Anda di halaman 1dari 13

BAB TENTARA

Menciptakan kehidupan masyarakat Indonesia yang adil, makmur,aman dan sejahtera


merupakan tujuan pembangunan nasional Indonesia.Untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional tersebut harus dilakukan dengan ketentuan serta kerja keras dari seluruh bangsa dan
lapisan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang antara lain bidang
ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain-lain. Tujuan nasional bangsa
Indonesia sendiri secara tegas tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 pada alinea ke IV, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan ketertiban umam, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian
abadi dan keadilan sosial

Tiap-tiap warga negara Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara. Untuk mewujudkan stabilitas nasional maka aparat keamanan Negara
haruslah dibentuk.Selain itu,aparat keamanan ini dibentuk karena sebagai salah satu alat
kelengkapan yang harus ada dalam sebuah negara merdeka.Yang dimaksud aparat keamanan
Negara disini yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tentara Nasional Indonesia berperan
sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
kebijakan dan keputusan politik negara.

Pembentukan angkatan bersenjata pada sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan
mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.Ketika Negara Republik Indonesia merdeka,
tentara kebangsaan belum dibentuk,namun embrionya telah ada antara lain Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air(PETA),Koninklijk Nederlansche Indische Leger (KNIL),dan badan-badan
perjuangan lainnya.Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia perlu-lah kita mengetahui
sejarah dari salah satu alat kelengkapan negara ini yaitu tentara, dimulai dari sejarah berdirinya
hingga perkembangannya pada dewasa ini.

A. Sejarah Berdirinya Tentara Indonesia

Ternyata Presiden Soekarno tidak membentuk tentara bersamaan dengan diproklamirkannya


kemerdekaan RI,dan mengangkat Supriyadi sebagai menteri Keamanan dan Hankam secara
absteinsi.Ketidakpastian negara meletakkan dasar tentara dan pertahanan nasional pada awal
kemerdekaan menyebabkan kelahiran tentara Indonesia berbeda dengan negara lain. Tentara
Indonesia dibangun atas desakan tentara KNIL dan PETA karena kepentingan revolusi
kemerdekaan.Nugroho Notosusanto menyebutkan militer Indonesia sebagai tentara patriot
revolusioner.Tentara Indonesia didirikan melalui proses yang cukup lama.Tentara lahir karena
revolusi kemerdekaan yang berintikan tentara peninggalan penjajah (PETA dan KNIL) dan
milisi rakyat yang terbentuk secara tidak sengaja karena patriotisme membela negara. Pada masa
pemerintahan kolonial, Indonesia tidak mempunyai militer.Pada masa pemerintahan kolonial
militer hanya dimiliki oleh pemerintah dan orang-orangnya hanya berasal dari orang Eropa atau
Belanda dan sedikit sekali dari orang pribumi.

Tentara Indonesia terwujud karena keinginan rakyat terutama para pemuda,yang merasa
terpanggil untuk berjuang memepertahankan kemerdekaan negaranya yang telah di
proklamasikan.Modal rakyat pejuang bersenjata adalah pemuda yang siap berkorban untuk
membela bangsa dan negara .Mereka datang dari berbagai organisasi, seperti Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air (PETA),Seinendan(prajurit pemula),Keibodan(pasukan keamanan),Shusintai
(Barisan Pelopor),Hizbullah,Gokukotai(pasukan pelajar),Heiho (pembantu prajurit) dan pemuda-
pemuda mantan KNIL.Para pemuda tadi kemudian sebagian besar meneruskan pengabdiannya
melalui organisasi ketentaraan.Banyak pemuda yang sudah cukup mendapat pendidikan dan
latihan ketentaraan dari KNIL dan PETA.

