Anda di halaman 1dari 15

ETIKA ALKITABIAH

RUT 1: 1-22

OLEH:
KELOMPOK 3

Nama Anggota Kelompok : Joshua M. Sudarsono


Margianita P. B. Lero
Martha K. Tangawola
Morionis A. Penu
Rut L. A. Amtiran
Semri A. Fanmey
Tesya L. Julianti
Semester/ Kelas : VI/ B
Dosen Pengasuh : Pdt. Dr. J. E. E. Inabuy, STM

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA


FAKULTAS TEOLOGI
2021
BAB I
MASALAH KITA

Radikalisme agama merupakan paham atau aliran keras yang berasal dari suatu ajaran
agama yang menimbulkan sikap intoleransi. Radikalisme agama dapat terjadi pada agama
manapun, termasuk dalam memahami ajaran Kekristenan. Salah satu penyebab pada ajaran
Kekristenan yaitu, pemahaman yang salah dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab dan para
pendidik yang memberikan pendidikan agama Kristen tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, atau
juga dapat disebabkan oleh orang-orang Kristen yang memiliki kepentingan dengan
mengatasnamakan ajaran agama.
Pada era modern ini memang kebebasan itu menjadi milik setiap orang, mulai dari
kebebasan beragama, politik, dan sebagainya. Sehingga timbul juga berbagai masalah akibat dari
kebebasan, masalah ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja tapi masalah ini juga sudah
mendunia, yakni masalah radikalisme dan intoleransi. Masalah ini dipicu oleh banyaknya
perbedaan, misalnya perbedaan agama, etnis, status sosial, dan ekonomi. Masalah ini jika tidak
ditanggulangi dengan baik maka akan melahirkan masalah-masalah yang lebih besar seperti
terorisme beragama, yang diwujudkan dalam pelarangan kegiatan ibadah keagamaan,
penyebaran kebencian, kekerasan berbasis agama atau pengrusakan temapat ibadah.
Radikalisme adalah sebuah paham atau aliran yang radikal dalam politik atau paham yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau
drastis. Sedangkan, intoleransi adalah suatu kondisi di mana terdapat satu kelompok yang secara
khusus menolak untuk menoleransi praktik-praktik kepercayaan yang berlandaskan agama.
Di kutip dari Kompas.com berikut ini contoh masalah yang kelompok angkat terkait
dengan aksi teroris yang terjadi gereja Katedral Makasar, Sulawesi Selatan. Pelakunya adalah
pasangan suami istri yang baru menikah 6 bulan yang lalu, mereka diketahui tinggal di jalan
Tinumbu I Lorong 132, Kelurahan Bunga Ejaya, Kecamatan Bontoala, Makasar. Mereka berdua
berboncengan motor dan berusaha masuk ke area gereja, namun bom itu meledak di depan pintu
gerbang gereja saat dihentikan oleh sekuriti gereja. Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa pelaku L dan istrinya YSF
membuat bom lewat pelatihan yang ada di media sosial. Kapolri Jenderal (pol) Listyo Sigit
Prabowo, mengatakan bahwa L dan istrinya adalah bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD)

1
yang penah melakukan aksi serupa di Katedral Our Lady of Maunt Carmel, Pulau Jolo, Filipina
Selatan. Pelaku sering mengikuti pengajian yang berisi doktrin jihad. Tidak hanya kedua pelaku
ini, terdapat empat orang juga yang mempersiapkan diri untuk melakukan bom bunuh diri.
Keempat orang ini berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, dan sudah diamankan pascaledakan
bom bunuh diri di Makasar, inisial keempat orang ini adalah AS, SAS, MR dan Aa. Menurut
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kombes Pol E
Zulpin, pihaknya masih melakukan pendalaman terkait kasus ini.1
Melihat persoalan terkait sikap radikalisme yang terjadi, maka kelompok akan menggali
dan menemukan nilai-nilai etis yang dibahas dalam Alkitab (Rut 1: 1-22), yang akan dibahas
pada pembahasan selanjutnya.

