Apabila ada masalah dalam memahami Al-Qur’an mereka langsung menanyakan pada
Rasulullah.
Mayoritas para sahabat adalah ummi(tidak bisa membaca dan menulis).
Alat-alat tulis tidak banyak terdapat dikalangan mereka.
Rasulullah melarang mereka untuk menulis selain Al-Qur’an, karena dikhawatirkan Al-
Qur’an akan bercampur dengan yang lain.
.
َو َح َّد,َُب َعنِّي َغ ْي َر القُرْ اَ ِن فَ ْليَ ْم ُحه َ اَ َّن َرسُو ُل هللا,َر َوى ُم ْسلِ ٌم ع َْن اَبِى َس ِع ْي ٍد ْال ُخ ْد ِرى
َ َو َم ْن َكت, اَل تَ ْكتُبُوْ ا َعنِّي: صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
ي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَوَّا ُم ْق َع َدهُ ِمنَ النَّا ِر
َّ َب َعلَ َو َم ْن َك َّذ,ثُوْ ا َعنِّي َواَل َح َر َج.
“Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. Berkata : Janganlah kamu
tulis dari aku ; barang siapa menuliskan dari aku selain Al-Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan
apa yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas
namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka.”
Oleh karena pelarangan tersebut, para sahabat mempunyai kemampuan yang luar biasa di dalam
menghafalakan Al-Qur’an dan menguasi ilmu-ilmu Al-Qur’an, bahkan bisa dikatakan seimbang
penguasaannya. Karena banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal, Abu Bakar mulai
melakukan pencarian dan pengumpulan Al-Qur’an karena takut Al-Qur’an akan banyak yang
menghilang bersama kematian mereka.
Pada kepemimpinan Utsman, karena wilayah kekuasaan Islam telah tersebar luas, maka untuk
menjaga kemurnian Al-Qur’an tidak bisa dengan hafalan saja.Oleh karena itu, khalifah Utsman
mempelopori pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, yang kemudian dikenal dengan Mushaf
Utsmani.Dengan usahanya itu beliau dianggap sebagai peletak dasar Ilmu Rasm Al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, beliau mempunyai perhatian yang besar terhadap
orang-orang asing yang suka menodai kemurnian bahasa Arab. Baliau khawatir akan terjadinya
kerusakan bahasa Arab. Untuk itu beliau memerintahkan sahabat Aswad al-Dauli untuk membuat
sebagian kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an.Dengan
usaha ini khalifah Ali dianggap sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu atau Ilmu I’rab Al-Qur’an.
1. Sejarah Nuzulul Qur‘an dan Penulisan Al-Quran
Pengertian Nuzulul Qur‘an (Turunnya Al-Qur’an )
Menurut Jumhurul Ulama‘ arti Nuzulul Qur’an itu secara hakiki tidak cocok untuk Al-
Qur‘an sebagai kalam Allah yang berada pada dzat-Nya. Sebab , dengan memakai ungkapan
“diturunkan” menghendaki adanya materi kalimat atau lafal atau tulisan huruf yang riel yang
harus diturunkan. Karena itu harus menggunakan arti majazi, yaitu menetapkan /
memantapkan / memberitahukan /menyampaikan Al-Qur’an, baik di sampaikan Al-Qur‘an itu
ke Lauhil Mahfudz atau ke Baitul Izzah di langit dunia, maupun kepada Nabi Muhammad
SAW.
Yang dimaksud dengan “ tahap-tahap turunnya Al-Qur‘an” ialah tertib dari fase-fase
disampaikan kitab suci Al-Qur’an, mulai dari sisi Allah hingga langsung kepada Nabi
Muhammad SAW, kitab suci ini tidak seperti kitab-kitab suci sebelumnya. Sebab kitab suci
ini diturunkan secara bertahap, sehingga betul-betul menunjukkan kemukjizatannya.
Allah SWT telah memberikan penghormatan kepada Al-Qur‘an dengan membuat turnnya tiga
tahap;
Wujudnya Al-Qur’an di Lauhu Mahfudz adalah dalam suatu cara dan tempat yang tidak bisa
diketahui kecuali oleh Allah sendiri. Dalam Lauhul Mahfudz Al-Qur’an berupa kumpualn
lengkap tidak terpisah-pisah.