Sebelum Indonesia merdeka (ketika dijajah Belanda dan Jepang), ada dua institusi militer
yang dominan yang nantinya punya pengaruh besar dalam dinas ketentaraan Indonesia merdeka.
Jika kita urutkan berdasarkan umurnya maka KNIL yang mesti didahulukan. KNIL merupakan
institusi tentara bentukan Kolonial Belanda, yang berumur lumayan panjang jika kita bandingkan
dengan PETA yang hanya berumur sekitar 2 tahun.Tentara KNIL dianggap punya kemampuan
militer yang mumpuni karena mereka mengalami pendidikan yang lumayan lama. Disamping itu
KNIL juga memiliki jiwa organisasi yang baik,karena mereka cukup solid dalam wadah KNIL
itu sendiri.PETA sendiri dibentuk pada bulan Oktober 1943,pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia.Karena pada waktu itu Jepang sedang menghadapi pertempuran di Perang Dunia II,
sehingga Jepang membutuhkan pasukan untuk membantu tentara Jepang dalam perang tersebut.
Karena Jepang terus menghadapi kekalahan maka pemerintahan Jepang di Indonesia mengambil
keputusan untuk melatih rakyat Indonesia tentang militer untuk membantu tentara Jepang
melawan Sekutu.PETA juga didukung oleh PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh
Soekarno dan Dewan Pertimbangan Pusat.Selain itu,diperkirakan jumlah tentara PETA mencapai
angka 120.000 personil pada pertengahan 1945,dan ini menjadi tulang punggung personil tentara
Indonesia nantinya (Kahin, 1995:156). Tokoh-tokoh sentral PETA dan eks-didikan semi-militer
Jepang lain yang nantinya punya pengaruh dalam tentara Indonesia adalah Soedirman dan A.H.
Nasution.

Selain itu hasil dari sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pertama
juga menjelaskan bahwa sesegera mungkin presiden harus membentuk tentara kebangsaan untuk
menguatkan sistem barisan keamanan dan pertahanan Republik Indonesia.Kemudian pada
tanggal 22 Agustus 1945,Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengumumkan berdirinya
Badan Keamanan Rakyat (BKR ).Kemudian Presiden Soekarno mengatakan kepada mantan
anggota PETA (Pembela Tanah Air), Heiho dan pemuda-pemuda kelaskaran lainnya untuk
bergabung dalam BKR dan bersiap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan.

BKR atau Badan Keamanan Rakyat tersebut kemudian menjadi suatu wadah
berkumpulnya para mantan anggota PETA dan Heiho yang telah dibubarkan oleh Jepang pada
19-20 Agustus 1945.BKR kemudian berdiri di daerah-daerah karena gerakan spontan dari para
mantan PETA dan Heiho yang ada di daerah dalam merespon pidato Soekarno.BKR yang berdiri
kemudian menjadi badan-badan yang melakukan revolusi di daerah-daerah.Di dalam BKR
terdapat kesatuan keprajuritan yaitu darat, laut dan udara.

Sesungguhnya BKR bukanlah suatu organisasi kemiliteran yang resmi dan bukan pula
dimaksudkan sebagai organisasi kemiliteran.Namun BKR hanya merupakan penjaga keamanan
umum di daerah-daerah dibawah koordinasi Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah. Akan
tetapi, pembentukan BKR dirasa belum cukup tepat oleh para anggota militer sebagai suatu
organisasi militer yang solid dan kuat. Hal ini dikarenakan BKR bukanlah dimaksudkan sebagai
sebagai organisasi kemiliteran, karena BKR dibentuk atas dasar kerakyatan bukan murni sebagai
tentara.Sehingga para anggota militer terus mendesak agar pemerintah segera membentuk suatu
angkatan perang guna menjaga keamanan negara dari ancaman tentara Belanda dan NICA.Dan
pada masa itu, para pemimpin Republik Indonesia belum berani memberi nama tentara karena
juga ditakutkan akan ada perlawanan oleh tentara penjajah yang masih ada di Indonesia.

Pada tanggal 5 Oktober 1945 diwujudkan bentuk badannya dengan nama yang tegas yakni
Tentara Keamanan Rakyat atau TKR.Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat perihal
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), maklumat tersebut berbunyi: “Untuk
menguatkan perasaan keamanan umum,maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat”.Setelah
TKR terbentuk,pemerintah Republik Indonesia kembali mengeluarkan maklumat yang berisi
tentang pengangkatan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat.Namun sejak peristiwa
pemberontakan PETA terhadap Jepang di Blitar yang dipimpinnya pada Februari 1945, beliau
tidak menampakkan dirinya.Bahkan keberadaaanya hingga sekarang masih menjadi
misteri.Kemudian untuk markas TKR sendiri berada di Yogyakarta,yang berkantor di Hotel
Merdeka.Beberapa waktu kemudian dipindah ke daerah Gondokusuman(sekarang Museum Pusat
Angkatan Darat Dharma Wiratama).

