Anda di halaman 1dari 39

0 Pengantar Penulis – Mendaki

Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)


PENGANTAR PENULIS
[Dalam pengantar ini Ibnu ‘Arabī menjelaskan bahwa pengalaman Mi‘rāj-nya adalah perjalanan
roh yang maknawi; rahasia-rahasia dan kandungan al-Qur’ān disingkap, ilmu-ilmu diberikan,
dan hal-hal tersembunyi ditampakkan. Mi‘rāj ini betul-betul berbeda dengan Mi‘rājnya Nabi,
yang dilakukan secara nyata dengan raga fisik, di mana Nabi s.a.w. menempuh jarak dan
melintasi langit. Pada Mi‘rāj itu, beliau diberi syariat ilahiah yang menghapus syariat-syariat
sebelumnya.]

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Seorang syaikh, imam, yang alim dan sempurna, pentahqiq yang keilmuannya luas, penegak
agama, kemuliaan Islam, lidahnya hakikat kebenaran, yang sangat pandai, panutan para
pembesar, sumber perintah, keajiban suatu zaman, satu-satunya orang pada masanya, Abū
‘Abdillāh Muḥammad bin ‘Alī bin Muḥammad Ibnu ‘Arabī ath-Thā’ī al-Ḥātimī dari Andalusia,
semoga Allah mengakhiri hidupnya dengan kebaikan, berkata:

Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan siang-Nya dari malam-Nya yang gulita, (11)
memancarkan matahari-Nya yang benderang dan bulan-Nya yang terang di waktu siang dan
malam, menjadikan siang dan malam sebagai bukti pada saat gelap dan terang; yakni, pujian
azali dengan bukti pada saat gelap dan terang; yakni, pujian azali dengan lidah yang qadīm,
yang memberi bimbingan untuk menggapai puncak tertinggi keagungan dari keindahan
sebuah kesempurnaan pada suara dan bunyi Qalam, di papan-papan kemunculan kata-kata,
(22) yang ditandai dengan Nūn-nya (33) kemurahan dan kemuliaan, yang disucikan sejak
kemunculan pertama peristiwa terbelahnya langit beserta seluruh isinya dari sebuah
ketiadaan, (44) yang telah meng-isrā’-kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid-il-Ḥarām
ke Masjid-il-Aqshā (55) dan suatu tempat yang azali.

Ucapan terimakasih untuk-Nya persis seperti pujian-pujian untuk-Nya yang pernah ada
sebelumnya; yakni, ucapan terimakasih dengan Alif, (66) bukan Bā’. Sebab ucapan terimakasih
dengan Bā’ terlalu berani.

Selawat serta salam semoga dicurahkan kepada dia yang diciptakan pertama kali, (77) bukan
kepada ia yang pertama kali muncul dan tampak di sana, lalu Allah menyebutnya
perumpamaan, Allah menciptakannya sebagai satu yang tak terbagi, dalam firman-Nya: “Tidak
ada satu pun yang serupa dengannya,” (88) dialah yang alim, satu-satunya tanda, Allah
memberdirikannya di hadapan cermin Dzāt, namun dia tidak menyatu sekaligus tidak terpisah
dari Dzāt, Setelah bentuk perumpamaan (shūrat-ul-mitsl) muncul padanya, dia pun percaya
dan mengucapkan selamat kepada bentuk itu. Allah menyerahkan kunci-kunci kerajaan-Nya,
dan dia tunduk. Tiba-tiba ada firman: engkaulah (Muḥammad) wujud paling mulia, Tanah
Ḥarām (99) paling agung, Rukun Yamanī dan Multazam, (1010) Maqām Ibrāhīm, Ḥajar Aswad
yang diciumi, rahasia dalam zamzam, pahamilah mengapa ia harus diminum, dia adalah
orang yang diisyaratkan oleh sebuah kalimat “orang mu’min adalah cermin saudaranya”.
Perhatikanlah dan rahasiakanlah apa yang tampak kepadanya dalam cermin itu. Selawat serta
salam juga semoga tercurah kepada keluarga dan para sahabat Nabi.

Amma ba‘d.

Saya persembahkan kepada kalangan Shūfī; orang-orang yang mengalami mi‘rāj-mi‘rāj ‘aqliah,
yang memiliki maqām-maqām roh, rahasia-rahasia ilahiah, dan martabat-martabat tinggi nan
suci, sebuah ringkasan tentang runtutan perjalanan dari alam fisik ke tempat Tuhan, dalam
satu kitab yang bab-babnya indah sekali, yang berjudul Kitab al-Isrā’ ilal-Maqām-il-Asrā’.
Dalam kitab ini saya menjelaskan bagaimana hakikat bisa terungkap, dengan menanggalkan
baju-baju, bagi mereka yang memiliki mata hati dan akal pikiran. Saya juga menjelaskan
penampakan hal menakjubkan dalam perjalanan Isrā’ sampai tersingkapnya tabir-tabir, serta
tentang nama beberapa maqām termasuk maqām yang tak ber-maqām (station (of) no-
station), yang kemunculannya tak dapat diketahui melalui ilmu maupun hal. Yang demikian ini
adalah Mi‘rāj-nya arwah pada pewaris (1111) sunnah Nabi dan Rasūl. Ini adalah mi‘rājnya roh,
bukan raga fisik. Ini adalah Isrā’-nya asrār, bukan aswār; sebuah penglihatan oleh mata hati,
bukan mata kepala; sebuah perjalanan ma‘rifat oleh perasaan dan kenyataan, bukan
perjalanan menempuh jarak dan jalan; menuju langit-langit makna, bukan tempat di langit
sana.

Saya mengurai mi‘rāj rohani ini dengan gaya berprosa maupun dalam bentuk syair.
Penjelasannya saya selipkan secara simbolik maupun jelas dan bisa dipahami. Kata-katanya
bersajak, agar lebih mudah bagi para penghapalnya. Saya terangkan jalan, dan pertegas
kenyataan. Saya terangi dengan rahasia kejujuran, dan saya susun munajat rahasia dengan
kata-kata padat dan terhitung. Hal ini (dilakukan) ketika saya ingin memberi kejelasan.
Kepada-Nya saya bertawakkal, dan memohon hidayah.

Catatan:

01. 1). Seperti dalam firman Allah:


“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari
malam itu, Maka dengan serta-merta mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Yāsīn: 37). ↩

02. 2). Menurut ungkapan umum dari Ibnu ‘Arabī, kata-kata adalah wujud ini. Sebab wujud adalah
penampakan luar dari kalimat penciptaan “Kun (Jadilah)!” Dalam ungkapan yang lebih spesifik, menurut
Ibnu ‘Arabī, kata-kata adalah hakikat atau inti sifat yang dimiliki setiap nabi. Yang dimaksudkan Ibnu ‘Arabī
dengan “kata-kata” dalam kitab ini adalah para nabi. Lihatlah Mu‘jam-ush-Shūfī tentang arti kata
“Kalimat”. ↩
03. 3). Seperti dalam firman Allah:
“Nūn, demi qalam dan apa yang mereka tulis.” (QS al-Qalam: 1). Menurut Ibnu ‘Arabī, Nūn adalah tempat
tinta yang secara universal tintanya menampung bentuk-bentuk jagad semesta; artinya, huruf-huruf. Lihat
Mu‘jam-ush-Shūfī bagian huruf Nūn. ↩

04. 4). Seperti dalam firman Allah:


“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. al-Anbiyā’: 30). ↩

05. 5). QS. al-Isrā’: 1. ↩


06. 6). Alif adalah dalil tentang Dzāt Tuhan, berbeda dengan Bā’, ia adalah dalil Sifat. Yang dimaksud
“ucapan terima kasih dengan Alif bukan Bā’” adalah pujian yang ditujukan kepada Allah bukan kepada salah
satu sifat. Lihat Mu‘jam-ush-Shūfī pada bagian Alif dan Bā’. ↩
07. 7). Yang pertama kali diciptakan adalah Muḥammad s.a.w. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah hadits
Nabi: “Wahai Jābir, yang pertama kali Allah ciptakan adalah cahaya nabimu ini.” (lihat Kasyf-ul-Khafā’ karya
al-‘Ajlūnī, hadits nomor 827, jilid 1 halaman 265-266). ↩
08. 8). QS. asy-Syu‘arā’: 11. ↩
09. 9). Dalam hal ini Ibnu ‘Arabī mengisyaratkan kehormatan Nabi Muḥammad s.a.w., yang sangat
dihormati dalam Islam. ↩
10. 10). Multazam adalah tempat yang terletak di antara Rukun Yamani dan Ka‘bah, ia adalah tempat
berdoa bagi jamaah haji, ‘umrah, atau orang yang sekadar melintas untuk berdoa. Berdoa di Multazam akan
terkabulkan oleh Allah s.w.t. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w.
bersabda: “Multazam adalah tempat berdoa yang mustajab. Setiap hamba Allah yang berdoa di sana maka
Allah akan mengabulkan doa itu.” (Lihat kitab Mustafād-ur-Riḥlatu wal-Ightirāb karya al-Qāsim bin Yūsuf an-
Najībī as-Sibtī, halaman 276). ↩
11. 11). Pewaris adalah pengikut Nabi Muḥammad s.a.w. dalam hal ucapan, perbuatan, dan ahwal. Kecuali
dalam hal-hal tertentu yang hanya boleh dimiliki oleh Nabi Muḥammad s.a.w. Pewaris di sini, sebagai orang
mulia yang mengikuti jejak hidup Nabi s.a.w., adalah para ulama, seperti diterangkan dalam sebuah hadits:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” Pewaris mengikuti orang yang memberikan warisan. Ada yang mewarisi
‘Īsā, ada pula yang mewarisi Mūsā, dan ada pewaris Muḥammad. Dalam kitab ini oleh Ibnu ‘Arabī, mi‘rāj roh
dan isrā’ ma‘nawi menuju alam khayali ditujukan kepada pewaris Muḥammad. ↩
1-1 Mukasyafah-mukasyafah
Rohaniah yang Mendahului Mi‘raj –
Mendaki Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)


Rangkaian Pos: Bab I - Mukasyafah-mukasyafah Rohaniah yang Mendahului
Mi‘raj - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi

BAB I

1. Perjalanan Hati
2. ‘Ain-ul-Yaqīn
3. Sifat Roh Universal
4. Hakikat
5. Akal dan Bekal Isrā’
6. Jiwa yang Tenang dan Samudra Bergelombang (Yang Menyala)

[Dapat disimpulkan, bagian pertama ini merupakan mukāsyafah-mukāsyafah rohaniah yang


mendahului Mi‘rāj itu sendiri. Di sini Seorang Salik (penempuh jalan spiritual – penj.) sudah
matang secara akidah maupun amaliah fisik. Demikian juga perjumpaan Sālik dengan Roh
Universal sekaligus Rasūl Pembawa Taufik sudah cukup memuaskan. Seluruh bagian ini
adalah persiapan, kehadiran, dan pengajaran].

PERJALANAN HATI

Sālik mengatakan:

Aku pergi meninggalkan negeri Andalus, menuju Bait-ul-Qudus. Aku menganggap kepatuhan
sebagai kebaikan, kesungguhan sebagai lantai, tawakkal sebagai bekal. Aku berjalan di jalan
lurus, mencari orang-orang yang mengetahui wujud dan hakikat, dengan harapan mendapat
kejelasan di tengah-tengah mereka.

Sālik mengatakan:

Lalu aku menemukan anak sungai yang airnya melimpah-ruah, mata airnya tawar; (11)
seorang pemuda yang dzātnya rohani, sifat-sifatnya rabbani, dan sikap-sikapnya bagai
malaikat.

Aku bertanya kepada pemuda itu: “Apa yang ada di belakangmu, wahai ‘Ishām?” (22)

Ia menjawab: “Wujud yang tak putus dan tak mengenal akhir!”

Aku bertanya: “Dari mana si pengendara datang?”

Ia menjawab: “Dari mata kepala ‘Ishām!”

Aku bertanya: “Apa yang membuatmu ingin keluar?”

Ia menjawab: “Sesuatu yang membuatmu ingin masuk!”

Aku berkata: “Aku ini seorang pencari (thālib) yang tak punya.”

Ia jawab: “Aku seorang penyeru kepada wujud.”

Aku bertanya: “Ingin ke mana dirimu?”


