Anda di halaman 1dari 18

1.

Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering menimbulkan letusan
Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan angka kematian yang besar, hal ini
menyebabkan DBD menjadi salah satu masalah kesehatan yang penting. Jenis
nyamuk sumber penular (vektor) penyakit DBD adalah aedes aegypti, aedes
albopictus, dan aedes scutellaris, namun hingga saat ini yang menjadi vektor
utama penyebar DBD adalah aedes aegypti [1]. Peningkatan Kejadian Luar Biasa
(KLB) penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya kepadatan
vektor. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa semakin tinggi
angka kepadatan vektor maka semakin tinggi pula resiko penularan penyakit DBD
[2]. Kepadatan vektor dapat diukur menggunakan parameter Angka Bebas Jentik
(ABJ) dan House Index (HI). Incidence Rate (IR) digunakan untuk mengetahui
gambaran frekuensi penyakit DBD. Dengan mengetahui gambaran frekuensi
penyakit DBD dapat diketahui pula berapa besar masalah kesehatan yang sedang
dihadapi [3].
WHO memperkirakan, setiap tahun sebanyak 500.000 pasien DBD
membutuhkan perawatan rumah sakit, sebagian besar diantaranya adalah anak-
anak. Penyakit ini berkembang di beberapa negara tropis dan sub tropis, mulai
dari Afrika, Amerika, Mediterania dan Asia Tenggara [4]. Sebanyak 2,5 milyar
penduduk dunia beresiko terserang DBD, 52% berada di wilayah Asia Tenggara
[5]. Menurut peta wabah DBD di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada
diurutan kedua terbesar setelah Thailand berdasarkan jumlah angka kesakitan
(morbidity rate) dan kematian (mortality rate) selama kurun waktu 1985–2004.
WHO mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi
di Asia Tenggara hingga tahun 2009 [6].
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI, tahun 2009
tercatat jumlah penderita DBD sebesar 154.855 orang dan 1.384 orang meninggal
dunia [7]. Tahun 2010 terjadi penurunan dengan ditemukan kasus DBD sebesar
150.000 kasus, dimana sebanyak 1.317 orang meninggal dunia. Tahun 2005 di
Jawa Tengah ditemukan 7.144 kasus DBD yang tersebar di seluruh
kabupaten/kota di Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Semarang dengan angka
kematian 3,29%. Pada tahun 2008 di Kabupaten Semarang terjadi penurunan
kasus setelah sebelumnya terjadi peningkatan selama tiga tahun berturut-turut [8].
Penyakit DBD yang cenderung meningkat dan meluas penyebarannya
sejak tahun 1968 mengakibatkan turunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Meningkatnya angka penderita DBD disebabkan oleh sulitnya pengendalian
penyakit yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti [9]. Selama ini upaya
pengendalian penyakit DBD dilakukan dengan pemberantasan vektor oleh Dinas
Kesehatan beserta masyarakat setempat. Hal ini dilakukan karena belum
ditemukan obat dan vaksin yang dapat mencegah penyakit DBD. Kurangnya
sarana pendeteksian dini serangan DBD mengakibatkan kurangnya informasi
yang dibutuhkan untuk pemberantasan vektor [10].
Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan penelitian dan pemodelan spasial
persebaran penyakit DBD berdasarkan kepadatan vektor dan Incidence Rate (IR)

2
di Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan variabel Angka Bebas Jentik
(ABJ), House Index (HI) dan Incidence Rate (IR) periode tahun 2005–2009, untuk
menentukan persebaran penyakit DBD. Metode yang digunakan adalah metode
Moran’s I yang dibagi menjadi dua, yaitu global dan lokal [11].
Moran’s I merupakan metode yang digunakan sebagai identifikasi
karakteristik pola spasial dalam tiga bentuk, yang meliputi pemusatan
(clustering), acak (random) atau terpisah (uniform). Metode Morans’ I dibagi
menjadi dua, yaitu Morans’ I global dan Moran’s I lokal. Morans’ I global adalah
analisis pola asosiasi spasial pada skala yang luas. Moran’s I lokal atau Local
Indicator Spasial Association (LISA) adalah kuantifikasi autokorelasi spasial
dalam wilayah yang lebih kecil dibanding dengan Morans’ I global [12].

2. Tinjauan Pustaka
Dalam Penelitian sebelumnya yang berjudul “Model Spasial Klasifikasi Wilayah
Resiko Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Fungsi Gi* Statistik”,
disebutkan fungsi Gi* digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antar wilayah
dan menghasilkan pengelompokan wilayah dengan hotspot sebagai penentu
tinginya keterkaitan antar wilayah. Metode Gi* memiliki nilai autokorelasi antara
+2 hingga -2. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini
menggunakan metode Moran’s I untuk menunjukkan keterkaitan antar wilayah.
Metode Moran’s I memiliki nilai autokorelasi antara +1 hingga -1 [13].
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Arma Christina Naftali berjudul
“Pemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan
Fungsi Moran’s I” memiliki kesamaan penghitungan dalam pencarian pola dan
ditampilkan dalam pemetaan. Pada penelitian sebelumnya Moran’s I global
digunakan untuk menunjukkan pengelompokan (cluster) secara global dan LISA
digunakan untuk menunjukkan jenis korelasi tinggi atau rendah. Berdasarkan
penelitian tersebut, dapat disimpulkan pemodelan dengan perhitungan Moran’s I
dapat digunakan untuk menggambarkan pola kejadian DBD yang terjadi di
lapangan [14]. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini
menggunakan tiga variabel yang terdiri dari Angka Bebas Jentik (ABJ), House
Index (HI) dan Incidence Rate (IR) untuk menggambarkan pola kejadian DBD
yang terjadi di lapangan.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes, dengan ciri demam tinggi
mendadak disertai manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan
(shock) dan kematian. Terjadinya shock bergantung pada jenis tipe virus dengue
(dikenal dengan serotipe), yakni Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4.
Selain itu tingkat kekebalan tubuh ikut mempengaruhi terjadinya shock atau tidak
pada tubuh penderita. Infeksi virus dengue memperlihatkan gejala klinis penyakit
yang bervariasi dari derajat ringan sampai derajat berat. Infeksi dengue yang
paling ringan hampir tidak menimbulkan gejala atau demam tanpa manifestasi
klinis yang jelas. Infeksi dengue yang ringan akan sembuh dengan sendirinya
tanpa pengobatan [15]. Penyakit DBD memiliki beberapa gejala klinis, yaitu : (1)
Demam tinggi yang mendadak selama 2 - 7 hari (38oC - 40oC), (2) Adanya bintik-

