Anda di halaman 1dari 24

KERAJAAN KUTAI

Sejarah Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai adalah kerajaan tertua dan merupakan kerajaan Hindu pertama di Indonesia yang
diperkirakan berdiri sekitar tahun 400-500 Masehi.
Kerajaan ini memiliki hubungan perdagangan dengan India, meskipun letak Kerajaan Kutai
sendiri tidak terletak di jalur perdagangan Nusantara.
Dari hubungan perdagangan dengan India inilah diketahui awal penyebaran pengaruh Hindu.
Salah satu bukti bahwa Kerajaan Kutai memiliki hubungan perdagangan dengan India adalah
ditemukannya Prasasti Yupa.

sumber: satujam.com

Prasasti Yupa adalah monumen batu yang memuat tulisan dengan bahasa Sansekerta.
Bahasa Sansekerta sendiri diketahui sebagai bahasa klasik India yang merupakan sebuah bahasa
liturgis dalam kepercayaan kepada tuhan Hindu, Buddha, dan Jainisme.
Melalui penemuan prasasti tersebut, sejarawan menyimpulkan bahwa Kerajaan Kutai merupakan
kerajaan Hindu tertua yang ada di Indonesia.

Letak Kerajaan Kutai


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Kerajaan Kutai tidak terletak di jalur perdagangan
yang diketahui khalayak dunia.
Namun, Kerajaan Kutai sangat strategis sehingga bisa terhubung ke dunia luar meskipun tidak
terletak di jalur perdagangan.
Letak Kerajaan Kutai diperkirakan berada di daerah Muara Kaman, di tepi sungai Mahakam,
Kalimantan Timur.
Sungai Mahakam merupakan sungai yang berukuran cukup besar dan memiliki beberapa anak
sungai.
Lokasi pertemuan antara sungai Mahakam dan anak-anak sungainya diperkirakan merupakan
letak Muara Kaman di masa lampau.
Sungai Mahakam dengan ukurannya yang cukup besar memungkinkan untuk dilayari dari pantai
hingga masuk ke Muara Kaman, maka dari itu bisa diperkirakan menjadi jalur perdagangan yang
strategis.

Pendiri Kerajaan Kutai


Pendiri Kerajaan Kutai adalah Kudungga yang kemudian dikenal dengan gelar Maharaja
Kudungga Anumerta Dewawarman.
Menurut sejarah, Kudungga merupakan seorang pembesar dari kerajaan Champa yang terletak di
Kamboja.
Pada masa pemerintahan Kudungga, belum ada sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis.
Setelah masa pemerintahan Kudungga, pemerintahan Kerajaan Kutai dilanjutkan oleh anak
Kudungga yang bernama Aswawarman.

sumber: dosenpendidikan.com

Aswawarman merupakan seorang raja yang pandai mengatur sistem pemerintahan sehingga
diberi gelar Wangsakerta yang artinya pembentuk keluarga raja.
Selain itu, Aswawarman juga diketahui sebagai raja Kutai pertama yang menganut agama Hindu,
sebab Kudungga belum menganut agama Hindu dan pada masa pemerintahannya diyakini hanya
berperan sebagai kepala suku.
Setelah masa pemerintahan Aswawarman selesai, pemerintahan Kerajaan Kutai kemudian
dilanjutkan oleh anak sulungnya yang bernama Mulawarman.
Mulawarman dikenal sebagai raja Kutai yang membawa kerajaan tersebut pada masa
kejayaannya.
Bahkan beberapa sejarawan menganggap bahwa Mulawarman adalah pendiri Kerajaan Kutai
karena ia mampu membawa stabilitas pada kerajaan tersebut.

Silsilah Kerajaan Kutai


 Maharaja Kudungga Anumerta Dewawarman
 Maharaja Aswawarman
 Maharaja Mulawarman
 Maharaja Marawijaya Warman
 Maharaja Gajayana Warman
 Maharaja Tungga Warman
 Maharaja Tungga Warman
 Maharaja Jayanaga Warman
 Maharaja Nalasinga Warman
 Maharaja Gadingga Warman Dewa
 Maharaja Indra Warman Dewa
 Maharaja Sangga Warman Dewa
 Maharaja Candrawarman
 Maharaja Sri Langka Dewa
 Maharaja Guna Parana Dewa
 Maharaja Wijaya Warman
 Maharaja Sri Aji Dewa
 Maharaja Mulia Putera
 Maharaja Nala Pandita
 Maharaja Indra Paruta Dewa
 Maharaja Dharma Setia

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masa kejayaan atau zaman keemasan Kerajaan Kutai
terjadi dalam masa pemerintahan Mulawarman.