Hikmah dari Tanazul tahap pertama ini adalah seperti hikmah dari eksistensi Lauhul Mahfudz
itu sendiridan fungsinya sebagai tempat catatan umum dari segala hal yang ditentukan dan
diputuskan Allah dari segala makhluq alam dan semua kejadian. Dan membuktikan kebesaran
kekuasaan Allah SWT dan keluasaan ilmunya serta kekuatan kehendak dan kebijaksanaa-Nya
Yaitu tempat mulia di langit yaitu langit pertama, atau langit yang terdekat dengan bumi.
Berdasarkan firman allah:
Artinya: sesungguhanya kami menurunkannya (al-qur’an )pada suatu malam yang diberkahi.
(QS. Ad-dukhan: 3)
Ayat tersebut menunjukkan turunnya Al-Qur’an tahap kedua ini dan cara turunnya, yaitu
secara sekaligus turun seluruh isi al-qur’an dari lauhul mahfudz ke baitul izzah, sebelum di
sampaikan ke nabi Muhammad SAW
c) Tahap Ketiga.
Al-Qur’an turun dari dari Baitul Izzah di langit dunia langsung kepada nabi Muhammad.
Artinya, Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad, baik melalui perantara
Malaikat Jibril ataupun secara langsung ke dalam hati sanubari nabi Muhammad SAW,
maupun dari balik tabir.
Kemudian Al-Qur‘an sendiri dikumpulkan pada dua masa yaitu masa rasulullah dan masa
khalafaur rasyidin
1. Masa Abu Bakar Ash-shiddiq ra
Setelah Rasululloh wafat kekuasaan dipegang oleh Abu Bakar Ash-shiddiq ra. Pada masa
pemerintahannya Abu Bakar Ash-shiddiq ra banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan
problem yang rumit, diantaranya memerangi orang-orang yang murtad yang ada di kalangan orang
Islam dan memerangi pengikut Musailamah Al-kadzdzab. Peperangan yamamah adalah suatu
peperangan yang amat dahsyat yang pernah terjadi dimasa itu. 70 orang huffazh ternama mati syahid
dalam peperangan tersebut. Hal ini menimbulkan kecemasam bagi kaum muslimin. Umar merasa
prihatin melihat kejadian tersebut, ia lalu menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan
sakit. Umar mengajukan usul supaya mengumpulkan Al-Qur‘an karena khawatir akan lenyap
disebabkan banyaknya khufazh yang gugur.
Awalnya Abu Bakar merasa ragu, setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai
positifnya,akhirnya Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia
tersebut. KemudianAbu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit agar segera menangani dan mengumpulkan
Al-Qur‘an dalam satu mushhaf. Mulanya Zaid pun merasa ragu, kemudian iapun dilapangkan Allah
dadanya sebagaimana Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Dengan penuh kehati-hatian Zaid menghimpun semua ayat Al-Qur‘an. Cara Zaid menghimpun
Al-Qur’an untuk dapat diterima harus dibuktikan kebenarannya oleh dua kesaksian yaitu melalui
hafalan dan tulisan. Menurut Subhi As-shalih, Ibnu Hajar menafsirkan kalimat dua kesaksian yaitu
sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar, Umar dan Zaid: “dudukah kalian berdua di pintu masjid
(nabawi). Setiap orang yang datang kepada kalian membawa dua kesaksian mengenai sesuatu dari
kitabullah hendaklah kalian tulis”. Akan tetapi jumhurul ulama berpendapat kesaksian tertulis harus
dibawa oleh dua orang yang adil (yakni orang saleh dan jujur). Di samping itu, masih harus ada lagi
dua saksi lain yang adil dari kalangan penghafal Al-Qur‘an. As-sakhawi mengatakan dalam Jamalul-
qurra yang dimaksud ialah dua orang saksi itu menyatakan kesaksiannya masing-masing bahwa
catatan ayat-ayat itu ditulis di hadapan Rasulullah.
