Anda di halaman 1dari 14

Belajar Analisis Wacana Kritis dan Mempraktekkannya (1)

by Sanglah Institute di 20:33


Belajar Analisis Wacana Kritis dan Mempraktekkannya
https://www.sanglah-institute.org/2018/07/belajar-analisis-wacana-kritis-dan_3.html
“My view is that there is not an external relationship between language and society,
but an internal and dialectical relationship”.
—Norman Fairclough.

Kata “wacana” dewasa ini semakin sering digunakan oleh berbagai kalangan dari studi
psikologi, sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, dan lain sebagainya. Tiap disiplin ilmu
mempunyai definisi serta batasan yang beragam mengenainya. Misalnya dalam kacamata
sosiologi, “wacana” menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari penggunaan bahasa.
Artinya, untuk mengetahui maksud dan makna tertentu yang bertautan dengan lingkungan
sosial.

Metode yang digunakan untuk menelanjangi makna tertentu dalam wacana adalah “analisis
wacana”. Setidaknya, terdapat tiga paradigma dalam analisis wacana, yakni; (1) Paradigma
positivisme-empiris, (2) Paradigma konstruktivisme, dan (3) Paradigma kritis. Pada konteks
ini, kita akan menggunakan pisau bedah paradigma kritis mengenai bahasa dalam dunia analisis
wacana. Secara singkat, paradigma kritis muncul karena paradigma-paradigma sebelumnya
masih dirasa belum peka atau sensitif terhadap produksi serta reproduksi makna, yakni
dalam menganalisis faktor hubungan kekuasaaan yang berhubungan erat dalam setiap wacana,
yang memiliki peran dalam membentuk jenis-jenis subjek (pembicara/penulis), lengkap
dengan perilakunya.[1] Dengan demikian, analisis wacana dalam paradigma kritis
menekankan konstelasi kekuatan yang terjadi dalam proses produksi dan reproduksi makna.
Oleh sebab itu, bahasa dipandang sebagai representasi yang berandil besar dalam membentuk
subjek, tema wacana, juga strategi di dalamnya.

Lebih dalam, bahasa bukan sebagai media netral yang terletak di luar si pembicara/penulis,
juga pembicara/penulis sudah tidak bisa dianggap sebagai individu netral yang mampu
menafsirkan secara bebas sesuai keinginan atau pikirannya karena memiliki tautan hubungan
dan dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh lingkungan sosialnya. Paradigma
analisis wacana ketiga ini, dikarenakan menggunakan perspektif kritis, maka disebut sebagai
‘analisis wacana kritis’ (Critical Discourse Analysis/CDA). Karakteristik analisis wacana kritis
tidak hanya menganalisis bahasa lewat aspek kebahasaan, tetapi juga mengaitkannya dengan
konteks tertentu, misalnya praktik kekuasaan yang dikemas dalam narasi. Seperti yang
diketengahkan oleh Fairclough dan Wodak[2], bahwa analisis wacana kritis melihat wacana—
pemakaian bahasa dalam tutur dan tulisan—sebagai bentuk dari praksis sosial. Dengan kata
lain, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana lewat bahasa subjek yang ada saling
bertarung serta mengiklankan versinya masing-masing.
Analisis wacana, termasuk analisis wacana kritis, masih sering disalahartikan atau dianggap
hanya sebagai bidang kajian bagi yang berlatar belakang ilmu komunikasi. Perlu diingat
kembali, karakteristik analisis wacana kritis yang menekankan sifat holistis beserta kontekstual
menjadikannya sebagai metode atau teori yang penting bagi kajian-kajian multidisiplin. Oleh
karena itu, analisis wacana, khususnya analisis wacana kritis, bisa menjadi kajian dalam
bidang-bidang ilmu sosial-humaniora yang beragam. Bisa dikatakan, analisis wacana kritis
sebagai salah satu metode analisis atau teori yang bisa dipakai bagi mereka yang ingin
melakukan penyadaran serta transformasi di tengah masifnya arus produksi teks, pusaran
wacana, dan simbol-simbol dalam lingkungan yang semakin apik menutupi segala bentuk
berhala atau makna yang tersembunyi di baliknya.

Sebagai contoh, khususnya dengan menggunakan metode analisis wacana kritis dari Norman
Fairclough, yakni dalam ranah analisis teks, praktik wacana, dan praktik sosial, kita
akan mencoba menganalisis salah satu novel yang di tahun 2017 menjadi novel
fenomenal (best seller) yang akhirnya difilmkan, yakni novel Sabtu Bersama Bapak karya
Adhitya Mulya. Novel ini bercerita tentang keluarga kecil Gunawan Garnida bersama istrinya
Itje Garnida, dan kedua anaknya Satya Garnida dan Cakra Garnida, juga ada Rissa Wira
Atmadja, istri dari Satya Garnida serta ketiga anak mereka; Ryan, Miku, Dani, dan Ayu
Retnaningtyas, calon istri Cakra Garnida. Sederhananya, novel ini adalah sebuah cerita
mengenai seorang pemuda yang belajar mencari cinta, tentang pria yang belajar menjadi bapak
dan suami yang baik, seorang ibu yang merawat mereka dengan penuh kasih sayang, dan
terakhir tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama
mereka.