Kehidupan ekonomi dalam masa pemerintahan Mulawarman berkembang sangat pesat yang
dapat dilihat dari aktivitas perekonomiannya.
MUNGKIN ANDA SUKA

Diabetes Relief
Dalam salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Kutai, dikatakan bahwa Mulawarman telah
banyak menyelenggarakan upacara slametan emas yang sangat banyak.
Kemajuan perekonomiannya tidak berhenti hanya sampai di situ, bahkan diperkirakan Kerajaan
Kutai telah menjalin hubungan perdagangan internasional yang cukup besar.
Para saudagar yang melewati jalur perdagangan internasional diperkirakan kerap singgah terlebih
dahulu di Kerajaan Kutai.
Inilah salah satu alasan kenapa Kerajaan Kutai mengalami kemajuan perekonomian yang pesat
hingga mencapai masa kejayaannya.
Tak hanya itu, kejayaan ini juga terlihat dari adanya golongan terdidik yang terdiri dari kasta
Ksatria dan Brahmana.
Golongan tersebut kemungkinan besar telah berlayar ke India atau pusat-pusat penyebaran agama
Hindu di wilayah Asia Tenggara.

Runtuhnya Kerajaan Kutai


Kondisi Kerajaan Kutai setelah masa pemerintahan Mulawarman tidak
menunjukkan tanda-tanda yang jelas.

Kerajaan Kutai Martadipura kemudian runtuh setelah berhasil ditaklukkan oleh


Kesultanan Kutai yang memeluk agama Islam.

Pada tahun 1635, Maharaja Dharma Setia yang merupakan pemimpin terakhir
Kerajaan Kutai tewas di tangan Pangeran Sinum Panji Mendapa dari Kesultanan
Kutai.

Setelah penaklukkan tersebut, wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai berada di bawah


kendala Kesultanan Kutai.
Kehidupan Kerajaan Kutai
Salah satu faktor yang memajukan Kerajaan Kutai adalah lokasi geografisnya yang strategis
meskipun tidak terletak di jalur perdagangan internasional.
Kerajaan Kutai terletak pada lokasi geografis yang mudah diakses melalui jalur maritim dan
memiliki lahan yang subur karena letaknya berada di sungai Mahakam.
1. Kehidupan Sosial
Kerajaan Kutai terdiri dari golongan masyarakat yang mampu menguasai bahasa Sansekerta dan
menggunakan aksara Palawa dalam untuk penulisan.
Namun, golongan yang mampu menguasai dua hal tersebut hanyalah para Brahmana dan Ksatria
yang terdiri dari kerabat-kerabat kerajaan.
Dari kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai menggunakan sistem sosial
berdasarkan kasta sebagai penggolongan masyarakatnya.
Masyarakat Kutai sendiri diketahui menjunjung tinggi kepercayaan asli leluhurnya, yakni
berdasarkan agama Hindu Syiwa dan para Brahmana.
2. Kehidupan Politik
Dalam sejarah Kerajaan Kutai, Mulawarman merupakan raja yang paling disegani dengan
sosoknya yang bijaksan dan murah hati.
Bahkan Kudungga yang diketahui sebagai leluhurnya bisa dikatakan bukanlah seorang raja
karena dianggap terlalu banyak menggunakan konsep kerajaan yang terbatas hanya pada
keluarganya saja.
Berbeda dengan Mulawarman yang mampu menciptakan stabilitas politik dengan cara
melibatkan golongan lainnya dalam kerajaan.
Bukti dari kemampuan pemerintahan Mulawarman tertulis dalam salah satu yupa yang
menyebutkan, “Mulawarman adalah raja yang paling berkuasa, kuat, dan bijaksana”.
3. Kehidupan Ekonomi
Berkat letaknya yang berada di pinggiran sungai Mahakam, aktivitas utama dari Kerajaan Kutai
kegiatan pertanian.
Mata pencaharian lainnya dari Kerajaan Kutai adalah beternak sapi dan melakukan perdagangan
internasional.
Dalam salah satu yupa peninggalan Kerajaan Kutai disebutkan bahwa Mulawarman sempat
memberikan hadiah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.
Dengan demikian, pada abad ke-5, Kerajaan Kutai memiliki peternakan yang sangat maju. 