Ia jawab: “Aku tak ingin ke mana-mana. Namun aku diutus ke dua tempat terbitnya cahaya;
tempat munculnya dua bulan purnama; tempat menginjakkan dua kaki, sembari meminta
siapa saja yang kutemui untuk melepaskan dua sandalnya.”

Aku berkata: “Ini adalah roh-roh makna, dan aku sampai detik ini tidak bisa melihat apapun
kecuali wadah-wadah luar saja. Mudah-mudahan engkau berkenan memberitahuku tentang
hakikat al-Qur’ān dan Sab‘-ul-Matsānī (surat al-Fātiḥah).”

Ia jawab: “Engkau adalah awan bagi mataharimu. Pertama, kenalilah hakikat dirimu. Sebab
tidak bisa paham akan perkataanku kecuali orang yang mendaki ke maqāmku, dan tidak bisa
mendaki ke maqām itu kecuali aku. Bagaimana mungkin engkau ingin tahu hakikat asma-
asmaku?! Namun engkau di-mi‘rāj-kan ke langitku.”

Ia bersenandung dan membuatku bingung:

Aku al-Qur’ān dan Sab‘-ul-Matsānī…. rohnya roh, bukan rohnya wadah-wadah

Hatiku, di hadapan apa yang keketahui, berdiri… berbicara dengannya, dan di hadapan kalian
adalah lidahku

Janganlah engkau menatap, dengan kelopak matamu, ke arah jisimku…. lampauilah kenikmatan
dengan (menggali) makna-makna.

Selamilah samudra dzātnya dzāt maka engkau akan lihat….keajaiban-keajaiban yang tak pernah
dilihat mata

Dan rahasia-rahasia terlihat kabur…. tertutup oleh roh-roh makna

Siapa yang paham isyarat ini maka jagalah (simpan!)… jika tidak maka ia akan ditusuk dengan
ujung tombak

Seperti al-Ḥallāj (33) (pencetus) cinta, sebab matahari hakikat menampak kepadanya dengan
sangat dekat

Lalu ia berkata: aku adalah Tuhan (al-Ḥaqq) yang dzāt-Nya tak berubah oleh perputaran zaman.

“Maka beritahu aku, wahai sahabat,” kata pemuda rohaniah tersebut: “Ke mana engkau ingin
pergi, aku akan memberimu petunjuk jalan? Dari mana engkau datang? Tempat mana yang
engkau bayangkan?”

Aku jawab: Aku pergi berlari meninggalkan kehinaan, (44) aku ingin tiba di kotanya Rasūlullāh
(madīnat-ur-Rasūl), (55) untuk mencari maqām paling indah, kibrit merah.”

Ia berkata kepadaku: “Wahai sang pencari (thālib) seperti diriku. (66) Apaka engkau tidak
mendengar ucapanku yang ini:

Wahai sang pencari yang menempuh jalan rahasia….

pulanglah, (sebab) di dalam dirimu (tersimpan) rahasia dan jalan ke tujuan itu.

Wahai rahasia yang halus, (77) antara dirimu dan tujuan pencarianmu terdapat tiga tabir, (88)
baik yang halus maupun tebal: tabir pertama dihiasi yaqut merah, dimiliki oleh ahl-ut-taḥqīq,
tabir kedua dihiasai yaqut kuning, yang dijadikan sandaran oleh ahl-ut-tafrīq, tabir ketiga
dihiasi yaqut hitam, yang menjadi sandaran ahl-ul-barāzikh (99) di jalan (tharīq). Yaqut merah
untuk dzāt, yaqut hitam untuk sifat, dan yaqut kuning untuk sikap dan perbuatan. Inilah tabir
pemisah.

Kemudian ia bertanya kepadaku: “Siapa teman di perjalananmu?”

Aku jawab: “Penalaran yang benar, dan berita yang benar.”

Ia berkata: “Itulah teman yang paling mulia, ia akan menempatkannya pada tempat yang
paling nyata.”

Aku berkata: “Aku tidak tahu akar mendasar ini (al-ushūl), tapi aku ingin bisa sampai (al-
wushūl). Aku jadikan keinginanku sebagai imamku, dan Gunung Thūr (1010) di hadapanku.”

Lalu aku mendengar (suara): “Tidak akan pernah melihatku kecuali orang yang mendengar
kalamku.”

Aku pun terjerembab pingsan. Tubuhku gemeretak seakan mau lepas semua. Aku berdampar
dalam sebuah lembah. Sepasang sandalku raib, dan bekalku masih tersisa. Ketika aku tidak
melihat alam semesta, akau baru bisa melihat dengan mata.

‘AIN-UL-YAQĪN

Sālik mengatakan:

Mata (1111) itu memanggilku: “Wahai pemuda, hendak ke mana?”

Aku jawab: “Kepada Sang Amir!”

Ia berkata: “Engkau butuh bantuan sekretaris dan menteri. Keduanya akan mengantarkanmu
kepada tujuanmu. Engkau akan melihat hakikat keyakinanmu.”

Aku bertanya kepadanya: “Di mana tempat sekretaris dan menteri itu?”

Ia menjawab: “Turunmu dari tahta, kepergianmu dari ruang (1212) (dan waktu)
penanggulanmu atas baju keinginan, pembiaranmu atas amanat Tuhan, diammu dalam
perbedaan. (1313) dan masukmu ke dalam sifat tanah. Sebab engkau tidak akan bisa melihat
Yang Maha Esa kecuali melalui dari-Nya. Di sanalah antara Yang Ghaib dan Yang Syāhid
(menyaksikan dan hadir) dapat bersatu (ittihad), keghaiban-Nya adalah tabir penghalangmu
dari-Nya. Sedangkan menteri akan membantumu kepada-Nya atas seidzin-Nya. Dia (menteri)
adalah khalifah-Nya (wakil) di langit maupun di bumi, yang tahu terhadap seluruh sifat dan
asma’-asma’Nya. Dia (Tuhan) memerintahkan seluruh malaikat bersujud kepadanya (khalifah).
(1414) Tuhan menjauhkannya dari sujud yang dilakukan makhluk terlaknat (Iblis). Sungguh
bodoh siapa saja yang mengingkari dan iri hati, dan kekallah khalifah yang satu itu. Dialah
Raja sekaligus khalifah, yang memiliki semua sifat-sifat mulia. Jika engkau sampai di
hadapan khalifah itu, dan tiba di sana, maka dia akan memuliakan kedudukanmu, menjagamu,
menjadikanmu kekasih, dan mengantarkanmu kepada Tuhanmu.”

SIFAT ROH UNIVERSAL

Sālik mengatakan:

Aku berkata kepadanya: (1515) sebutkanlah sifat-sifatnya kepadaku, (1616) supaya aku bisa
mengenalnya saat aku melihatnya, dan aku bisa bersujud di hadapannya saat aku
mendatanginya.
Ia menjawab: ia tidak sederhana juga tidak tersusun, tidak mengarah ke satu arah juga tidak
berpaling dari arah itu, tidak bulat juga tidak berbagi-bagi, tidak ḥulūl (turun menyatu) ke
dalam tubuh fisik, ia adalah pembawa amanat Tuhan, tempat berkumpulnya dengan benda-
benda yang ada di hadapannya bagaikan unsur-unsur Dzāt (Tuhan) yang mengangkatnya
menjadi khalifah jika dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berada di dalam Dzāt
(Tuhan) juga tidak berada di luar sifat-sifat (Tuhan). Ia adalah sifat yang bisa kita kenal, dan
sifat tidak terlepas dari apa yang disifati. Ia adalah baharu, yang muncul (shadara) dari Dzāt
yang Qadīm dan Maha Kaya. Tuhan menganugerahinya seluruh rahasia yang tersembunyi dan
makna yang agung nan terhormat. Ia tidak memiliki bayangan, tidak satu pun ada yang serupa
serupa dengannya. Ia adalah cermin yang disinari. Engkau akan melihat hakikat dirimu
tergambar dalam cermin itu. Jika engkau melihat gambarmu sendiri maka gambar itu betul-
betul sudah tampak padamu. Ketahuilah itu. Itulah keinginanmu, dan engkau telah sampai
pada keinginan itu. Pertahankanlah!

Aku tak henti-hentinya (1717) minta ditemani, melintasi cakrawala, mengendarai tunggangan,
menempuh hamparan penuh puing-puing, menunggangi unta Ya‘malat, dan berjalan searah
hembusan angin. Aku pun berlayar di lautan, merobek hijab dan tabir-tabir, dalam rangka
mencari rupa (shūrah) yang agung ini, yang dipanggil Khalīfah. Shūrah-ku sendiri belum pernah
terlihat olehku semenjak aku meninggalkan “mata”, sampai kini aku melihatmu. (1818) Aku
pun lalu melihat diriku sendiri tanpa dusta. Karena itulah, ceritakan kepadaku, siapa dirimu
dan dari mana engkau?

Catatan:

01. 1). “Mata air tawar” dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan yang muncul dalam martabat ini bersifat
netral, dan tidak condong pada kepentingan tertentu. ↩
02. 2). Susunan kalimat semacam ini, pada dasarnya ditujukan kepada ‘Ishām bin Syahīr al-Jurmī, penjaga
pintu (rumah) an-Nu‘mān bin Mundzir. Selanjutnya, susunan kalimat tersebut lebih banyak digunakan untuk
ungkapan pertanyaan terhadap orang yang tak dikenal. ↩
03. 3). Al-Ḥallāj: al-Ḥusain bin Manshūr, lahir sekitar 244 H/857 M di Thūr, Persia, seorang sufi yang
berlebihan dalam cinta Ilahi, sehingga seluruh gerak hidupnya mengarah pada Tuhan. Ia meninggalkan
kedamaian yang dirasakan para ahli Sulūk. Ia mati dipancung karena tarik-menarik dendam pribadi dan
kepentingan politik pada 309 H/922 M. ↩
04. 4). Boleh jadi di sini pergi meninggalkan kemudahan yang hina untuk mencari maqām-maqām yang
jauh lebih tinggi. ↩
05. 5). Madīnat-ur-Rasūl adalah simbol tentang maqām Muḥammad. Sedangkan maqām Muḥammad di
sini bukan maqām Muḥammad itu sendiri, sebab maqām itu adalah suatu keistimewaan khusus untuk
beliau, namun yang dimaksud dengan maqām Muḥammad adalah maqām sebagai pengikut Muḥammad
s.a.w. ↩
06. 6). Ini adalah sebuah isyarat bahwa seluruh makhluk berlomba menjadi pengikut Muḥammad,
termasuk maqām Muḥammad. ↩
07. 7). Pemuda rohaniah di sini mengarahkan pembicaraannya kepada rahasia rohaniah Sang Sālik (Ibnu
‘Arabī). Hal ini mempertegas bahwa Mi‘rāj di sini adalah mi‘rāj yang bersifat rohaniah, bukan dengan tubuh
fisik. ↩
08. 8). Tiga tabir di sini, menurut kami, bahwa pembaca akan menemukan sendiri tafsirannya apabila
merenungi posisi dan ucapan-ucapan Nabi Khidir tentang tiga tema pembicaraan ketika sedang
berkomunikasi dengan Nabi Mūsā a.s.: pengrusakan kapal, membunuh anak kecil, dan membangun
tembok. ↩
09. 9). Barāzikh adalah bentuk jama‘ dari Barzakh. Menurut Ibnu ‘Arabī, Barzakh adalah pemisah antara dua
hal. Akan tetapi dalam realitasnya, Barzakh menampung kedua hal tersebut. Ahl-ul-Barāzikh adalah orang-
orang yang berada pada tempat di antara dua tempat (manzilah bain-al-manzilatain). Mereka berhiaskan
sifat-sifat dari dua tempat tersebut dengan sedikit-sedikit. ↩
10. 10). Ini isyarat pada Gunung Thūr Sīna, di mana Tuhan menampakkan Diri ketika Mūsā a.s.
berkeinginan untuk dapat melihat-Nya. ↩
11. 11). “Mata” di sini adalah mata yang dilihat oleh Sang Sālik di akhir bab sebelumny, yaitu bab
perjalanan hati. Pada bab kali ini, pengertian tentang makna itu semakin jelas, yaitu, mata keyakinan yang
dapat bicara kepada Sang Sālik. ↩
12. 12). Ruang di sini, menurut pendapat kami, sebuah isyarat terhadap unsur tanah yang menyusun tubuh
manusia. Seakan-akan “Mata” di sini meminta Sang Sālik untuk melepaskan beban badan yang
memberatkannya, dan membuangnya ke tanah, yaitu, melepaskan diri dari segala tuntutan-tuntutan
manusiawi. ↩
13. 13). Perbedaan di sini adalah ḥāl-ul-farq, sebuah kesadaran Sālik tentang statusnya sebagai hamba
ketika dihadapkan dengan status ketuhanan Allah s.w.t. ↩
14. 14). Ini sebuah isyarat tentang peristiwa bersujudnya para malaikat kepada Ādam a.s. – sebagai
manusia sempurna, dan peristiwa pengingkaran yang dilakukan oleh Iblīs terlaknat. Seperti dalam firman
Allah:

