sumber: satujam.com
Prasasti Yupa adalah monumen batu yang memuat tulisan dengan bahasa Sansekerta.
Bahasa Sansekerta sendiri diketahui sebagai bahasa klasik India yang merupakan sebuah bahasa
liturgis dalam kepercayaan kepada tuhan Hindu, Buddha, dan Jainisme.
Melalui penemuan prasasti tersebut, sejarawan menyimpulkan bahwa Kerajaan Kutai merupakan
kerajaan Hindu tertua yang ada di Indonesia.
sumber: dosenpendidikan.com
Aswawarman merupakan seorang raja yang pandai mengatur sistem pemerintahan sehingga
diberi gelar Wangsakerta yang artinya pembentuk keluarga raja.
Selain itu, Aswawarman juga diketahui sebagai raja Kutai pertama yang menganut agama Hindu,
sebab Kudungga belum menganut agama Hindu dan pada masa pemerintahannya diyakini hanya
berperan sebagai kepala suku.
Setelah masa pemerintahan Aswawarman selesai, pemerintahan Kerajaan Kutai kemudian
dilanjutkan oleh anak sulungnya yang bernama Mulawarman.
Mulawarman dikenal sebagai raja Kutai yang membawa kerajaan tersebut pada masa
kejayaannya.
Bahkan beberapa sejarawan menganggap bahwa Mulawarman adalah pendiri Kerajaan Kutai
karena ia mampu membawa stabilitas pada kerajaan tersebut.
Kehidupan ekonomi dalam masa pemerintahan Mulawarman berkembang sangat pesat yang
dapat dilihat dari aktivitas perekonomiannya.
MUNGKIN ANDA SUKA
Diabetes Relief
Dalam salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Kutai, dikatakan bahwa Mulawarman telah
banyak menyelenggarakan upacara slametan emas yang sangat banyak.
Kemajuan perekonomiannya tidak berhenti hanya sampai di situ, bahkan diperkirakan Kerajaan
Kutai telah menjalin hubungan perdagangan internasional yang cukup besar.
Para saudagar yang melewati jalur perdagangan internasional diperkirakan kerap singgah terlebih
dahulu di Kerajaan Kutai.
Inilah salah satu alasan kenapa Kerajaan Kutai mengalami kemajuan perekonomian yang pesat
hingga mencapai masa kejayaannya.
Tak hanya itu, kejayaan ini juga terlihat dari adanya golongan terdidik yang terdiri dari kasta
Ksatria dan Brahmana.
Golongan tersebut kemungkinan besar telah berlayar ke India atau pusat-pusat penyebaran agama
Hindu di wilayah Asia Tenggara.
Pada tahun 1635, Maharaja Dharma Setia yang merupakan pemimpin terakhir
Kerajaan Kutai tewas di tangan Pangeran Sinum Panji Mendapa dari Kesultanan
Kutai.
1. Sebagian besar berisi tentang silsilah raja yang memerintah Kerajaan Kutai
2. Letak geografis Kerajaan Kutai yang berada di hilir sungai Mahakam, yakni Muara
Kaman
3. Agama Hindu mulai menyebar pada masa pemerintahan Aswawarman
4. Aswawarman disebut sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai dan menyandang gelar
Wangsekerta
5. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur
6. Menggambarkan kondisi kehidupan ekonomi Kerajaan Kutai yang sejahtera dan aman
7. Menceritakan kebaikan Raja Mulawarman yang menyumbankan 20.000 ekor sapi kepada
para Brahmana
https://www.99.co/blog/indonesia/sejarah-kerajaan-kutai/
KERAJAAN TARUMANEGARA
Jakarta: Persoalan banjir yang tiap tahun menggempur Jakarta rupanya sudah
terjadi sejak zaman kerajaan Hindu. Lebih tepatnya pada masa Kerajaan
Tarumanegara, yaitu kerajaan yang dulunya menguasai kawasan Jakarta dan Jawa
Barat.
Untuk lebih mengenal seluk-beluk Kerajaan Tarumanegara, simak penjelasan
berikut yang dikutip dari laman Zenius berikut ini ya.
7 Prasasti Kerajaan Tarumanegara
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.