Peninggalan Kerajaan Kutai


Peninggalan Kerajaan Kutai yang paling penting adalah tujuh buah Prasasti Yupa yang berisikan
tulisan dengan aksara Palawa dan dalam bahasa Sansekerta.
Yupa adalah tugu (tiang batu) dengan ukuran sekitar 1 meter yang ditanam di atas tanah.
Pada permukaan tiang batu tersebut terukir prasasti Kerajaan Kutai yang dianggap sebagai
sumber tulisan tertua di Indonesia.
Yupa sendiri memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai prasasti, tiang pengikat hewan dalam
acara keagamaan, dan lambang kebesaran raja.
Prasasti yang juga kerap disebut sebagai prasasti Mulawarman tersebut berisi tentang kisah
Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman.
Berikut keterangan isi tujuh yupa yang telah diterjemahkan oleh para ahli:

1. Sebagian besar berisi tentang silsilah raja yang memerintah Kerajaan Kutai
2. Letak geografis Kerajaan Kutai yang berada di hilir sungai Mahakam, yakni Muara
Kaman
3. Agama Hindu mulai menyebar pada masa pemerintahan Aswawarman
4. Aswawarman disebut sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai dan menyandang gelar
Wangsekerta
5. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur
6. Menggambarkan kondisi kehidupan ekonomi Kerajaan Kutai yang sejahtera dan aman
7. Menceritakan kebaikan Raja Mulawarman yang menyumbankan 20.000 ekor sapi kepada
para Brahmana

https://www.99.co/blog/indonesia/sejarah-kerajaan-kutai/
KERAJAAN TARUMANEGARA

Sejarah Kerajaan Tarumanegara: Silsilah Raja, Kehidupan,


dan Peninggalannya
Medcom • 16 Februari 2022 13:34

  
  

Jakarta:  Persoalan banjir yang tiap tahun menggempur Jakarta rupanya sudah
terjadi sejak zaman kerajaan Hindu. Lebih tepatnya pada masa Kerajaan
Tarumanegara, yaitu kerajaan yang dulunya menguasai kawasan Jakarta dan Jawa
Barat.
 
Untuk lebih mengenal seluk-beluk Kerajaan Tarumanegara, simak penjelasan
berikut yang dikutip dari laman Zenius berikut ini ya. 

Awal mula berdirinya Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan bercorak Hindu tertua kedua di Indonesia


setelah Kutai. Ditinjau dari lokasinya, lokasi Kerajaan Tarumanegara terletak di
dekat Sungai Citarum, Jawa Barat ini berdiri pada abad ke-4 M, atau lebih tepatnya
di tahun 358 M.
 
Meskipun berdiri di Nusantara, ternyata pendiri kerajaan tersebut bukan orang
Indonesia asli. Dia adalah seorang pendatang asal India bernama Rajadirajaguru
Jayasingawarman.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 Janyasing awarman menguasai Kerajaan Tarumanegara sejak 358 M dan
lengser pada 382 M usai memutuskan untuk menjadi pertapa.
Kekuasaannya lantas diberikan kepada putranya, yakni Raja
Dharmayawarman. 

Silsilah raja Kerajaan Tarumanegara

Tarumanegara dipimpin oleh 12 raja sejak kerajaan tersebut didirikan. Sayangnya,


informasi mengenai silsilah raja-raja Tarumanegara sangat minim. 
 
 
Dari 12 raja, hanya dua di antaranya yang diketahui merupakan keturunan
langsung dari raja sebelumnya. Mereka adalah Raja Dharmayawarman, putra dari
Raja Jayasingawarman, dan Raja Candrawarman, putra dari Raja Indrawarman.
Raja Purnawarman menjadi nama raja yang paling terkenal dari Kerjaan
Tarumanegara.

