Anda di halaman 1dari 8

Metode analisis data dilakukan secara normatif kualitatif yaitu analisis terhadap

norma hukum yang menjadi obyek pembahasan 


bahan hukum primer dari uu hak cipta, kuhperdata, pp no 56, doktrin

https://www.suara.com/pressrelease/2021/08/13/011646/mengupas-kedudukan-
lmkn-dalam-pp-56-2021-tentang-royalti-musik?page=all
- LMKN melakukan penarikan royalti dari pengguna untuk pencipta, pemegang hak
cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun yang belum
menjadi anggota dari suatu LMK.
-LMK sendiri merupakan institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi
kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna
mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
-LMK HANYA MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI KE PENCIPTA, YG
NARIK CUMA LMKN
- APABILA PENCIPTA MENJADI ANGGOTA LMK MAKA ROYALTI YG DIHIMPUN LMKN
DISTRIBUSIKAN kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait
- APABILA PENCIPTA BUKAN ANGGOTA LMK MAKA ROYALTI YANG DIHIMPUN LMKN
DISIMPAN DAN DIUMUMKAN LMKN SELAMA 2 TAHUN, DALAM JANGKA WAKTU TSB
BILA PENCIPTA TELAH MENJADI ANGGOTA LMK MAKA ROYALTI DIDISTRIBUSIKAN,
NAMUN APABILA BELUM MENJADI ANGGOTA LMK MAKA ROYALTI DIGUNAKAN
SEBAGAI DANA CADANGAN
-pengguna yang tidak terikat perjanjian lisensi tetap wajib membayar royalti melalui
LMKN setelah penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial. 
-Alasan KP3R dibutuhkan dalam lisensi : 
1. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir Indonesia mengalami kasus multi LMK
dimana beberapa LMK saling menagih berdasarkan kuasa kepada pengguna
komersial 
2. Memberikan kepastian kepada pengguna komersial untuk berhubungan dengan
wakil pemilik hak cjpta dan produk hak terkait dalam rangka mengurus lisensi 
3. Mengoptimalisasi, efesiensi dan efektivitas dalam proses permohonan lisensi dan
pengajuan lisensi. 
4. Meningkatkan kecepatan dalam melakukan proses penagihan dilapangan. 

Judul 2: Analisis Perbandingan Asas Hukum Dalam Peraturan Pemerintah


Nomor 56 Tahun 2021 Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Mengenai Kewenangan LMKN Dalam Menarik Royalti Sebagai Bahan
Judicial Review
Rumusan Masalah:
1. Bagaimana perbandingan asas hukum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 2021 dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 mengenai penarikan royalti / pengaruhnya terhadap tata cara
penarikan royalti sampai harus dilakukan judicial review?
2. Bagaimana perbandingan tata kelola / kewenangan penarikan
royalti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021
 
 
Perbandingan asas hukum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2021 dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
mengenai penarikan royalty/pengaruhnya terhadap tata cara
penarikan royalti
Pada dasarnya dalam hak cipta sendiri merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak ekonomi terbagi
menjadi 2 macam yaitu hak penggandaan (mechanical rights) dan
hak mengumumkan (performing rights). Namun di indonesia
pelaksanaan performing rights sering dilupakan seperti tempat
hiburan seperti cafe yang mempertujukan musik/lagu yang
dilindungi hak cipta tanpa meminta izin pemilik atau pemegang hak
ciptanya. Maka mengatasi hal itu dalam UUHC diatur mengenai
pembayaran royalti menyangkut penggunaan ciptaan secara
komersial untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai
sumber atau berbayar. Sebagaimana dengan adanya PP 56/2021
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum terhadap hak ekonomi pencipta, pemegang hak cipta, dan
pemilik hak terkait memberikan amanat kepada LMKN untuk
menarik royalti sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP
56/2021. 
Namun terdapat perbedaan perspektif mengenai LMKN dari uu 28 dan
pp 56 jadi kalau dari uu 28 LMKN disebut sebagai lembaga privat
yang mewakili para user atau pencipta lagu dengan pengguna
karyanya sedangkan dari perspektif pp 56 sebagai lembaga bantu
pemerintah untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak
tercakup oleh organ pemerintah sesuai konstitusi NKRI.
 