3
bintik perdarahan pada tubuh penderita, (3) Terjadi perdarahan di kelopak mata
bagian dalam (konjungtiva), mimisan (epitaksis), buang air besar dengan
kotoran (feses) berupa lendir tercampur darah (melena), (4) Tekanan darah
menurun hingga menyebabkan shock, (5) Terjadi pembesaran hati (hepatomegali)
[16].

Kepadatan Vektor digunakan untuk monitoring kepadatan populasi aedes


aegypti. Hal ini sangat penting untuk memantau ancaman DBD di setiap
kabupaten/kota, sehingga pemberantasan nyamuk sebagai vektor utama DBD
dapat ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan cara pemantauan vektor DBD yang
mencakup survei nyamuk dewasa dan survei jentik. Survei nyamuk dewasa
digunakan untuk mengetahui densitas vektor dengan melihat indeks nyamuk
dewasa. Survei jentik digunakan untuk melihat ada atau tidak jentik di setiap
genangan air tanpa mengambil jentik. Ukuran yang digunakan untuk mengetahui
kepadatan jentik yaitu: (1) Angka Bebas Jentik (ABJ), (2) House Index (HI), (3)
Container Index (CI), (4) Breteau Index (BI) [17]. Kepadatan vektor yang menjadi
acuan dalam pembuatan pemodelan spasial penyebaran DBD ini adalah survei
jentik dengan ukuran ABJ dan HI. Hal ini disebabkan karena ABJ dan HI
dianggap dapat mewakili kepadatan vektor di suatu wilayah. Angka Bebas Jentik
(ABJ) merupakan rumah atau tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik
pada pemeriksaan jentik [18]. Keberadaan jentik suatu wilayah dapat diketahui
dengan indikator ABJ atau Larva Free Index. Angka Bebas Jentik (ABJ) memiliki
indikator nasional sebesar 95% [19]. ABJ yang rendah pada suatu wilayah
memungkinkan semakin banyak peluang untuk proses transmisi virus. Angka
Bebas Jentik dapat didefinisikan dengan persamaan 1 [20]:

Jumlah Rumah Tanpa Jentik


Angka Bebas Jentik ABJ = × 100% (1)
Jumlah Rumah Periksa

House Index (HI) merupakan rumah atau tempat-tempat umum


ditemukannya jentik pada pemeriksaan jentik. ABJ dan HI menggambarkan
luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah. Berbanding terbalik dengan ABJ,
House Index (HI) yang rendah dalam suatu wilayah memungkinkan sedikitnya
peluang proses transmisi virus. HI memiliki indikator nasional sebesar 5%. HI
dapat didefinisikan dengan persamaan 2 [21]:

Jumlah Rumah Ditemukan Jentik


𝐻𝑜𝑢𝑠𝑒 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 𝐻𝐼 = × 100% (2)
Jumlah rumah Periksa

Incidence Rate (IR) adalah jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan
dalam jangka waktu tertentu (umumnya satu tahun) dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut pada pertengahan jangka
waktu yang bersangkutan. Incidence Rate (IR) dapat didefinisikan dengan
persamaan 3 :

Jumlah Penderita Baru


𝐼𝑛𝑐𝑖𝑑𝑒𝑛𝑐𝑒 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝐼𝑅 = Jumlah ×K (3)
Penduduk yang Mungkin Terkena

4
Dimana :
K : Konstanta (100%, 1000% atau 1000 penduduk)
IR mempunyai beberapa manfaat dalam epidemologi, antara lain: (1)
Mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi, (2) Mengetahui resiko atau
dampak dari masalah kesehatan yang dihadapi dan (3) Mengetahui beban tugas
yang harus diselenggarakan oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan [22].

Autokorelasi Spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri


berdasarkan ruang atau dapat diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di
dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah) [23]. Jika terdapat pola sistematik
di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial.
Autokorelasi spasial menunjukkan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait
dengan nilai atribut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga).
Gambar 1 merupakan gambaran pola autokorelasi spasial.