1
https://makasar.kompas.com/read/2021/03/30/055000678/fakta-suami-istri-pelaku-bom-bunuh-diri-di-
makasar-menikah-6-bulan-lalu?page=1 diakses pada minggu, 9 mei 2021, pukul 11:16
2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konteks Historis
Dalam Alkitab Ibrani Kitab Rut adalah salah satu dari lima 'Megilloth' atau 'gulungan',
termasuk 'Tulisan' (ketubim), bagian ketiga dari kanon PL. Kitab Rut dibaca oleh
masyarakat Yahudi pada Hari Raya Tujuh Minggu. Kitab Rut tidak mencantumkan nama
penulisnya. Tradisi menganggap kitab Rut ditulis oleh Hakim terakhir, Samuel, nabi yang
juga adalah imam. Latar belakang penulisan kitab ini adalah zaman Hakim-Hakim (Rut 1:1).
Gaya klasik dan bahasanya mengacu pada masa dini, demikian juga sikap terhadap
perkawinan asing, sebab menurut kitab Ulangan orang Moab tidak boleh masuk ke dalam
umat Tuhan (Ul. 23:3).2
Penulis dari kitab Rut ini sendiri sama sekali belum dikenal seperti kitab-kitab
lainnya dalam Perjanjian Lama, tidak ada satupun petunjuk mengenai siapa penulis kitab
Rut ini sendiri. Beberapa ahli menduga bahwa Samuel, yang juga menulis kitab hakim-
hakim dan kitab 1&2 samuel yang juga menulis kitab Rut. Namun kebanyakan dari mereka
sepakat untuk mengatakan bahwa kitab Rut tidak diketahui siapa pengarangnya. Satu yang
pasti bahwa kitab Rut ditulis berangkat dari sebuah sejarah yang benar-benar ada.
Sedangkan masa penulisan dari kitab Rut ini adalah pada masa kembalinya bangsa Israel
dari pembuangan, sebab masa itu adalah masa tersulit bagi bangsa Israel dimana mereka
baru akan kembali menata kehidupan yang baru, kesulitan dan penderitaan yang dialami
selama masa pembuangan membawa mereka pada kenangan kejayaan pada masa lampau
bersama raja Daud. Hal ini membuat harapan akan datangnya raja dari keluarga atau
keturunan Daud. Ada juga yang berpendapat bahwa pengarang kitab Rut hidup sekitar tahun
1000 sM semasa dengan raja Daud. Waktu tepatnya penulisan kitab Rut tidak diketahui,
para sarjana Alkitab menemukan beberapa petunjuk mengenai waktu penulisan itu didalam
kitab ini (4:17,22) yaitu bahwa kitab ini tidak mungkin ditulis sebelum abad ke-10 sM.
Dugaan besar bahwa beberapa tahun sesudah masa Daud, barulah kitab ini ditulis. Sekalipun
sejumlah sarjana memberi tanggal sampai abad ke-4 sM. Banyak sarjana lainnya memberi
tanggal sebelum masa pembuangan.3
2
J. D. Douglas, Ensiklopedia Masa Kini: Jilid 2 M-Z, Jakarta: Bina Kasih, 2008, hlm. 426-427
3
Tafsiran Alkitab Wycliffe, Volume 1, Gandum Mas, 2014, hlm. 721
3
Relasi antara orang Israel dan orang Moab kurang baik (Ul. 23:3 dan Neh 13:1).
Hanya dimasa dahulu kala, ada relasi persaudaraan antara kedua bangsa ini (1 Sam. 22:3).
Karena itu kitab ini, yang hidup pada masa sesudah pembuangan di Babylon, dan yang
dengan sadar menghubungkan raja Daud dengan Rut, orang Moab itu, dengan maksud untuk
memprotes politik terhadap orang Moab, yang menurut Ulangan dan Nehemia, tidak boleh
masuk kedalam jemaat Yehuda. Kitab ini mempunyai tendensi yang sama seperti kitab
Yunus yaitu protes melawan partikularisme di Yehuda pada abad ke-V sM. Itu berarti bahwa
kitab ini ditulis sesudah pembuangan di Babylon, kira-kira akhir abad ke-VI atau abad ke-V
seb.Kr. Arameisme (gaya bahasa Aram) dalam kitab ini menunjuk ke arah itu, meskipun
umumnya penulis memakai bahasa Ibrani.4
Pandangan bahwa kitab Rut ditulis pada masa kemudian, didasarkan pada
kecenderungan terhadap hal-hal kuno dalam kitab ini, dan pada dugaan bahwa kitab ini
berkaitan dengan pembaharuan pada zaman Ezra dan Nehemia. Beberapa ahli menemukan
dalam kisah Rut tentang fakta-fakta baik dari masa awal maupun masa kemudian, dengan
anggapan bahwa silsilah Daud (Rut 4:18-22) dan penjelasan mengenai tradisi dulu adalah
yang ditambahkan pada kitab ini. Banyak usul telah dikemukakan mengenai tujuan
penulisan kitab Rut, di antaranya sebagai berikut: a). Rut dimaksudkan untuk memberikan
silsilah raja akbar Israel, Daud, yang dikeluarkan dari kitab Samuel. b). Rut merupakan
brosur anti separatis yang ditulis untuk melawan sikap keras Ezra dan Nehemia dalam
menentang perkawinan campuran. c). Rut adalah pembelaan kemanusiaan bagi janda tanpa
anak, supaya 'penebus' memikul tanggung jawabnya. d). Rut dirancang untuk
menggambarkan pemeliharaan ilahi. e). Rut menunjang toleransi ras. Mungkin saja tidak ada
maksud tertentu. Jadi penulis hanya ingin menceritakan peristiwa Rut, yang memang
menyenangkan dibandingkan cerita pada akhir kitab Hakim-Hakim, kendati dari zaman
yang sama (Hak. 17-21).5
Kitab Rut menyeimbangi pandangan universalisme yang luas, bersamaan dengan itu
peranan wanita mendapat tempat yang penting. Hal ini ternyata dari peranan Naomi (wanita
Yahudi) dan Rut (wanita Moab) yang menjadi nenek moyang raja Daud. Kitab Rut, sebagai
sebuah kisah cinta mengingatkan kita bahwa walaupun masa hakim-hakim merupakan masa
kesedihan terus-menerus oleh karena kemurtadan Israel, namun pada beberapa saat dan di
4
J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, hlm. 156
5
J. D. Douglas., Loc. Cit. hlm. 426-427
4
pelbagai tempat masih ada orang yang sungguh mengasihi Tuhan dan mengasihi sesamanya.
Barangkali tujuan utama kitab ini kalau dipandang dari segi sejarah, ialah untuk memberi
penjelasan mengapa seorang yang bukan orang Israel asli disebutkan dalam silsilah
Keluarga Daud dibagian-bagian Alkitab yang lain. Selain itu apa yang sangat mencolok
dalam kitab ini ialah pemeliharaan Allah bagi mereka yang percaya kepada-Nya walaupun
mereka berasal dari bangsa atau kedudukan sosial bukan Israel.6 Salah satu maksud
penulisan kitab Rut yang lain adalah untuk mengkritik ke-Yahudi-an yang mulai bersifat
tertutup dan fanatik serta untuk mengimbangi pandangan nasionalisme Yahudi yang sempit
dengan pandangan universalisme yang luas.7