“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblīs. Ia enggan ikut bersama-sama
(malaikat) yang sujud itu.” (QS. al-Ḥijr: 30-31)

Firman yang lain:

“Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblīs; dia menyombongkan diri dan adalah dia
termasuk orang-orang yang kafir.” (QS. Shād: 73-74). ↩

15. 15). Di sini Sang Sālik mengatakan kepada “mata keyakinan” (‘ain-ul-yaqīn) yang telah
memperkenalkannya kepada Sang Khalīfah – yaitu Roh Univesal, pada bab sebelumnya. ↩
16. 16). Di sini Sang Sālik meminta ‘ain-ul-yaqīn untuk menyebutkan sifat-sifat Roh Universal tersebut
setelah sebelumnya telah dijelaskan tentang hakikatnya saja. ↩
17. 17). Sang Sālik terus meminta pemuda rohaniah tersebut agar merampungkan kisahnya. ↩
18. 18). Di sini Sālik berbicara dengan pemuda rohaniah. ↩

Halaman:

01 02
1-2 Mukasyafah-mukasyafah
Rohaniah yang Mendahului Mi‘raj –
Mendaki Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)


Rangkaian Pos: Bab I - Mukasyafah-mukasyafah Rohaniah yang Mendahului
Mi‘raj - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi

HAKIKAT

Sālik mengatakan:

Ia bersenandung sambil memberi petunjuk:

Wahai yang bertanya padaku (tentang) siapa aku, (berdasar) ilmu maupun bentuk… aku adalah
kitab yang (Allah) menamainya (dengan) yang tertulis. (191)

Susunan huruf yang dikandung (satu) jilid buku yang tipis, dan kita melihatnya…. pada bentangan
(Gunung) Thūr (dalam keadaan) terlipat dan terbuka.

Untuk kitab itu Allah membuatkan, di langit, sebagai (bentuk) pengagungan…. sebuah rumah
Bait-ul-Ma‘mūr yang tinggi, dengan rahasia di atas rahasia.

Allah mengalirkan perlindungan dari lathifah-lathifahNya….samudra yang di dalam tanahnya ada


api, bertawaf di Baitullāh.

Susunan huruf itu adalah pengetahuan tentang pena-pena kehendak (Tuhan)….. dalam buku tipis
yang mengandung makna neraka dan cahaya.

Jiwa adalah rumah, penghuninya rahasia kejujuran… dengannya kebaikan sempurna menjadi
terkenal.

Aku adalah pakaian, (202) aku adalah rahasia, berkatku kegelapan jagad semesta menjadi
terang, karena aku mengubahnya jadi cahaya.

Lihatlah wujudku melalui dzāt Tuhan…. maka engkau akan menemukan keyakinan pasti, dan (jika
melihat) melalui dzāt diriku (maka engkau menemukan) kebatilan dan kesalahan.

Sālik mengatakan:

Kemudian ia (pemuda rohaniah) berkata kepadaku: wahai Sang Pencari, aku adalah khalifah,
aku adalah menteri dan sekretaris itu; wakil Dzāt (Tuhan) dalam mengatur seluruh perbuatan
dari (arah) Kursi sifat-sifat, akulah contoh (mitsāl), dan engkau yang mencontoh (mitsāl).
Akulah pakaian yang memiliki kecenderungan. Akulah sekretaris yang menuliskan rahasia
(kebenaran ayat-ayat) manqūl maupun yang rasional (ma‘qūl). Aku menteri (wazīr) yang
mengurus perpindahan jisim-jisim agar bisa hadir di hadapan (Tuhan) Yang Maha Tinggi nan
Maha Mengetahui. Dzātku satu namun sifatku banyak. Bersujudlah kepadaku jika engkau
inginkan asmā’-asmā’. Ketahuilah, nama itu sendiri menunjukkan apa yang diberi nama
(musammā). Segala-galanya ada dalam dirimu. Terimalah apa yang dicukupkan untukmu.
Tahan dirimu dari apa yang tak penting untukmu.

Kemudian ia (pemuda rohaniah) berdiri dengan tergesa, dan bersenandung secara spontan:

Perhatikanlah, tak ada yang datang maupun yang kembali…. kecuali atas perintah dari Yang
Maha Kuasa.

Wahai (engkau) yang memikirkan hikmah dari (sisi) luar…. kemanusiaanmu adalah hikmah,
wahai pemikir.

Hayūlā, (213) asalnya adalah satu…. yang digerakkan oleh bahtera yang berputar.
Yang bicara (Nāthiq) dari (sisi) dzātnya adalah batin…. yang bicara dari (sisi) sifatnya adalah
lahir.

Penerimaan Hayūlā pada bentuk-bentuk adalah bagian dari dzātnya….. sedangkan dzāt Hayūlā
sebelum menerima bentuk tidak maujud.

Wujud Hayūlā bergantung pada bentuknya…. wujud makna dikehendaki Yang Maha Kuasa.

Gerakan bintang-bintang di dunia falak…. mencakup apa yang akan terjadi dan yang sudah
ada.

Mataharinya terbit di timur…. bulannya tenggelam di barat.

Ia memberlakukan hukum-hukumnya di pusat…. baik yang berakal ataupun yang tolol sama-
sama kebingungan

Lautan menghempaskan gelombangnya ke tepian…. ditarik bulan yang benderang

Matahari di angkasa sangat baik…. ia dipuji-puji oleh reranting yang hijau nan indah

Angkasa, jika terjadi Shailam (224) di sana… awan gelap yang mengandung air sangatlah baik.

Jika tumbuhan mulai tumbuh maka itu berasal dari dzātnya… orang-orang tua dan muda
minum dengan puas

Perubahan pada sifat-sifat, sedangkan jagad semesta berada…. dalam Dzāt(Nya) dan di
dalam (dzāt) kita, adalah perasaan malu yang muncul.

Dari samarnya penciptaan jisim-jisim…. ia tampak dalam pandangan mata yang terbatas.

Sedangkan akal pikiran, dari satu wujud ke wujud yang lain; dari pengetahuan akan satu hal,
adalah pengambil keputusan yang berkuasa.

Jika bumiku digoncangkan, dan matahariku dilipat, siapakah yang (akan) menyusun (lagi) dan
(yang) membentangkannya?!

Perhatikanlah hikmah tersembunyi…. yang ditutupi oleh keberasangan kita yang menjadi
penutup ini

Tampakkanlah hikmah itu dengan terhampar… bagi alam yang tetap maupun yang berputar

Semoga Allah berselawat kepada dia yang satu… cahaya terang bagi arwah-arwah kita

Selama bulan masih benderang, mentari pagi bersinar…. yang awal dan yang akhir masih
tersusun (rapi).

Sālik mengatakan:

Setelah ia menyelesaikan senandungnya itu, dan menggesekkan tongkat i‘jāz kepada biolanya,
aku bersujud di hadapannya. Aku bersimpuh seraya menyembahnya.

Aku berkata: engkaulah tujuan dan anugerah; rahasia yang diharap-harapkan.

AKAL DAN PERSIAPAN ISRA’


Sālik mengatakan:

Kemudian wujudnya menghilang dari hadapanku, hanya sifat-sifatnya yang masih tinggal
bersamaku.

Dan ketika ragaku tertidur, sementara hatiku terjaga, seorang Rasūl (malaikat – penj.)
pembawa taufik mendatangiku, menunjukkan jalan lurus padaku Ia membawa “Burrāq
Keikhlasan”, yang penuh oleh bulu-bulu kemenangan, dan tali kekangnya berupa keselamatan.
Ia membuka atap rumahku, merebahkan tubuhku, lalu membedah dadaku menggunakan
pisau kedamaian. Ia berkata padaku: “Bersiaplah untuk menaiki derajat yang kokoh.”

Hatiku dibungkus dalam sebuah sapu tangan, agar selamat dari perubahan, lalu dihempaskan
ke tepi pantai ridha terhadap segala keputusan takdir. Sisi-sisi kesetanan dibersihkan dari
hatiku, dicuci menggunakan air firman ilahi:

“Sesungguhnya hamba-hambaKu tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-
orang yang mengikut kaum, yaitu orang-orang yang sesat.” (235).

Kemudian hati Sang Sālik diliputi hikmah-hikmah tauḥīd, dipenuhi keimanan tafrīd, dilayani
pelayan kebenaran dan para penolong yang mengokohkannya. Dicaplah hatiku itu dengan
stempel kebenaran, lalu disejajarkan dengan orang yang terbaik.

Selanjutnya hatiku dijahit lagi menggunakan jarum ketenangan dan benang kesucian dari
kotoran nafsu.

Ia menyelimutiku dengan selimat cinta, lalu aku pun menaiki Burrāq Qurbah (Kedekatan pada
Tuhan). Aku diisrā’kan dari tanah Ḥarām dunia ini menuju Bait-ul-Maqdisnya hati. Selanjutnya
aku ikut Burraqku itu di depan pintunya, aku turun dari punggungnya, dan aku shalat di mihrab
Bait-ul-Maqdis hati.

Rasūl pembawa taufik itu pun terbang kencang bersamaku di atas padang kesucian, sehingga
baju nafsu terlepas dari pundakku. Aku ditawarinya arak dan susu. Aku pun meneguk pusaka
Manusia Sempurna (Muḥammad), dan membiarkan arak itu. Karena aku khawatir rahasia
akan tersingkap padaku yang dalam keadaan mabuk, sehingga orang-orang yang mengikuti
jejakku akan tersesat dan buta. Andaikan aku ditawari air sebagai ganti dari susu dan arak itu
niscaya aku memilih minum air. Karena inti dari pusaka yang kokoh tersimpan dalam firman
Allah: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” Andaikan yang diminum adalah madu maka niscaya tak seorang pun akan menerima
syariat agama. Karena ada rahasia yang tersimpan dalam madu; musnahnya hati akibat
kemarau kering.

Sālik mengatakan:

Kemudian dari ketinggian aku melihat ke lembah suci (al-wādī-l-muqaddas) (246) Rasul
(malaikat) pembawa taufik itu berkata padaku: “Lepas kedua sandalmu, jangan kecewa.” Aku
pun melepaskannya, dan aku berjalan kaki. Kemudian aku mendengar dendang ini:

Aku melepas sandal di lembah yang agung. Aku datang dengan Ba’ atas sebuah janji

Akibat raga, aku terhalang dari sifat. Aku tidak haus juga tidak puas.

Aku tidak menertawakannya, tidak pula menangisi perjalanan dan bekalku

Diriku menjadi musnah tatkala Yang Tunggal menampakkan diri dari arah lembah

Dan setelah sadar, aku menyatu dengan-Nya. Tak jelas siapa yang dibimbing dan yang
membimbing
Perbedaan bersatu padu. Penghalau unta dan penunjuk jalan berkumpul bersama

Dalam baju keagungan aku kembali menjadi seorang hamba. Dan detik demi detik adalah hari
rayaku

Aku pun berdiri di hadapan mereka untuk menjelaskan ilmu pengetahuan; aku akan bicara pada
semua penduduk kota maupun desa.

NAFS-UL-MUTHMA’INNAH

DAN SAMUDRA YANG MENYALA

Sālik mengatakan:

Kemudian aku terus terbang ke atas bersama rasul malaikat itu, menempah jalan paling
terang. Aku melihat samudra yang menyala-nyala. Semua yang susah menjadi terasa lebih
mudah.

Di tengah-tengah samudra yang luas itu aku melihat sebuah bahtera dunia. Aku merasa ingin
ke sana. Rasūl itu berkata padaku: secara umum maupun khusus, ia adalah bahteranya kaum
‘Ārifīn, di atas bahtera itulah mi‘rāj para pewaris nabi itu berlangsung.