Karena Soeprijadi tidak kunjung memenuhi panggilan pemerintah,Presiden Soekarno


kemudian mengangkat Muhammad Saljo Adikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat.Namun
banyak pihak yang tidak setuju terhadap keputusan ini, karena beliau dianggap kurang populer
dan tidak berprestasi sehingga rendah wibawanya.Oleh karena itu, Panglima Divisi dan
Komandan Residen TKR,yang mengadakan konferensi di Yogyakarta pada 12 November
1945.Salah satu hasil dari konferensi tersebut menetapkan Soedirman sebagai Panglima Besar
TKR.Namun hasil konferensi ini baru diresmikan oleh pemerintah pada 18 November 1945
dengan melantik Panglima Besar Soedirman dengan pangkat jenderal. Selain Panglima tertinggi
TKR, ketika itu dipilih pula tokoh yang akan menjadi menteri keamanan rakyat. Menteri
Keamanan terpilih ketika itu adalah Sri Soeltan Hamengkoeboewono IX untuk menggantikan
Moehamad Suljoadikoesoemo.
Perkembangan politik pada waktu itu menunujukkan bahwa Belanda yang sudah membentuk
pemerintah bayangan di Australia (NICA).Pemerintah kita dianggap fasis.Untuk menyanggah
tuduhan tersebut dan untuk menunjukkan kepada dunia luar, maka pada tanggal 7 Januari 1946
nama TKR diubahnya lagi, artinya bukan lagi kemanan melainkan menjadi keselamatan.Dan
melalui Penetapan Pemerintah No.2/S.D/1946,secara resmi pemerintah RI mengumumkan
bahwa Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.Selain
itu ,pemerintah juga mengubah nama Kementrian Keamanan menjadi Kementrian Pertahanan.

Situasi politik yang liberal dikala itu menjadikan situasi yang cepat berubah-ubah dan dari
sebab itu pula pernah sekali Tentara terpengaruh olehnya, yakni pada tanggal 25 Januari 1946
dengan diubahnya menjadi TRI atau Tentara Republik Indonesia melalui sidang Dewan
Menteri.Sidang tersebut menghasilkan beberapa keputusan seperti: Tentara Republik Indonesia
adalah satu-satunya organisasi militer negara Republik Indoneisa; Tentara Republik Indonesia
akan disususn atas dasar militer internasional; Tentara Keselamatan Rakyat yang sekarang, yang
mulai hari pengumuman maklumat ini disebut Tentara Republik Indonesia akan diperbaiki
susunannyaatas dasar bentuk ketentaraan yang sempurna untuk melaksanakan pekerjaan yang
disebut dalam pasal 4 tersebut.Sehari setelahnya yaitu pada tanggal 26 Januari 1946 ,Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang pada intinya memperkuat keputusan maklumat
sebelumnya menganai perubahan nama Tentara Keselamatan Rakyat atau TKR menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI).

Selanjutnya tanggal 23 Februari 1946, pemerintah kemudian menetapkan penyempurnaan


organisasi, dengan membentuk panitia yang bertugas untuk:

1. Membentuk kementerian pertahanan

2. Mencari bentuk ketentaraan

3. Kekuatan tentara

4. Organisasi tentara

5. Menyempurnakan bentuk peralihan dari TKR ke TRI dan menentukan status laskar dan
badan perjuangan.

Bisa dikatakan bahwa ini re-organisasi pertama dalam angkatan perang Indonesia, dimana
hasilnya akan menciutkan jumlah jumlah divisi yang ada di jawa yang sebelumnya berjumlah 10
divisi menjadi 7 divisi dan 3 brigade di Jawa Barat serta 3 divisi di Sumatera. Kemudian bila
laskar-laskar tidak mau meleburkan diri dalam TRI akan diberikan wadah perjuangan khusus
bernama Biro Perjuangan.Setelah itu disusulah pembentukan Tentara Republik Indonesia Oedara
(TRIO),berdasarkan Penetapan Pemerintah No.6/SD tahun 1946.Pada waktu itu juga diangkatlah
Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Komodor Udara R.Sukarmen menjadi Kepala Staf
Umum dan Wakil Kepala Staf.Kemudian banyak berdiri sekolah-sekolah di Indonesia yang
berbasis kemiliteran.Seperti Sekolah Angkatan Laut Tegal, Sekolah Tinggi Polisi di
Magelang,Sekolah Pelayaran di Tanjung Balai Asahan,dan lain sebagainya.