B. Motivasi Teologis
Kitab Rut adalah suatu laporan mengenai peristiwa yang terjadi selama periode hakim-
hakim, kitab ini memberikan suatu perbedaan yang mencolok terhadap perspektif yang
negatif tentang iman bangsa Isarael. Dalam Kitab ini digambarkan bahwa sementara bangsa
Israel melepaskan kesetiaan mereka dan meninggalkan penyembahan kepada Yahweh untuk
menyembah ilah-ilah lain, sebaliknya Rut sedang menunjukkan kesetiaannya kepada
Yahweh.8
Berkaitan dengan kesetiaan Allah terhadap umat Yahudi dan sebaliknya
ketidaksetiaan umat Yahudi terhadap Allah serta kesetiaan Rut terhadap Naomi, maka
rentetan cerita yang terlukis dengan masalah-masalah historis dalam konteks masa hakim-
hakim tersebut melahirkan refleksi-refleksi iman sebagai berikut:
1. Kesetiaan Tuhan atas umat Yahudi
2. Kedudukan umat Yahudi sebagai umat pilihan Allah
3. Mengapa umat Yahudi tidak setia?
4. Bagaimana Rut dan Naomi (janda) mengupayakan kehidupan dengan keterbatasan
mereka
5. Bagaimana Rut mampu mempertahankan imannya
6. Mengapa Rut tidak kembali pada bangsa dan allahnya

Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, Jawa Timur: Gandum Mas, 2012, hlm. 85
6

S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk mempelajari & Mengajarkan Alkitab, Jakarta: BPK
7

Gunung Mulia, 2016. hlm. 262


8
Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, cet.3 2019, hlm. 256
5
Maksud penulisan Kitab ini sendiri rupanya hampir menjawab seluruh pertanyaan
refleksi yang muncul tersebut. Kisah Rut ditulis agar umat Israel memperhatikan bagaimana
Allah memilih orang Yahudi dan atau orang dari bangsa lain untuk melaksanakan rencana-
Nya di dunia. Rut bukan orang Israel, melainkan orang Moab. Jaminan perlindungan dari
keluarganya sendiri ia lepaskan untuk hidup di Israel bersama mertuanya, Naomi, seorang
janda Israel yang kedua anak laki-lakinya telah meninggal.9 Kesetiaan Rut menjadi cerita
pembeda dalam kisah ini. Kasih setia (kata ibrani: hesed) yang terdapat dalam 1:8, 2:20 dan
3:10 adalah kaya dalam makna. Sifat ini terutama adalah sifat Allah sendiri. Kata ini
mencakup kehangatan persaudaraan Allah dan juga terjaminnya kesetiaan-Nya. Mereka
yang telah mengalami “hesed” TUHAN, haruslah diubah oleh hesed itu, dan dengan
demikian menujukkannya kepada orang lain. Dalam hal Rut, pilihan moral untuk
menunjukkan “hesed” kepada Naomi adalah saat pertobatannya. Karena dalam hal ini, ia
sekaligus mengakui TUHAN Naomi sebagai TUHANnya.10
Ketika Rut mengadakan keputusan pribadi dan memilih mendampingi Naomi dan
menyembah Allah orang Israel, maka hari-hari depan akan terpengaruhi. Bagian akhir kisah
ini, menunjukkan bagaimana Rut dan keturunannya menjadi nenek moyang Daud, raja
terbesar Israel. Karena kitab ini berakhir dengan Daud, banyak orang melihat dalam kitab ini
berita tentang Daud. Pertanyaannya adalah apakah yang dikemukakakan oleh Kitab ini
tentang Daud? Apakah kitab ini merupakan usaha untuk mejelaskan dan memberikan alasan
bagi leluhurnya yang berasal dari bangsa asing? Refleksi-refleksi bagi umat Yahudi dalam
Kitab Rut berkaitan dengan masalah-masalah historis yang terjadi menghasilkan jawaban-
jawaban teologis yang tercatat dengan baik sebagai isi pokok:
1. Rencana Allah dapat dipenuhi dengan cara yang tak terduga.
2. Allah berkarya dalam hidup orang yang setia.
3. Menolong orang lain dan setia kepada keluarga dan para sahabat dapat megubah hidup
dan membawa kebahagiaan.
4. Allah melimpahkan kebaikan bagi semua orang, bukan hanya bagi orang Yahudi.
5. Allah memperhatikan semua orang dan berkarya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu, kitab ini ditulis untuk menentang sikap patriarki yang berlaku di Israel
pada saat itu serta mengkritik pembaharuan yang dilakukan oleh Ezra (Ezra 10) dan
9
Alkitab Edisi Studi, cet.2, 2011. hlm. 423
10
The New Bible Cometary, hlm. 429
6
Nehemia (Neh. 8-10), yakni melarang orang Isreal untuk mengambil perempuan dari luar
Israel menjadi istri mereka dan jika mereka sudah beristrikan orang asing, maka mereka
harus menceraikan istri mereka. Hal ini dilakukan agar bangsa Israel menjaga kekudusan
mereka di hadapan Tuhan sebab mereka baru kembali dari pembuangan, karena
ketidaksetiaan mereka kepada TUhan. Melihat akan hal ini, kitab Rut menegaskan bahwa
bagimana bangsa Israel berhubungan dengan bangsa-bangsa di luar Israel dan menentang
sikap ekslusifisme dari bangsa Israel.11

