Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : EFNO JUNIANSON

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 044267056

Kode/Nama Mata Kuliah : ADBI 4336/ Hukum Ketenagakerjaan

Kode/Nama UPBJJ : 48/ PALANGKARAYA

Masa Ujian : 2022/23.1(2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Nomor 1
Langkah yang akan saya tempuh bersama klien untuk menyeleseikan perselisihan hubungan
industrial dengan perselisihan PHK yaitu dengan langkah mediasi hubungan industrial selanjutnya
konsiliasi hubungan industrial atau arbitrase hubungan industrial. Bila masih juga gagal, maka
perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan pada Pengadilan Hubungan
Industrial yang ada pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota
Provinsi, yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja.
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral. Mediator Hubungan Industrial yang disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator
yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 11 dan 12 UU 2/2004).
Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau
lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 13
dan 14 UU 2/2004).
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan
Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota Provinsi yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial yang daerah hukumnya
meliputi tempat kerja pekerja (pasal 1 angka 17 UU 2/2204).
Menurut pasal 56 UU 2/2004, Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kompetensi absolut untuk
memeriksa dan memutus:
a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan

Nomor 2
Berikut Alur Penyelesaian Perseselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan.
1. Gugatan memiliki hubungan industrial diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
2. Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi,
maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat
3. Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan
pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih
dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
4. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai
Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan
memutus perselisihan.
5. Untuk membantu tugas Majelis Hakim ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
6. Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.
7. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
8. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas)
hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
9. Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus
menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
10. Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu
selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
11. Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang
ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
12. Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah
Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi.

Nomor 3
Putusan sela merupakan salah satu jenis putusan hakim dalam menindaklanjuti suatu perkara pidana.
Di dalam sebuah putusan terdapat dua golongan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir.
Adapun urutan persidangan adalah mulai dari pembacaan surat dakwaan, eksepsi, tanggapan jaksa
atas eksepsi, dan putusan sela. Jika putusan sela berbentuk penetapan maka Jaksa Penuntut Umum
(JPU) dapat langsung mengajukan perkaranya ke pengadilan yang ditetapkan berwenang mengadili.
Namun, jika hal putusan sela berisi penolakan terhadap eksepsi maka majelis hakim meneruskan
perkara tersebut dengan memerintahkan JPU untuk segera mengajukan alat bukti termasuk
memanggil saksi. Kemudian, jika putusan sela berbentuk putusan akhir maka upaya yang dapat
dilakukan oleh JPU adalah melakukan verzet, banding, atau kasasi yang dilihat dari isi putusannya.
Putusan sela adalah putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat di
dalam suatu dakwaan. Putusan sela adalah putusan yang bukan putusan akhir sebelum hakim
memutuskan suatu perkara. Putusan sela harus diucapkan dalam persidangan dan hanya dilakukan
dalam surat pemberitaan persidangan. Mengenai putusan sela disinggung dalam Pasal 185 ayat (1)
HIR atau Pasal 48 Rv. Dalam pasal tersebut menyatakan, hakim dapat mengambil atau menjatuhkan
putusan yang bukan putusan akhir yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung.
Namun putusan itu tidak sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai
pokok perkara. Putusan tersebut yaitu putusan preparatoir, putusan interlocutoire, putusan insidentil
dan putusan provisionil.
1. Putusan preparatoire, tujuan putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan.
2. Putusan interlocutoire, putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela yang dapat berisi
bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim.
3. Putusan insidentil, yaitu putusan sela yang berkaitan langsung dengan penyitaan yang dibebankan
pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan yang disebut caution judicatum
solvi.
4. Putusan provisi, yaitu putusan yang bersifat sementara yang berisi tindakan sementara menunggu
sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan.
Dalam hukum acara pidana, perihal mengenai putusan sela dapat disimpulkan dari Pasal 156
KUHP, yang dalam hal ini terdapat dua upaya hukum dalam hukum acara pidana, yaitu:
 Upaya hukum biasa yang terdiri dari:

a. Pemeriksaan tingkat banding pada pengadilan tinggi


b. Pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung
 Upaya hukum luar biasa yang terdiri dari:

a. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan umum, dimana permohonannya diajukan


oleh Jaksa Agung karena jabatannya.
b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengenai hal tersebut, kedudukan dari putusan sela berada pada pengadilan
tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri. Putusan sela diambil oleh hakim sebelum menjatuhkan
putusan akhir. Berdasarkan Pasal 185 HIR/196 RBg, putusan sela bukan putusan akhir meski
harus diucapkan dalam persidangan. Putusan sela tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya
tertulis dalam berita acara persidangan saja dan kedua belah pihak dapat meminta supaya
kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri. Dari ketentuan Pasal
185 HIR/196 RBg tersebut, dapat diketahui bahwa:
1. Semua putusan sela diucapkan dalam sidang.
2. Semua putusan sela merupakan bagian dari berita acara.
3. Salinan otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan sela kepada kedua
pihak.
Suatu putusan sela terjadi pada saat seseorang masih dalam status menjadi seorang terdakwa,
bukan pada saat seorang menjadi terpidana.

Anda mungkin juga menyukai