Gunawan Garnida, pria berusia 38 tahun dan seorang kepala rumah tangga yang mengetahui
hidupnya sudah tidak lama lagi karena menderita kanker, berbagai fase sudah ia lewati
hingga mencapai fase acceptance (penerimaan). Ia akan meninggalkan istri (Itje), dan dua
anak laki-lakinya yang masih kecil (Satya dan Cakra). Walaupun Gunawan akan meninggal, ia
tetap menginginkan anak-anaknya tetap hidup dan berproses menjalani hidup dengan
bimbingannya, apalagi anaknya masih berumur delapan dan lima tahun. Gunawan tidak
memberikan kesempatan pada kematian untuk memberikan jarak dan menjauhkan anak-
anaknya dari sosok bapaknya. Karena itu, sebelum meninggal Gunawan membuat rekaman
video yang berisi pesan-pesan dan values (nilai-nilai) yang ingin ia ajarkan, sampai hal paling
remeh kepada kedua anak laki-lakinya yang kelak harus diputar Itje setiap hari Sabtu untuk
ditonton oleh kedua anaknya, dengan harapan agar anak-anaknya tumbuh tanpa kekurangan
dan kehilangan sosok ayah di sisi mereka. Di lihat melalui narasi sinopsis novel ini, sudah
menggambarkan sebuah praksis sosial, yakni praktik bahasa patriarki dan budaya patriarki,
baik secara eksplisit dan implisit. Lebih jelasnya, dijabarkan sebagai berikut:

A. Analisis Teks
Sebuah teks tidak hanya menunjukkan bagaimana suatu objek digambarkan, tetapi juga
bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan yang umumnya membawa muatan ideologi
tertentu, karena teks meliputi representasi, relasi, dan identitas. Berikut contohnya,

Struktur Hal yang Diamati dalam


Wacana Elemen Pemahaman novel Sabtu bersama Bapak

Aspek ini 1. Itje Garnida, istrinya, wanita


berhubungan dengan berusia 35 tahun (halaman 2).
bagaimana
2. Dia tahu, sekarang dialah menjadi
seseorang,
satu-satunya pilot dalam pesawat
kelompok, peristiwa,
yang bernama keluarga Garnida
dan kegiatan
(halaman 3).
ditampilkan dalam
teks; (1) pada tingkat 3. Gunawan, sang suami, sudah
kosakata, (2) pada menyiapkan semua bagi mereka
Representasi Anak Kalimat tingkat tata bahasa. (halaman 3).
Antara satu kalimat
dengan anak kalimat
yang lain bisa
digabung sehingga
membentuk suatu
pengertian yang bisa
dimaknai. Artinya,
realitas terbentuk
lewat bahasa dengan 1.Ada beberapa video yang sang
gabungan antara satu suami pernah berpesan agar diberikan
anak kalimat dengan kepada Satya dan Cakra diwaktu yang
Kombinasi anak kalimat yang berbeda karena usia mereka terpaut
Anak Kalimat lain. tiga tahun (halaman 7).
1.Bapak tetap ingin kalian tumbuh
Representasi ini dengan Bapak di samping kalian.
berhubungan dengan Ingin tetap dapat bercerita kepada
bagian mana dalam kalian. Ingin tetap dapat mengajarkan
kalimat yang lebih kalian. Bapak sudah siapkan. Ketika
menonjol kalian punya pertanyaan, kalian tidak
Rangkaian dibandingkan dengan pernah perlu bingung ke mana harus
Antar Kalimat bagian yang lain. mencari jawaban (halaman 5).
1.Bagi kedua remaja ini, apapun
Relasi berhubungan godaan main yang ada di luar, Sabtu
dengan bagaimana sore adalah waktu yang wajib mereka
partisipan dalam habiskan di dalam rumah. Ada alasan
Relasi
media berhubungan mengapa, sang ibu membolehkan
dan ditampilkan mereka memutar video Bapak yang
dalam teks. baru, setiap Sabtu sore (halaman 6).
2. Saat kebanyakan anak seusia
mereka bermain di luar, pada malam
Minggu, mereka berbeda. Mereka
memilih menghabiskan Sabtu sore di
ruang keluarga, menonton rekaman
Bapak (halaman 6).
1.Di kebanyakan waktu, Ibu Itje dapat
mendengar gelak tawa keluar dari
ruangan itu. Bapak mereka memang
lucu. Di lain waktu, hening. Di lain
waktu, Satya keluar dari ruang
keluarga dan masuk ke dalam kamar
mandi. Ibu Itje sekilas menangkap air
mata yang tertahan. Di lain waktu, Ibu
Itje menemukan Cakra—si Bungsu,
menangis dalam sepi. Menutup
mukanya dengan bantal. Menyadari
Identitas tidak hanya bahwa dia beruntung tidak kehilangan
berkaitan dengan sosok Bapak setelah meninggal.
sang penulis, tapi Menyadari betapa dia merindukan
juga bagaimana beliau juga. Terkadang, Cakra
publik serta khalayak memutar video sampai pagi (halaman
Identitas diidentifikasi. 6-7).

Analisis Representasi, Relasi, dan Identitas dalam Teks Novel Sabtu Bersama Bapak.
Awal mula cerita adalah pasca Gunawan Garnida meninggal dunia. Itje menggendong Cakra
yang masih berumur lima tahun dan menggandeng Satya yang berusia delapan tahun, sudah
sekitar dua Minggu mereka selalu sedih. Itje harus kuat untuk anak-anaknya karena sekarang
dia yang menjadi orangtua untuk kedua anaknya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat:

“Itje Garnida, istrinya, wanita berusia 35 tahun”.


“Dia tahu, sekarang dialah menjadi satu-satunya pilot dalam pesawat yang bernama
keluarga Garnida ini”.