Yang kulihat dari bahtera itu; kerangkanya rohaniah, bilangannya langit, penumpangnya
ketenangan hati, bekal makanannya lathīfah-lathīfah, tiang pancangnya mawāqif, tutupnya
berupa keyakinan, suahnya kekuatan dan kekokohan, rute jalannya syariat agama, beban
pemberatnya thabī‘at, tali-talinya adalah sebab-sebab, tempat penyimpanannya lubuk hati,
nahkodanya dalil naqlī, pemukanya (257) akal pikiran, awak kapalnya pemberian, inkiliyah-nya
(268) selamat dari hukuman, perdagangannya mawārid, barang dagangannya rahasia dan
fa’idah ilahiah, pendahuluannya ‘ināyah Tuhan di zaman azali, akhir pencapaiannya
menjauhkan keinginan dari jalan-jalan kotoran sepanjang masa, lautannya akal pikiran,
hembusan anginnya dzikir-dzikir, gelombangnya aḥwāl, doanya adalah perbuatan dan amal
kebaikan.

Bahtera itu ada berkat kemunculan huruf alif sejak dari: “Dengan menyebut nama Allah di
waktu berlayar dan berlabuhnya….” (279) sampai: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.”
(2810) Ia berlayar di samudra mujāhadah, sampai kelak arwah ‘ināyah membawanya ke tepi
pantai musyāhadah. Ketika bahtera itu berjalan di atas lautan yang penuh tipu-daya dan
selamat dari gelombang hitam perubahan, maka sang nakhoda akan menyebarkan
kelembutannya, dan meneriakkan syair yang menakjubkan:

Ketika rahasia tampak di hatiku, wujudku fanā’, dan bintangku tenggelam

Hatiku berjalan seiring rahasia Tuhan. Aku terlepas dari raga fisikku

Aku datang dari-Nya, bersama-Nya, dan menuju kepada-Nya di atas kendaraan kemauan kuat
yang indah

Di sanalah aku mencurahkan kedalaman pikiranku pada gelombang pengetahuan yang


tersembunyi

Angin kerinduanku menghembusinya. Lalu ia pun berlayar di samudra secepat busur melesat.

Aku melewati lautan dunia sampai tiba di suatu tempat yang dengan jelas aku melihat orang
yang tak bisa kunamai

Aku berkata: wahai Engkau yang terlihat oleh hatiku.


Lesatkanlah panah cinta kalian padaku

Engkaulah kebahagiaan dan cinta hatiku, puncak harapan dan nyanyianku.

Sālik mengatakan:

Kemudian rasul malaikat itu terbang ke atas lagi bersamaku hingga aku meninggalkan
samudra itu, menuju langit pertama.

Catatan:

01. 19). Seperti dalam firman Allah:


“Demi bukit, dan kitab yang ditulis, pada lembaran yang terbuka, dan demi Bait-ul-Ma‘mūr, dan atap yang
ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya ada api.” (QS. ath-Thūr: 1-6). ↩

02. 20). Pakaian: adalah penampakan (zhuhūr) sifat-sifat Tuhan. ↩


03. 21). Hayūlā adalah kata dari bahasa Yunani, kemudian digunakan oleh kaum Sufi dengan pengertian
asal dan materi. (Lihat Ishtilaḥāt-ul-jurjānī, bagian Hayūlā). ↩
04. 22). Shailam adalah peristiwa luar-biasa. Yang dimaksud dalam syair ini adalah awan gelap yang
membawa air di musim kemarau. ↩
05. 23). QS. al-Ḥijr: 42. ↩
06. 24). Al-Wādī-l-Muqaddas adalah tempat di mana Mūsā a.s. berkomunikasi langsungg dengan Allah
s.w.t. (penj.). ↩
07. 25). Pemimpin di bawah nakhoda. ↩
08. 26). Inkiliyah adalah tempat penampungan air yang ditempatkan di tengah-tengah bahtera untuk
menjaga keseimbangan badan kapal dan untuk keperluan lain. ↩
09. 27). QS. Hūd: 41. ↩
10. 28). QS. al-‘Alaq: 1. ↩

Halaman:

01 02
Langit Pertama & Kedua – Mendaki
Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)

Rangkaian Pos: Bab II - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi


BAB II
1. Langit Pertama
2. Langit Kedua
3. Langit Ketiga
4. Langit Keempat
5. Langit Kelima
6. Langit Keenam
7. Langit Ketujuh

[Dalam bab ini Ibnu ‘Arabī menceritakan perjalanannya di tujuh lapisan langit, percakapannya
bersama rahasia rohaniah para nabi yang menghuni setiap langit. Ia juga menjelaskan ilmu
dan ma‘rifat yang dimiliki secara khusus oleh masing-masing nabi di setiap langit].

LANGIT PERTAMA
Langit Wizārah, tempat rahasia rohaniah Ādam a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Rasul malaikat itu meminta dibukakan langit jisim untukku, lalu aku melihat rahasia rohaniah
Ādam a.s., di samping kanannya ada golongan aswidat-ul-qidam dan di samping kirinya ada
aswidat-ul-‘adam. Beliau a.s. memelukku layaknya seorang kekasih tercinta, dan aku
menanyainya tentang kabarnya. Beliau menjawabnya: “Wahai anakku, aku datang dari negeri
Maghribī, aku ingin pergi menuju Yatsrib. Aku menempuh perjalanan selama empat puluh
malam dengan perjalanan yang penuh kelucuan. Setibanya di sana dan semua sebab yang
kubayangkan berakhir, aku berkata kepada salah satu temanku, sahabatku paling spesial:
“Apakah di negeri kalian ada orang alim yang bisa dijadikan sandaran; seorang guru yang
dapat ditimba ilmunya?”

Ada yang menjawabku: “Di sana ada seorang guru yang pembahasan dan pandangannya
sangat mendalam, berdasar dalil naqlī dan kabar yang shaḥīḥ, gelarnya Abul-Basyar (ayah
umat manusia). Dia mengajar di Masjid al-Qamar, dia sangat menakjubkan. Antara dirimu dan
dirinya tak ada batasan khusus.”

Aku cepat-cepat pergi ke sana layaknya orang yang baru lepas dari ikatan, atau seperti orang
yang lari karena takut diberi beban berat. Aku mengikuti pelajaran darinya. Aku meminta
penjelasan tentang rohaniah jiwanya, lalu aku melihat seseorang yang sangat tampan
rupawan, bicaranya fasih. Dia berdiri menghormatiku, dan mempersilakanku dengan mulia.
Setelah menghormati kedatanganku, dia berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Orang ini
bagian dari keluargaku.” Mereka pun serempak memandangku, dan menganggapku sebagai
salah satu dari saudara dan ponolong mereka. Untuk itulah aku merasa malu, hati merasa
sangat asing dan takut.

Kemudian dia bertanya padaku: “Darimana?” Aku jawab: “Dari tempat bertemunya dua lautan,
dan tempat dua kematian.” Dia berkata keapdaku: “Engkau berasal dari diriku?” Aku jawab:
“Kepadamulah aku menuju.” Dia bertanya: “Dengan apa kita mengukurnya?” Aku jawab:
“Dengan jiwa kita yang menyatu.”
Kemudian aku berkata kepadanya: “Wahai junjungan kami, semoga ada faedah atau hikmah
yang bertambah, aku tinggal di rumahnya dan menjalankan makna-maknanya.” Dia menjawab:
“Ambillah, semoga Allah melapangkan dadamu, menerangi pundakmu, melimpahruahkan
nikmat dan kebaikan kepadamu.” Tuhan menarikku dari diriku sendiri, aku fanā’ dari diriku
sendiri, kemudian memberiku segala-segalanya untuk membawaku kepada sifat lemah.
Setelah Tuhan menyerahiku hukum-Nya, dan memberiku seluruh rahasia dan hikmah-Nya, Dia
mengembalikan diriku lagi kepada diriku sendiri, dan Dia membuat apa yang sebelumnya ada
di punggungku kini berada di depanku. Dia menjadikanku sebagai seorang kekasih, memilihku
sebagai sahabat, menjadikan ‘Arsy-Nya sebagai kasur buatku, para malaikat sebagai pelayan
dan pembantuku. Untuk itu aku menghadirkan bukti dalam setiap zaman, di mana aku tidak
menemukan seorang pun yang menyerupaiku. Kemudian Tuhan membagi diriku kepada dua
bagian, dan mengubah sesuatu menjadi dua macam. Tuhan menghidupkanku dan
memperlihatkan apa yang menghalangiku dan mengabaikanku dari-Nya. Aku berkata: “Ini
adalah aku, bukan orang lain.” Bagian yang satu pun mulai rindu akan bagian yang lain.
Sehingga tegaslah perbedaan antara dzāt dan sifat. Aku bertanya: “Wahai Tuhanku, untuk apa
bayangan ini?” Tuhan menjawab: “Apabila engkau menulis di papan tulis itu dengan Qalam,
tulisanmu dibubuhi cahaya matahari, kemudian terjadi perpaduan dan perpaduan itu
memancarkan cahaya kepada matamu, maka engkau akan tahu untuk apa Aku menciptakan
bayangan ini untukmu.”

Setelah aku menulis menggunakan Qalam pada papan Qadam maka memancarlah cahaya
rahasia keabadian padaku, di wajah ‘adam (ketiadaan). Aku saat ini mengajarkan apa yang
aku tahu, menyebarkan untuk mereka semua apa yang aku diajari tentangnya. Kemudian dia
bersenandung:

Wahai bulan rahasia, wahai yang memakaikan sutra hijau padaku

Engkau dicintai makhluk yang kering. Tanpamu nisaya kobaran neraka tidak akan paham.

Di sana engkau tertahan sebentar saja. Karena itulah engkau disebut Shāḥib-ul-Mahbas.

Di sana engkau memimpin dengan ilmu yang tampak padamu. Andai tidak begitu engkau tidak
akan memimpin.

Engkau berjalan di atas dua puluh delapan bintang yang beredar dan terbenam;

Yang banyak bertasbih, yang mengambil keputusan, yang terbuat dari tembaga, layaknya
perbuatan orang yang tak punya apa-apa.

Sālik mengatakan:

Aku merasa bahagia dengan apa yang dititipkan dan diberikan kepadaku. Kemudian ia
berkata: “Cepat-cepatlah naik, maka di langit kedua akan tampak padamu sesuatu yang
menyenangkan yang masih tersembunyi di tempat ini.”

LANGIT KEDUA
Langit Kitabah, tempat rahasia rohaniah ‘Īsā al-Masīḥ a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Rasul malaikat yang sangat terang itu meminta dibukakan langit para arwah hingga roh
ditiupkan pada kerangka tubuh, berkat menyaksikan al-Masīḥ.
Ketika hidupku sampai pada wujud al-Masīḥ, ragaku menikmati perjumpaan dengannya, di
mana cahaya menyelimuti semua arah dan sudut-sudut, dan ia dipenuhi kehebatan dan
kedermawanan, permadani kegelapan di rumah benda jisim digulung, maka ia berkata
kepadaku: “Selamat datang, kemudahan dan keluasan (bagimu). Wahai Sālik, temukan dzātku,
lihfat sifat-sifatku. Akulah yang muncul dari khazanah kedermawanan, (11) yang dicurahkan
kepada wujud pertama. Andai tanpa kehadiranku maka niscaya asmā’-asmā’ tidak akan
diajarkan, dan ia tidak akan mengungguli orang-orang yang unggul. Berkatku ia bisa bicara.
Karena diriku. Di atas dirikulah tiang-tiang dan bangunannya ditegakkan.”

Kemudian ‘Īsā al-Masīḥ memalingkan wajahnya kepada pemuda yang sangat rupawan dan
memancarkan keagungan, berbadan tinggi semampai, halus, dan berkulit kehitam-hitaman.
Al-Masīḥ berkata kepadanya: “Berdirilah, wahai penulis ilham, ambil pena dan tinta, tulis pada
diwan jisim atas perintah seorang imam, apa saja yang ditanyakan pemuda ini.”

Penulis (suruhan) al-Masīḥ, pembantu dan pengawalnya, mendatangiku. Ketika aku


melihatnya datang ke arahku, aku berdiri sambil berucap spontan:

Wahai sang penulis yang pandai, dirimu bagi manusia sangatlah menakjubkan

Engkau dimuliakan oleh seorang junjungan yang agung, sehingga hati-hati manusia berhasrat
padamu

Ketika engkau menghilang dari bola mataku maka keghaiban tersasar menuju kepada
penampakan

Andaikan tanpamu, wahai sang penulis makna-makna, maka niscaya aku tak punya
kedudukan di tempat agung ini

Tulislah ketegasan rasa aman, agar orang yang takut dan ragu merasa diberi keamanan.