SEBENARNYA Fungsi penarikan royalti ini sebelumnya dilakukan oleh
LMK YANG MANA MERUPAKAN bentukan para musisi maupun
pencipta lagu yang bersifat independen. Dengan adanya LMKN yang
dibentuk oleh pemerintah melalui Kemenkumham maka terjadi
sentralisasi kewenangan.
 
kemudian dalam PP 56 terjadi benturan kepentingan antara LMKN dan
LMK terkait aturan 20 persen dari besaran royalti yang dikumpulkan
dari publik untuk pembiayaan manajemen kolektif, dan dalam PP
56, LMKN bekerja saama dengan pihak ketiga yakni PT Lentara
Abadi Solutama (LAS) sebagai pihak yang diberi tanggung jawab
menyediakan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) dalam
menjalankan fungsi pengumpulan royalti sehingga memperpanjang
konflik dalam penarikan royalti.
 
mengenai pengelolaan royalti di pp 56 dengan uu 28 perbedannya
dalam pp 56 menghilangkan peran KP3R (Koordinator Penarikan,
Penghimpunan, dan Pendistribusian Royalti Hak Terkait) jadi
pengguna langsung membayarkan royalti kepada LMKN
pencipta/hak terkait mengacu berdasarkan data yang terintegrasi
dalam SILM dan pusat data. Sedangkan dalam uu 28 yg melakukan
pelaksanaan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti
oleh LMK dilakukan dibawah KP3R yakni oleh LMK spt SELMI,
PAPPRI
Selain itu, terkait pendistribusian royalti, dalam pp 56 kewenangan
KP3R hilang karena pendistribusian royalti sepenuhnya menjadi
kewenangan LMKN. Sedangkan dalam uu 28 mengenai hal
pengumpulan royalti dilakukan oleh KP3R sebagai pelaksana
kewenangan LMKN, dan terkait pendistribusian royalti dilakukan
melalui beberapa tahap yaitu pendistribusian kewenangan LMKN
pencipta/hak terkait kepada KP3R, distribusi royalti DARI
PENGGUNA LAGU (CAFE) oleh KP3R kepada LMK, dan diteruskan
oleh LMK kepada pencipta, pemegang hak cipta atau pemegang hak
terkait.
 
Hak ekonomi merupakan hak yang dimiliki pencipta khususnya terkait
hak performance/pengumuman. Dalam hal ini pencipta
menyerahkan haknya / memberikan kuasa kepada LMK yang
merupakan institusi badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh
pencipta untuk mengumpulkan royalti sebagaimana terdapat dlm
uu 28.
Sedangkan dalam pp 56, terdapat LMKN yang merupakan lembaga
bantu negara yang diberi wewenang untuk memungut royalti dari
hak perfomance kepada pencipta. 
Namun yang jadi permasalahan adalah hak ekonomi sendiri yg
merupakan hak pencipta dalam menyangkut penggunaan ciptaan
secara komersial untuk memperoleh keuntungan ekonomi dalam pp
56 menjadi salah secara asas karena penarikan royalti sebagaimana
yang merupakan wewenang LMKN. Karena sifat hak cipta
merupakan benda bergerak yang tidak berwujud sehingga hak
privat kebendaan itu melekat pada hak cipta. 
 