Pengumpulan selesai dalam satu tahun, menjelang wafatnya Abu Bakar ra. Hasilnya berada di
tangan Abu Bakar hingga wafat. Kemudian pindah ke tangan Umar. Setelah itu disimpan Hafsah binti
Umar dan bukan kepada Utsman bin Affan.
Menurut Syekh Muhammad Ali Ash-shabuni, kelebihan mushaf pada masa Abu Bakar diantaranya
ialah:
1) Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2) Yang ditulis pada mushaf hanya ayat yang sudah jelas tidak dinaskh bacaannya.
3) Telah menjadi ijmak umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-
Qur‘an
4) mushaf itu memiliki qiraah sab‘ah yang dinuqil secara sahih.
http://rubibiru14yanti.blogspot.com/2013/09/makalah-tadwin-al-quran.html?m=1
3. Asbab an nuzul
QS. Al Israa (Perjalanan Malam) – surah 17 ayat 85 [QS. 17:85]
ح ؕ قُ ِل الرُّ ۡو ُح ِم ۡن اَمۡ ِر َرب ِّۡی َو َم ۤا اُ ۡوتِ ۡیتُمۡ ِّمنَ ۡال ِع ۡل ِم اِاَّل قَلِ ۡیاًل َ َو یَ ۡسٔـََٔ˜لُ ۡون
ِ َک ع َِن الرُّ ۡو
Wayasaluunaka ‘anirruuhi qulirruuhu min amri rabbii wamaa uutiitum minal ‘ilmi ilaa qaliilaa;
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh.
Katakanlah,
“Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.”
―QS. 17:85.
Tafsir QS. Al Israa (17) : 85. Oleh Kementrian Agama RI
Orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Muhammad tentang roh yang dapat menghidupkan
jasmani, apakah hakikatnya dan apakah dapat dibangkitkan kembali.
Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan
bahwa masalah roh adalah urusan Allah, hanya Dialah yang mengetahui segala sesuatu, dan Dia
sendirilah yang menciptakannya.
Kata ruh dalam Alquran mempunyai tiga arti, yaitu:
1. Pertama:
Yang dimaksud dengan ruh adalah Alquran.
Sebagaimana firman Allah:
۱۹۴﴿ َ﴾ ع َٰلى قَ ْلبِكَ لِتَ ُكوْ نَ ِمنَ ْال ُم ْن ِذ ِر ْين۱۹۳﴿ ُ﴾نَزَ َل ِب ِه الرُّ وْ ُح ااْل َ ِميْن
Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau
termasuk orang yang memberi peringatan. (asy-Syu’ara’ [26]: 193-194)
Dan firman Allah ﷻ:
ت ِم ْن ُدوْ نِ ِه ْم ِح َجابًا فَاَرْ َس ْلنَٓا اِلَ ْيهَا رُوْ َحنَا فَتَ َمثَّ َل لَهَا بَ َشرًا َس ِويًّا
ْ فَاتَّ َخ َذ
3. Ketiga:
Berarti roh yang ada dalam badan, yang merupakan sumber kehidupan dari makhluk hidup.
Menurut Jumhur Ulama, kata ruh dalam ayat ini adalah roh yang ada dalam badan (nyawa).
Firman Allah:
ََت فَرْ َجهَا فَنَفَ ْخنَا فِ ْيهَا ِم ْن رُّ وْ ِحنَا َو َج َع ْل ٰنهَا َوا ْبنَهَٓا ٰايَةً لِّ ْل ٰعلَ ِم ْين َ َْوالَّتِ ْٓي اَح
ْ صن
Dan (ingatlah kisah Maryam) yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan (roh) dari Kami ke
dalam (tubuh)nya;
Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kebesaran Allah) bagi seluruh alam. (al-Anbiya’ [21]:
91)
Pendapat yang menyamakan ruh dengan nafs (roh/nyawa) ini adalah pendapat yang banyak dianut
ulama (jumhur) dan sesuai dengan sebab ayat ini diturunkan.