Sālik mengatakan:

Penulis (suruhan) ‘Īsā al-Masīḥ, itu berkata: “Baiklah, berbahagialah, tak perlu ragu dan
bimbang.”

Salik berkata:

Kemudian penulis suruhan al-Masīḥ itu mulai menulis, ringkas dan tidak bertele-tele, sesuai
kebutuhan:

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Semoga Allah mencurahkan selawat kepada junjungan kami Muḥammad yang agung.

Ini adalah kewalian dan keamanan, yang diperintahkan oleh Rūḥ-ul-Arwāḥ, khalīfat-ur-Raḥmān.

Ketika bagi al-Masīḥ sudah jelas dan tegas – tatkala pewahyuan berlangsung – bahwa peran
Ādam berhenti pada dirinya, panah peran Muḥammad melesat padanya, dan panah itu tepat
mengenai sasaran sesuai perkiraan, sementara al-Masīḥ sendiri tahu bahwa panah itu
memang mengenai sasarannya, dan dirinya memperoleh bagian paling sempurna serta paling
banyak dari peranan-peranan tersebut, maka al-Masīḥ menuliskan pesan tersebut untuk Sang
Wali Mulia ini.

Janji Allah kepada Sang Sālik, amanah-Nya untuk dia, dengan pandangan yang benar
mengenai beban yang dipikulkan kepadanya, dan pemenuhan atas janji yang dibuat, di mana
amanah itu diserahkan kepada Sālik oleh Khalīfah (‘Īsā al-Masīḥ a.s.), ketika dia merasa yakin
bahwa Sālik akan memenuhinya, menjaganya, memeliharanya, menerapkannya dalam hukum,
meninggalkan kemuskilan-kemuskilan prasangka, dan tetap berada dalam batas-batas yang
digariskan oleh Sang Imām.

Jika Sālik mampu mengubah sangkaan Sang Imām menjadi pengetahuan yang pasti, lalu
Sālik memimpin rakyatnya baik dalam kondisi perang maupun damai, berbuat adil dalam
menerapkan hukum dan keputusan, bersikap rendah hati dalam status kewalian dan
kebijaksanaannya, maka kami akan melanggengkannya sebagai seorang wali dan kami akan
menolongnya. Jika Sālik keluar dari persyaratan ini maka akan kami cabut dan kami ganti
dengan orang lain. Kami memiliki prasangka bahwa Sālik akan memenuhi persyaratan
tersebut, dia akan berjalan bersama rakyatnya di jalan yang paling mudah.

Dan kalian semua tanpa kecuali, tidak akan menemukan tempat mengadu selain Allah. Kami
di sini menyerahkan semua urusan kalian kepada “singa” yang kuat, seorang yang mulia,
agung dan dibela. Kami bermaksud memberi kalian anak panah yang bagus. Kami akan
menolong kalian dengan seorang cendekia paling berani. Apa yang dia katakan adalah apa
yang kami katakan. Apa yang dia perbuat adalah apa yang kami perbuat. Dengan lidah kami
dia bicara, dan dari hati kami dia mengungkapkannya.

Dia berjanji kepada kami akan menghidupkan golongan kalian yang sudah mati menghimpun
yang tercerai-berai dari kalian, memberi keamanan pada malam-malam kalian, menyuburkan
tetumbuhan kalian, mengajarkan apa yang belum kalian tahu, dan memberi tahu kalian bahwa
kalian akan kembali kepada kami.

Jika masa berlangsung lama, bilangan berlipat-ganda, maka katakanlah: “kami dengarkan dan
kami patuhi”. Jangan pernah mengatakan apa yang pernah dikatakan orang-orang sebelum
kalian: “kami dengarkan dan kami ingkari”. Kami hancurkan mereka sebagai tawanan, kami
bunuh mereka di lembah dan dataran tingginya, kami lumat mereka sehalus-halusnya, dan
siksaan memang layak untuk mereka sehingga mereka betul-betul hancur lebur, tak ada
seorang pun yang tersisa, awan gelap dan hujan batu menyeluruh ke segala penjuru.

Jangan pernah terbersit untuk keluar dari garis kami, jangan berlambat-lambat ketika utusan
kami itu memerangi musuh, seakan-akan siksaan menimpa kalian. Jika kalian ingkar maka
apa yang kami janjikan kepada kalian betul-betul akan terjadi.

Kita sekarang menunggu apa yang akan disampaikannya tentang diri kalian, dia akan
menyampaikan kepada kita semua tentang diri kalian, dan apa yang terjadi akan berlaku pada
kalian. Amal perbuatan kalian akan dikembalikan kepada kalian sendiri. Jika perbuatan baik
maka akan berbalas baik, jika buruk maka akan buruk pula balasannya. Barang siapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya pula. (22) Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, (33)
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (44) Dan
hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mu’min bertawakkal. (55)

Semoga Allah berselawat kepada Muhammad penutup para nabi, dan segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam. Keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya semoga terlimpah kepada
kalian.

Sālik mengatakan:

Aku mendapat keamanan yang nyata, aku menjadi penerjemah antara dia dan kekuasaannya.
Ketika dia melihat keadilan sikapku dalam apa yang aku putuskan dan kebenaranku dalam
setiap hukum yang aku jalankan, maka ia berkata: “Sungguh bagus apa yang engkau lakukan,
dan aku akan memberimu ganjaran. Sebab tidak seorang pun yang menyamai dirimu, dan tak
seorang pun yang adil seperti dirimu. Di atas maqām ini masih ada maqām agung lain, tempat
mulia untuk menyaksikan langsung, rumah kebahagiaan, bukan penderitaan; ia adalah maqām
keindahan, tempat memperindah.”

Sālik mengatakan:

Keinginan hati mulai bergejolak untuk mendatanginya, hati ingin segera mengoyak tabir yang
menutupinya.

Catatan:

01. 1). Ini sebuah isyarat tentang kelahirannya yang tanpa seorang ayah. Allah s.w.t. berfirman:

“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan
kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya al-Masīḥ ‘Īsā
putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan
(kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk
di antara orang-orang yang saleh.” Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.” Allah berfirman (dengan perantaraan Jibrīl):
“Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan
sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia.” (QS. Āli ‘Imrān: 45-47). ↩
02. 2). QS. az-Zalzalah: 7-8. ↩
03. 3). QS. al-Muddatstsir: 38. ↩
04. 4). QS. Āli ‘Imrān: 97. ↩
05. 5). QS. Ibrāhīm: 11. ↩

Halaman:

01 02 03 04
Langit Ketiga & Keempat – Mendaki
Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)

Rangkaian Pos: Bab II - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi


LANGIT KETIGA

Langit Syahādah, tempat rahasia rohaniah Yūsuf a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Kemudian rasul malaikat itu meminta dibukakan langit jamāl (langit keindahan) untukku;
tempatnya keagungan. Langit pun dibuka. Salam diucapkan. Kunci keamanan langit
diserahkan padaku. Aku mulai beranjak menuju penghuni istananya, penguasa kotanya.
Melalui ke-fanā’-annya aku bisa melihat seluruh penghuni langit keindahan itu. Aku berjalan
mendekati penjaga gerbangnya. Aku bertanya pada penjaga itu tentang apa yang sedang
terjadi, mengapa pula banyak sekali yang berkumpul di sini? Ia jawab: sedang ada akad nikah,
ada pesta pernikahan yang disaksikan bersama.

Sālik mengatakan:

Aku melobinya, ia pun mengidzinkanku. Aku masuk ke acara itu dengan berani dan tanpa
perasaan takut. Aku segera mengucapkan salam, dan salam dijawab. Bulu sayap-sayapnya
rasa malu dipangkas dan dipatahkan. Mempelai perempuan masuk ke dalam kelambu, dan
menurunkan tabir penutupnya.

Lalu aku berdiri di atas kaki pujian. Aku mulai berdzikir dengan menyebut Dzāt yang
mempunyai asmā’-ul-ḥusnā. Dengan selawat aku memuji orang yang qāba qasaini aw adnā
(sedekat ujung busur kepada Allah atau lebih dekat lagi; yakni Muḥammad s.a.w.). Tiga kali
aku memercikkan pujian wangi nan semerbak itu kepada orang yang menyandang derajat
mulia itu. Aku berkata:

Selamat datang di pesta pernikahan bahagia ini, di perayaan indah nan mulia ini, yang
kebahagiaannya memancar dan memenuhi seluruh hati, yang meramaikan negeri-negeri jauh
dan menghiasinya, yakni di pernikahannya pemimpin kaum babil, menyerangnya dengan
panah, Aku belum pernah melihat pernikahan semacam ini di antara raja-raja, belum pernah
melihat tabir-tabir orbit diturunkan untuk menutupi singgasana bintang, belum pernah melihat
kemuliaan yang dikenal melebihi sebelumnya, belum pernah melihat ada kebahagiaan yang
disepakati sebagai kebahagiaan di atas bahagian, belum pernah melihat perayaan semacam
ini yang diharapkan semua orang, belum pernah pula melihat dekatnya matahari di bait-ul-
ḥaml. Semua itu demi mendatangkan segala macam kebahagiaan, untuk merangkai kembali
potongan-potongan kebaikan yang berdekatan, dan untuk menampung rembulan-rembulan
kemuliaan dan pancaran cahaya-cahaya. Sehingga wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-
laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (61) Untuk
kalian semua, semoga kalian dilimpahi kebahagiaan dan keberuntungan, dianugerahi
kehidupan yang penuh berkah dan kebaikan, selamat bersuka cita bersama, di tempat saling
mempererat diri ini, dan masuklah dengan damai dan aman, serta semoga diberi keturunan
yang baik.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta jagad. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada
Muhammad dan seluruh nabi yang lain.

Sālik mengatakan:
Selesai berucap dan sesudah aku membacakan selawat serta salam, sedikit demi sedikit kain
kelambu itu bergerak, lalu terdengar suara lembut selembut sentuhan semilir angin. Dia
berucap begini:

Barang siapa yang mempelai prianya adalah mawar yang berkemilau, sungguh ia telah
bermahkotakan bintang dan berterompahkan bintang pula

Duhai bunga mawar di taman, yang wanginya semerbak minyak misik, apakah mawar yang lain
sewangi mawar ini?

Sālik mengatakan:

Aku berkata kepada mempelai perempuan itu: tentangmu aku sudah tahu, barusan aku
menyebut sifat-sifatmu, darimu kini aku ingin engkau menjelaskan maqam tuanmu
(suamimu) ini, dan kabar tentangnya, aku ingin engkau memberitahuku segala hal baik-buruk
yang menyangkut dirinya.

Lalu mempelai perempuan itu menjawab:

Wahai pemuda asing, cerdas dan jarang ketemu, aku akan mengabarkan kepadamu tentang
yang dulu maupun yang baru, berkenaan dengan orang yang sangat alim dan mengetahui
segala hal. Namun ketika engkau menanyakan suatu hal yang tak bisa dicapai, tentang suatu
sifat yang tak bisa ditangkap dan dimiliki oleh pengetahuan apapun, maka sudah pasti aku
akan menggambarkannya padamu sesuai ukuran pemahamanmu, aku akan menyampaikan
kabar tentangnya sesuai dengan apa yang bisa dipahami olehmu.

Mempelai perempuan itu pun memberi isyarat kepadaku dari balik tabir, kelambu yang terjaga.
Ia berkata:

Dia adalah orang paling terpercaya di antara mereka yang dapat dipercaya, ketampanannya
para nabi, juga suami yang rupawan. Roh-roh menampak padanya, dan membakar tubuh
manusiawinya. Ada seorang perempuan yang ingin dia keluar dengan perasaan rindu, dan
patuh sebagai budak. Namun dia memalingkan wajahnya dan menolak. Sungguh dia
menorehkan luka dan tidak mengobatinya. Malahan dia meminta yang lain (dipenjarakan). Dia
menundukkan nalar logika, mengalahkan semua agama. Dia bagaikan pedang kamatian bagi
seluruh musuhnya, yang jauh maupun dekat. Juga bagaikan mata air kebahagiaan dan nikmat
bagi para pencinta, yang jauh maupun dekat.