Namun yang jadi permasalahan adalah hak cipta merupakan benda
bergerak yang tidak berwujud sehingga hak privat kebendaan itu
melekat pada hak cipta. Berdasarkan pasal 499 KUHPerdata juga
dikatakan bahwa kebendaan ialah tiap barang dan tiap hak yang
dapat dikuasai oleh hak milik. Begitu pula juga hubungan
kebendaan antara pencipta dengan ciptaan/hak ciptanya melekat
karena sifat hak kebendaan itu mutlak jadi hak seseorang atas
benda itu dapat dipertahankan terhadap siappun dan setiap org
harus menghormatinya. 
maka dari konsep kebendaan ini, pp no 56 menjadi salah asas karena
penarikan royalti yaitu oleh LMKN yang diberi wewenang oleh
negara. Sedangkan yaang ditarik itu royalti hak privatnya pencipta
yang seharusnya sudah melekat pada pencipta tersebut. Jadi
negara tidak berhak untuk memberikan hak ataupun kewenangan
dalam menarik royalti, karena yang memiliki hak atau kewenangan
adalah pencipta lagu selaku pemilik hak. 
Dilihat dari pp 56, LMKN diberikan kewenangan dan hak untuk menarik
royalti ternyata mengalihkan hak atau kewenangannya tersebut
dengan bekerja sama kepada pihak ketiga yaitu  PT Lentara Abadi
Solutama (LAS) sebagai pihak yang diberi tanggung jawab
menyediakan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) dalam
menjalankan fungsi pengumpulan royalti sehingga memperpanjang
konflik dalam penarikan royalti.
Maka sebenarnya dalam konteks asas hukum hak cipta seperti itu,
yang berhak menarik royalti adalah pencipta. Namun dalam uu 28
mewajibkan para pencipta yg ingin menarik royalti dengan
membentuk atau menjadi anggota LMK agar pencipta tidak menarik
royalti sendiri-sendiri. Sehingga hanya LMK yang mendapat kuasa
dari pencipta/pemegang hak cipta untuk menarik royalti.
Tapi dengan adanya pp no 56 ini, hak untuk menarik royalti diambil alih
oleh LMKN yang didelegasikan kepada pihak ketiga/pihak swasta
yaitu PT LAS. 
 Jdi inti permasalahannya adalah dalam pp no 56 ada Lembaga yang
diberikan wewenang oleh negara untuk menarik royalti yaitu LMKN
yang seolah-olah hak royalti adalah milik negara padahal hak royalti
itu hak kebendaan pemilik hak atau pencipta lagu.
uu 28 royalti yang merupakan hak pencipta didelegasikan kpd LMK untuk
mengkolek.
 
2. Bagaimana pembuktian asas hukum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 2021 mengenai kewenangan LMKN dalam menarik
royalti bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
sampai harus dilakukan judicial review?

2.perbandingan tata kelola/kewenanagan penarikan royalti pd uu 28


dan pp56
 
Pembahasannya, ttg tata kelola/penarikan royalti berdasar uu 28 dan
berdasar pp56
Kemudian d perbandingkan dengan teorinya...
Mana yg lebih sesuai dgn teorinya? Uu28 atau pp56
 
kuncinya ada pada landasan teori, kamu harus terangkan secara
mendetail mulai dr hak cipta, yg memuat hak moral dan hak
ekonomi, perlindungannya, sifat hak nya, menerangkan hak2
pencipta/pemegang hak cipta...
utk pertama coba baca penjelasan uu28, dr pembukaan penjelasan
uu28 itu bisa dikembangkan lg supaya lebih mengerucut
 
 
PP ini membawa angin segar bagi para musisi atau pencipta lagu. Tapi di sisi lain, PP
ini juga seakan menjadi masalah pagi para pihak yang menikmati atau
memanfaatkan sebuah karya musik.
Dalam PP 56 tahun 2021 diatur bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
(LMKN) ditunjuk sebagai pihak untuk menghimpun royalti.
 