Sejarah Kerajaan Pajajaran atau juga dikenal sebagai Kerajaan Sunda dimulai pada
tahun 1130 M dan berakhir di tahun 1579 M. Pajajaran adalah kerajaan Hindu di
Tatar Pasundan yang didirikan oleh orang-orang dari etnis Sunda. Kerajaan ini
bukanlah kerajaan kecil dan lemah, dalam riwayatnya diceritakan bahwa Kerajaan
Singasari dan Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
bahkan tidak mampu untuk menaklukannya.
Luas Kerajaan Pajajaran hanya sepertiga atau seperdelapan Pulau Jawa, berbagai
wilayah kekuasaan dengan Kerajaan Majapahit kala itu. Pajajaran menguasai wilayah
seluas 300 league atau sekitar 1176 km, mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa,
Pelabuhan Cimanuk, dan Sungai Cimanuk. Dari catatan sejarah, diketahui pusat
pemerintahan atau ibukota terakhir Pajajaran sebelum hancur oleh pasukan Islam
dari Demak dan Banten berada di sebuah kota bernama Dayo.
Para ahli meyakini, Dayo yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor di Jawa Barat. Hal ini diketahui dari sejumlah naskah-naskah
kuno dan catatan perjalanan penjelajah Eropa. Tome Pires dalam catatan
perjalanannya Suma Oriental menyebut bahwa Dayo menjadi kota yang paling
sering ditinggali oleh Raja Pajajaran. Raja memiliki istana yang sangat megah,
dibangun dengan 330 pilar kayu setinggi lima depa, dengan ukiran indah di atasnya.
Banyak perdebatan terkait keberadaan Dayo, penjelajah Eropa setelah Pires mengaku
tidak menjumpainya. Barulah pada 1856, Crawfud berhasil memecahkannya. Selama
menjabat di Jawa ia melakukan penelitian yang dicatat dalam A Descriptive
Dictionary of the Indian Islands and Adjent Countries. Crawfud menjelaskan di
Buitenzorg (Bogor) adalah ibukota Kerajaan Pajajaran karena ditemukan bekas
fondasi istana, banyak sekali puing-puing bebatuan serta prasasti.
Tidak jauh berbeda dari kesaksian orang-orang Eropa, informasi dari naskah kuno
atau prasasti juga menyebut pusat Kerajaan Pajajaran berada di Bogor, yang dalam
Prasasti Batu Tulis disebut Pakuan. Ibukota Pajajaran sempat berpindah-pindah,
secara kronologis di Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan.
Wilayah ibukota ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Kota Dalam dan Kota Luar
yang dibatasi oleh benteng alam berupa bukit memanjang di sebelah timur.
Struktur ibukota juga diperkuat oleh sungai alam, parit kecil yang melewati bagian
barat keraton, dan benteng buatan di selatan. Benteng yang berlapis-lapis ini dibuat
untuk menangkis serangan pasukan Islam dari luar (Demak, Banten, Cirebon). Pada
tahun 1579 M, kekhawatiran tersebut benar-benar terwujud. Kerajaan Pajajaran
benar-benar hancur oleh pasukan Islam setelah melalui pertempuran sengit. Kerajaan
Pajajaran pun berakhir di Pakuan, yang sekarang menjadi Bogor.
Kerajaan Pajajaran dapat dikatakan sebagai awal mula eksistensi orang-orang sunda
di Indonesia. Keteguhan mereka dalam mempertahankan adat dan budayanya dari
pengaruh Jawa oleh Kerajaan Majapahit, membuatnya sedikit berbeda dengan
orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya. Sikap Pajajaran yang
enggan tunduk kepada Majapahit membuat tidak adanya percampuran budaya
antara Sunda maupun Jawa. Sehingga adat budaya dan bahasa Sunda masih terus
lestari hingga kini.
Jika saja dahulu Pajajaran bekerjasama dengan Majapahit mungkin saja akan terjadi
akulturasi budaya dan tercipta rumpun suku baru dengan adat budaya serta bahasa
baru. Bukan tanpa dasar, dahulu hal ini juga pernah terjadi antara Kerajaan
Blambangan dan Kerajaan Bali yang menghasilkan Suku Osing di Banyuwangi. Adat
budaya dan bahasa mereka tidak sama dengan Jawa maupun Bali, namun memiliki
kemiripan dengan keduanya.