Kalimat pertama merupakan representasi Itje sebagai seorang istri dari suaminya yang bernama
Gunawan Garnida, menggunakan representasi bahasa dalam bentuk peristiwa. Dalam kalimat
tersebut, hanya memasukkan satu partisipan saja dalam kalimat, yaitu Itje sebagai objek. Selain
itu, praktik patriarki melalui bahasa sudah terlihat dalam kalimat pertama. Dalam pernikahan
antara Itje dan Gunawan terjadi dominasi yang dilakukan Gunawan pada Itje. Setelah laki-laki
dan perempuan menikah, laki-laki tidak mengganti, meletakkan, atau dipanggil dengan nama
istrinya, sedangkan perempuan yang telah menikah akan mengganti, meletakkan, atau
dipanggil dengan nama suaminya untuk menunjukkan statusnya sebagai seorang istri dari laki-
laki atau suaminya[3]. Hal ini bisa dilihat dalam kalimat pertama, penggunaan dan peletakkan
nama “Garnida” dibelakang nama Itje merupakan representasi praktik patriarki melalui bahasa,
dimana Itje menunjukkan statusnya sebagai istri dari Gunawan dan secara eksplisit
menunjukkan bahwa Itje adalah milik dari laki-laki yang bernama Gunawan Garnida.

Kalimat kedua merupakan representasi Itje tentang keluarganya, menggunakan representasi


bahasa dalam bentuk tindakan. Subjek secara langsung melakukan tindakan, dalam hal ini
memiliki pemikiran sendiri tentang bagaimana keadaan keluarganya pasca suaminya
meninggal. Metafora yang digunakan “pilot dalam pesawat”, menggambarkan apa yang
terjadi di dalam keluarga Itje, bahwa Itje menyadari sekarang dialah yang memimpin sekaligus
membawa, mengendalikan, dan menentukan arah serta tujuan dari keluarganya. Lebih jauh,
dalam teks ini secara implisit mengandung praktik patriarki, yaitu dominasi laki-laki terhadap
perempuan, dalam hal ini melalui bahasa.

Terlihat dari kalimat “bernama keluarga Garnida”, Itje menunjukkan identitas keluarganya
dengan menggunakan nama belakang dari suaminya yaitu “Garnida”. Penggunaan dan
penempatan nama yang sederhana ini pun menunjukkan praktik patriarki melalui bahasa.
Seperti yang dikatakan oleh Spender, bahwa dominasi laki-laki melalui bahasa masuk sampai
ranah keluarga, dalam hal ini penggunaan nama keluarga di belakang nama anak atau anggota
keluarga harus menggunakan nama dari laki-laki atau ayah.

Dominasi patriarki yang dilakukan Gunawan Garnida di sini sebagai suami dari Itje serta ayah
dari Satya dan Cakra berlanjut, bisa terlihat dari kalimat berikut:

“Ada beberapa video yang sang suami pernah berpesan agar diberikan kepada Satya dan
Cakra di waktu yang berbeda karena usia mereka terpaut tiga tahun”.

Teks di atas merupakan kombinasi anak kalimat dengan keterangan sebab-akibat. Usia Satya
dan Cakra terpaut tiga tahun sebagai alasan Gunawan Garnida memerintahkan Itje untuk
memberikan beberapa video kepada Satya dan Cakra di waktu yang berbeda, misalnya, belum
saatnya anak berumur 14 tahun mendengar pesan untuk anak usia 17 tahun. Kalimat di atas
mencerminkan gambaran bahwa seorang ayah pun memiliki peran yang signifikan dalam
membentuk karakter dan perilaku anak-anaknya. Keterlibatan ayah dalam proses mengasuh
dan mendidik anak akan memberi dampak positif bagi proses tumbuh kembang anak secara
fisik, mental, dan sosial.
Lebih jauh, teks di atas juga menunjukkan peran ayah dalam keluarga tidak hanya sebagai
pencari nafkah, tetapi ayah punya peran lebih dari itu. Melalui keterlibatan ayah dalam
mengasuh dan mendidik, anak-anaknya akan cenderung tumbuh menjadi anak yang
berprestasi, memiliki kepercayaan diri, dan mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan.
Gunawan Garnida melaksanakan hal tersebut dengan mempersiapkan video-video sesuai
dengan tumbuh kembang anak-anaknya, dalam hal ini sesuai umur mereka.

Secara eksplisit, terjadi praktik budaya patriarki secara domestik dalam teks di atas yang
dilakukan Gunawan Garnida pada istrinya Itje. Praktik budaya patriarki secara domestik pada
teks direpresentasikan dengan kalimat imperatif, tetapi diperhalus dengan kosakata eufemisme
“berpesan”, dengan kosakata eufemisme ini, Itje tidak bisa menyangkal atau menolak apa yang
diucapkan oleh suaminya Gunawan sehingga Itje harus melaksanakannya. Selain itu, terjadi
perampasan pekerjaan merawat anak, seolah Gunawan mengesampingkan peran Itje sabagai
ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya dan tidak mempercayakan anak-anaknya di
bawah sentuhan tangan Itje. Hal ini menunjukkan laki-laki punya kuasa secara langsung
terhadap istrinya, dan istri harus menurut apa kata suami.

Terlihat bahwa Gunawan Garnida tidak ingin lepas, jauh, dilupakan, tetap ingin hadir dalam
keluarganya, dan tetap ingin memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, serta tidak ingin
anak-anaknya kekurangan kasih sayang yang nantinya bisa memunculkan kepribadian buruk.
Hal itu tergambarkan dari kalimat berikut:

“Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita
kepada kalian. Bapak sudah siapkan. Ketika kalian punya pertanyaan, kalian tidak pernah
perlu bingung ke mana harus mencari jawaban”.