Gambar 1 Contoh Pola Autokorelasi Spasial


Gambar 1 menunjukkan autokorelasi spasial dikatakan bernilai positif,
apabila daerah di dekatnya atau tetangga memiliki kesamaan. Bernilai negatif,
apabila menggambarkan pola dimana daerah tetangga tidak seperti atau berbeda
pada pengelompokan wilayah. Jika pola yang terbentuk adalah acak (random),
maka tidak menunjukkan autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial berasal dari
prinsip terbentuknya poligon, garis dan titik pada dua dimensi spasial. Setiap satu
set sel (kumpulan titik-titik) yang bersebelahan atau berdekatan memiliki dua
dimensi spasial, sedangkan setiap satu sel memiliki nilai titik koordinat (x,y) yang
membentuk satu sel untuk satu piksel (kumpulan sel). Prinsip kedekatan dan jarak
ketetanggaan dihitung melalui titik-titik koordinat yang dimiliki oleh satu piksel.
Pola poligon, garis dan titik yang terbentuk dari satu set sel yang berdekatan akan
membentuk pola autokorelasi spasial.
Moran’s I merupakan salah satu indikator tertua autokorelasi spasial [24].
Moran’s I pada awalnya merupakan metode untuk menentukan korelasi non–
spasial, kemudian dikembangkan dalam kontek spasial. Moran’s I digunakan
untuk menentukan tingkat kesamaan atau kemiripan nilai atribut suatu variabel
tertentu. Prinsip kerja dari metode ini adalah membandingkan nilai variabel
tertentu pada setiap lokasi dengan nilai pada semua lokasi lain [25]. Metode
Moran’s I dapat digunakan untuk menentukan pola spasial global dan pola spasial
lokal. Pola spasial global dapat didefinisikan sebagai Global Moran’s I dengan
persamaan 4 :
𝑛 𝑖 𝑗 𝑤 𝑖𝑗 𝑥 𝑖 −𝑥 𝑥 𝑗 −𝑥
𝐼= 2
(4)
𝑖 𝑗 𝑤 𝑖𝑗 𝑖 𝑥 𝑖 −𝑥

5
Dimana :
n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang diidentifikasi
𝑤𝑖𝑗 : Berat spasial matrik atau elemen spatial weight matrix
𝑥𝑖 : Nilai unit analisis i
𝑥𝑗 : Nilai unit analisis tetangga
𝑥 : Nilai rata-rata 𝑥
Pembobot 𝑤𝑖𝑗 yang merupakan berat spasial matrik mempunyai aturan
bernilai 1 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berdekatan, sedangkan
bernilai 0 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berjauhan. Pembobot 𝑤𝑖𝑗
dapat ditampilkan dalam matrik kedekatan (contiguity matrics) yang sesuai
dengan hubungan spasial antar lokasi yang menggambarkan hubungan antar
daerah. Nilai koefisien Moran’s I berkisar antara -1 dan +1. Autokorelasi akan
bernilai negatif (tidak memiliki korelasi) ketika bernilai antara 0 dan -1,
sedangkan autokorelasi akan bernilai positif (memiliki korelasi) ketika bernilai
antara 0 dan +1. Nilai Moran’s I yang negatif dan positif memiliki asosiasi secara
spasial dengan wilayah sekelilingnya. Visualisasi besarnya asosiasi data dalam
keruangan dilakukan menggunakan Moran Scatterplot. Visualisasi ini bertujuan
untuk menyediakan analisis perilaku variabilitas data dalam keruangan. Cara kerja
Moran Scatterplot adalah dengan membandingkan nilai atribut dalam wilayah
studi dengan nilai rerata atribut sekeliling wilayah studi dalam bentuk grafik dua
dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran. Contoh Moran Scatterplot disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 2 Moran Scatterplot


Gambar 2 menunjukkan Moran’s Scatterplot dibagi menjadi empat bagian
yang disebut dengan kuadran. Wilayah studi dikatakan memiliki kesamaan nilai
atribut dengan nilai rerata wilayah sekitarnya dan memiliki nilai autokorelasi
spasial positif ketika data berada pada kuadran I dan kuadran III. Data yang
berada pada kuadran I mempunyai arti bahwa nilai atribut pada wilayah studi dan
rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi positif (High High). Data yang berada
pada kuadran III mempunyai arti bahwa nilai atribut pada wilayah studi dan rerata
nilai atribut sekeliling wilayah studi negatif (Low Low). Wilayah studi dikatakan
tidak memiliki kesamaan nilai atribut dengan nilai rerata wilayah sekitarnya dan
memiliki nilai autokorelasi spasial negatif ketika data berada pada kuadran II dan
kuadran IV. Data yang berada pada kuadran II mempunyai arti bahwa nilai atribut

6
wilayah studi negatif dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi positif (Low
High). Data yang berada pada kuadran IV mempunyai arti nilai atribut wilayah
studi positif dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi negatif (Low High).
Pola spasial lokal dapat didefinisikan sebagai Local Moran’s I atau Local
Indicator Spasial Association (LISA). LISA dapat didefinisikan dengan
persamaan 5 :
𝑥 𝑖 −𝑥
𝐼𝑖 = 2 𝑗 𝑤𝑖𝑗 𝑥𝑗 − 𝑥 (5)
𝑖 𝑥 𝑖 −𝑥
𝑛

Dimana :
𝑥𝑖 : Nilai unit analisis i
𝑥 : Nilai rata-rata variabel i
𝑥𝑗 : Nilai unit analisis tetangga
n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang diidentifikasi
𝑤𝑖𝑗 : Berat spasial matrik atau elemen spatial weight matrix
Autokorelasi spasial lokal dapat ditentukan dengan analisis Moran
Scatterplot dan Local Indicator Spasial Association (LISA). LISA
divisualisasikan menggunakan peta yang digunakan untuk menunjukkan lokasi
daerah studi yang signifikan statistik terjadinya pengelompokan nilai atribut
(cluster) atau terjadinya pencilan (outlier). Pola spasial menunjukkan signifikan
lokal cluster ketika data berkarakteristik High High (HH) atau Low Low (LL),
sedangkan pola spasial menunjukkan signifikan lokal outlier ketika data
berkarakteristik High Low (HL) atau Low High (LH). Jumlah LISA untuk setiap
wilayah studi sebanding atau sama dengan Moran’s I global.