Bintang-bintang di langit bersujud padanya. Hati para pengawal raja tunduk dalam hidupnya
yang telah berlalu. Kerajaan menganugerahinya kunci-kunci kekuasaan, mengenakan jubah
sutra kepadanya. Kendali kekhalifahan diserahkan padanya. Dia pun menjaga janji dan
tanggunjawabnya. Dia terus-menerus memimpin pemerintahannya dengan pandangan yang
baik. Dia menegakkan kekuasaannya dengan hasil pemikiran yang sangat jernih. Sehingga
daulah betul-betul tegak kokoh. Kebaikan-kebaikan menyebar ke segala penjuru kota maupun
desa. Dia tampil bagaikan matahari yang benderang di tengah-tengah para pembesar, satu-
satunya pemuka di kalangan kerajaannya. Tak ada satu pun yang berada di luar
kekuasaannya. Bajunya kembali, dan kehilangan dirinya menyebabkan kebutaan.

Sālik mengatakan:

Lalu aku pun mendengar sebuah keajaiban. Mempelai wanita itu berpesan agar aku mencari
nasab di langit keempat, di sana aku diharap mendapat sebab.

 
LANGIT KEEMPAT

Langit Imārah, tempat rahasia rohaniah Idrīs a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Bersamaku rasul malaikat itu meminta dibukakan pintu langit al-i‘tilā’ (langit mulia). Ada suara
menyambutku: “Selamat datang, tuannya para wali. Perlindungan akan menjaga ragamu yang
sederhana itu.” Aku membalasnya: “Sungguh menyenangkan berita gembira yang anda
sampaikan dan anda jelaskan. Demi maqām anda yang mulia, siapa anda?” Ia menjawab: “Aku
adalah tambang keagungan, dari keturunan yang baik, Abul-‘Alā’ (Bapak Kemuliaan), raja
matahari.”

Demi agungnya apa yang kutemukan maka aku bersyair:

Berbahagialah orang timur di tempat suci. Bersama matahari yang cahayanya menghapus
kegelapan alam kubur

Ia tidak menyerupai apapun. Hanya satu adanya. Tidak dapat dijelaskan dengan definisi maupun
jenis tertentu Kami mengetahuinya, dalam kesempurnaan wujud kami, bagaikan kelelawar
melihat kilau cahaya matahari

Allah memiliki cahaya, ia diberi risalah; risalah yang terjaga dari prasangka, perkiraan, dan
taksiran

Cahaya itu datang pada kita dengan membawa risalah.

Sementara hati kehausan, rindu akan malaikat yang mulia, di tempat kesucian.

Ia pun datang, namun kebanyakan rumah tidak merayakan pesta. Ia pun berbicara kepada
rumah-rumah itu, dari atas sandal dan kursi:

Akulah mempelai prianya, dan pengantin perempuan yang mulia adalah risalahku. Allah memiliki
hamba yang menjadi mempelai pria juga mempelai wanita

Untuk kalianlah aku menanam batang pohong amanah, dan kepadakulah buah pohon itu akan
didatangkan

Aku mulai mencintai tabligh (berda‘wah – penj.), setelah semua perkara yang membuatku
melampaui manusia dan kesenangan, sudah nyata.

Aku bahagia. Lesatanku memancarkan kilatan cahaya.

Aku menyeberangi samudra ghaib dengan bahtera indra perasaan

Aku tidur. Namun kelopak mataku tak pernah tidur di waktu pagi. Aku lebih tinggi, tanpa rasa
sombong, daripada jinn dan manusia.

Duhai jiwa, ini adalah kebenaran, yang keberadaannya sangat benderang. Duhai jiwa-jiwa, juga
jiwaku, janganlah engkau mengingkari.

Sālik mengatakan:

Dia (Idrīs a.s.) tertawa seperti kilatan petir, yang membelah gelapnya perbedaan. Dia berkata:
Bagaimana pendapatmu? Aku ingin menjelaskan padamu tentang hakikatku, dan kedalaman
telagaku akan membuatmu menemukan keanehan-keanehan. Wahai Sālik, apakah engkau
tahu bagaimana mereka fanā’, cahaya pudar pelan-pelan, pikiran-pikiran sirna, sungai-sungai
meluap, bunga-bunga semerbak, hakikat isthilām (72) semakin jelas, dan bumi berkilauan
cahaya? Akulah yang akan menunjukkan pada keabadian, aku adalah tempat untuk mendaki
menuju tempat perjumpaan. Akulah petunjuk yang paling benar pada arah jalan yang paling
lurus. Aku tidak diatur, dan tidak pula berhenti padaku. Aku bersemayam di atas
singgasanaku. Aku berbaring di atas permadani ajaran-ajaranku. Benar adanya apa yang aku
inginkan. Dan aku memuji akhir dari keyakinanku.

Sālik mengatakan:

Aku menerima saja apa yang disampaikannya. Andai aku meminta tambahan niscaya ia akan
menambah (penjelasannya).

Catatan:

01. 6). QS. an-Nūr: 26. ↩


02. 7). Suatu kondisi kebingungan yang menghantui hati seorang hamba Tuhan. Sehingga ia tunduk di
bawah kendalinya. Lihat Isthilaḥāt Ibnu ‘Arabī tentang arti Isthilām. ↩

Halaman:

01 02 03 04
Langit Kelima & Keenam – Mendaki
Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)

Rangkaian Pos: Bab II - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi


LANGIT KELIMA

Langit Syurthah, tempat rahasia rohaniah Hārūn a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Lalu rasul malaikat itu minta dibukakan pintu langit Syurthah untukku. Ia berkata padaku: “Aku
telah meminta agar pintu langit yang pernah ditempati orang yang diberi keluasan ilmu
dibuka.” (81).

Ketika pintu dibuka, penjaga pintu gerbang langit kelima ini menoleh ke arahku, dan
penjaganya mendatangiku. Mereka bertanya: “Siapa yang datang? Siapa yang akan melintasi
jalan ini?” Aku jawab: “Seorang tamu yang datang atas perintah pemilik tempat ini.
Perjalanannya tak begitu jauh. Ia menempah padang gersang. Melintasi cakrawala. Dialah
yang menghentikan perjalanannya di halaman rumahnya. Siapa yang bertanggungjawab
mengabarkan kedatangan dan istirāḥ-nya kepada orang-orang yang bermuqim? Andai bukan
karena ada sesuatu yang telah terjadi dan ada sesuatu yang menyelimuti, yang menyebabkan
bergeraknya anak lembu, dan disiapkannya suara anak lembu itu oleh seorang pendusta, maka
niscaya aku tidak melintasi kawasan ini.”

Pengawal yang berpakaian merah itu tiba-tiba tergesa, dan berkata: “Selamat datang, tuan
besar kami. Akulah yang bertanggungjawab menyampaikan kedatangannya, dalam hiasan
kebesarannya. Bukankah anak panah hanya akan digunakan pada perang panah, bukankah
buku-buku Julianus (92) hanya dibuka ketika akan mengobati penyakit akut?”

Pengawal itu kemudian mengajakku masuk menemui Hārūn a.s. Dia mempersilakan aku
duduk di depannya. Setelah melihat diriku, ia berkata: “Allah menghidupkan seorang tuan.”
Kemudian dia berkata kepada wazīr-nya: “Bicaralah kepadanya tentangku dengan lidah
kebenaran. Beritahu dia tentangku, antara hikmah dan perintah.”

Si wazīr itu bergegas dengan mantap, dan dengan suara tegas berucap:

Inilah dia san khalifah, tuan bagi seluruh alam. Dia adalah al-Maqām, ar-Rukn, dan al-Ḥarām

Dia memimpin manusia, namun kepemimpinannya tidak tampak. Ketika anak lembu dan berhala
(103) terlihat mata, ia tak henti-henti mengajak beberapa kaumnya itu

Keinginan kaum itu selamanya adalah meraih apa yang diraih Musa. Mereka tidak tahu bahwa
mata kepala adalah penghalang

Setiap kali mata hati memandang sesuatu maka dzāt sesuatu itu adalah tiada.

Khalifah yang mulia ini, yang terpelihara dan baik hati, diberi minum menggunakan cawan
kerendahan hati, oleh seseorang yang berteduh di tempat teduh, (114) lalu ia (Mūsā)
memanggil dengan seruan penuh kasih-sayang. Ia (Mūsā) sudah tahu bahwa hari itu tak akan
ada satu pun yang bisa menyelamatkan dari siksa Allah kecuali Dia Yang Maha Mengasihani.
(125) Kemudian Allah membuat keduanya (Mūsā dan Hārūn) sama dalam cahayanya dan
terangnya. Keduanya unggul dalam kemunculannya sebagai khalifah. Maka tak seorang pun
binasa (celaka) yang sudah mengenal siapa dia. Dan cahaya matahari tidak patut dipuji
apabila tidak menerangi purnamanya.

Sālik mengatakan:

Aku menemukan mutiara-mutiara (ucapannya). Aku mengambil seberkas cahayanya. Aku


mendapatkan apa yang selayaknya didapatkan, lalu aku melanjutkan perjalanan.
 

LANGIT KEENAM

Langit Qudhāt, tempat rahasia rohaniah Mūsā a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Rasul malaikat pembawa ilham itu minta dibukakan pintu langit kalam untukku. Aku pun
melihat rohaniah Mūsā a.s. Bersegeralah aku mengucapkan salam. Aku bersimpuh di
hadapannya dengan perasaan patuh. Di depan Mūsā a.s. ada seorang syaikh yang tampan,
badannya tidak pendek juga tidak terlalu tinggi.

Mūsā a.s. berkata kepadaku: “Syaikh ini adalah Qādhī-l-Qudhāt, pemimpin para wali, di
tangannyalah tergenggam seluruh hukum-hukum langit. Dia datang kepadaku ketika ada
masalah yang tidak dipahaminya. Saat ini aku menitipkan hukum-hukum langit itu kepadanya.
Maka ambillah olehmu bagianmu sendiri yang ada padanya. Ketahuilah bahwa engkau
bertanggungjawab atasnya.”

Kemudian Mūsā a.s. berpaling ke arah syaikh itu, dan berkata: “Wahai Qādhī, ringkas
permintaanmu dalam ungkapan yang padat. Terimalah jawabannya dengan isyarat yang
singkat!”

Qādhī itu berkata: “Seorang hamba yang hina-dina, bertanya kepada tuannya yang agung nan
mulia, apakah dapat dibenarkan ke-fanā’-an substansi (fanā’-ul-ismi) sementara bentuknya
tetap kekal (baqā’-ur-rasmi)?”

Sang Imām berkata kepada Qādhī itu:

“Wahai Qādhī, tidakkah engkau tahu bahwa semua makhluk itu majbūr (dikendalikan).
Bagaimana mungkin makhluk yang terbatas dapat menangkap hakikat?! Ucapan seorang
yang ‘ārif pasti absurd (mustahil, tidak masuk akal), dan tempat diutusnya di Barat. Sedangkan
ucapan seorang pewaris nabi (al-wārits) sangat jelas, dan tempat diutusnya di Barat dan
Timur. Seorang pewaris Muḥammad menelanjanginya segala rahasia, dan menyelimuti pagar-
pagarnya. Hatinya diliputi hakikat. Hatinya tidak tertipu oleh petunjuk jalan. Ia terlepas dari
perubahan. Kehendaknya ditampakkan secara nyata, sehingga ia bersemangat untuk terus
berjalan. Melalui dirinya sendiri ia dapat melihat Dia. Melalui perbuatan dirinya sendiri ia dapat
melihat asmā’-asmā’Nya. Dan melalui bumi-Nya ia dapat melihat langit-Nya.

Kemudian keseluruhan dirinya mengalami fanā’. Sifat-sifat ketuhanan bersemayam di atas


‘Arsy-nya. Di sanalah, kekekalan bentuk ‘ubūdiyyah (penghambaan) dapat dibenarkan. Tentang
yang demikian itulah, lalu ada orang yang mengatakan: “Janganlah engkau menceritakan
rahasia ketuhanan.” Apabila seorang pewaris nabi telah lenyap dari dirinya sendiri maka tak
ada satu pun yang berguna selain kebangkitan dirinya dari alam kubur. Ia fanā’ dari gerak dan
perasaannya sendiri. Apabila ia sudah tenggelam dalam samudra ini maka ia tenggelam
dalam anugerah ilahi. Maka wajiblah ia mengerjakan ibadah fardhu maupun sunnah.”