Kalimat di atas merupakan representasi rangkaian antarkalimat dengan penggunaan kalimat


dominan. Melalui teks monolog pada rekaman video tersebut, ditonjolkan bahwa keberadaan
Gunawan sebagai sosok bapak dari Satya dan Cakra sangat penting. Kalimat tersebut juga
menggambarkan bahwa Satya dan Cakra tidak akan pernah kehilangan sosok bapak di sisi
mereka. Gunawan juga ingin menonjolkan bahwa keluarganya merupakan “keluarga baik”
yang tidak tercerai-berai atau kehilangan salah satu kasih sayang dari orangtua, apa
yang dimaksudkan di sini adalah tidak hanya bercerai tetapi juga meninggal dunia, serta
menunjukkan peran ayah tidak akan pernah hilang, dan tidak akan pernah putus. Selain itu, hal
lain yang ditonjolkan dan ingin disampaikan bahwa peran ayah dalam mendidik dan mengasuh
anak laki-laki akan membuat mereka lebih percaya diri serta lebih berani dan hal tersebut tidak
akan tercipta jika ibu mengambil peran dalam mendidik serta mengasuh anak laki-laki.

Lebih jauh, kalimat di atas secara keseluruhan mengandung praktik budaya dan bahasa
patriarki. Praktik bahasa patriarki ditunjukkan lewat kalimat deklaratif yang terdapat pada
kalimat di atas, yakni praktik monopoli bahasa untuk mengontrol anak-anaknya. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa tidaklah netral dan terdapat kekuatan dari pihak yang dominan
dalam bahasa, sehingga anak-anaknya, yaitu Satya dan Cakra tidak dapat menolak. Sedangkan
praktik budaya patriarki secara domestik ditunjukkan lewat penonjolan sosok ayah yang
mengetahui dan telah mempersiapkan segalanya untuk anak-anaknya, sekaligus
mengesampingkan atau menindas istri dan anak-anaknya secara tak langsung. Hal ini tersurat
dari keinginan Gunawan yang tetap ingin menguasai anak-anaknya, baik dalam hal
pertumbuhan, pengajaran, dan aktif dalam pendidikan anak atau sederhananya terlibat dalam
kehidupan anak, yang sekaligus menyubordinasi posisi Itje sebagai seorang istri dan ibu.

Relasi yang coba digambarkan adalah kedekatan, kelekatan atau bonding ‘ikatan’ yang terjadi
antara Gunawan dan anak-anaknya yaitu Satya dan Cakra. Hal ini dapat dilihat dari kalimat:

“Bagi kedua remaja ini, apa pun godaan main yang ada di luar, Sabtu sore adalah waktu yang
wajib mereka habiskan di dalam rumah. Ada alasan mengapa, sang ibu membolehkan mereka
memutar video Bapak yang baru, setiap Sabtu sore”.

“Saat kebanyakan anak seusia mereka bermain di luar, pada malam Minggu, mereka berbeda.
Mereka memilih menghabiskan Sabtu sore di ruang keluarga, menonton rekaman Bapak”.

Kedua kalimat di atas menggambarkan kerekatan atau bonding antara ayah dan anak adalah
hal yang penting. Keterikatan hubungan antara ayah dan anaknya (bonding) harus
dipertahankan dan jangan sampai hilang karena kerekatan antara ayah dan anak akan
berpengaruh positif pada tumbuh kembang anak, sehingga secara tak sadar kalimat tersebut
mengesampingkan hubungan dengan ibu. Lebih dalam, kedua kalimat di atas menunjukkan
dominasi Gunawan sebagai bapak atas anak-anaknya, yaitu Satya dan Cakra, serta istrinya,
Itje; dalam hal ini adalah praktik budaya patriarki di ranah domestik. Dominasi patriarki
domestik dalam kalimat pertama terlihat dari posisi Gunawan yang diuntungkan, karena anak-
anaknya tetap memutar video rekaman peninggalannya, dan Itje sebagai istrinya melaksanakan
perintah Gunawan untuk memutar video rekamannya setiap hari Sabtu.
Kalimat kedua, secara keseluruhan menggambarkan hubungan dominasi Gunawan pada anak-
anaknya. Biasanya malam Minggu dijadikan anak-anak remaja sebagai malam yang bebas
untuk bersenang-senang, jalan-jalan, bermain, dan sebagainya baik dengan teman maupun
pasangan; tetapi berbeda dengan yang dilakukan Satya dan Cakra. Melalui dominasi dan
konstruksi yang dilakukan Gunawan (dalam hal ini patriarki) membuat Satya dan Cakra
menghabiskan malam Minggu dengan cara yang berbeda, yaitu menonton rekaman video
bapaknya. Dengan demikian, terlihat bahwa penulis menempatkan kekuasaan Gunawan lebih
dominan dalam hubungannya dengan Itje serta Satya dan Cakra.

Namun, identitas yang ditampilkan penulis novel juga mewakili perasaan anak-anak yang
kehilangan salah satu orangtuanya, dalam hal ini meninggal dunia. Tergambar dalam rangkaian
kalimat berikut:
“Di kebanyakan waktu, Ibu Itje dapat mendengar gelak tawa keluar dari ruangan itu. Bapak
mereka memang lucu. Di lain waktu, hening. Di lain waktu, Satya keluar dari ruang keluarga
dan masuk ke dalam kamar mandi. Ibu Itje sekilas menangkap air mata yang tertahan. Di lain
waktu, Ibu Itje menemukan Cakra—si Bungsu, menangis dalam sepi. Menutup mukanya
dengan bantal. Menyadari bahwa dia beruntung tidak kehilangan sosok Bapak setelah
meninggal. Menyadari betapa dia merindukan beliau juga. Terkadang, Cakra memutar video
sampai pagi”.