Allah ﷻberfirman:
ُ فَاِ َذا َس َّو ْيتُهٗ َونَفَ ْخ
َت فِ ْي ِه ِم ْن رُّ وْ ِح ْي فَقَعُوْ ا لَهٗ ٰس ِج ِد ْين
Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku
ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (al-Hijr [15]: 29)
Ayat-ayat tersebut di atas mengajak umat manusia supaya memahami isi Alquran dengan sebenar-
benarnya, agar tidak tersesat ke jalan yang tidak benar.
Sebaliknya mereka yang tidak berusaha untuk memahami isi Alquran tidak akan bisa
memanfaatkannya sebagai pedoman hidup, bahkan mereka melakukan tindakan dan perbuatan yang
dapat menjauhkan mereka dari pemahaman terhadap ayat-ayatnya dengan benar.
Mereka menanyakan kepada Nabi ﷺhal-hal yang tidak mungkin diketahui manusia,
yang sebetulnya tidak ada gunanya untuk diketahui, kecuali hanya sekedar untuk menguji Nabi.
Allah ﷻdalam ayat ini menyatakan bahwa Ia hanya memberi manusia sedikit sekali
pengetahuan mengenai roh.
Akan tetapi, di antara ulama ada yang telah mencoba mendalami hakikat roh itu.
Di antaranya ialah:
1 . Roh itu ialah semacam materi cahaya (jisim, nurani) yang turun ke dunia dari alam tinggi, sifatnya
berbeda dengan materi yang dapat dilihat dan diraba.
2. Roh itu mengalir dalam tubuh manusia, sebagaimana mengalirnya air dalam bunga, atau
sebagaimana api dalam bara.
Roh memberi kehidupan ke dalam tubuh seseorang selama tubuh itu sanggup dan mampu
menerimanya, dan tidak ada yang menghalangi alirannya. Bila tubuh tidak sanggup dan mampu lagi
menerima roh itu, sehingga alirannya terhambat dalam tubuh, maka tubuh itu menjadi mati.
Pendapat ini dikemukakan oleh ar-Razi dan Ibnul Qayyim.
Sedangkan Imam al-Gazali dan Abu Qasim ar-Ragib al-Asfahani berpendapat bahwa roh itu
bukanlah materi dan sesuatu yang berbentuk, tetapi ia hanyalah sesuatu yang bergantung pada tubuh
untuk mengurus dan menyelesaikan kepentingan-kepentingan tubuh.
Sikap kaum Muslimin yang paling baik tentang roh ialah mengikuti firman Allah ini, bahwa
hakikat roh itu tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena hanya Allah yang mengetahuinya
dengan pasti.
Yang perlu dipercayai adalah bahwa roh itu ada.
Allah hanya memberikan gejala-gejalanya kepada manusia sendiri pun mengetahui adanya roh itu,
serta menghayati gejala-gejalanya.
Maka yang perlu diteliti dan dipelajari dengan sungguh-sungguh ialah gejala-gejala roh itu, yang
dilakukan dalam psikologi.
Mempelajari gejala-gejala jiwa ini bahkan termasuk hal yang diminta oleh Allah dalam firman-Nya:
Semua berkata bahwa jumlah surah-surah Madaniyyah adalah 20 surah dan yang menjadi perbedaan
adalah 12 surah dan selainnya adalah termasuk surah-surah Makkiyah.
Surah-surah Madaniyyah yang disepakati oleh semua ulama adalah: surah Al-Baqarah, surah Al-
Maidah, surah An-Nur, surah Al-Fath, surah Al-Mujadalah, surah Al-Jumu'ah, surah At-Tahrim,
Surah Ali Imran, Surah Al-Anfal, surah Al-Ahzab, surah Al-Hujurat, surah Al-Hasyr, surah Al-
Munafiqun, Surah An-Nashr, surah An-Nisa, surah At-Taubah, surah Muhammad, surah Al-Hadid,
surah Al-Mumtahanah dan surah Ath-Thalaq.