Sang Qādhī itu pun menyatakan dan mengakui akan kesembuhan dirinya. Ia pun
berterimakasih atas apa yang sudah didengarnya, lalu ia pergi.

Sālik mengatakan:
Kemudian Musa a.s. memalingkan wajahnya ke arahku. Dia membaca firman Allah: “Dan bagi
tiap-tiap umat ada qiblatnya (sendiri).” (136) lalu ia berkata:

“Ketahuilah bahwa engkau sedang dalam perjalanan menuju Tuhanmu. Dia akan
menyingkapkan rahasia hatimu, dan memberitahu kepadamu tentang rahasia-rahasia kitab-
Nya. Dia akan memberimu kunci untuk membuka pintu-Nya, supaya pusaka warisan untukmu
semakin sempurna, dan statusmu sebagai utusan dapat dibenarkan. Inilah bagian milikmu
dari firman yang berbunyi: “Dia memberi wahyu kepada hamba-Nya.” Akan tetapi janganlah
engkau berharap mendapat perlakuan khusus dengan memperoleh syariat yang akan
menghapus (syariat sebelumnya) dari-Nya. Jangan berharap mendapat kitab wahyu. Pintu
(syariat) telah tertutup. Sebab Muḥammad s.a.w. adalah penyempurnaan bangunan. Dalil
apapun yang menyalahinya pastilah salah.

Selanjutnya, setelah engkau memperoleh maqām ini dan mendengar apa yang dikatakan
Sharīf-ul-Aqlām, maka engkau akan pulang sebagai utusan. Mengingat dirimu sebagai ahli
waris maka engkau juga akan mewariskannya.

Engkau harus bersikap lembut dalam mengajarkan hukum kepada makhluk. Sebab perbedaan
(147) adalah alasan bagi ketidakmampuan dalam menanggung janji, dan mengerjakan sampai
batas puncak. Mintalah kepada Tuhanmu saat engkau bermunajat kepada-Nya. Mintalah
keringangan dalam segala hal untuk rakyatmu selagi Dia belum mengatakan: “Kata-kataKu tak
lagi bisa diubah.” Sebab apabila engkau sudah mendengar pernyataan tegas tersebut maka
tak ada gunanya terus meminta dan menunggu. Mintalah pertolongan-Nya selama engkau
masih menjabat sebagai pengatur alam semesta. Demi Allah, selama ini aku tidak pernah
terbebani oleh kesusahan apapun, semua rintangan dapat teratasi.

Ini adalah wasiatku. Pahamilah. Dengan wasiat itu aku menunjukkan jalan paling mudah
kepadamu. Maka pegang teguhlah.”

Sālik mengatakan:

Demi Allah, wahai tuanku. Sungguh aku tahu bahwa semua peengetahuanmu sudah
ditetapkan, dan tali-tali hakikat terpaut padamu.

Dia (Mūsā) berkata padaku: “Siap yang mengatakan ucapan yang benar tentangku ini.
Mungkin saja ia adalah kata-kata makhluk yang berasal dari Tuhan.”

Aku berkata kepadanya: “Dalam syairku akan lebih jelas padamu tentang apa yang aku
ketahui.”

Dia menjawab: “Bacakanlah supaya aku tahu sampai di mana derajatmu, dan aku akan
mengidzinkanmu lewat, apabila engkau fasih menjelaskan pernyataanmu itu.”

Sālik mengatakan:

Aku pun membacakan syair itu:

Rahasia dan keinginan seorang pejalan malam (158) terdapat di antara persetujuan dan
pengingkaranku terhadap sesuatu yang aku beli.

Mengapa engkau tidak berkata: aku telah menitipkan rahasia keduanya. Akulah orang yang
rahasia-rahasianya diberitahukan kepada para arwah.

Akulah yang diajak bicara dari balik api yang menghalangiku dari cahaya. Maka aku berbicara
kepada cahaya yang terdapat pada api.

Akulah yang menciptakan alam semesta dalam keadaan gelap gulita. Andaikan kami
menghendaki lain niscaya alam diliputi cahaya

Akulah yang menaruh rahasia-rahasia di atas telapak tangan yang tengadah, yang tak akan
pernah dimiliki oleh orang-orang yang celaka.

Duhai engkau yang memukulkan tongkat kepada tanah keras, matahari, bulan, dan tanah yang
memiliki tetumbuhan

Sungguh menakjubkan sebatang tongkat yang memukul batu. Tataplah orang yang memukul itu
dari balik tabir-tabir

Engkau sungguh terang-benderang. Tak seorang pun yang tidak mengetahui tentangmu, kecuali
mereka yang tidak mengenal Tuhan Yang Maha Pencipta.

Aku menunggangi unta, melintasi Barat dan Timur siang dan malam, agar bisa berjumpa kalian.

Tapi aku tidak menemukan kalian, dan tidak pula mendengar kabar kalian. Ya bagaimana
mungkin telinga di balik pagar dapat mendengar?!

Atau, bagaimana mungkin aku mengetahui orang yang tidak serupa denan sesuatu pun. Karena
aku melampaui batasku sendiri, maka aku tidak mengenalmu

Engkau menghalangi dirimu sendiri dalam menciptakan makhluk. Engkau bagaikan rahasia
dalam rohanilah al-Qārī

Engkau adalah satu-satunya orang, di mana zaman terdesak olehnya. Engkau disucikan dari
jagad semesta, juga dari langit dan bumi.

Sālik mengatakan:

Segala puji bagi Allah yang telah membuatku kokoh dengan apa yang dianugerahkan
kepadamu (Mūsā), Dia yang telah menyingkapkan untukmu segala rahasia yang
menghalangimu.

Catatan:

01. 8). Orang yang diberi keluasan ilmu berdasarkan ayat al-Qur’ān adalah Raja Thālūt. Allah s.w.t.
berfirman dengan bahasa Bani Isrā’īl: “Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih (Thālūt)
rajamu, menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”……. Allah memberikan pemerintahan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-
Baqarah: 247). Akan tetapi yang dimaksudkan di sini adalah Nabi Hārūn a.s., ia memiliki keahlian
berbahasa bagus berdasarkan kesaksian Nabi Mūsā a.s.: “Saudaraku Hārūn dia lebih fasih lidahnya
daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku;
Sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku” (QS. al-Qashash: 34). ↩
02. 9). Julianus adalah seorang dokter Yunani abad 2 SM. Dia memiliki penemuan-penemuan penting
dalam penyembahan. Dia menjadi rujukan utama pada dokter ‘Arab. ↩
03. 10). Kepemimpinan Nabi Hārūn a.s., atas umatnya tidak nampak. Sementara kaumnya itu terus saja
menyembah patung anak lembu sampai Nabi Mūā a.s. datang Allah s.w.t. berfirman: “Kemudian Sāmirī
mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Maka mereka
berkata: “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Mūsā, tetapi Mūsā telah lupa”. Maka apakah mereka tidak
memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat
memberi kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan? Dan sesungguhnya Hārūn telah
berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak
lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah
perintahku”. Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Mūsā kembali
kepada kami”.” (QS. Thāhā: 88-91).

Yang dimaksudkan di sini adalah Nabi Hārūn a.s. terus mengajak kaumnya bertaubat, di mana mereka ingin
meraih apa yang diraih oleh Nabi Mūsā a.s., yakni mereka ingin melihat Allah s.w.t. ↩

04. 11). Yang dimaksud adalah Nabi Mūsā a.s., Allah s.w.t. berfirman: “Maka Mūsā memberi minum ternak
itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku
sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.” (QS. al-
Qashash: 24). ↩
05. 12). QS. Hūd: 43 berbunyi: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari ‘adzab Allah selain Allah (saja) Yang
Maha Penyayang” ↩
06. 13). QS. al-Baqarah: 148. ↩
07. 14). Perbedaan dunia Tuhan dan makhluk. ↩
08. 15). Yang dimaksud di sini adalah orang yang mengalami Isrā’ Mi‘rāj melalui mimpinya. ↩

Halaman:

01 02 03 04
Langit Ketujuh – Mendaki Tangga
Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT

Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Diterjemahkan dari:

Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj

Karya:

Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

Penerjemah: Imām Nawawī

Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)

Rangkaian Pos: Bab II - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi


LANGIT KETUJUH

Langit Ghāyah, tempat rahasia rohaniah Ibrāhīm a.s.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Sālik mengatakan:

Rasul malaikat yang mulia itu minta dibukakan pintu langit tempat al-Khalīl (Ibrāhīm a.s.).
Akupun melihat rohaniahnya mengelilingi Bait-ul-Ma‘mūr, (161) dalam limpahan cahaya. Di
mengucap salam, dan memberi sambutan hangat. Dia betul-betul menghormati dan
memuliakan.

Aku berkata kepadanya: “Wahai Akh-ul-Qirā, yang menyeru keturunannya datang ke Umm-ul-
Qurā, (172) beritahu aku tentang hakikat maqāmmu yang mulia itu.” Dia menjawab: “Ketika
engkau mengutamakan makananmu. Duhai anakku, tidakkah engkau tahu, andai kata bukan
karena kemurahan (Tuhan) maka tidak akan ada wujud semesta ini, andai kata tak ada
kemuliaan maka tidak akan ada kebijaksanaan, dan andai kata tak ada makanan maka tak
akan tampak rahasia-rahasia.”

Sālik mengatakan:

Aku berkata kepadanya: “Aku ingin masuk ke dalam Bait-ul-Ma‘mūr, maqām yang sudah
terkenal itu.” Dia menjawab: “Ada syaratnya, seperti dalam sebuah kitab yang tertulis, dalam
lembaran yang terhampar.” Aku berkata kepadanya: “Tunjukkan padaku, sehingga aku bisa
melihatnya.”

Sālik mengatakan:

Dia (Ibrāhīm a.s.) memanggil Kiwān yang begitu mulia, (183) bagi para wali, selain wali dari
umat Muḥammad dan maqām-maqām shiddīqiyyah (kejujuran). Kiwān ini adalah penjaga peti
dan pemungut pajaknya. Ia datang secepatnya, dan duduk di hadapannya. Ibrāhīm berkata
kepada Kiwān itu: “Bukakah peti cahaya itu, bawa padaku kitab yang tertulis itu?”

Sālik mengatakan:

Kiwān itu pun segera menyerahkan isi peti itu. Al-Khalīl berkata kepada Kiwān: “Serahkan kitab
itu kepadanya.” Aku pun membuka sampulnya. Aku sentuh tulisan dan lembarannya. Di sana
tertulis:

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Lā ilāha illallāh, muḥammadun rasūlullāh.

Ini adalah rumah Tuhan (bait-ul-ḥaqq), tempat kejujuran, ruang pertemuan dan perpisahan,
rahasia barat dan timur, ia berlarang bagi setiap orang dari maqām apapun, kecuali maqām
orang yang dekat dengan Rafīq A‘lā, kemudian ia mendekati maqām yang amat agung, sehingga
Dia dekat (pada Muḥammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi), (194) yakni,
maqāmnya Muḥammad, manusia pilihan itu.

Lalu Dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muḥammad) apa yang telah Allah wahyukan.
(205) Dengan itu, ia bisa memahami secara jelas arti: hatinya tidak mendustakan apa yang
telah dilihatnya, (216) berupa hakikat-hakikat kedekatan dalam Isrā’.
Dan sesungguhnya Muḥammad telah melihat Jibrīl itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu
yang lain, (227) dan Ādam masih dalam bentuk air dan tanah di Sidrat-ul-Muntahā, (238) di
mana yang awal dan yang akhir bertemu, waktu yang dulu, sekarang, dan yang akan datang
semuanya sama, di dekatnya ada surga Ma’wā, tempat tinggalnya orang-orang al-Wāshilīn
yang hidup. (249).

Ketika mereka menyaksikan Dzāt (Tuhan), Dia menempatkan mereka dalam surga sifat-sifat,
dari alam, ketika Sidrat-ul-Muntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, (2510) berupa
segala macam rahasia dan kesucian, di tempat yang mulia.

Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (2611)
Bagaimana mungkin berpaling pada sesuatu yang tiada, yang tak dapat dilihat.

Kursi pun berada di tengah-tengah, ruang di atas maupun di bawah membentang semakin
luas, dengan kemunculan-Nya maka tampaklah dua kaki. Bumi bercahaya terang oleh cahaya-
Nya. Malaikat berdiri di atas satu kaki, dan orang-orang ‘ārif berdiri di atas dua kaki; yang
ghaib dan yang nyata, mereka tidak membantah-Nya, mereka menjalankan perintah-Nya,
(yang datang) dari atas persemayaman turun ke pusat Nūn.