Penulis novel juga menggambarkan citra lain yang harus dimiliki oleh seorang ayah. Guna
menunjukkan dirinya sebagai seorang ayah, seorang laki-laki biasanya membuat citra diri yang
galak, tegas, keras, dan sejenisnya supaya disegani anggota keluarganya. Selain itu, untuk
menunjukkan diri sebagai sosok ayah bisa juga dilakukan dengan citra yang humoris, seperti
gambaran Gunawan dalam kalimat di atas menunjukkan citranya sebagai ayah dengan cara
humoris, tetapi Gunawan menunjukkan citra dirinya sebagai ayah yang juga tegas, galak, dan
keras.

Lebih jauh, penulis novel menggambarkan bagaimana kondisi anak-anak yang kehilangan
sosok ayah dari sisi mereka. Seberapa pun tegarnya anak yang kehilangan sosok ayahnya, pasti
ada saat mereka akan sedih dan menangis karena rindu atau kangen akan kehadiran ayah di sisi
mereka. Walaupun sebelum meninggal sang ayah melakukan persiapan untuk membuat anak-
anaknya tidak merasa kehilangan sosok ayah dan tetap merasa beruntung sang ayah masih
di sisi mereka, tetap saja hal itu akan membuat anak-anak sedih dan menambah rasa
kerinduannya pada sang ayah.

Kalimat di atas tidak luput dari cengkraman dominasi Gunawan (praktik patriarki) sebagai
bapak dari Satya dan Cakra. Terlihat dari kalimat “menyadari bahwa dia beruntung tidak
kehilangan sosok bapak”. Teks tersebut merepresentasikan praktik bahasa patriarki yang
menghasilkan sebuah pemikiran yang mendominasi pihak tertentu, dalam hal ini yang
terdominasi adalah Satya dan Cakra, dari dominasi teks tersebut menghasilkan pemikiran
bahwa keberuntungan mereka adalah tetap memiliki sosok bapak, dan Gunawan sebagai bapak
adalah segalanya bagi mereka tanpa melihat kehadiran sosok ibu, dengan kata lain Gunawan
ingin abadi dalam diri serta pikiran anak-anaknya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Spender,
bahwa laki-laki menunjukkan keunggulannya melalui bahasa, melalui bahasa tersebut
terciptalah pemikiran.

b. Praktik Wacana
Dalam pandangan Fairclough, analisis praktik wacana (discourse practice) memusatkan
perhatian pada dua sisi praktik wacana, yakni dari produksi teks dan konsumsi teks. Teks
dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang akan menentukan seperti apa teks tersebut
diproduksi. Ihwal yang mempengaruhi dalam produksi teks adalah individu itu sendiri. Hal ini
melingkupi latar belakang, orientasi politik serta ekonomi, dan keterampilan mereka dalam
menarasikan kata demi kata menjadi kalimat.

Produksi teks juga berhubungan dengan bagaimana pola serta rutinitas pembentukan teks di
meja penulis. Proses ini tentunya melibatkan banyak pihak dan tahapan, seperti di
lapangan, sampai akhirnya menuju bagian pemasaran. Selain itu, perlu juga dilakukan
wawancara mendalam. Jika dikaitkan dengan pembahasan, maka produksi teks berasal dari
penulis novel Sabtu bersama Bapak, yakni Adhitya Mulya. Sedangkan konsumsi teks dilihat
dari pengonsumsian teks oleh pembaca, maksudnya melalui sudut pandang pembaca.

Produksi Teks
Latar belakang kelahiran novel ini adalah kegelisahan Adhitya Mulya yang mulai menjadi
sosok seorang ayah dalam keluarga. Ketika mulai membesarkan anak-anaknya, beliau merasa
ada beberapa nilai-nilai atau pakem-pakem sosial di masyarakat yang tidak lagi sejalan dengan
dirinya, seperti mengenai anak sulung, persoalan mengenai menikah, dan lain sebagainya.
Lewat kegelisahannya sebagai seorang ayah inilah ia kemudian menuliskan atau menuangkan
sudut pandang barunya, bahwa nilai-nilai atau pakem-pakem sosial yang ada di masyarakat itu
tidak semuanya benar, sehingga Adhitya Mulya mencoba menawarkan perspektif lain dalam
bentuk novel, maka lahirlah novel kelimanya dengan judul Sabtu bersama Bapak. Contoh
perspektif lain yang ditawarkan oleh Adhitya Mulya dalam novel ini adalah mengenai
pernikahan dan anak sulung.

Dalam proses menulis novel Sabtu bersama Bapak, Adhitya Mulya sengaja mengambil latar
belakang daerah asal keluarga dalam novel ini, yakni Bandung, karena beliau asli orang Sunda
yang pernah tinggal di Bandung, sehingga mudah baginya untuk memahami situasi dan kondisi
lokasi terkait (detail dan akurat). Secara tidak langsung, latar belakang daerah serta kondisi
keluarga dalam novel Sabtu bersama Bapak mirip seperti kondisi keluarga dari penulisnya,
yakni Adhitya Mulya: berasal dari kota Bandung dan sama-sama mempunyai dua anak laki-
laki yang memiliki perbedaan usia tiga tahun. Selain itu, novel ini merupakan yang paling dekat
dengan beliau, salah satu penyebabnya karena mengingatkan Adhitya Mulya dengan
orangtuanya.