C. Nilai-nilai Etis
1. Kesetiaan. Rut menggambarkan nilai kesetiaan dalam arti berpegang teguh pada janji,
pendirian, komitmen dan lain sebagainya. Begitulah yang di tampilkan Rut dalam cerita
hidupnya. Ia tetap memenuhi janji pernikahannya, sekalipun suaminya telah meninggal.
Satu hal yang menarik ialah bahwa tekad Rut ”Allahmulah, Allahku” timbul setelah
kematian suaminya dan pada saat Naomi mertuanya mengucapkan kata-kata perpisahan
(Rut. 1:16). Perkawinan Rut merupakan awal dari suatu kemungkinan menuju “suatu
kehidupan rohani yang murni”. Rut tetap memberikan kasih dan kesetiaannya kepada
Naomi, mertuanya dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Ini merupakan perwujudan
cinta kasih Allah.
2. Rut bersedia membuang segala sesuatu yang dianggap berharga baginya di Moab dan
dengan sukarela memilih ikut pergi ke Yehuda dan memulai segala kehidupan yang baru
bersama mertuanya. Pilihan ini memiliki makna rohani maupun budaya. Allahmulah
(yang akan menjadi) Allahku. Di Moab Rut pasti menyembah allahnya orang Moab.
Namun dengan pergi ke Yehuda dia harus menyembah Allah Israel. Hal itu merupakan
kesaksian kepada suaminya yang telah meninggal dan juga kepada ibu mertuanya bahwa
Rut bersedia untuk menyerahkan diri kepada Allah yang mereka sembah.
3. Kitab Rut dituliskan selaku protes terhadap peraturan-peraturan Ezra dan Nehemia yang
begitu ketat dalam usaha mereka menghapuskan perkawinan campuran. Dan memang
benar kitab ini tidak mendukung sifat penyendirian Yahudi dan lebih menyukai sikap
misioner terhadap bangsa-bangsa di sekitarnya. Kitab Rut menyeimbangi pandangan
universalisme yang luas. Bersama dengan itu peranan wanita mendapat tempat yang
11
W. S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
2014, hlm. 446
7
penting. Hal ini ternyata dari peranan Naomi (wanita Yahudi) dan Rut (wanita Moab)
yang menjadi nenek moyang raja Daud. Raja Daud itu juga yang kemudian menjadi
nenek moyang Yesus Kristus. Jadi kisah Rut ini membawa berita yang menyapa
eklusifisme dan fanatisme Yahudi.