Prof Dr. Agus Sardjono menjabarkan, LMKN pada dasarnya merupakan
lembaga yang dibuat untuk mewakili pecipta dan pembuat lagu dalam
menegakkan hak-haknya. Agus kemudian menjabarkan sisi historis sebelum
LMKN ada.
Sebelum LMKN sebenarnya sudah ada lembaga kolektif seperti KCI (Karya Cipta
Indonesia), PAMMI (Persatuan Musik Melayu Dangdut Indonesia), yang berusaha
memperbaiki mekanisme penarikan royalti.
"Akar masalahnya ketika pengguna (pembayar royalti) didatangi beberapa
orang atau lembaga yang menarik royalti. Maka itu, ada ide federasi
berbadan hukum yang terdiri dari LMK-LMK," jelas Prof. Dr. Agus Sardjono.
Dari masalah itu akhirnya disepakati agar menggunakan sistem satu pintu dalam
proses pemungutan royalti. Usulan itu kemudian dimuat dalam Undang-
undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan terbentuknya
Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan huruf N kecil). LMKn
terdiri dari sejumlah LMK-LMK yang ada di Indonesia.
"Jadi ada LMK,  ada LMKN  yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf
kecil di UU Hak Cipta  ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK. Hal itu hanya bisa
dipahami bahwa menurut UU Hak Cipta, LMKN  adalah LMK juga, bukan sesuatu 
yang lain," katanya memaparkan.
Namun dalam perjalanannya, konsep LMKn berubah menjadi LMKN (huruf N besar)
dan ditempelkan langsung. Perubahan konsep itu semakin dipertegas oleh PP
56 tahun 2021 yang menyebut LMKN bukan LMK yang  secara hukum
perdata mewakili para pemilik hak.
"Kita tahu anggota LMKN ini dipilih oleh pansel (panitia seleksi), dan
mereka tidak mendapat kuasa dari para pemilik hak, melainkan mendapat
kewenangan dari otoritas publik, yakni Menteri," Imbuh Prof Dr. Agus
Sardjono.
Menurut Prof Agus Sardjono, membahas masalah polemik LKMN, harus dilihat
dari dua perspektif perdata dan perspektif administrasi negara.
Kalau dilihat dari perspektif perdata, LKMN sebagai lembaga privat dibentuk
berdasarkan undang-undang hak cipta.
Sementara kalau dilihat dari sisi perspektif administrasi negara yang diatur
melalui PP No 56 tahun 2021 yang dengan tegas menyatakan, bahwa
LKMN adalah lembaga bantu pemerintah.
"Kalau dilihat dari sisi perdata LKMN dimaksudkan untuk mewakili para user,  yakni
pencipta lagu dengan pengguna karyanya. Tapi perspektif perdata juganbisa didekati
dengan pendekatan doktrinal. Sementara kalau dari sisi administrasi negara yang
melihat menurut PP 56  2021 sebagai lembaga bantu pemerintah yang menangani
urusan pemerintahan yang tidak tercakup oleh organ-organ pemerintah sesuai
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia," tutur Prof. Dr Agus Sardjono.
Kata Prof. Dr. Agus Sardjono PP Nomor 56 Tahun 2021 memang dibuat untuk
kepentingan musisi selaku pemilik hak cipta. Dia juga berharap diskusi ini menjadi
bahan masukan dan dibahas secara terbuka.
"Tujuannya hanya satu, untuk kebaikan dan kesejahteraan pemilik hak cipta, karena
mereka telah memberikan kontribusi yang besar kepada kebudayaan Indonesia,
kepada masyarakat kita.  Jadi tolong perhatian kita dalam penyusunan UU, bukan
untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan rakyat," tutup Prof. Dr. Agus
Sardjono.
Sementara Dr Dian Puji membahas soal kedudukan lembaga negara dan
pertanggungjawaban keuangan LMKN. Dia menyoroti biaya operasional LMKN yang
diambil dari royalti yang diperolehnya sebesar 20 persen paling banyak. Hal ini tidak
terlepas dari status LMKN yang merupakan lembaga bantu pemerintah non-apbn.
"LMKN yang dibentuk menteri berdasarkan Pasal 18 ayat 1 PP No.56 tahun 2021
sehingga tugas dan susunannya diatur oleh menteri menyebabkan karakter
hukumnya menjadi lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintah, mau inti,
pendukung, pembantu, semua harus menggunakan APBN, tidak boleh menggunakan
mekanisme selain APBN," ucap Dr Dian.
 
Pelaksanaan PP ini masih diperlukan ketentuan yang mengatur pengoptimalan fungsi
pengelolaan royalti hak cipta, agar dapat mensejahterakan pencipta dan pemegang
hak cipta, serta pemilik hak terkait.
Pusat data ini nantinya menampung data karya cipta lagu dan musik yang ada di
Indonesia. Selanjutnya data tersebut akan diolah sistem untuk menghitung royalti
yang akan dibagikan kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Pada penghitungan
royaltinya pun merujuk PP Nomor 56 Tahun 2021.
Oleh karena itu, pusat data lagu dan musik tersebut diharapkan akan memudahkan
LMKN untuk menentukan besarnya penarikan dan pendistribusian royalti.

“Kami berharap dengan pusat data ini pemungutan serta pendistribusian royalti lagu
dan musik itu mampu mengoptimalkan fungsi penarikan, penghimpunan dan
pendistribusian royalti,” ujar Syarifuddin.