Melalui Penetapan Presiden No.24 tahun 1947,secara resmi Presiden Soekarn mengesahkan
beridirinya Tentara Nasional Indonesia.Pembentukan TNI ini bertujuan untuk menggabungkan
angkatan perang dn lascar-laskar serta barisan-barisan bersenjata yang ada di wilayah Republik
Indonesia.Dan sejak sat itulah,tentara kebangsaan Indonesia dikenal sebagai TNI hingga saat
ini.Pimpinan tertinggidari Tentara Nasional Indonesia dipegang oleh Pucuk Pimpinan Tentara
Nasional Indonesia yang terdiri dari Kepala: Panglima Besar Angkatan Perang (Jendral
Soedirman);anggota-anggota:Letnan Jendral Urip Sumoharjo, Laksamana Muda Nazir, Komodor
Udara S.Suryadarma, Sutomo, Ir.Sakirman dan Jokosuyono.Dan upacara pelantikan pucuk
pimpinan TNI diadakan di Istana Negara,Geusng Agung,Yogyakarta.

Proses pembentukan TNI secara resmi membutuhkan waktu yang agak panjang.Sebab,terjadi
perbedaan strategi anatar pemimpin pemerintah yang relative lebih tua dengan para pemuda yang
menumpukkan semangat dan keberanian.Pemimpin tua pada masa itu yang dipimpin oleh
Soekarno dan Hatta, lebih memilih jalan politik diplomasi dengan cara hati-hati, dan tidak
bergantung kepada semangat dan kebearnian semata.Di umur TNI yang masih sangat muda,
namun sudah berbagai masalah menimpa Indoenesia yang membuat para TNI harus siap siaga
menjaga keamanan bangsa dan negara.Seperti peristiwa Kerajaan Belanda memberikan perintah
kepada pemerintah Belanda yang ada di Indonesia untuk menyerang Indonesia.Dan hal ini
terjadilah Agresi Militer Belanda yang pertama.Belanda melaksanakan serbuan kilat teradap
wilayah-wilayah RI dengan kekuatan pasukan mencapai 100 ribu orang dengan perlengkapan
perang yang modern.Menanggapi agresi militer ini, Panglima Besar Jenderal Soedirman
menyerukan pesan dann memberikan komando bagi segenap TNI untuk siap berperang melawan
Belanda.

B. Tentara dan Politik

Sejak awal sudah disadari oleh militer bahwa keikutsertaan partai-partai politik pada
masa demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin pada masa Soekarno, hanya sebagai mesin
pelindung bagi kepentingan sebagian kelompok masyarakat saja.Militer pada dasarnya sangat
anti partai.Menurut Harnold Crouch dalam buku”Militer dan Politik di Indonesia” menyebutkan
bahwa pandangan politik militer terpecah menjadi dua walaupun keduanya sama-sama anti-
partai.Kelompok pertama adalah sekelompok militant atau berhaluan keras yang ingin mengubah
struktur politik dengan sistem dwi grup atau dwi partai.Kelompok ini terdiri dari sekelompok
perwira senior yang terpengaruh oleh para anggota Partai Sosial Indonesia (PSI) serta erat
hubungannya degan para mahasiswa dan cendekiawan yang tergabung dalam Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Sarjan Indnesia (KASI).Sedangkan kelompok
yang kedua adalah kelompok moderat.Meskipun mereka juga anti-partai , mereka tetap ingin
mempertahankan sistem politik yang ada tanpa perubahan yang radikal, tetapi secara bertahap
dan alami.

Dalam perkembangannya, militer diakui sebagai kekuatan politik golongan fungsional


dan berhasil mendudukkan wakil-wakilnya dalam lembaga negara Dewan Nasional yang
dibentuk oleh pemerintah berdasarkan SOB (Staat Oorlog en Beleg) atau Peraturan Negara
dalam Keadaan Bahaya dan Perang.SOB tersebut memberi dasar hukum dan legitimasi militer
untuk melakukan peran yang lebih besar Dalam fungsi-fungsi politik,administrasi, dan
ekonomi.Legitimasi tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk doktrin pada bulan April
1965,yang menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata memiliki peran ganda yaitu sebgaia
kekuatan militer dan kekuatan sosial. Pada masa ini, Angkatan Darat mendapatkan legitimasinya
untuk dapat ambil bagian dalam dunia politik justru melalui konsepsi Soekarno dalam demokrasi
terpimpin yang didalamnya memuat gagasan tentang perwakilan fungsional. Melalui perwakilan
fungsional inilah militer masuk dalam Dewan Nasional dan memanfaatkan dewan tersebut untuk
menguatkan legitimasi atas kehadirannya di bidang politik. Masuknya militer dalam percaturan
politik membawa dampak bagi semakin lemahnya parpol, Selain PKI, sebab militer senantiasa
berupaya untuk kemudian dimasukannya ke dalam Sekber Golkar yang didominasi oleh militer
itu. Dampak kenyaataan tersebut dikalangan militer ada dua , yaitu TNI cenderung untuk ikut
berperan di lapangan politik , sementara disisi lain ada kelompok tenntara yang sejak sebelum
menjadi tantara memiliki pandangan mendukung partai politik tertentu.Oleh sebab itu, akan
muncul golongan tentara yang sangat mudah dipengaruhi dan ditarik kepada kekuatan politik
atau suatu partai.Persoalannya peran politik tidak boleh menjadi hak tentara secara terus-menerus
dalam masa damai.