Novel Sabtu bersama Bapak sebenarnya ditulis Adhitya Mulya melalui sudut pandang laki-
laki, sehingga tulang punggung ceritanya, yakni seorang laki-laki yang memberi pesan pada
laki-laki juga. Seorang laki-laki yang memberikan nasehat pada laki-laki bagaimana caranya
menjadi laki-laki dalam mencari jodoh, cara laki-laki dalam menjadi suami, dan cara laki-laki
dalam menjadi seorang bapak. Selain itu, Adhitya Mulya juga mengatakan novel ini bisa saja
mengambil sudut pandang perempuan, yakni bagaimana suami bisa bersikap pada istri, dan
bagaimana istri bersikap pada suami, namun hal ini tidak beliau tampilkan. Bisa disimpulkan,
cerita dalam novel Sabtu bersama Bapak ditampilkan dalam perspektif dan selera laki-laki,
mulai dari penggunaan sudut pandang yang sudah bias gender dan pembagian kerja juga lebih
menempatkan perempuan pada posisi kedua.
Proses penulisan novel Sabtu bersama Bapak berlangsung selama setahun, yakni dari tahun
2013 hingga tahun 2014. Novel ini menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah
dimengerti, juga dicampur dengan menggunakan bahasa Inggris, maka secara tidak langsung
menambah pengetahuan kosakata pembaca dalam mempelajari bahasa Inggris dan
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menguasai bahasa Inggris. Selain itu, novel ini
merupakan novel pertama Adhitya Mulya yang membutuhkan dua editor yang sering beliau
hubungi, yakni Alit Tisna Palupi dan Resita Febiratri. Adhitya Mulya memilih menerbitkan
novel Sabtu bersama Bapak melalui penerbit GagasMedia, karena Adhitya Mulya telah
bekerjasama dengan pihak GagasMedia sejak tahun 2003, jadi sudah berlangsung selama
sebelas tahun terhitung dari terbitnya novel Sabtu bersama Bapak pada tahun 2014, dan
kerjasama ini masih berlangsung sampai sekarang. Lewat penerbit GagasMedia, kemudian
dipasarkan di toko buku Gramedia yang memiliki jaringan pemasaran di seluruh Indonesia.
Hal ini sesuai dengan keinginan dari Adhitya Mulya supaya tujuan, pesan, atau perspektif yang
beliau tawarkan bisa sampai pada khalayak luas.

Konsumsi Teks
Proses konsumsi teks dilakukan dengan sudut pandang pembaca novel Sabtu bersama Bapak.
Setelah membaca novel Sabtu bersama Bapak, secara keseluruhan novel ini merupakan novel
yang benar-benar lengkap mewakili tiap dimensi dalam keluarga, juga secara tidak langsung
sebagai bahan bacaan mengenai parenting (mengasuh anak) yang ditawarkan lewat perspektif
penulis novel Sabtu bersama Bapak, yakni Adhitya Mulya.

Lebih dalam, dari sudut pandang sebagai pembaca, cerita dalam novel ini dirasa
kuat merepresentasikan ideologi patriarki. Mulai dari penggunaan atau peletakan nama di
belakang untuk menunjukkan identitas keluarga dengan menggunakan nama dari suami atau
bapak (laki-laki) Gunawan Garndia, seperti Itje Garnida, Satya Garnida, dan Cakra Garnida.
Selanjutnya, seorang suami atau bapak sebagai sutradara yang mengatur pola pikir, tindakan,
dan hidup istri serta anak-anaknya dengan segala perencanaan yang telah dia siapkan, yang
rasanya itu semua benar, sehingga istri dan anak-anaknya harus melaksanakannya. Selain itu,
pembuatan rekaman video yang di dalamnya berisi tentang pesan, pendidikan, dan semua
jawaban dari masalah yang dihadapi anak-anaknya, sesuai dengan keinginan dari sosok bapak
yang tetap ingin anak-anaknya tumbuh di samping dirinya walaupun wujud
fisiknya sudah tidak ada, ini dapat diartikan betapa sosok Gunawan sesungguhnya ingin
“abadi”, yang sekaligus berdampak pada dikesampingkannya peran dari istri atau ibu. Bisa
dikatakan, bapak merupakan sosok yang superior, karena bapak adalah tempat bertanya dan
tempat untuk menemukan segala jawaban, bapak juga dianggap sebagai sosok terpenting
karena memiliki logika tak terbantahkan yang dibutuhkan anak-anaknya ketika dewasa.
Dengan kata lain, tanpa sosok bapak, kita tidak akan mengenal kata dan dunia.

a. Praktik Sosial
Praktik sosial didasarkan bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi
bagaimana wacana yang ada dalam media. Memang tidak berhubungan langsung, namun hal
ini menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Sederhananya, dimensi peristiwa
sosial yang menunjukkan bagaimana teks terbentuk oleh, dan membentuk praktik sosial. Perlu
dipahami, bahwa praktik sosial dalam menentukan teks terjadi secara tidak langsung, tetapi
dimediasi oleh praktik wacana—produksi teks dan konsumsi teks. Fairclough membagi tiga
level analisis pada praktik sosial;