3. Metode Penelitian
Tahapan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
1. Tahap penyusunan data awal
2. Desain dan arsitektural pemodelan
3. Pemodelan dan visualisasi
Tahap penelitian ini digambarkan menjadi bagan yang disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 3 Tahap Penelitian

7
Berdasarkan Gambar 3, tahap penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut,
tahap penyusunan data bertujuan untuk menentukan data, lokasi dan studi pustaka
yang digunakan dalam proses penelitian. Tahap penyusunan data awal terdiri dari:
(1) Pengumpulan data dengan melakukan survei di Dinas Kesehatan Kabupaten
Semarang, (2) Pengumpulan data dengan melakukan survei di Badan Pusat
Statistik Kabupaten Semarang. Data dan variabel yang digunakan dalam
penelitian meliputi : (1) Data ABJ dan HI sebagai ukuran kepadatan vektor tingkat
kecamatan di Kabupaten Semarang periode tahun 2005–2009, (2) Data IR tingkat
kecamatan di Kabupaten Semarang dan (3) Data spasial Kabupaten Semarang
dalam bentuk peta disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta Kabupaten Semarang


Tahap desain dan arsitektural pemodelan terdiri dari proses input data,
pemodelan spasial ABJ, HI dan IR menggunakan metode Moran’s I. Sumber data
model secara umum dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu (1) Informasi data
ABJ, HI dan IR tingkat kecamatan Kabupaten Semarang dan (2) Data spasial
dalam bentuk peta vektor dengan format shapes files. Pemrosesan data
menggunakan tool R dari http://cran-r.project menggunakan package class, e1071,
classInt, spdep, maptools, RcolorBrewer,

foreign.

Gambar 5 . Desain Arsitektural Model


Gambar 5 menunjukkan desain arsitektural model yang dijelaskan sebagai
berikut. Pada bagian Data Layer, terdiri dari data ABJ, HI dan IR tingkat
kecamatan di Kabupaten Semarang periode tahun 2005–2009 dan data spasial
wilayah Kabupaten Semarang yang terdiri dari 19 kecamatan. Data tersebut

8
merupakan data masukan pada proses Application Layer. Pada bagian Application
Layer, dilakukan proses pemodelan ABJ, HI dan IR menggunakan metode
Moran’s I dengan pemrosesan data menggunakan tool R untuk menggambarkan
pola kejadian variabel yang kemudian divisualisasikan pada Vizuallization Layer.
Pada bagian Vizualization Layer hasil pemodelan divisualisasikan dalam bentuk
Moran Scatterplot dan peta LISA. Hasil visualisasi ini dianalisis untuk
menentukan persebaran penyakit DBD tingkat kecamatan di Kabupaten
Semarang.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Jumlah kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Selama ini telah dilakukan pengendalian penyakit dengan memberantas nyamuk
yang merupakan vektor utama penular penyakit DBD. Sulitnya pengendalian
penyakit DBD disebabkan oleh kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk
pemberantasan vektor, sehingga dibutuhkan sarana pendeteksian dini guna
meningkatkan pengendalian penyakit DBD. Informasi keruangan atau wilayah
sangat diperlukan dalam penyampaian fenomena yang akan disampaikan, dalam
hal ini persebaran penyakit DBD dilihat dari pola spasial ABJ, HI dan IR. Metode
Moran’s I merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
pola spasial dan hubungan keruangan antar wilayah dengan keluaran (output)
diagram pancang Moran Scatterplot dan peta LISA.
Hubungan antara variabel ABJ, HI dan IR dengan pemodelan spasial
persebaran DBD disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Hubungan Variabel dengan Persebaran DBD


Berdasarkan Gambar 6, hubungan variabel ABJ, HI dan IR dapat
dijelaskan sebagai berikut, variabel ABJ dan HI yang merupakan ukuran
kepadatan vektor dipilih sebagai indikator pemodelan spasial persebaran DBD
karena kepadatan vektor dapat digunakan untuk memantau persebaran DBD. Jika
semakin tinggi angka kepadatan vektor, maka semakin tinggi pula resiko
persebaran DBD. IR digunakan sebagai salah satu variabel pemodelan spasial
persebaran DBD karena IR dapat mewakili gambaran frekuensi persebaran
penyakit DBD. Dengan mengetahui gambaran frekuensi persebaran penyakit
DBD diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang mengetahui tindakan
yang harus dilakukan sebagai pencegahan. Pada penelitian ini Moran Scatterplot
digunakan untuk analisis perilaku variabilitas data dalam keruangan, sedangkan
peta LISA digunakan untuk menunjukkan lokasi daerah studi yang signifikan
statistik terjadinya pengelompokan nilai atribut (cluster) atau terjadinya pencilan

9
(outlier). Hasil yang disajikan dalam Moran Scatterplot dapat dilihat persebaranya
melalui peta LISA.
Tujuan penggunaan metode analisis Moran’s I global dalam penelitian
adalah untuk menentukan derajad keterhubungan variabel persebaran DBD pada
suatu kecamatan dengan kecamatan lain yang ada di sekelilingnya. Data awal
yang dihitung pada penelitian ini adalah data ABJ tingkat kecamatan Kabupaten
Semarang yang terdiri dari 19 kecamatan periode tahun 2005-2009. Hasil
perhitungan Moran’s I global divisualisasikan secara grafis menggunakan Moran
Scatterplot, berikut ini adalah Moran Scatterplot tahun 2005-2007 yang disajikan
pada Gambar 7.