8
BAB III
PENUTUP
Refleksi

Gerakan radikalisme agama yang merupakan suatu paham atau aliran yang melakukan
tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan ajaran agama, yang di mana penganutnya
memiliki karakter intoleransi, fanatik, eksklusif, dan revolusioner. Dari hasil pengamatan aksi
kelompok radikal Kristen yang terjadi di Indonesia, salah satu tujuan mereka ialah karena ingin
membela Kekristenan. Dengan demikian, apakah sebagai orang Kristen perlu melakukan
tindakan kekerasan untuk membela agamanya. Dalam membela iman dan kepercayaan Kristen
yang perlu diketahui bahwa, membela tidak harus dengan cara atau tindakan yang dapat
menimbulkan kekerasan. Alkitab menceritakan bahwa Tuhan Yesus sangat menentang segala
bentuk kekerasan, pembalasan, maupun pemaksaan. Misalnya, ketika penduduk salah satu desa
di Samaria tidak mengizinkan Yesus untuk melintasi daerah mereka, murid-murid-Nya sangat
marah dan ingin menghukum penduduk tersebut, namun Yesus justru menghardik murid-
muridnya itu (Luk. 9:53-55). Ketika Petrus melawan para tentara yang hendak menangkap
Yesus, dia justru menerima teguran dari Yesus (Yoh. 18:10-11). Kebenaran tersebut tidak hanya
diajarkan oleh Yesus, melainkan dilakukan-Nya sendiri. Ketika Dia terpaku di atas kayu salib
dan diolok-olok oleh banyak orang, Dia tidak membalas dan kemarahan pun tidak ada pada-Nya.
Sebaliknya, Dia justru melepaskan pengampunan untuk mereka semua (Luk. 23:34).12

Pada kenyataannya, radikalisme agama itu anti terhadap demokrasi dan Pancasila.
Mereka menolak paham keadilan dalam kemajemukan yang tercantum dalam nilai-nilai
demokrasi dan pancasila, karena menganggap hanya apa yang mereka akuilah yang semata-mata
benar dan yang lain tidak. Mengingat konteks radikalisme keagamaan di Indonesia sudah
sedemikian parah, bisa tiba-tiba muncul (dampaknya) dimana-mana, maka semua agama yang
anti radikalisme termasuk gereja bertanggung jawab menyelamatkan kesatuan bangsa ini melalui
kerja sama. Manusia Indonesia, manusia harus menjadi manusia yang berbelas kasihan.
Sesungguhnya berdasarkan teologi kurban dalam kekristenan tentang pengertian bahwa
pengurbanan manusia telah dilarang keras. Dunia telah mengutuk pengurbanan manusia seperti
holocaust (kurban yang terbakar sampai habis) pada masa Nazi Jerman. Dalam ajaran
Yunardi Kristian Zega, “Radikalisme Agama Dalam Perspektif Alkitab Dan Implikasinya Bagi Pendidikan
12

Agama Kristen”Jurnal Shanan vol.4, hlm 15


9
kekristenan, Yesus Kristus mengurbankan diriNya bagi karya pendamaian Allah dengan
manusia, dan pengurbanan Anak Manusia (Yesus) itu sebagai Anak Domba Allah telah
menghancurkan perseteruan (akibat dosa manusia) antara Allah dan manusia.

Karena kesempurnaan kurban Anak Domba Allah, yaitu Yesus Kristus, maka kurban
manusia apalagi kurban hewan tidak diperlukan lagi, dalam kekristenan. Pendamaian dengan
Allah Bapa telah dibangun oleh Yesus sendiri dan untuk itu posisi manusia hanya menerima
dampak penyelamatan dari karya-Nya. Itulah yang disebut dengan ANUGERAH Allah yang
menyelamatkan: IMAN. Tetapi anugerah yang menyelamatkan itu berimplilkasi etik sosial
bahkan etik global, itulah yang dijabarkan dalam Tritugas Panggilan Gereja: koinonia, marturia
dan diakonia dalam pengertian seluas-luasnya, setinggi-tingginya, dan sedalam-dalamnya.
Manusia Indonesia harus bersikap tegas menolak kekerasan dan paham-paham radikal sebab itu
bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.13