Pada tahun 1959 percaturan plitik di Indonesia didominasi oleh 3 kekuatan politik utama
yaitu: Soekarno,TNI(AD),dan PKI.Munculnya tiga kekuatan tersebut dikarenakan oleh tidak
berfungsinya partai-partai politik dalam menjalankan pemerintahan serta mengatasi masalah
nasional di atas platform struktur politik yang ada.Tarik menarik antara Soekarno, Militer dan
PKI pada era demokrasi mencapai titik puncaknya pada September 1965 menyusul kudeta PKI
yang dikenal sebagai G30S/PKI, yang menyebabkan krisis politik yang cukup berat diawali
dengan berbagai demonstrasi mahasiswa, pelajar, ormas-ormas onderbouw parpol-parpol yang
lemah pada zaman demokrasi terpimpin yang semuanya didukung oleh Angkatan Darat sehingga
keluarlah yang disebut Supersemar.Surat perintah tersebut telah menjadi alat legitimasi yang
sangat efektif bagi Angkatan Darat untuk melangkah lebih jauh dalam panggung poltik.

Setelah adanya Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret tersebut, Soeharto
bertugas membubarkan PKI yang sudah sangat lama dituntut oleh masyarakat.K5emudian juga
dilakukan perombakan kabinet terhadap orang-orang PKI yang masih menduduki jabatan di
birokrasi pemerintahan. Dengan demikian secara tidak langsung G30S/PKI telah mengantarkan
Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Soekarno untuk tampil di pentas politik Indonesia, secara
lebih legitimated. Kekuasaan dan peran politik Soekarno dan PKI, yang dulu menjadi saingan
Angkatan Darat, berakhir sama sekali sejak tampilan Soeharto mengambil over (atas mandat)
kekuasaan pemerintah dari tangan Soekarno.

C. Kedudukan Tentara atau Milliter pada masa Orde Baru

Diangkatnya Jenderal Soeharto sebagai presiden penuh tahun 1968 oleh MPRS membawa
mliter ke posisi yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan.Pemerintahan ini disambut
hangat oleh sebagian kecil kalangan politisi sipil, dikarenakan sebagian besar menerimanya
dengan terpaksa karena memang militerlah yang paling kuat pada waktu itu.Kemudian banyak
tuntutan untuk diadakannya pembaharuan struktur politik oleh beberpa tokoh TNI AD.Mereka
ingin mengubah sistem pemerintahan dari yang banyak partai menjadi sistem dwi-partai
saja.Namun Presiden Soeharto tetap memilih demokratis ,bahwa tidak akan mengubah struktur
politik dengan paksaan,lebih-lebih dengan membubarkan partai-partai politik.Menyadari bahwa
militer tidak dapat membangun basis masa secara langsung, maka tidaklah heran Soeharto
menggunakan kekuatan politik yang berwajah sipil sebagai organisasi untuk dapat ikut serta
dalam pemilihan umum untuk mempertahankan kepentingan militer.

Kelahiran Golkar sendiri tidak lepas dari peran dan dukungan militer sebagai reaksi atas
meningkatnya kampanye PKI.Militer menggalangkan kekuatan politik melalui unsur-unsur
golongan fungsional(golongan yang tidak berafiliasi pada suatu partai,termasuk militer) yang
kemudian disatukan dalam suatu federasi yang bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar).Yang tergabung dalam Sekber ini merupakan ormas-ormas bentukan ABRI,
seperti 53 organisasi serikat buruh yang disponsori militer dan pegawai negeri, 10 organisasi
profesi, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, ABRI sendiri (AD, AL, AU dan Polri), dan
beberapa organisasi lain.