Gambar 7 Moran Scatterplot ABJ Tahun 2005-2009


Gambar 7 menunjukkan diagram Moran Scatterplot tahun 2005, diketahui
bahwa Kecamatan Ambarawa masuk pada kuadran II yang menunjukkan wilayah
bernilai ABJ rendah dikelilingi wilayah bernilai ABJ tinggi. Kecamatan
Banyubiru pada kuadran III yang menunjukkan wilayah yang bernilai ABJ rendah
dikelilingi wilayah bernilai ABJ rendah, sedangkan Kecamatan Kaliwungu berada
pada kuadran IV yang menunjukkan wilayah bernilai ABJ tinggi dikelilingi
wilayah bernilai ABJ rendah. Tahun 2006, Kecamatan Tuntang masuk pada
kuadran II, dimana pada tahun sebelumnya ditempati oleh Ambarawa, Kecamatan
Getasan masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu tetap pada kuadran
VI. Tahun 2007, Kecamatan Bringin masuk pada kuadran I yang menunjukkan
wilayah bernilai ABJ tinggi dikelilingi wilayah bernilai ABJ tinggi, sedangkan
Kecamatan Tuntang dan Banyubiru masuk pada kuadran II dan Kecamatan
Kaliwungu pada kuadran III. Pada tahun 2008 dan 2009, Kecamatan Tuntang
yang sebelumnya masuk pada kuadran II berpindah menjadi kuadran I, sedangkan
Kecamatan Bawen masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu tetap
masuk pada kuadran III.
Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis Moran’s I lokal dengan
menggunakan peta LISA. Peta LISA digunakan untuk mengetahui wilayah yang
mengalami pola spasial pemusatan (cluster) atau pencilan (outlier). Gambar peta
LISA persebaran ABJ pada tahun 2005–2007 disajikan pada Gambar 8.

10
Gambar 8 Peta LISA ABJ 2005-2007
Gambar 8 menunjukkan bahwa tahun 2005 Kecamatan Ambarawa
memiliki karakteristik Low High (LH) dan Kecamatan Kaliwungu memiliki
karakteristik High Low (HL) yang merupakan asosiasi spasial negatif. Hal ini
merupakan identifikasi terjadinya pencilan (outlier). Pada tahun 2006 muncul
wilayah pencilan baru, yaitu Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik Low High
(LH) dan Kecamatan Kaliwungu yang memiliki karakteristik High Low (HL).
Tahun 2007 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan munculnya wilayah
yang semula tidak signifikan terjadinya pencilan menjadi wilayah dengan
karakteristik Low High (LH) pada Kecamatan Banyubiru, selain itu Kecamatan
Tuntang tetap berkarakteristik Low High (LH). Pada tahun 2007 terjadi pemusatan
(cluster) dengan munculnya wilayah dengan karakteristik High High (HH), yaitu
Kecamatan Bringin. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perubahan pola statistik
pada Kecamatan Tuntang yang semula berkarakteristik Low High (LH) menjadi
berkarakteristik High High (HH) dan muncul pencilan (outlier) baru pada
Kecamatan Bawen yang berkarakteristik Low High (LH).
Data kedua yang diolah pada penelitian ini adalah data HI. Data HI diolah
dengan Moran’s I global yang divisualisasikan seperti pada data ABJ. Visualisasi
Moran Scatterplot data HI pada tahun 2005-2007 disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Moran Scatterplot HI Tahun 2005-2007


Berdasarkan Moran Scatterpllot pada Gambar 9, tahun 2005 diketahui
bahwa Kecamatan Ambarawa masuk pada kuadran I. Tahun 2006, kuadran I yang
sebelumnya ditempati oleh Kecamatan Ambarawa berpindah menjadi Kecamatan

11
Tuntang dan Getasan, sedangkan Kecamatan Banyubiru masuk pada kuadran II.
Pada tahun 2007, Kecamatan Tuntang yang sebelumnya masuk pada kuadran I
berpindah menjadi kuadran IV dengan Kecamatan Ungaran Barat dan Bandungan
yang menunjukkan wilayah bernilai HI tinggi dikelilingi wilayah bernilai HI
rendah. Tahun 2008, Kecamatan Ungaran Barat tetap masuk pada kuadran IV
dengan Kecamatan Suruh, sedangkan pada tahun 2009 Kecamatan Bergas masuk
pada kuadran II dan Ungaran Timur masuk pada kuadran IV.
Tahap selanjutnya adalah analisis Moran’s I lokal menggunakan peta
LISA yang disajikan pada Gambar 10. Jumlah LISA sebanding dengan Moran’s I
global, hal ini dapat dibuktikan dengan peta LISA yang terbentuk.

Gambar 10 Peta LISA HI Tahun 2005 – 2007


Gambar 10 menunjukkan bahwa tahun 2005 Kecamatan Ambarawa
memiliki karakteristik High High (HH) yang merupakan asosiasi spasial positif
dan identifikasi terjadinya pemusatan (cluster). Tahun 2006 terjadi perluasan
wilayah persebaran dengan muncul wilayah pemusatan (cluster) baru secara tiba-
tiba, yaitu Kecamatan Tuntang dan Getasan yang berkarakteristik High High
(HH), selain itu muncul pencilan (outlier) baru pada Kecamatan Banyubiru yang
memiliki karakteristik Low High (LH). Tahun 2007, Kecamatan Tuntang yang
sebelumnya berkarakteristik High High (HH) berubah menjadi High Low (HL)
dan wilayah yang semula tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi
wilayah dengan karakteristik High Low, yaitu Kecamatan Ungaran Barat dan
Bandungan. Pada tahun 2008 Kecamatan Ungaran Barat tetap berkarakteristik
High Low (HL) dan muncul wilayah baru dengan karakteristik High Low (HL),
yaitu Kecamatan Suruh. Tahun 2009 muncul daerah persebaran baru, yaitu
Kecamatan Bergas yang berkarakteristik Low High (LH) dan Kecamatan Ungaran
Timur yang berkarakteristik High Low (HL).
Data ketiga yang akan diolah pada penelitian ini adalah data IR yang
merupakan data gambaran frekuensi penderita DBD di Kebupaten Semarang.
Analisis Moran’s I global tahun 2005-2007 divisualisasikan dengan Moran
Scatterplot sebagaimana disajikan pada Gambar 11.

