PPh Pasal 21
sementara PPh Badan tetap nihil.

PPh Pasal 23 (Dividen)

1. Uraian Jenis Pajak

UU PPh No 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam
negeri (selain bank atau Iembaga keuangan lainya) tidak temasuk objek pajak PPh Badan dengan
syarat bahwa (1) deviden berasai dari iaba yang ditahan dan (2) Kepemilikan saham Perseroan
yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% dari niiai saham yang disetor dari
badan yang membayar dividen (operating company).

UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula 15%
menjadi:

1. 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus,
dan. sejenisnya.

2.  2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen,  jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lainnya.

PPh Pasal 23, merupakan salah satu jenis uang muka PPh yang dibayar selama tahun berjalan
oleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT melalui sistem pemotongan oleh pihak lain.
- Badan Pemerintah.
- Subyek Pajak Badan dalam negeri,.
- Penyelenggara kegiatan
- Bentuk usaha tetap BUT atau perwakilan perusahaan luar negeri
- Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yaitu
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT kecuali Camat, pengacara, konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa.

2. Contoh Transaksi

PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu dan beralamat
di Jl. Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki NPWP 01.111.444.8-061.000.
Pada tanggal 10 Juli 2013, perusahaan membayar dividen tunai kepada pemegang saham yang
sebelumnya telah diumumkan melalui RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran
dividen tunai.

Pemegang Saham NPWP % Penyertaan Modal Dividen


PT Murni 01.589.365.8-039.000 26% Rp 130.000.000
PT Bengawan 01.125.735.8-045.000 15% Rp 75.000.000
PT Cakrawala 01.156.198.8-026.000 10% Rp 50.000.000
PT Sejahtera 01.754.125.8-039.000 18% Rp 90.000.000
PT Pertama 01.453.198.8-039.000 12% Rp 60.000.000

Pemegang Saham % Penyertaan Modal Dividen PPh Pasal 23 yang Dipotong


PT Bengawan 15% Rp 75.000.000 Rp 11.250.000
PT Cakrawala 10% Rp 50.000.000 Rp 7.500.000
PT Sejahtera 18% Rp 90.000.000 Rp 13.500.000
PT Pertama 12% Rp 60.000.000 Rp 9.000.000
Jumlah Rp 275.000.000 Rp 41.250.000
Catatan:

Untuk PT Murni dikategorikan menjadi non-objek pajak sebab % penyertaan modalnya lebih
dari 25%

3. Analisis Tax Planning

Shifting dan dispute

Shifting

Ketika akan dilakukan pemtongan atau pemungutan pph 23 masyarakat cenderung ingin
melakukan shifting yaitu memindahan dari objek objek yang semulanya kena pemotongan atau
pemungutan dari PPh pasal 23 menjadi tidak terkena PPh ataupun shifting dari tariff yang
semulanya tinggi menjadi tariff yang kecil. Mereka melakukan shifting dengan mencari
terminoliogi terminology yang tidak ada pada ketentuan.

Dispute

Kita sebagai penerima jasa ingin memotong PPh pasal 23 tetapi pihak pemberi jasa tidak ingin
dipotong karena tidak ada dalam perjanjian sebelumnya, sedagkan menurut fiskus kita
diwajibkan memungut pasal 23, solusinya:

a. Memungut PPh dari metode Gross Up


b. Tidak memungut PPh tetapi membayar PPh tersebut

Kedua metode tersebut baru diakui fiskus jika merubah kontrak perjanjian serta dokumen yang
terait dengan PPh 23.

Tax Planning Deviden

Diatur dalam Pasal 4 ayat 3 (f). Dividen tidak termasuk objek PPh badan jika:

1. Dividen berasal dari laba yang ditahan


2. Kepemilikan saham paling sedikit 25% dari nilai saham yang disetor

Ada 3 cara tax planning yang dapat diterapkan dalam deviden

1. Orang pribadi membentuk sebuah perseroan agar bisa terbebas dari pembayaran deviden
2. Memiliki kepemilikan saham minimal 25% untuk terbebas dari PPh atas deviden
3. Jika tidak memiliki kepemilikan saham yang cukup untuk mencapai 25% maka bisa
dilaukan merger dengan perusahaan lain
https://smconsult.co.id/id/perubahan-tarif-pajak-progesif-pph-21-orang-pribadi-berlaku-tahun-
2022/

https://www.researchgate.net/publication/
337050991_TAX_PLANNING_PPh_PASAL_21_SEBAGAI_UPAYA_EFISIENSI

https://dwiagiarti.blogspot.com/2019/01/tax-planning-pph-pasal-22-pasal-2326.html

https://youtu.be/DweyXzrn0kE

Anda mungkin juga menyukai