Di orde baru, lembaga legislatif dikuasai oleh rejim militer, dimana anggota parlemen
terdiri dari militer dan wakil dari golkar (partai rejim saat itu). Sehingga aturan-aturan sebagai
landasan dalam pembuatan kebijakan, dapat dibuat sesuai kehendak pimpinan rejim militer.
Kekuatan rakyat dalam parlemen tidak bisa berbuat apa-apa, karena intimidasi militer yang
dilakukan di luar parlemen. Hegemoni militer di dalam legislatif, diikuti juga di dalam lembaga
eksekutif baik mulai tingkat pusat sampai daerah. Penguasaan ABRI mulai pusat sampai daerah
dalam birokrasi masa orde baru, membuatnya menjadi pengendali kebijakan pembangunan
Indonesia dan pengkontrol efektif stabilitas politik di daerah. Hal ini menjadikan kebijakan-
kebijakan yang dibuat pemerintah menjadi seperti harus melalui jalur komando dari atas sampai
bawah atau suatu kebijakan yang akan dikeluarkan haruslah berdasarkan perintah dari pusat
(pimpinan rezim militer).

Proses politik dalam membuat kebijakan yang berjalan satu arah, tidak ada sistem check
and balance. Rakyat dengan intimidasi militer, dan pengkontrolan militer terhadap ormas-ormas
dan lembaga keagamaan di daerah, membuat masyarakat sipil sebagai salah satu kekuatan
demokrasi dalam proses politik menjadi mandul, tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Secara umum dalam dua dekade masa Orde Baru dihitung dari tahun 1945 sampai dengan
1988 terlihat bahwa 71,4%, posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi yang
meliputi presiden,wakil residen, dan beberapa menteri diduduki oleh militer dan sisanya 28,6%
diserahkan kepada sipil.Selain dalam birokrasi pusat militer juga merambah ke dalam birokrasi
tingkat daera seperti bupati dan juga gubernur.Dalam decade 1980-an sekitar 56% bupati adalah
militer.Untuk tingkat gubernur sendiri, 70% diduduki oleh militer.Namun dalam dekade
selanjutnya yaitu pada tahun 1990-an jumlah tersebut cenderung menurun.

Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal yang lebih menonjollagi selain melalui jabatan
bupati dan gubernur adalah keterkibatan pimpinan militer melalui Musyawarah Pimpinan Dearah
(Muspida) di tingkat kabupaten dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) di tingkat
kecammatan.Pimpinan militer banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi
rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum (Pemilu).Pimpinan militer daerah
merupakan actor politik kunci dalam menggerakan rakyat untuk loyal kepada pemerintah dan
kekuatan politik (Golkar) yang menjadi personifikasi pemerintah (birokrasi).

Meskipun secara umum posisi-posisi kekuasaan dibagi dengan orang-orang sipil, namun
orang-orang sipil harus menyesuaikan diri dengan sistem dimana kekuasaan terletak ditangan
militer.Pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun pemerintah mengklaim dirinya menganut
sistem demokrasi namun apa yang terjadi adalah sebaliknya.Pola hubngan sipil-militer menganut
kontrol militer terhadap sipil dengan alasan stabilitas politik dan keamanan untuk suksesnya
pembangunan ekonomi.

D. Peran Tentara atau Militer Pasca Orde Baru

Jatuhnya Orde Baru dibawha Presiden Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter di
kawasan Asia dan Indonesia pun juga tekena pengaruhnya.Dari sekian negara yang mengalam
krisis,Indonesia adallah negara ynag paling parah tertimpa lrisis terssebut, yaitu dengan
anjloknya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika yang sangat tajam.Karena pad awaktu
itu sistem perekonomian Indonesia belum memliki fundamental ayng cukup baik , maka
penyelesauiannya pun tidak membawa suatu hasil yang baik naum malah semakin berlarut-larut
ingga rupiah semakin anjlok.Selain itu banyak praktik-praktik korupsi dan kolusi di
pemerintahan.Dan hal tersebut membuat pemerintah Orde Baru kehilangan
legitimasinya.Memburuknya situasi ini membangkitkan reaksi dari masyrakat terutama kaum
innteletual yang tergabung dalam gerakan reofrmasi yang dipelopori ole mahasiswa dan pelajar.