12
Gambar 11 Moran Scatterplot IR Tahun 2005-2007
Berdasarkan Moran Scatterplot pada Gambar 11, tahun 2005 diketahui
bahwa Kecamatan Bergas dan Kaliwungu masuk pada kuadran IV yang
menunjukkan wilayah bernilai IR tinggi dikelilingi wilayah bernilai IR rendah.
Tahun 2006, Kecamatan Ungaran Barat masuk pada kuadran I yang menunjukkan
wilayah bernilai IR tinggi dikelilingi dengan wilayah bernilai IR tinggi. Tahun
2007 Kecamatan Ungaran Timur dan Pringapus masuk pada kuadran I, dimana
pada tahun sebelumnya ditempati oleh Kecamatan Ungaran Barat. Tahun 2008
dan 2009, Kecamatan Ungaran Barat dan Ungaran Timur masuk pada kuadran I
dan Kecamatan Pringapus bergeser menjadi kuadran II.
Analisis Moran’s I lokal divisualisasikan menggunakan peta LISA yang
disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta LISA IR tahun 2005-2007


Gambar 12 menunjukkan bahwa pada peta LISA tahun 2005 terjadi
indikasi pencilan (outlier) karena ditemukan wilayah dengan karakteristik High
Low (HL) yang memiliki asosiasi spasial negatif, yaitu Kecamatan Bergas dan
Kaliwungu. Tahun 2006 muncul wilayah pemusatan (cluster) baru secara tiba-
tiba, yaitu Kecamatan Ungaran Barat dengan karakteristik High High (HH).
Tahun 2007 Kecamatan Ungaran Timur dan Pringapus yang sebelumnya tidak
signifikan terjadi persebaran berubah menjadi wilayah berkarakteristik High High
(HH) yang mengidentifikasi terjadinya pemusatan (cluster). Pada tahun 2008 dan
2009 terjadi perluasan pusat persebaran dengan munculnya Kecamatan Pringapus
yang sebelumnya berkarakteristik High High (HH) berubah menjadi Low High

13
(LH) dan Kecamatan Ungaran Timur tetap berkarakter High High (HH), selain itu
muncul pemusatan (cluster) baru, yaitu Kecamatan Ungaran Barat yang
berkarakteristik High High (HH).
Hubungan Pola Spasial Variabel ABJ, HI dan IR dengan Kejadian DBD di
dunia nyata dapat diketahui dengan membandingkan antara pola spasial setiap
variabel dan pola spasial kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005-2009
yang terbentuk pada peta LISA. Hasil perbandingan digunakan untuk menentukan
pengaruh antara variabel ABJ, HI dan IR dengan pola persebaran kejadian DBD
di Kabupaten Semarang setiap tahunnya. Gambar 13 merupakan perbandingan
antara peta LISA ABJ tahun 2005–2007 dengan peta LISA data kasus DBD
Kabupaten Semarang periode 2005–2007.

Gambar 13 Hubungan Pola Spasial ABJ dengan Pola Spasial DBD 2005 – 2008
Tahun 2005 pola spasial DBD yang terbentuk pada peta LISA
mengindikasi terjadinya pencilan (outlier) di Kecamatan Bergas dan Kecamatan
Ambarawa yang berkarakteristik High Low (HL). Hal ini memiliki kemiripan
dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA ABJ tahun 2005 yang
mengindikasi terjadinya pencilan (outlier) pada kecamatan yang berbeda, yaitu
Kecamatan Ambarawa yang berkarakteristik Low High (LH) dan Kecamatan
Kaliwungu yang berkarakteristik High Low (HL). Kecamatan Ambarawa yang
berkarakteristik Low High (LH) menunjukkan bahwa Kecamatan Ambarawa
memiliki nilai ABJ rendah, dimana saat ABJ rendah nilai DBD tinggi. Peta LISA
DBD tahun 2006 menujukkan terjadi pemusatan (cluster) baru di Kecamatan
Ungaran Barat yang berkarakteristik High High (HH). Hal ini berbeda dengan
peta LISA ABJ tahun 2006, dimana pola spasial yang terbentuk menunjukkan
terjadi pencilan (outlier) baru di Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik Low
High (LH) dan Kecamatan Kaliwungu yang tetap berkarakteristik High Low (HL).
Pada tahun 2007 pola spasial yang terbentuk pada peta LISA menunjukkan
perluasan wilayah persebaran DBD dengan muncul dua kecamatan yang
sebelumnya tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi kecamatan