Surah-surah yang menjadi perselisihan diantara para ulama adalah: Surah Al-Fatihah, surah Ash-
Shaff, surah Ar-Ra'd, surah At-Taghabun, surah Ar-Rahman, surah Al-Muthaffifin, surah Al-Qadr,
surah Al-Bayyinah, surah Az-Zalzalah, surah Al-Ikhlash, surah Al-Falaq dan surah An-Nas.
Berdasarkan hal ini, sisa dari surah-surah Alquran lainnya terhitung surah-surah Makkiyah dan
jumlahnya adalah 82 surah.
5. Munasabat al-qur'an
Munsabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi
untuk menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelurnnya. Sebagai contoh:
Dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini berkaitan dengan
surat Al-Baqarah ayat 152 serta 186. Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku
ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mendustakan (nikmat)-
Ku”. (QS. Al-Baqarah: 152). Artinya: “Dan bila hamba-hamba-Ku mempertanyakan kepadamu
berkaitan dengan aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia meinta kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu melengkapi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, supaya mereka selalu berada dalam
ijazah (kebenaran)”. (QS. Al-Baqarah: 186).
Perumpamaan “rabbal-alamin” terdapat di surat Al- Fatihah berkaitan dengan surat Al-
Baqarah ayat 21-22. Artinya: “Wahai manusia, sembahlah Allah swt. yang Telah menciptakanmu dan
orang-orang yang terdahulu, supaya kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 21). Artinya: “Dialah yang
membuat bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menjatuhkan air (hujan)
dari langit, lalu dia membentuk dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Oleh
sebab itu janganlah kamu membuat sekutu-sekutu bagi Allah, sedangkan kamu Mengerti (tahu)”. (QS.
Al-Baqarah: 22).
Di dalam QS. Al-Baqarah ditegaskan perkataan “dzalik Al-kitab la raiba fih”. Ungkapan ini
berkaitan dengan surat Ali ‘lmran ayat 3. Artinya: “Dia mengirimkan/menurunkan Al Kitab (Al
Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; menyempurnakan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya
dan menurunkan Taurat dan Injil”. (QS. Ali ‘lmran: 3).
Hubungannya dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr
Abu Zaid. Beliau menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah
ialah hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan
isi juga kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan ternyata surat Al-
Fatihah diakhiri menggunakan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-ladzina an’amta
alaihim ghair Al-maghdhubi’alaihim (…) (Aamiin). Doa ini mendapatkan jawabannya dalam awalan
surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Maka dari
itu, kita dapat menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan: “Seolah-olah ketika mereka
memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang diridhoi (lurus), dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk
yang lurus yang Engkau minta itu ialah Al-Kitabin”.
Apabila kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah yaitu kaitan stilistika, hubungan
antara surat Al-Baqarah dan surat Ali’ lmran lebih sama dengan hubungan antara “dalil” dengan
“keraguan-keraguan akan dalil”. Maksudnya, surat Al-Baqarah adalah surat yang mengajukan dalil
mengenai hukum, sebab surat ini memuat kaidah-kaidah agama, selama Surat Ali lmran “sebagai
jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Ali ‘lmran ialah
hubungan yang didasarkan pada sebuah ta’wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat
Ali’lmran pada ayat ketujuh saja.
Pertama : MUHKAM
Umumnnya merupakan ciri Al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
ْ َ صل
ٍ ِت ِم ْن لَد ُْن َح ِك ٍيم َخب
ير ْ الر ۚ ِكتَابٌ أُحْ ِك َم
ِّ ُت آيَاتُهُ ثُ َّم ف
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” [Huud/11 : 1]
ب ْال َح ِك ِيم
ِ ات ْال ِكتَا َ الر ۚ تِ ْل
ُ َك آي
“Alif Laam Raa. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah” [Yunus/10 : 1]
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-
benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” [Az-Zukhruf/43 : 4]
Artinya adalah indah dalam bentuk dan susunan kata serta maknanya. Al-Qur’an berada di puncak
nilai kefasihan dan sastra ; berita-beritanya secara keseluruhan adalah benar dan bermanfaat, tidak ada
dusta, kontradiksi dan main-main yang tidak ada manfaatnya, hukum-hukumnya secara keseluruhan
adalah adil, tidak ada kedzaliman, kontradiksi atau kesalahan.