Orientasi pertumbuhan paham radikalisme ialah kekuasaan. Di samping adanya pihak


yang mendanai, pada dasarnya perkembangannya disebabkan oleh kedangkalan atau sempitnya
wawasan, pengertian dan empati. Impotensi daya nalar kaum moralis dan agamawan
menyebabkan mereka ganas dan penuh kebencian 14 Radikalisme keagamaan terjadi sebagai
bentuk ketersesatan warga (sebagian generasi milenial). Mereka tersesat jauh dari jati diri
bangsanya sendiri: Pancasila. Radikalisme keagamaan adalah paham yang jelas bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena bertentangan, maka tidak sesuai dengan bangsa dan
Negara RI. Dan, karena substansi Pancasila dan UUD 1945 merupakan nilai-nilai yang berlaku
universal, maka sesungguhnya tidak ada tempat bagi paham radikal di bumi ini. Dunia
membutuhkan keadilan dan perdamaian, sedangkan radikalisme keagamaan itu anti keadilan dan
perdamaian. Jadi, Negara RI jelas anti terhadap radikalisme. Kalau radikalisme agama tidak
diatasi secara tegas dan transparan, maka dikuatirkan akan terjadi kehancuran masyarakat.
Nampaknya semua agama termasuk kekristenan sekaranglah saatnya mengeluarkan
(mengaktualisasikan) kekayaan ajaran-ajaran doktrinalnya yang paling kuat dan teruji secara
historis dan yang bisa berdampak konstruktif lintas batas agama demi kehidupan sosial yang
damai, public good. Sudah terlalu lama banyak warga gereja yang menarik dirinya dan nyaris
tidak peduli dengan konteks sosial dalam praksis pastoralnya.
13
Ratna Saragih, “Berteologi Sosial Dalam Konteks Radikalisme Keagamaan Pada Era Milenial”, hlm.11
14
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002, hlm.265
10
Perjanjian Baru memuat salah satu inti pengajaran Yesus yaitu tentang sikap toleransi
(Yoh. 4: 1-42). Hidup ditengah masyarakat intoleran yang menolak atau tidak mau bergaul
dengan orang lain, karena perbedaan budaya, adat istiadat, dan perbedaan keyakinan, semua itu
diruntuhkan oleh Tuhan Yesus dalam pengajaranNya. Penerimaan Yesus terhadap perempuan
Samaria, untuk meruntuhkan tembok pemisah antara orang Yahudi dengan orang Samaria (Yoh.
4:9). Dari teladan Yesus ini, mau menunjukan bahwa Yesus tidak setuju dengan sikap
intoleransi. Karena bagi Yesus, semua orang memiliki kedudukan dan derajat yang sama dan
tidak ada suku bangsa, ras, kelompok atau agama yang lebih rendah dari yang lainnya.15

Dari ajaran Yesus, jelas bahwa keberagaman, perbedaan atau kemajemukan bukan untuk
dipertentangkan atau juga pemisah kasih sebagai sesama. Sebab itu sikap dan pandangan ekslusif
harus diruntuhkan, karena sikap ini menjadi penghambat dalam memenuhi amanat agung dari
Yesus. Maka, ketika berhadapan dengan keberagaman, orang Kristen harus mencerminkan wajah
Kristus terhadap semua orang, semua agama dan keyakinan. Sehingga ajaran Yesus yang
menjadi dasar bagi orang percaya berpikir dan berperilaku adalah kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri (Matius 22: 39).

Mazmur 11:5 dengan tegas menjelaskan bahwa Allah membenci orang-orang yang
mencintai kekerasan. Oleh karena itu, kelompok radikal Kristen yang melakukan kekerasan
dengan tujuan demi membela agama, iman, dan kepercayaannya adalah cara yang salah.
Kekristenan adalah agama yang hidup berdasarkan kasih (1Kor 13: 13, 1 Pet. 3: 8; 1Yoh. 4:
18,19; Kol. 3: 23; Yoh. 15: 9, 12, 17, 3: 16; Ef. 4: 32; 2 Tes. 3: 5; Mzm. 136: 1; Rm. 12:9; Ul.
6:5; dan lainnya). Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah
kasih, 1Yohanes 4:8. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan
dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelamahlembutan dan
kesabaran, Kolose 3:12. Dengan demikian, maka dalam membela agama Kristen bukanlah
dengan membentuk kelompok radikal Kristen untuk melindungi Kekristenan, melainkan
melindungi Kekristenan haruslah dengan melakukan kebenaran-kebanaran Firman Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari seperti yang telah diajarkan di dalam Alkitab.