14
dengan karakteristik High High (HH), yaitu Kecamatan Ungaran Timur dan
Kecamatan Pringapus. Hal ini memiliki kemiripan dengan peta LISA ABJ tahun
2007, dimana pola spasial yang terbentuk menunjukkan perluasan wilayah
persebaran pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Bringin yang
berkarakteristik High High (HH), Kecamatan Tuntang dan Banyubiru yang
berkarakteristik Low High (LH). Pola spasial DBD yang terbentuk pada peta
LISA tahun 2008 dan 2009 menunjukkan terjadinya perluasan wilayah persebaran
dengan munculnya pemusatan (cluster) baru di Kecamatan Ungaran Barat yang
berkarakteristik High High (HH), selain itu muncul daerah pencilan (outlier) pada
Kecamatan Pringapus yang sebelumnya berkarakteristik Low High (LH) dan
Kecamatan Ungaran Timur yang tetap berkarakteristik High High (HH). Hal ini
memiliki kemiripan pola spasial ABJ yang terbentuk pada tahun 2008 dan 2009,
dimana terdapat perubahan pola spasial pada kecamatan yang berkarakteristik
Low High (LH) menjadi High High (HH), yaitu Kecamatan Tuntang, selain itu
muncul daerah pencilan (outlier) baru pada Kecamatan Bawen dengan
karakteristik Low High (LH). Kecamatan Bawen yang berkarakteristik Low High
(LH) mempengaruhi laju pertumbuhan DBD, dimana Kecamatan Pringapus
memiliki nilai kasus DBD rendah.
Gambar 14 merupakan perbandingan antara peta LISA HI tahun 2005-
2007 dengan peta LISA data kasus DBD Kabupaten Semarang tahun 2005–2007.

Gambar 14 Hubungan Pola Spasial HI dengan Pola Spasial DBD 2005 – 2008
Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa pola spasial DBD yang
terbentuk pada tahun 2005 mengindikasi terjadinya pencilan (outlier), dimana
Kecamatan Bergas dan Kecamatan Ambarawa memiliki karakteristik High Low
(HL) yang menunjukkan daerah dengan kasus DBD tinggi dikelilingi daerah
dengan kasus DBD rendah. Hal ini memiliki kemiripan dengan pola spasial yang
terbentuk pada peta LISA HI tahun 2005, dimana Kecamatan Ambarawa
berkarakteristik High High (HH) menjadi daerah pemusatan (cluster) yang
menunjukkan daerah dengan kasus HI tinggi dikelilingi daerah dengan kasus HI
rendah. Tahun 2006 diketahui pola spasial DBD yang terbentuk mengindikasi

15
terjadinya pemusatan pada Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High
High (HH), sedangkan pola spasial HI yang terbentuk mengindikasi terjadinya
pemusatan pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Tuntang dan
Kecamatan Getasan, selain itu muncul daerah pencilan (outlier) baru dengan
karakteristik Low High (LH) di Kecamatan Banyubiru. Pada tahun 2007 tidak
ditemukan kemiripan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA DBD dengan
peta LISA HI, dimana pola spasial DBD mengindikasi terjadinya pemusatan
(cluster) di Kecamatan Ungaran Timur dan Kecamatan Ungaran Barat yang
berkarakteristik High High (HH), sedangkan pola spasial HI mengindikasi
terjadinya pencilan (oulier) di Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Bandungan
dan Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik High Low (HL). Tahun 2008
ditemukan kemiripan antara pola spasial yang terbentuk pada peta LISA ABJ
dengan peta LISA HI, dimana pola spasial DBD dan HI pada tahun 2008
menunjukkan Kecamatan Ungaran Barat memiliki kasus DBD dan HI yang tinggi
dibandingkan dengan daerah disekelilingnya. Pada tahun 2009 pola spasial DBD
dan pola spasial HI ditemukan kemiripan, dimana pola spasial DBD dan HI
menunjukkan Kecamatan Ungaran Timur memiliki kasus DBD dan HI yang
tinggi dibandingkan dengan daerah disekelilingnnya.
Perbandingan antara peta LISA IR tahun 2005-2007 dengan peta LISA
data kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005–2007 disajikan dalam
Gambar 15.

Gambar 15 Hubungan Pola Spasial IR dengan Pola Spasial DBD 2005 – 2008
Gambar 15 menunjukkan bahwa pola spasial yang terbentuk pada peta
LISA DBD tahun 2005 memiliki kemiripan dengan pola spasial yang terbentuk
pada peta LISA IR tahun 2005, dimana pola spasial yang terbentuk
mengidentifikasi terjadinya pencilan (outlier) di Kecamatan Bergas yang
berkarakteristik High Low (HL). Tahun 2006 pola spasial yang terbentuk pada
peta LISA DBD dan IR memiliki kesamaan yang menunjukkan terjadi pemusatan
(cluster) baru di Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High
(HH). Pada tahun 2007 juga terdapat kesamaan pada pola spasial dan daerah

16
pesebaran yang terbentuk pada peta LISA DBD dan IR, dimana meluasnya daerah
pemusatan (cluster) dengan munculnya pemusatan (cluster) baru di Kecamatan
Ungaran Timur dan Kecamatan Pringapus yang berkarakteristik High High (HH).
Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan
munculnya pemusatan (cluster) baru pada wilayah yang sebelumnya tidak
signifikan terjadinya persebaran dan perubahan pola spasial pada peta LISA DBD.
Hal ini memiliki kesamaan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA IR
pada tahun 2008 dan 2009, dimana muncul wilayah pemusatan baru pada
Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High (HH), Kecamatan
Ungaran Timur tetap berkarakteristik High High (HH) dan Kecamatan Pringapus
yang sebelumnya berkarakteristik High High (HH) berubah menjadi karakteristik
Low High (LH).
5. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari variabel ABJ, HI dan IR yang telah


diolah menjadi peta pola spasial menggunakan metode Moran’s I menunjukkan
bahwa : (1) Variabel ABJ, HI dan IR dapat dimodelkan menggunakan metode
Moran’s I karena pola spasial yang dihasilkan menunjukkan pengelompokan data
sesuai data nyata, (2) Berdasarkan perbandingan antara pola spasial DBD dan pola
spasial variabel ABJ, HI dan IR Kabupaten Semarang tahun 2005-2009 diperoleh
hasil bahwa tidak nampak peran variabel ABJ secara signifikan terhadap laju
persebaran DBD karena pada pola spasial yang terbentuk hanya menunjukkan laju
persebaran yang sama dengan pola spasial DBD pada setiap tahunnya, namun
tidak memperlihatkan letak persebaran yang sama. Variabel HI dan IR
mempengaruhi kejadian DBD di Kabupaten Semarang, karena pola spasial yang
terbentuk memiliki kesamaan dengan pola pola spasial DBD.

