Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH PENGANTAR ETIKA

“Metode-metode pendekatan dalam etika”

DISUSUN OLEH

Nama : Joshua Sudarsono

Samuel Adika.
Suni

Justine Miliani.
Saudale
Kelas : III B
Dosen Pengasuh : Pdt. Dra. Maria A. Ratu Pada

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA KUPANG

FAKULTAS TEOLOGI

2019

1. Deontologis

 Menurut Eka Darmaputera

Deontologis yaitu cara berpikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip, hukum,
norma obyektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun.
Didalam etika kristen, cara berpikir deontologis adalah cara melakukan penilaian etis yang
meletakan Hukum Allah sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat ditawar-tawar. Cara
berfikir seperti itu memberi pegangan etis yang tegas dan jelas. Orang tidak perlu bingung
tentang apa yang benar dan apa yang salah, asal hukumnya jelas.1 Kadang-kadang lupa untuk
melihat kompleksitas permasalahan yang terjadi hidup manusia tidaklah hanya hitam putih,
dan ada banyak hal yang membuat pilihan, dan terkadang orang melakukannya untuk dapat
menguntungkan dirinya sendiri (tergantung situasi).

Contohnya dalam Alkitab Allah berkata “jangan membunuh”. Itu berarti, didalam situasi dan
kondisi apapun membunuh adalah salah.

2. Teleologis

 Menurut Malcolm Brownlee

Teleologis berasal dari kata teleos = tujuan,akibat; logos = pengetahuan. Menurut


aliran etika akibat, manusia adalah seorang pencipta, seorang tukang atau seorang
pembangun. Perbuatannya yang pokok adalah menciptakan sesuatu demi suatu tujuan.
Kehidupan etis sama dengan proses membuat sesuatu. Suatu tindakan dianggap benar apabila
mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada hasil buruk. Suatu tindakan dianggap
salah apabila mengakibatkan hasil buruk yang lebih besar daripada hasil baik. Suatu tindakan
harus dilaksanakan apabila akan mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada
tindakan-tindakan lain yang ada sebagai alternatif. Etika Kristen menekankan hal akibat atau
tujuan. Pertama, ada pertanyaan-pertanyaan umum mengenai tujuan untuk kehidupan. Kedua,
memperhatikan konsekuensi perbuatan-perbuatan dan melaksanakan perbuatan-perbuatan
yang akan mengakibatkan hasil baik. Ketiga, kita harus membentuk kehidupan kita sendiri
lebih selaras dengan tujuan-tujuan Kristen. Keempat, kita harus membentuk masyarakat yang
lebih selaras dengan kehendak Allah.2 Dalam Teleologis ini apapun yang dilakukan yang
penting memiliki hasil yang baik.

3. Etika situasi

 Menurut Verne H. Fletcher

1
Eka Darmaputera, Etika sederhana untuk semua: Perkenalan Pertama, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2019,
hlm. 10-11.
2
Malcolm Brownlee, Pengambilan keputusan etis dan factor-faktor di dalamnya, Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2016, hlm. 31&32

2
Etika situasi (atau terkadang “moralitas baru”). Etika situasi membantah seperlunya aturan-
aturan dan prinsip-prinsip moral, karena setiap situasi yang kita hadapi mengandung ciri-ciri
khas dan unik. Etika situasi mengakui adanya satu prinsip yang patut diterima secara mutlak,
yaitu “kasih”. Etika situasi merupakan jalan buntu dalam usaha mencari pendekatan yang
bermanfaat bagi penyusunan suatu etika Kristen. Menurut R. Bultmann, mengatakan
“lakukanlah dalam setiap situasi apa yang dituntut oleh kasih”. Dalam kehidupan moral
Kristen, kita boleh mengandalkan pengampunan ilahi yang membebaskan dari kekhawatiran
sehingga kita dapat hidup dengan hati yang tenang. Di samping itu, kita boleh juga
mengandalkan bimbingan Roh Kristus. Etika Kristen bertitik tolak dari apa yang
dikaruniakan kepada kita oleh Allah dalam Kristus.3

Etika situasi mengatakan bahwa apa yang wajib dilakukan seseorang dalam situasi konkret,
tidak dapat disimpulkan dari suatu hokum moral umum, melainkan harus diputuskan secara
bebas oleh orang yang bersangkutan. Etika situasi menjunjung tinggi otonomi moral individu
dan menolak ketaatan begitu saja terhadap suatu hokum moral sebagai heteronomi. Tidak ada
perbuatan yang pada dirinya yang baik atau yang jahat, semuanya tergantung pada situasi. 4
Pada etika situasi ini semua peraturan tidak berguna sebab dalam situasinya, kita melakukan
apa yang harus dilakukan pada situasi itu, dan apa yang terjadi di lapangan itulah aturannya.

4. Etika Kontekstual

Kontekstual, apabila kita memikirkan “etika kontekstual”, kita perlu mengindahkan paling
sedikit dua: bukan hanya konteks situasi konkret yang sedang dihadapi tetapi juga konteks
realitas baru yang telah diciptakan Allah dalam Kristus. Kedua konteks ini harus dipegang
dan diselami sekaligus. Dengan demikian, kehidupan masa kini dapat diterangkan oleh
pandangan hidup dan dunia yang bersumber pada Kristus. Konsep kontekstualisasi dalam
karangan Singgit membicarakan tentang 3 konteks, yaitu konteks Alkitab, konteks tradisi
sistematis-dogmatis, dan konteks setempat masa kini. Penulis sekedar menggabungkan yang
pertama dan yang kedua. Pendekatan kita juga beranggapan bahwa Alkitab dan teologi
menyediakan bukan hanya kategori-kategori formal, seperti dalam pandangan Bultmann dan
etika situasi, tetapi juga isi yang cukup padat dan subtansial. Paul Lehmann menekankan
persekutuan Kristen (koinonia) sebagai wadah bagi pemikiran etika Kristen. Ia bermaksud

3
Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2017, hlm. 83&84
4
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: KANISIUS, 2000, hlm. 111

3
mendasarkan etika kontekstual atas teologi dan alkitab.5 Etika kontekstual tidaklah
mengabaikan peraturan seperti pada etika situasi melainkan tetap memegang teguh peraturan
tetapi peraturan yang fleksibel untuk dapat melihat hal-hal yang masih bisa dipertimbangkan.

Daftar Pustaka

Eka Darmaputera. 2019, Etika sederhana untuk semua: Perkenalan Pertama,


Jakarta: PT BPK Gunung Mulia

Malcolm Brownlee. 2016, Pengambilan keputusan etis dan factor-faktor di


dalamnya, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
5
Verne H. Fletcher, op. cit. hlm. 35

4
Verne H. Fletcher. 2017, Lihatlah Sang Manusia, Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia

Franz Magnis-Suseno. 2000, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta:


KANISIUS

Anda mungkin juga menyukai