Demonstrasi secara besar-besaran tidak bisa dihindarkan lagi.Para demonstran ini


menuntut Presien Soeharto yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden RI dipaksa untuk
mengundutrkan diri dari jabatanya.Akhirnya demonstrasi besar-besaran ini diarahkan ke Gedung
DPR/MPR sebagai simbol wakil rakyat.Banyak dari para demonstran yang terdiri juga dari
mahasiswa dari seluruh universitas di Indonesia yang menaiki atap dari Gedung
DPR/MPR.Demonstrasi ini mengakibatkan pimpinan DPR dipaksa mengambil sikap tegas
terhadap tuntutan para demonstran.Tanggal 20 Mei 1998,pimpinan DPR atas kesepakatan dialog
dengan delegasi masyarakat ang memadati areal tersebut mengeluarkan ancaman bahwa akan
segera mengadakan SI (Sidang Istimewa) MPR jika Presiden Soeharto tidak secepatnya
mengundurkan diri.Kemudian pada hari selanjutnya yaitu ada tanggal 21 Mei 1998 di Istana
Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti dari jabatan Presiden Republik
Indonesia.
Dengan mundurnya Soeharto dari jabatannya, maka secara konstitusi Wakil Presiden B.J
Habibe dengan sendirinya menggantikan keududukan presiden.Peimpahan kekuasaan dari
pemerintahan Soeharto kepada B.J. Habibie inii menimbulkan banyak pro dan kontra dalam
kalangan masyarakat Indoneisia.Akhirnya dilaksanakanlah Sidang Istimewa MPR yang telah
mendapat persetujuan dari DPR.Namun hasil sidang tersebut tidak membuat suatu keputusan
yang jelas, seperti posisi B.J Habibie dalam pemerinntahan.

Dalam pemerintahan sipil dibawah B.J.Habibie, kebijakan yang ditempuh dalam


mengelola hubungan sipil-militer relatif masih sama dengan periode Presiden Soeharto.Dalam
pemerintahan Presiden B.J. Habibie, relatif tidak banyak kebijakan yang dilakukan pada masa
transisi ini untuk menunjukkan adanya control sipil terhadap militer.B.J Habibie masih
memperthankan kedudukan strategis pejabat-pejabat militer pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto.B.J. Habibie juga masih memberikan kepercayaan Panglima ABRI untuk tetap
dipegang oleh Jenderal TNI Wiranto,sama seperti keududukannya pada masa Presiden
Soeharto.Hal inilah yang memberikan kesan bahwa B.J. Habibie tidak bersikap tegas memutus
jalur generasi militer Presiden Soeharti yang sudah dipandang masyarakat mempunyai citra
buruk dan respresif meskipun sebenarnya B.J. Habibie mendapat dukungan dari masyarakat luas.

Salim Said sebagai pengamat politik menyatakan bahwa pada pemerintahan pasca-Orde
Baru, ABRI tidak lagi “mendominasi” melinkan hanya “mendukung”.Konsekuensi dari keadaan
ini adalah kembalinya ABRI ke posisi poitik pada zaman Jenderal A.H. Nasution, yakni ABRI
hanya sebagai salah satu kekuatan perjuangan rakyat yang bahu-membahu dengan ekuatan
rakyat lainnya.Dengan kata llain ABRI bukan lagi “partai pemeintahh” namun hanya salah atu
diantara banyakk partai yang sudah dan masih akan terbentuk di Indonesia.Sikap loyalitas
konstitusional militer ini mendapat pujian dari berbagai media massa asing yang semula
menyatakan bahwa militer akan melakukan upaya kudeta dalam memperebutkan kekuasaan

Pada periode berikutnya jabatan presiden jatuh kepada Abdurrahman Wahid.Kebijakan


mengenai militer yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan B.J. Habibe
berbeda.Pada masa B.J. Habibie, kontrol atas militer yang dilakukan relative tidak menimbulkan
kontesasi, karena cenderung menggunakan control sipil obyektif.Sedangkan pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid, control militer dilakukan dengan strategi politik , dalam arti control sipil
subyektif.
Pada masa kedua pemerintahan sipil baru ini, terdapat beberapa kebijakan-kebijakan
yang mampu “dimenangkan” dalam “pertikaiannya” dengan pihak militer dalam rangka
mengurangii hak-hak isitimewa militer.Hak-hak istimewa tersebut seperti :
1) Peran militer dalam sisitem politik,dimana militer secara de jure tidak lagi
mempunyai hak istimewa dalam bidang ini kecuali kmenjalankan kebijakan
politik negara yang diperintahkan oleh pejabat sipil yang berwenang
2) Koordinasi petahanan, dimana menteri pemerintahan telah diisi oleh kalangan
sipil
3) Hubungan militer dengan kepala eksekutif dimaba presiden secara de jure dan de
facto mempunyai kekuasaan ynag tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut,dan Angkatan Udara.
4) Tidak adanya partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet, dan lain sebagainya.