6. Daftar Pustaka

[1] Fathi dkk, 2005, Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap
Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram, Jurnal Kesehatan
Lingkungan, Vol 2, Halaman 1-10.
[2] Wijaya, Rahmadi, 2007, Penggunaan Sistem Pakar Dalam Pembangunan
Portal Informasi Untuk Spesifikasi Jenis Penyakit Infeksi, Jurnal
Invoematika, Vol 3, Halaman 63-88.
[3] Siregar, Faziah, 2004, Epidemologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue di Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatra Utara.
[4] Hadi, Upik Kesumawati, 2010, Penyakit Tular Vektor Demam Berdarah
Dengue, Bogor : Institut Pertanian Bogor.
[5] Hairani, Lila Kesuma, 2009, Gambaran Epidemologi, Jakarta:Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
[6] Soepardi, Jane, 2010, Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-
2009, Buletin Jendela Epidemologi, Vol 2, Halaman 1-14.

17
[7] Anna, Lusia Kus, 2011, Kasus DBD di Indonesia Tertinggi di ASEAN,
http://health.kompas.com/read/2011/02/19/07163187/Kasus.DBD.di.Indon
esia.Tertinggi.di.ASEAN. Diakses tanggal 1 Februari 2012
[8] Prastyanti, C. A. W., 2011, Deteksi dan Prediksi Daerah Endemis Demam
Berdarah Dengue dengan Pemodelan Matematis SIR, Fakultas Teknologi
Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.
[9] Kristyanto, Wahyu, 2012, Prediksi Periode Serangan Demam Berdarah
Dengue Berdasarkan Dasarian Awal Bulan Hujan Menggunakan Metode
Exponential Smoothing, Thesis tidak diterbitkan, Salatiga:Fakultas
Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.
[10] Prasetyo dkk, 2008, Desain Sistem Analisa Spatio-Temporal Penyebaran
Penyakit Tropis Memakai Web Mining, Konferensi Nasional Sistem dan
Informatika, Halaman 44-49.
[11] Goodchild, Michael F., 1968, Spatial Autocorrelation, Norwich:Geo
Book.
[12] Yulianto, Sri, 2010, Prediksi Spasial Luas Tambah Serangan Wereng
Batang Coklat pada Komoditas Padi Tahun 2010 di Wilayah PHP
Surakarta Menggunakan Komoditas Teknik Moran’s I dan Geary’s C.
[13] Iriani, Theresia Debby, 2011, Model Spasial Klasifikasi Wilayah Resiko
Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Fungsi Gi* Statistik,
Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.
[14] Naftali, Arma Cristina, 2011, Pemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit
Demam Berdarah Dengue Dengan Fungsi Moran’s I, Fakultas Teknologi
Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.
[15] Siregar, Ahmad Dian, 2006, Gambaran Pasien Demam Berdarah Dengue
di Bangsal Anak, Jurnal Kedokteran dan Farmasi, Vol 19, Halaman 66-71
[16] Sudjana, Primal, 2010, Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah
Dengue Dewasa, Buletin Jendela Epidemologi, Vol2, Halaman 21-25
[17] Sukowati, Supratman, 2010, Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue
dan Pengendaliannya di Indonesia, Buletin Jendela Epidemologi, Vol2,
Halaman 26-30
[18] Indrasanto, Doti, Rahmaniar Brahum, Sugito, dkk., 2006, Glosarium Data
dan Informasi Kesehatan, Jakarta:Pusat Data dan Informasi Departemen
Kesehatan repoblik Indonesia.
[19] Hasyimi dkk, 2005, Situasi Vektor Demam Berdarah Saat Kejadian Luar
Biasa di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, Media Litbang Kesehatan,
Vol 15, Halaman 14-18
[20] Kandun, I Nyoman, 2007, Modul Pelatihan Bagi Pelatih Pemberantasan
Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue Dengan Pendekatan
Komunikasi Perubahan Prilaku, Jakarta:Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI.
[21] Nugroho, Farid Setyo, 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Keberadaan Jentik Aedes Aegypti di RW IV Desa Ketitang Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhamadiyah Surakarta.

18
[22] Setyawan, Dodiet Aditya, 2008, Pengukuran Frekuensi Masalah
Kesehatan, Klaten:STIKES Duta Gama Klaten.
[23] Luknanto, Joko, 2003, Model Matematika, Yogyakarta: Laboratorium
Hidraulika.
[24] Arrowiyah, Sutikno, 2009, Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengu Informasi Early Warning Bencana di Kota
Surabaya, Institut Teknologi Surabaya.
[25] Harvey dkk, 2008, The North American Animal Disease Spread Model: A
simulation model to assist decision making in evaluating animal disease
incursions, Preventive Veterinary Medicine, Vol 82, Halaman 176-197

19

Anda mungkin juga menyukai