VERITATIS SPLENDOR
Rangkuman Veritatis Splendor
Secara garis besar, ensiklik Veritatis Splendor (VS) terdiri atas 4 bagian, yakni Pengantar,
Bab 1, Bab 2, dan Bab 3. Pengantar dimaksudkan untuk menyadari keprihatinan dan tujuan
ensiklik VS. Bab 1, berfokus pada renungan alkitabiah. Bab2, berisi muatan uraian tentang tugas
Gereja untuk melanjutkan tugas Kristus, dan Bab 3 adalah penegasan dan kesimpulan untuk
kehidupan Gereja dan Dunia.
● Tujuan Ensiklik
Ensiklik VS bertujuan untuk mengingatkan dan memikirkan kembali ajaran moral
dan kebenaran-kebenaran fundamental dalam ajaran Katolik. Kita perlu menyadari bahwa
pada zaman ini banyak ajaran moral dan kebenaran yang absolut dan fundamental
dikesampingkan atau diselewengkan. Ensiklik ini ditulis dengan tujuan menggarap lebih
penuh dan mendalam persoalan-persoalan mendasar tentang teologi moral yang
diremehkan oleh kecenderungan-kecenderungan zaman ini. Perlu diingat pula bawa
Ensiklik ini membatasi diri dengan hanya berbicara tentang pertanyaan-pertanyaan
fundamental tentang ajaran moral Gereja berdasar Kitab Suci dan Tradisi Apostolik.
BAB 1: Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat? (Mat 19:16)
Dalam bab ini secara menyeluruh adalah refleksi alkitabiah atas dialog pemuda kaya dan
Yesus (Mat 19: 16-21.26). Persoalan-persoalan Moral;
● “Ada seorang datang kepada Yesus…”, Sang pemuda datang kepada Yesus dan
bertanya tentang persoalan moral, yakni mengenai makna hidup sebenarnya.
● “Guru, perbuatan baik apa untuk hidup kekal?”, Orang-orang zaman ini perlu
datang kepada Yesus agar mendapat jawaban tentang yang baik dan yang jahat.
● “Hanya satu yang baik”, Hanya Allah yang patut dikasihi sebab kebaikan
merupakan milik Allah dengan cara taat kepadaNya.
● “Jika engkau ingin masuk ke dalam hidup turutilah segala perintah Allah”,
Perintah Allah tampak dalam Sepuluh Perintah Allah, dan Dua Perintah Yesus,
yakni mengasihi Allah dan mengasihi sesama.
● “Jikalau engkau hendak sempurna”, Ada kerinduan si pemuda melampaui
penafsiran legalistis, namun Yesus menyuruh menjual harta milik sebagaimana Dia
berkhotbah dalam Sabda Bahagia. Kesempurnaan menuntut kematangan
menggunakan kebebasan dan hubungannya dengan hukum ilahi.
● “Datanglah kemari dan Ikutlah Aku”, Jalan kesempurnaan terdiri dari mengikuti
Yesus yang adalah dasar hakiki moralitas kristiani. Yesus ingin kita mengikutiNya
dan meneladaninya melewati lorong kasih, menjadi serupa dengan Dia yang rela
menjadi hamba dan memberikan diri.
● “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman”, Perintah-perintah
moral yang diberikan Allah dan Yesus tentunya harus setia dipelihara dan
dilaksanakan, serta para rasul juga penganutnya bertanggung jawab untuk
meneruskannya dan dipercayakan sebagai penafsir otentik dengan penyertaan Roh
Kudus.
BAB 2: Janganlah Kamu menjadi Serupa dengan Dunia ini. (Roma 12:2)
● “Pohon tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat jangan kamu makan
buahnya”, Kekuasaan menentukan kebaikan dan kejahatan bukan milik manusia,
tetapi ada pada Allah semata. Manusia bebas sejauh menerima perintah Allah dengan
batas “pohon pengetahuan (hukum moral”. Dunia zaman ini cenderung memutlakkan
akal budi dalam bidang norma moral sehingga Gereja perlu menjernihkan gagasan
tentang kebebasan dan hukum moral.
● “Tuhan menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri”, Manusia memiliki
mahkota kebebasan untuk “menguasai” dunia, namun juga bertanggung jawab
memelihara dirinya untuk mencari Pencipta dan Kesempurnaan. Hukum moral dari
Allah, namun sungguh hukum manusiawi sebab ajal budi berpartisipasi di dalamnya.
Kebebasan manusia dan hukum Allah bertemu untuk saling meresapi.
● “Berbahagialah orang yang kesukaannya ialah hukum Tuhan”, Manusia dapat
mengerti dan membedakan antara kebaikan dan kejahatan karena terang akal budi
kodrati sebagai cetakan terang Ilahi dalam diri manusia. Hukum kodrati adalah
partisipasi budi manusia terhadap hukum abadi yakni kebijaksanaan Allah.