1. Level Situasional
Teks diproduksi dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik, sehingga satu teks
menjadi berbeda dengan teks yang lain. Artinya, teks atau wacana tersebut sebagai suatu
tindakan untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu. Misalnya dalam konteks narasi
novel Sabtu bersama Bapak, ide awal Adhitya Mulya menulis novel Sabtu bersama
Bapak muncul karena kegelisahan yang dirasakan dari tahun 2006 hingga 2013
sebagai seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya, karena ada nilai-nilai atau pakem-
pakem sosial dalam membesarkan anak dalam masyarakat yang tidak sejalan dengan dirinya
(Adhitya Mulya). Lewat rasa kegelisahannya sebagai seorang ayah, ia terpicu untuk
menuliskan atau menuangkan sudut pandang barunya, bahwa nilai-nilai atau pakem-pakem
sosial yang ada di masyarakat itu tidak semuanya benar, sehingga Adhitya Mulya mencoba
menawarkan perspektif lain dalam bentuk novel, maka lahirlah novel kelimanya dengan
judul Sabtu bersama Bapak, dan hanya menggunakan sudut pandang laki-laki. Selain itu,
novel Sabtu bersama Bapak memiliki perbedaan dengan novel-novel yang beredar dewasa ini.
Perbedaan tersebut adalah tema yang diambil dalam novel Sabtu bersama
Bapak menggunakan tema tentang keluarga, yang digabungkan dengan unsur dramatisasi dan
komedi, tema yang masih tidak begitu banyak atau jarang digunakan oleh penulis novel tanah
air.

2. Level Institusional
Level institusional melihat pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana, bisa
berasal dalam diri penulis sendiri, juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar penulis yang
menentukan proses produksi berita, contohnya tema yang diangkat mengikuti kebutuhan
khalayak. Dalam hal ini, novel Sabtu bersama Bapak ditulis secara mandiri oleh Adhitya
Mulya tanpa adanya campur tangan dari orang lain yang membantu. Dalam pengerjaannya,
novel Sabtu bersama Bapak membutuhkan dua editor yang sering dihubungi oleh Adhitya
Mulya, yakni Alit Tisna Palupi dan Resita Febiratri. Novel Sabtu bersama Bapak diterbitkan
oleh penerbit GagasMedia, ini dilakukan karena Adhitya Mulya telah lama bekerjasama
dengan pihak penerbit GagasMedia. Kerjasama ini dimulai dari tahun 2003 hingga saat ini.
Novel ini kemudian dipasarkan melalui toko buku Gramedia yang mempunyai jaringan di
seluruh Indonesia, hal ini pun tentu berdampak positif terhadap proses pemasaran
novel Sabtu bersama Bapak.
Sesuai dengan tujuan atau cita-cita Adhitya Mulya dalam novel ini, yaitu menawarkan
perspektif yang beliau miliki dalam membesarkan anak, karena menurutnya pakem-pakem
tentang membesarkan anak yang ada dalam masyarakat tidak sejalan dengan pemikirannya dan
tidak semuanya benar. Misalnya, dalam masyarakat Indonesia seringkali mengucapkan atau
mengajarkan bahwa menjadi anak sulung itu berarti harus mengalah, menjadi contoh, dan lain
sebagainya. Pakem-pakem pendidikan anak seperti inilah yang tidak disetujui oleh Adhitya
Mulya dan menurutnya tidak benar. Melalui penerbit GagasMedia dan dengan dipasarkannya
novel ini melalui jaringan toko buku Gramedia seluruh tanah air, tujuan atau cita-cita Adhitya
Mulya untuk menyampaikan perspektif itu pada masyarakat kiranya telah tercapai. Hal ini
dapat ditilik lewat novel ini yang sudah memasuki cetakan ke-27 dan terjual lebih dari 66.000
eksemplar.

Level Sosial
Pengaruh dari faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam teks.
Fairclough menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan
masyarakat, misalnya budaya masyarakat. Sudut pandang aspek sosial lebih mengarah pada
aspek makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat.
Contohnya, dalam masyarakat yang kental dengan ideologi patriarki, maka nilai-nilai ini akan
turut andil dalam menyetir isi narasi. Dengan kata lain, teks dalam analisis level sosial dibedah
juga dengan dunia nyata, bisa lewat media cetak lokal, nasional, internasional,
media online, dan lain sebagainya. Misalnya saja dalam novel Sabtu bersama Bapak karya
Adhitya Mulya, praksis sosial yang terjadi adalah dalam ranah aspek budaya masyarakat, yakni
praktik bahasa patriarki dan budaya patriarki.

Secara sadar ataupun tidak, praktik patriarki ini terjadi di beberapa lembaga utama dalam
masyarakat, antara lain sebagai berikut;

1). Keluarga
Keluarga adalah satuan terkecil masyarakat dan mungkin merupakan yang sangat patriarkis.
Dalam keluarga di tanah air umumnya, hierarki laki-laki lebih tinggi dan dampaknya ia
lebih berkuasa, sedangkan perempuan lebih rendah dan dikuasai. Keluarga merupakan
lembaga pendidikan pertama bagi generasi berikutnya dan pendidikan tersebut tidak terlepas
dari patriarki. Ideologi patriarki diperkenalkan pada setiap anggota keluarga, terutama pada
anak-anak, dengan kata lain dalam keluargalah kita mendapatkan pelajaran pertama mengenai
subordinasi dan diskriminasi. Berdasarkan hal inilah keluarga dikatakan menjadi salah satu
lembaga patriarki.

2). Sistem Ekonomi dan Lembaga Ekonomi


Dalam sistem ekonomi patriarki, laki-laki mengontrol dan menguasai lembaga-lembaga
ekonomi, dengan cara memiliki sebagian besar harta, mengarahkan dan menentukan kegiatan
ekonomi serta nilai kegiatan-kegiatan produktif. Kerja produktif perempuan tidak diakui dan
tidak dibayar, bahkan kerja rumah tangga tidak dinilai sama sekali.