Kesimpulan

15
Yushak Soesilo, “Gereja dan Pluralisme Agama dalam Konteks di Indonesia,” Jurnal Antusiasi, 2011
11
Berdasarkan masalah yang diangkat, kajian historis dan motivasi teologis dapat disimpulkan
bahwa kebebasan dalam kehidupan beragama dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan
dalam kehidupan antar umat. Masalah-masalah yang dimaksud diantaranya adalah masalah
radikalisme dan intoleransi. Radikalisme dengan definisi-definisi yang telah kami paparkan
merujuk pada praktik yang menyeleweng dari nilai-nilai etis agama. Radikalisme dianut sebagai
sebuah paham atau aliran yang radikal dalam politik atau paham yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Sedangkan, Intoleransi
adalah suatu kondisi dimana terdapat satu kelompok yang secara khusus menolak untuk toleran
terhadap praktik-praktik yang berlandaskan agama.

Kisah dalam kitab Rut mengambarkan seorang tokoh wanita dari bangsa asing (Moab)
yang menunjang toleransi ras dalam kehidupan dan tradisi umat Yahudi. kitab Rut
menyeimbangkan pandangan universalisme yang begitu luas bersamaan dengan peran wanita di
tengah-tengah budaya patriarki. Jika dipandang dari segi sejarah, kitab Rut mempunyai tujuan
utama untuk memberi penjelasan mengapa seorang yang bukan Israel asli disebut dalam silsilah
keluarga Daud. Yang mencolok dari kitab ini ialah pemeliharaan Allah bagi mereka yang
percaya kepada-Nya., walaupun mereka berasal dari bangsa atau kedudukan sosial mana pun.
Kitab Rut juga ditulis untuk mengimbangi pandangan nasionalisme Yahudi yang sempit dengan
pandangan universalisme yang kuat.

Dalam konteks kehidupan masyarakat majemuk masa kini, radikalisme dalam kehidupan
beragama juga masih menjadi persoalan. Terbukti dengan banyak isu bahkan tragedi-tragedi di
sekitar kehidupan umat beragama seperti penistaan terhadap agama lain bahkan kasus-kasus
terorisme yang masih marak terjadi. Menyikapi persoalan ini, maka nilai-nilai etis alkitabiah
akan menolong umat beragama (kekristenan) agar tepat dalam menentukan sikap.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Douglas, J. D.,
2008. Ensiklopedia Masa Kini: Jilid 2 M-Z, Jakarta: Bina Kasih
Blommendaal, J.,
2016. Pengantar Kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Green, Denis.,
2012. Pengenalan Perjanjian Lama, Jawa Timur: Gandum Mas
Wahono, Wismoady S.,
2016. Di Sini Kutemukan: Petunjuk mempelajari & Mengajarkan Alkitab, Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Hill, Andrew E. & Walton, John H.,
2019. Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas
Lasor, W. S., dkk.,
2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK. Gunung Mulia
Budiman, Hikmat.,
2002. Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
2014. Tafsiran Alkitab Wycliffe, Volume 1, Gandum Mas.
2011. Alkitab Edisi Studi, cet.2.
The New Bible Cometary.

Jurnal
Zega, Yunardi Kristian.,
“Radikalisme Agama Dalam Perspektif Alkitab Dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Agama Kristen” Jurnal Shanan vol.4.
Saragih, Ratna.,
“Berteologi Sosial Dalam Konteks Radikalisme Keagamaan Pada Era Milenial”
Soesilo, Yushak,.
“Gereja dan Pluralisme Agama dalam Konteks di Indonesia,”

13
Internet
https://makasar.kompas.com/read/2021/03/30/055000678/fakta-suami-istri-pelaku-bom-bunuh-
diri-di-makasar-menikah-6-bulan-lalu?page=1 diakses pada minggu, 9 mei 2021, pukul 11:16

14

Anda mungkin juga menyukai