Kedua : MUTASYABIH
Umumnya juga merupakan ciri Al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
ِ ك هُ˜دَى هَّللا َ ˜ِ˜ر هَّللا ِ ۚ ٰ َذل ِ هَّللا ُ نَ َّز َل أَحْ سَنَ ْال َح ِدي
ِ ث ِكتَابًا ُمتَشَابِهًا َمثَانِ َي تَ ْقش َِعرُّ ِم ْنهُ ُجلُ˜و ُد الَّ ِذينَ يَ ْخ َش˜وْ نَ َربَّهُ ْم ثُ َّم تَلِينُ ُجلُ˜و ُدهُ ْم َوقُلُ˜وبُهُ ْم إِلَ ٰى ِذ ْك
يَ ْه ِدي بِ ِه َم ْن يَشَا ُء ۚ َو َم ْن يُضْ لِ ِل هَّللا ُ فَ َما لَهُ ِم ْن هَا ٍد
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’ an yang serupa (mutu ayat-
ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah,
dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya” [Az-Zumar /39: 23]
Artinya sebagian isi Al-Qur’an memiliki keserupaan dengan sebagian yang lain dalam hal keindahan,
kesempurnaan dan tujuan-tujuan yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
ْ أَفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ ۚ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر هَّللا ِ لَ َو َجدُوا فِي ِه
اختِاَل فًا َكثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya” [An-Nisa/4 : 82]
Ketiga : MUHKAM yang khusus pada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan MUTASYABIH juga
khusus pada sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” [Ali-Imran/3 : 7]
Arti muhkam disini adalah, bahwa makna ayat jelas dan terang ; tidak tersamar sama sekali, seperti
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َيَا أَيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُدُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم َوالَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,
agar kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2 : 21]
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” [Al-Baqarah/2 : 275]
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik” [Al-Maidah/5 : 3]
Sedangkan arti Mutasyabih di sini adalah makna ayat yang tersamar sehingga orang menjadi ragu
dalam memahami sesuatu yang tidak sesuai bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, KitabNya atau
RasulNya, sedangkan orang yang mendalam ilmunya tidak demikian.
Contoh yang berkaitan dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang ragu memahami ayat.
ۘ َان
ِ بَلْ يَدَاهُ َم ْبسُوطَت
“(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka” [Al-Maidah/5 : 64]
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua tangan yang serupa dengan kedua tangan
makhluk.
Contoh yang berkaitan dengan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang ragu memahami
bahwa Al-Qur’an bersifat kontradiktif dimana sebagiannya mendustakan sebagian yang lain, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
اس َر ُسواًل ۚ َو َكفَ ٰى بِاهَّلل ِ َش ِهيدًا َ صابَكَ ِم ْن َسيِّئَ ٍة فَ ِم ْن نَ ْف ِسكَ ۚ َوأَرْ َس ْلنَا
ِ َّك لِلن َ َك ِم ْن َح َسنَ ٍة فَ ِمنَ هَّللا ِ ۖ َو َما أ َ ََما أ
َ َصاب
“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka
dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan
cukuplah Allah menjadi saksi” [An-Nisa/4 : 79]
Contoh yang berkaitan dengan Rasulullah, Seorang yang ragu memahami firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
َك فَاَل تَ ُكون ََّن ِمنَ ْال ُم ْمت َِرين ُّ ك ْال َح
َ ِّق ِم ْن َرب َ ك ۚ لَقَ ْد َجا َء َ ك فَاسْأ َ ِل الَّ ِذينَ يَ ْق َرءُونَ ْال ِكت
َ َِاب ِم ْن قَ ْبل َ فَإِ ْن ُك ْنتَ فِي شَكٍّ ِم َّما أَ ْنزَ ْلنَا إِلَ ْي