● “Apa yang dituntut hukum, tertulis dalam hati mereka”, Gereja menganut paham
bahwa kesatuan pribadi manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Tubuh adalah
tempat jiwa mengungkapkan diri sehingga tidak boleh dipisahkan. Maka hukum
natural menyampaikan maksud berdasar kodrat jiwa dan tubuh. Hukum natural tidak
terpisahkan dari kebebasan. Kedua kenyataan ini saling berhubungan dan terikat erat.
Hukum kodrat/natural bersifat universal dan tidak berubah dan itu dimiliki oleh setiap
pribadi yang punya kebebasan untuk melakukan yang baik dan menghindari yang
jahat.
● “Tempat Suci Manusia”, hubungan antara kebebasan dan hukum Allah nampak
dalam suara hati yang menyerukan untuk melakukan hal baik dan menghindari yang
jahat. Suara hati membimbing manusia, bukan untuk teliti dengan sangat akan norma
universal, melainkan untuk menerima tugas pribadi secara kreatif dan bertanggung
jawab.
● “Keputusan/Penilaian suara hati”, Suara hati adalah hukum yang tertulis di hati
dan suatu “kesaksian” bagi manusia. Suara hati juga merupakan kesaksian dari Allah
sendiri karena dikaitkan dengan Suara Allah. Suara hati adalah penilaian moral
tentang manusia dan perbuatannya. Penilaian suara hati bersifat praktis, menyebabkan
apa yang boleh dilakukan dan tidakm sehingga tak lain adalah dasar dari hukum
natural. Penilaiannya bersifat mengikat, dengan begitu tampak hubungan antara
kebebasan dan kebenaran.
● “Meneliti kebenaran dan kebaikan”, Suara hati dapat keliru, dapat sebagai akibat
ketidaktahuan yang tidak disadari atau diatasi pelaku. Hal ini masih dapat ditolerir.
Namun, suara hati bisa sesat secara bersalah bila manusia tidak peduli untuk mencari
apa yang benar dan baik, karena itu hati nurani-nya buta. Maka, umat beriman diajak
membentuk suara hati sesuai dengan ajaran Gereja yang suci dan pasti.
Perbuatan Moral
● “Teologi dan Teleologisme”, Perbuatan disebut baik secara moral bila pilihan-pilihan
dari kebebasan sesuai dengan kebaikan yang sejati dari manusia dan mengungkapkan
kepada tujuan yang terakhir, yakni Allah. Bdk. “perbuatan baik apa yang harus
kuperbuat demi hidup yang kekal?” Apa kriteria agar perbuatan tadi tertuju pada
Allah? Teori Teleologis menyebut kriteria itu yakni pertimbangan pra-moral dan nilai-
nilai pra-moral. Teleologisme tidak setuju jika kehendak bebas terikat pada kewajiban
khusus, tetapi bertanggung jawab atas perbuatannya. Teleologisme sering disebut
sebagai “konsekuensialisme”, (berdasar perhitungan konsekuensi yang sudah
dibuat sebelumnya) dan “proporsionalisme” (porsi hal yang baik dan yang
buruk dari pilihan).
● “Objek perbuatan yang disengaja”, Teori teleologisme tidak sejalan dengan ajaran
Gereja karena perhatian pada konsekuensi tidak cukup untuk menilai kualitas moral
suatu perbuatan. Kerapkali seseorang hanya berniat baik tapi tidak punya kualitas
moral, sebab tidak punya kehendak baik. Maka moralitas perbuatan manusia
tergantung pada “objek” yang dipilih secara rasional oleh kehendak yang disengaja.
Dengan bergantung pada objek, dapat diketahui apakah objek itu dapat atau tidak
diarahkan kepada Allah. Niat baik harus disertai dengan kehendak/cara yang benar.
● “Keburukan intrinsik, tidak boleh melakukan kejahatan agar yang baik
mungkin muncul darinya”, teori teleologisme yang menolak kualifikasi moral
menurut jenis/objek pilihan harus ditolak sebab unsur pertama penilaian moral adalah
objek dari perbuatan manusia. Maka ada perbuatan yang dalam dirinya bukur
(inrincece malum) yaitu karena objeknya sendiri tidak tergantung niat pelaku atau
keadaan, misal pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, pelacuran, dsb. Niat bisa
mengurangi keburukannya, tapi tidak menghapusnya. Memang, terkadang ada
pertimbangan malum minus, tapi secara hukum, tidak boleh melakukan kejahatan
agar kebaikan muncul dari sana (Roma 3:8).
Penutup, Maria sebagai tanda Bunda belas kasih adalah teladan bagi pelaksanaan
kehidupan moral dan kepadanya oleh Yesus dipercayakan Gereja-Nya dan seluruh umat
manusia.