Pada kesempatan yang sama, Ketua LMKN Yurod Saleh, menegaskan kewenangan
LMKN dalam menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang
bersifat komersial nanti akan berdasarkan data yang terintegrasi pada pusat data
lagu dan musik.
PASAL 3 PP 56/2021: Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial
lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan
membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak
Terkait melalui LMKN.
 
PASAL 8 PP 56/2021 Pengelolaan Royalti dilakukan oleh LMKN berdasarkan data
yang terintegrasi pada pusat data lagu dan/atau musik.
 
 
benturan kepentingan antara LMKN dan LMK akan terjadi karena adanya aturan 20
persen dari besaran royalti yang dikumpulkan dari publik digunakan untuk
pembiayaan manajemen kolektif. Menurut dia, 20 persen bagian dari royalti ini cukup
besar. Sebagai gambaran, lanjut Huda, jika ada Rp 100 miliar terkumpul, maka ada
Rp 20 miliar yang harus disisihkan untuk manajemen kolektif. "Besaran bagian untuk
manajemen kolektif ini pasti akan potensial memicu konflik kepentingan. Apalagi jika
ada dua entitas yang mempunyai peran mirip dalam hal ini LMKN dan LMK

dalam perkembangan terbaru LMKN bekerjasama dengan pihak ketiga untuk


menjalankan fungsi pengumpul royalti dari publik. Menurutnya, situasi ini kian
memperpanjang konflik kepentingan karena potensi yang semakin melebar.
"Keputusan LMKN dalam menggandeng PT Lentara Abadi Solutama (LAS) kian
meruncing konflik kepentingan dalam sengkarut penarikan royalti lagu dan atau
musik di Indonesia.
Dikutip dari PP 56, LMKN adalah:

lembaga bantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan

Undang-Undang mengenai Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik,

menghimpun, dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan

hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.

Tapi di luar LMKN, ada juga yang namanya Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Berdasarkan PP 56, LMK adalah:

institusi yang berbentuk badan


hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau

pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan

mendistribusikan Royalti.

Dalam pasal 13 ayat 1 PP 56, disebutkan bahwa royalti dihimpun oleh LMKN. Lalu

pasal pasal 14 ayat 3 menyebut royalti ini didistribusikan kepada pencipta,

pemegang hak cipta, dan pemilik hak melalui LMK. Syaratnya, para pencipta hingga

pemilik hak ini harus terdaftar menjadi anggota LMK.

Di sinilah masalah yang sering terjadi. Sesuai dengan kesepakatan tahun 2016,

Maulana menyebut pihaknya membayar langsung royalti ke rekening yang

disediakan LMKN.

Dalam prakteknya, kata Maulana, banyak LMK-LMK yang merasa tidak diwakilkan

oleh LMKN. Ia tidak mengetahui kenapa hal ini bisa terjadi. Tapi konsekuensinya,

pengusaha hotel mendapat dua tagihan royalti: satu dari LMKN dan satu dari LMK.

Karena sudah ada kesepakatan, maka pengusaha hotel tetap membayar royalti ke

LMKN. Namun, beberapa LMK tetap melakukan penagihan royalti ke pengusaha

hotel. "Bahkan sampai somasi," kata dia.

 
UU Hak Cipta tahun 2014 mengamanatkan pembentukan LMKN untuk mengelola
kepentingan hak ekonomi pencipta lagu dan pemilik hak terkait. Lembaga ini berdiri
pertama kali pada 20 Januari 2015 dengan dilantiknya Komisioner LMKN oleh Menteri
Hukum dan HAM
 
 
Pertanyaan mengenai definisi LMKN terjawab dalam Pasal 1 angka 11 PP No. 56
Tahun 2021 yang berbunyi:
“Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang selanjutnya disingkat LMKN adalah
lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan
Undang- Undang mengenai Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik,
menghimpun, dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan hak
ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.”
 
 
 
 
Judul 6: Analisis Hukum Terhadap Pengalihwujudan Konten Newsletter
Menjadi Rekaman Suara Podcast Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Rumusan Masalah:
1. Bagaimana peraturan hukum mengenai pengalihwujudan konten
newsletter menjadi rekaman suara podcast berdasarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
 
 

Anda mungkin juga menyukai