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya
telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu-ragu” [Yunus/ : 94]
Read more https://almanhaj.or.id/1932-al-quran-muhkam-dan-mutasyabih.html
7. Ilmu qiroat
Teori Qiraat Ashim riwayat Hafsh
Kenyataan adanya perbedaan qiraat merupakan konsekuensi dari adanya sab’ah ahruf yang
bersumber dari riwayat yang bersambung kepada Rasulullah saw, dengan kata lain perbedaan qiraat
yang akhirnya terinstitusi dalam beberapa madzhab qiraat merupakan sesuatu yang harus disandarkan
pada sistem riwayat. Perbedaan antara madzhab yang satu dengan yang lain bukanlah sekedar pilihan-
pilihan bebas tanpa aturan yang mengikat. Pada dasarnya perbedaan qiraat yang terdapat di antara
madzha, riwayat, maupun thariq yang satu dengan yang lainnya terbagi menjadi dua bagian; [1]
qawaid ushuliyyah dan farsy al-huruf. Yang dimaksud dengan perbedaan qawaid ushuliyyah
perbedaan-perbedaan qiraat yang bersifat umum dan bisa diqiyaskan antara satu dengan yang lain,
karena sering muncul di beberap tempat. Berbeda dengan farsy al-huruf yang hanya bersifat parsial
dan tidak bisa diqiyaskan karena memang disebutkan dalam frekuensi yang tidak terlalu sering atau
bahkan hanya disebutkan sekali. Berikut ini beberapa teori madzhab qiraat Ashim riwayat Hafsh yang
dimulai dengan perbedaan sebagai berikut:
Perbedaan qawaid ushuliyyah
Bacaan Basmalah
Mengenai aturan membaca basmalah, para ulama ahli qiraat membaginya menjadi tiga macam:[16]
al-Musyaddad yakni bacaan gunnah yang timbul karena adanya pertemuan dua huruf nun maupun
Salag satu contohnya adalah pada QS al-Baqarah [2] 82 ulaaika ashabu al-jannah
Idgham
Yang dimaksud dengan idgham adalah memasukkan huruf pertama pada huruf kedua sehingga cara
artikulasinya menjadi mudah. Pembahasan idgham dibagi menjadi dua kelompok
Idgham Kabir, yakni bertemunya dua huruf mutamatsilain, mutaqariba, atau mutanjisan yang sama-
sama berharakat dalam satu kata atau dua kata. Dalam kasus idgham kabir hanya ada idgham kabir
mutamatsilain dalam riwayat Hafsh. Tidak ada idgham kabir mutaqariban dalam riwayat ini.
Idham Shagir yakni bertemunya dua huruf mutamtsilain, mutaqaribain atau mutanajisaini dalam satu
dua kata, di mana huruf yang pertama di sukun dan huruf yang kedua berharakat. Hal ini menjadi
dibagi tiga:
Idgham mutamatsilain, yakni bertemunya dua huruf yang memiliki kesamaan makhraj dan Contoh
(QS [2] 16) fa ma rabihat tijaratahum wa ma kanu muhtadin. Khusus untuk lafaz maliyah halaka pada
ayat; ma agna anni malihi halaka anni sulthanihi, selain dibaca idgham mutamatsilain, Hafs juga
membacanya saktah yakni berhenti pada kata malihah tanpa bernafas untuk kemudian memulainya
pada kata halaka.
Idgham mutajanisan yakni bertemunya dua huruf yang memliki kesamaan makhraj namun tidak
memiliki kesamaan sifat. Contoh pada QS [7] 176, lafal yalhats di-idghamkan pada lafaz Hal ini
berbeda dengan riwayat Hafsh thariq Thayyibah yang membaca izhar kedua lafaz tersebut.
Idgham Mutaqaribain yakni bertemunya dua huruf yang memiliki keketakan makhraj dan sifat.
Contoh pada QS [23] 118 wa qul rabbigfir warham. Lafaz qul pada ayat tersebut di-idgham-kan pada
kata Namun hal ini tidak berlaku pada lafaz kalla bal rana (QS [83] 14). Sebab riwayat Hafs thariq
Syatibiyyah tidak meng-idghamkan lafaz bal pada kata rana melainkan membaca saktah.[17]
8. I jaz al qur"an