Daftar 12 raja Tarumanegara

1. Jayasingawarman (358-382 M) 


2. Dharmayawarman (382-395 M) 
3. Purnawarman (395-434 M) 
4. Wisnuwarman (434-455 M) 
5. Indrawarman (455-515 M) 
6. Candrawarman (515-535 M) 
7. Suryawarman (535-561 M) 
8. Kertawarman (561-628 M) 
9. Sudhawarman (628-639 M) 
10. Hariwangsawarman (639-640 M) 
11. Nagajayawarman (640-666 M) 
12. Linggawarman (666-669 M)
Kehidupan ekonomi dan sosial Kerajaan Tarumanegara

Letaknya yang berada di dekat perairan, membuat Kerajaan Tarumanegara


disematkan predikat “kerajaan maritim”. Berkat lokasinya itu pula, Tarumanegara
terbilang maju dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Meskipun demikian,
prioritas kehidupan ekonomi di kerajaan tersebut adalah pertanian dan
peternakan.
 
Sementara itu, terdapat dua golongan masyarakat dalam kehidupan sosial di
Kerajaan Tarumanegara. Golongan pertama adalah golongan agama Hindu yang
berisi para raja atau anggota kerajaan. Adapun golongan kedua ialah masyarakat
biasa yang masih mempercayai agama nenek moyang atau agama kebudayaan. 

Masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarmuanegara mencapai puncak kejayaannya saat dipimpin oleh raja


ketiga, yaitu Raja Purnawarman. Dia terkenal sebagai sosok raja yang berwibawa
dan cerdas.
 
Pada masa kepemimpinannya, kondisi ekonomi Kerajaan Tarumanegara terbilang
maju dengan pesat. Letaknya yang strategis dan kepiawaian Raja Purnawarman
dalam memimpin, membuat kerajaan tersebut semakin unggul dalam sektor
perdagangan.
 
Tak hanya itu, Raja Purnawarman juga berhasil mengatasi persoalan banjir di
wilayah kekuasaannya, sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan di
awal. Dia menyelesaikan masalah tersebut dengan menggali Kali Candrabaga, cikal
bakal Sungai Citarum untuk mengalirkan air berlebih itu ke laut.
 
Kali sepanjang 11 kilometer ini dikerjakan dalam kurun waktu 21 hari. Sebagai
perayaan digalinya irigasi tersebut, Raja Purnawarman mempersembahkan 1.000
ekor sapi kepada kaum Brahmana.  Kisah ini terkuak dari temuan peninggalan
Kerajaan Tarumanegara, yaitu Prasasti Tugu. 

Akhir Kerajaan Tarumanegara

Kemunduran Kerajaan Tarumanegara mulai terasa saat Raja Linggawarman


berkuasa. Setelah dirinya wafat, kondisi kerajaan semakin parah.
 
Tahta kerajaan yang dia serahkan kepada menantunya, Tarusbawa, menandai
berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Sebab, Tarusbawa memiliki
ambisi untuk mendirikan kerajaannya sendiri yang kemudian dikenal sebagai
Kerajaan Sunda. 

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Eksistensi Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui berkat peninggalannya yang


berupa prasasti. Terdapat tujuh prasasti yang ditemukan di daerah berbeda, yakni
lima buah ditemukan di Bogor, satu buah ditemukan di Jakarta, dan satu prasasti
lainnya ditemukan di Lebak Banten.

7 Prasasti Kerajaan Tarumanegara

1. Prasasti Ciaruteun atau Ciampea 


2. Prasasti Jambu atau Koleangkak 
3. Prasasti Kebon Kopi 
4. Prasasti Tugu 
5. Prasasti Cidanghiang atau Lebak 
6. Prasasti Muara Cianten 
7. Prasasti Pasir Awi

Itulah pembahasan mengenai seluk-beluk Kerajaan Tarumanegara. (Nurisma


Rahmatika)
KERAJAAN PAJAJARAN

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.

Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.

Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya  Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.

Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.

Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.

Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.

Asal-Usul Urang Sunda

Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.

Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.

Anda mungkin juga menyukai