3). Media
Media merupakan alat yang sangat penting untuk menyebarluaskan ideologi patriarki, dan hal
ini masih terjadi sampai sekarang. Media dalam hal ini seperti televisi, film, koran, novel, dan
lain sebagainya. Pesan-pesan tentang superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan
ditampilkan bahkan secara berulang-ulang. Dominasi atau superioritas laki-laki ini dilakukan
secara langsung, tidak langsung, secara keras, ataupun halus. Dalam hal ini, praktik patriarki
bisa dikatakan terjadi dalam bentuk teks ataupun cerita. Seperti dalam beberapa contoh berikut:

a. Film Kramer vs Kramer


Dalam film ini, kecukupan kramer sebagai seorang laki-laki, yang diperankan oleh Dustin
Hoffman, tergantung atas kecukupannya sebagai seorang ayah yang mengasuh, bukan sebagai
penyedia ekonomi[1].

b. Film Madame Bovary


Film yang tayang pada tahun 2014 dan disutradarai oleh Sophie Barthes ini diperankan oleh
Mia Wasikowska sebagai Madame Bovary, istri dari seorang laki-laki bernama Charles Bovary
yang diperankan oleh Henry Lloyd Hughes. Film ini menceritakan tentang seorang wanita
muda dari sebuah desa kecil di daerah Normandy, Prancis, yang bermimpi untuk menemukan
cinta dan kehidupan yang menyenangkan di balik kentalnya budaya patriarki saat itu—dia
menemukan laki-laki lalu menikah. Namun, keadaan hidupnya tidak seperti yang ia harapkan,
karena budaya patriarki suaminya yang sangat kuat, ia sekadar berperan sebagai nyonya
rumah.

c. Film Osama
Film ini diproduksi oleh Siddiq Barmak Film, film pertama di Afganistan semenjak keruntuhan
Taliban, dan film ini diambil dari kisah nyata. Film ini menceritakan seorang anak perempuan
berumur 12 tahun dan ibunya yang selamat dari aksi demonstrasi. Selanjutnya, ketika Taliban
menerapkan hukum perempuan tidak boleh bekerja dan melarang perempuan keluar rumah
tanpa didampingi laki-laki, mereka pun terkena imbasnya. Mengakali hal tersebut, ibunya
mendandani Osama menjadi laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, Osama
terjaring oleh program wajib sekolah dan wajib militer Taliban. Akhirnya, Osama diketahui
sebagai seorang perempuan, kemudian dia diampuni di persidangan, tetapi Osama harus
menikah dengan ustadnya sendiri yang berusia 70 tahun.

d. Novel Sekuntum Ruh dalam Merah karya Naning Pranoto


Novel ini menceritakan beberapa tokoh perempuan yang berada dibawah dominasi laki-laki,
seperti tokoh Sri Mumpuni. Sri Mumpuni merupakan sosok istri yang baik, penurut, dan
menghormati suami. Selain itu, Sri Mumpuni sangat taat pada adat Jawa yang berlaku
di masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki merupakan raja dalam keluarga, jadi
kepentingannya harus didahulukan daripada kepentingan perempuan. Contohnya, Sri
Mumpuni tidak berani mencicipi atau memakan terlebih dahulu makanan sebelum suaminya
mencicipi atau memakannya.

e. Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadaawi


Tokoh utama dalam novel ini bernama Firdaus dan dia merupakan perempuan, novel ini
menunjukkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-perempuan Mesir di tengah kebudayaan
Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Semisal, saat Firdaus remaja, ia ingin belajar di
Kairo seperti pamannya, tapi dia tidak diperbolehkan belajar di sana karena dia perempuan.

Lewat kerangka analisis wacana kritis dari Fairclough, kita bisa melihat bahwa Fairclough
berusaha menghubungkan antara analisis teks pada level mikro dengan konteks makro, yakni
konteks sosial, dalam hal ini praktik sosial. Pertama, analisis teks bertujuan untuk
mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks, dan itu dilakukan dengan menganalisis
bahasa secara kritis lewat berbagai pisau bedah. Kedua, praktik wacana menjembatani teks
dengan konteks sosial. Oleh karenanya, hubungan antara konteks sosial dengan teks bersifat
tidak langsung dan disambungkan lewat lidah praktik wacana yang dikemas dengan beragam
bentuk. Ketiga, praktik sosial untuk mengetahui penjelasan atas penafsiran kita. Penjelasan atas
tafsir itu diperoleh dengan menghubungkan produksi teks dengan praktik sosial di mana suatu
wacana berada.

Ketiga tahapan analisis di atas, telah kita digunakan dalam menganalisis novel Sabtu bersama
Bapak karya Adhitya Mulya, bahwa citra ayah dalam novel ini sangat superior dan sangat
mendominasi dalam keluarga, bahkan hingga mendominasi kehidupan menantu serta cucu-
cucunya. Dengan kata lain, lewat narasi dalam novel ini, seolah menjadi media pendukung
untuk melanggengkan pandangan masyarakat mengenai citra laki-laki sebagai pemegang
kuasa, sedangkan citra perempuan sebagai pihak yang dikuasai. Inilah dimensi sosiologis yang
terdeteksi melalui model analisis wacana kritis dari Norman Fairclough.

Lebih jauh, kita juga bisa melihat bahwa lewat model ini dan hasil analisisnya, wacana adalah
suatu bidang yang sangat kompleks. Semua kompleksitas ini berupaya
diurai, diabstraksikan, dan digambarkan dalam model analisis wacana kritis dari Fairclough.
Model ini juga berusaha menghubungkan wacana media dengan bentuk wacana umum lainnya
yang terjadi dalam masyarakat, serta melihat bagaimana pengaruh diskursusnya.

“Yang paling berbahaya bukanlah kekuasaan lewat tindakan, melainkan kekuasaan yang
dilakukan melalui bahasa—tak terasa tapi ada.”

Anda mungkin juga menyukai