Rahasia wujud mereka (orang-orang ‘ārif) menjadi lenyap, ketika melihat Tuhan yang mereka
sembah. Mereka diliputi oleh kehebatan Dzāt, tenggelam dalam samudra kenikmatan, dan
Tuhan Yang Maha Suci, dengan penampakan-Nya itu, tidak menyisakan bentuk-bentuk sifat
kepada mereka. Yang ada hanyalah isyarat-isyarat tersembunyi.

Roh-roh para pewaris nabi, dalam hal penyaksian, sama saja. Apa yang mereka alami hari ini,
demikian pula kelak. Hanya saja, apa yang mereka saksikan selama di dunia mengalami
perpisahan. Sedangkan penyaksian yang mereka alami di maqām tanpa maqām (station (of)
no station), berlangsung terus-menerus. Perpisahan hanya dialami oleh roh, dan perjumpaan
yang terus-menerus dialami oleh jisim (fisik). Jisim berpindah dari dunia ke akhirat,
sedangkan roh berpindah dari maqām keagungan menuju maqām keindahan, sampai tiba di
suatu tempat tak bernama, dan di sanalah perpindahan berikutnya tidak diperbolehkan.

Barang siapa yang tiba di maqām ini, maka memasuki Bait-ul-Ma‘mūr tidak dilarang.
Keselamatan bagi orang yang dimaksud firman Allah: “Hai penduduk Yatsrib (Madīnah), tidak
ada tempat bagimu.” (2712).

Sālik mengatakan:

Aku berkata kepadanya: “Wahai Bapak Islam, (2813) orang yang menyatukan potongan-
potongan, (2914) orang yang mengetahui kerajaan bumi dan langit, engkau tidak tahu
persoalanku, lalu engkau berbuat kurang tepat tentangku. Akan aku jelaskan padamu
tentangku, seperti dalam syairku yang asing ini, puisiku yang menakjubkan ini.”

Sejak penulis cinta Allah tinggal di hatiku, dan menuliskan kalimat rindu di jantungku

Aku melebur dalam cinta-Nya, karena kerinduan dan rasa kangen. Lantaran kerinduan yang
panjang, oh, hatiku pedih

Duhai harapan dan tambatan jiwa, duhai sandaran hati, rinduku padamu amatlah sangat, tidak
pada yang lain

Aku taruh telapak tangan di atas dadaku, karena aku takut dada ini akan pecah lantaran kulit
mengkhianatiku

Dada terus tergoncang, tangan naik-turun. Hingga terpaksa telapak tangang yang satunya
datang membantu

Hati pergi meninggalkan dunia ini, menuju Sang Kekasih yang membuat fanā’, dan bukan
tanganku (yang pergi)

Aku terus mencarinya dengan perasaan rindu, dan aku meratapi-Nya dengan air mata yang
mengalir deras dari jeritan hati

Hingga aku mendengar suara-Nya memanggil dari arah depanku: barang siapa yang berada di
sisi-Ku, ia tidak akan melihat yang lain

Matilah dengan membawa kerinduanmu, atau matilah karena tubuh yang tergoncang. Sebab
hatimu tidak akan mengoyak tubuhmu

Aku pun berdiri, dan kerinduan masih membuatku terlipat dan terbentang. Lantaran kebahagiaan
yang sangat, maka aku berteriak: Oh, hatiku

Ketika aku menyakiskan-Mu, duhai Dzāt yang tak ada duanya, maka bagiku antara kesesatan dan
petunjuk kebenaran tak ada bedanya

Jiwa mengenal-Nya dengan ilmu, melihat-Nya dengan mata, dan menyaksikan-Nya, untuk hari ini
dan selamanya

Barang siapa yang melihat Dzāt itu, ia tidak akan melihat adanya sifat. Sebab dalam sifat
terdapat tabir antara seorang tamu dan barang bawaannya.

Sālik mengatakan:

Dia (Ibrāhīm a.s.) berkata kepadaku: “Akulah yang dimaksud dengan tabir itu. Dan untuk para
pencinta, maka aku akan bukakan pintu-pintu.”

Aku berkata kepadanya: “Apalah arti perhiasan dibandingkan cinta, apalah arti persahabatan
dibandingan kedekatan. Siapalah orang yang berkata: “Aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku,
supaya Engkau ridha (kepadaku),” (3015) dibandingkan orang yang mendapat kemuliaan
dengan: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu
menjadi puas.” (3116) Siapakah orang yang berkata: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku
dadaku,” (3217) dibandingkan dengan orang yang mendapat kemuliaan dengan: “Bukankah
Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (3318)

Sālik mengatakan:

Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana menurutmu tentang puncak tertinggi, apabila yang
demikian ini adalah awal mulanya? Tentang rahasia-rahasia, apabila yang demikian ini adalah
tanda-tandanya yang terang, atau, di mana posisimu dibanding kata-kataku yang disaksikan
oleh perbuatanku:

Oh Tuhanku, Oh Tuanku, rahasia-Mu melebur bersama rahasiaku. Duhai, permohonanku,


kamulah yang aku ungkapkan

Dengan-Mu aku melihat segala yang ghaib maupun nyata, dengan-Mu aku mendengar setiap
bisikan, dengan-Mu pula aku bicara.

Atau, di manakah pentingnya dzikir dibandingkan dengan pikiran yang fana’, rahasia-rahasia
lenyap, dan cahaya-cahaya padam?

Dengan mengingat (dzikir) Allah, dosa-dosa terampuni, hati dan pikiran menjadi indah menawan
Namun meninggalkan dzikir adalah lebib baik ketika itu, karena matahari tidak pernah tenggelam
(3419)

Dengan berdzikir kepada Allah, hati akan menjadi elok rupawan, pengetahuan-pengetahuan serta
hal-hal ghaib akan menjadi nyata

Namun meninggalkan dzikir adalah lebih baik dibanding semuanya, karena matahari dzat tidak
akan pernah tenggelam.

Atau, di manakah posisimu dibandingkan dengan maqam yang aku capai, dan sudah aku raih.

Oh hatiku, engkau sudah sampai pada-Nya. Katakan pada-Nya kata-kata seorang kekasih yang
cintanya sangatlah kuat

Andai tak ada ‘Arsy-Nya, persemayaman tak akan terjadi.

Dan dengan cahayaku, pemisalan bisa dilakukan.


Sālik mengatakan:

Setelah dia (Ibrāhīm a.s.) melihat kenyataan ini, dia berkata: “Tidaklah serupa antara orang
yang dapat melihat dengan orang buta.”

Kemudian dia berkata kepadaku: “Wahai anakku, ingatlah bapakmu, ketika engkau bermunajat
dengan Tuhanmu. Wahai anakku, siapalah al-Khalil ini dibandingkan denganmu, sementara
dirimu berada dalam maqam yang agung. Sangatlah berbeda antara orang yang menatap
bintang lalu berkata: “Sesungguhnya aku sakit,” (3520) dibandingkan dengan orang yang
tentangnya dikabarkan begini: “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (3621)
Aku berkata: “Oh Tuhan, ampuni kesalahanku pada hari pembalasan kelak,” (3722) sementara
itu ada firman untukmu. “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang
telah lalu dan yang akan datang.” (3823) aku sendiri berkata: “Dan jadikanlah aku buah tutur
yang baik bagi orang-orang (yang datang),” (3924) sementara untukmu firman berkata: “Dan
Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (4025).

Sālik mengatakan:

Dia pun menangis, dan berkata: “Sungguh kami ini disibukkan oleh perhatian terhadap hal-hal
yang remeh sehingga lalai dari menggapai rahasia-rahasia. Sangatlah jauh berbeda antara
mulia dan dimuliakan. Mulia adalah kepemimpinan, dan dimuliakan adalah ibadah. Mulia
diiringi oleh status kaya, dan dimuliakan diiringi sifat-sifat kemiskinan. (4126).

Wahai anakku, teruskan perjalananmu menuju tempat di mana Tuhan dan Kekasihmu
memanggilmu. Janji di antara kita adalah memberi tahu apa yang Dia sampaikan padamu.”

Sālik mengatakan:

Burrāq terbang kencang, keluar meninggalkan langit ketujuh, dan rasul malaikat itu
memukulkan tongkatnya ke sidrah cahaya.

Catatan:

01. 16). Bait-ul-Ma‘mūr, menurut at-Tustarī, adalah seperti yang diriwayatkan oleh Muḥammad bin Siwar
dengan sanad dari Ibnu Mas‘ūd r.a., i berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Pada suatu malam ketika aku
Isrā’, aku melihat Bait-ul-Ma‘mūr di langit keempat (dalam riwayat lain; di langit ke tujuh). Setiap hari ada
tujuh puluh ribu malaikat menunaikan haji di sana. Setelah itu 70 ribu malaikat itu pergi dan tidak pernah
kembali lagi. Sisi dalam Bait-ul-Ma‘mūr itu adalah hati orang ‘Ārif, yang berlimpah ma‘rifat Allah, cinta dan
rindu pada-Nya. Bait-ul-Ma‘mūr adalah tempat menunaikan haji bagi para malaikat, sebab ia adalah rumah
tauhid (bait-ut-tauḥīd).” Lihat Tafsīr-ul-Qur’ān-il-‘Azhīm, Sahal-ut-Tustarī, hal. 94-95. Ibnu ‘Arabī mengikuti
pandangan Sahal-ut-Tustarī ini dalam memaknai Bait-ul-Ma‘mūr, baik secara lahiriah maupun
batiniahnya. ↩
02. 17). Umm-ul-Qurā: Makkah al-Mukarramah. Ini mengisyaratkan Ibrāhīm a.s. ketika berdoa kepada
Tuhan di Makkah, dan memohon keamanan dan terjaga dari penyemabahan terhadap berhala-berhala, baik
dirinya sendiri maupun keturunannya. Ibrāhīm a.s. juga memohon agar hati umat manusia senang kepada
keturunannya. Lihat QS. Ibrāhīm: 35-40. ↩
03. 18). Kiwan: orbit bintang Zuhal. ↩
04. 19). QS. an-Najm: 9. ↩
05. 20). QS. an-Najm: 10. ↩
06. 21). QS. an-Najm: 11. ↩
07. 22). QS. an-Najm: 13. ↩
08. 23). QS. an-Najm: 14. ↩
09. 24). QS. an-Najm: 15. ↩
10. 25). QS. an-Najm: 16. ↩
11. 26). QS. an-Najm: 17. ↩
12. 27). QS. al-Aḥzāb: 13. ↩
13. 28). “Bapak Islam” adalah gelar Ibrāhīm a.s., seperti dalam firman Allah: “(Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrāhīm. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. al-Ḥajj: 78). ↩
14. 29). Potongan-potongan tubuh burung yang disatukan kembali oleh Ibrāhīm a.s. ↩
15. 30). QS. Thāhā: 84. ↩
16. 31). QS. Dhuḥā: 5. ↩
17. 32). QS. Thāhā: 25. ↩
18. 33). QS. Alam Nasyraḥ: 1. ↩
19. 34). Yang dimaksud Ibnu ‘Arabī dalam dua bait puisi ini adalah dzikir yang dilakukan setelah lupa.
“Meninggalkan dzikir adalah lebih baik” karena menegaskan bahwa seseorang tidak pernah lupa (pada
Allah). Atau dapat diartikan pula, dzikir yang menegaskan akan keberadaan manusia namun pikirannya
tidak pernah fanā’ dan juga tidak pernah mengalami perjalanan Isrā’ yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabī dalam
kitab ini. Ini adalah isyarat tentang firman Allah: “Bukankah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan
tenang?” ↩
20. 35). QS. ash-Shāffāt: 89. ↩
21. 36). QS. an-Najm: 11. ↩
22. 37). Seperti dalam firman Allah: “Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat.” (QS. asy-Syu‘arā’: 82). ↩
23. 38). QS. al-Fatḥ: 2. ↩
24. 39). QS. asy-Syu‘arā’: 84. ↩
25. 40). QS. Alam Nasyraḥ: 4. ↩
26. 41). Allah s.w.t. berbicara tentang keluarga Nabi yang disucikan: “…. Dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhājirīn), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…..” (QS. al-Ḥasyr:
9). ↩

Halaman:

01 02 03 04

Anda mungkin juga menyukai