Kontrol sipil atas militer yang terjadi pada pemerintahan sipil pasca-Orde Baru lebih cenderung
melakukan kontrol sipil subyektif.Namun, adanya pola kontrol sipil atas milier bukan berarti
selamanya akan menutup peluang kembalinya peran militer dalam politik dan kekuasaan.Dan
dapat disimpulkan bahwa isntitusi militer meskipun beberapa hal, hak-hak istimewanya sudah
mengalami penurunan, namun penurunan itu rekatif tidak berpengaruh secara signifikan.Militer
masih merupakan kekuatan politik de facto yang relatif masih menentukan dalam
penyelenggaraan negara.

Letak demokrasi di Indonesia saat ini memang belum berada pada tingkatan demokrasi
yang terkonsolidasi.Untuk mengarah kesana memerlukan waktu yang panjang.Tidak hanya
institusi militer saja yang dituntut untuk berbenah diri ,namun juga pihak pemerintah sipil hatus
membangun kewibawaanya dengan budaya poitik yang bertanggung jawab.Prakarsa dan presepsi
yang sama tentang demokrasi harus dibangun bersama-saam antar pihak militer dan pihak
sipil.Dalam negara yang demokratis, militer adalah alat negara yang professional sesuai
bidangnya, namun dibatasi keterlibatannya dalam berpolitik.Politik militer adalah politik
negara.Oleh karenanya militer adalah lembaga yang sangat eksklusif ,berorientasi pada korps
dan aristokratis ,terikat pada karakter asasinya yang berlandaskan disiplin,kepatuhan dan
ketaatan pada hirarki dan struktur komando.Jika militer dierikan hak-hak politik praktis, maka
yang terjadi adalah kekacauan, karena militer akan terpecah-pecah dalam berbgai kelompok
partisan sesuai kehendak nilai, kepentingan dan ideologinya.Hal demikian jelas membahayakan
persatuan dan kessatuan bangsa,apalagi militer dibekali dengan ketrampilan represif dan
disandangi senjata yang mematikan.Oleh karena itu sebuah negara demokratis harus menjamin
militernya agar tidak cenderung berkiprah dalam politik praktis.

Dalam masa ini, militer Indonesia juga dapat diklasifikasikan mengikuti model the
guardian military, Diana militer berfungsi juga melindungi orde politik dan sosial namun tidak
melibatkkan dalam politik ppraktis (day to day intervention in politic).Keterlibatan militer dalam
politik praktis ,meskipun ada, elatif tidak dominan.Namun, pengaruh politiknya masih sangat
menentukan dalam peta perpolitikan di Indonesia.Posisi militer pada masa ini mengikuti pola
recivilization, dimana militer meskipun terbuka untuk menduduki kekuasaan , namun militer
lbeih memberikan posisi kepla pemerintahan atau kekuasaan kepada sipil dengan mnempatkan
dirinya ( militer) sebagai pendukung dibelakangnya.

DAFTAR PUSTAKA
Artikel Daring,Jurnal, dan Laman Web Resmi :

Abdul Chalim, Munsharif dan Faisal Farhan.2015.Peranan dn Kedudukan Tentara


Nasional Indonesia (TNI) di Dalam Rancangan Undang-Undang Kemananan Nasional di tinjau
dari perspektif Politik Hukum di Indonesia. Jurnal Pembaharuan Hukum Volume II No. 1

Atno, Nanda Julian Pratama.2018.Dari Rakyat Untuk Rakyat: Benih, Cikal-Bakal dan
Kelahiran Tentara Indonesia 1945-1947. Journal of Indonesian History 7 (1)

Kardi,Koesnadi.2014. Demokratisasi Relasi Sipil-Militer pada Era Reformasi di


Indonesia. Jurnal Sosiologi , Vol. 19, No. 2

Mariana,Dede.2006. Reformasi Birokrasi Pemerintah Pasca Orde Baru.Jurnal


Sosiohumaniora,Vol.8, No.3

Nugrahanto,Widyo dan Rina Adyawardhina.2018. DEMOKRASI DALAM SEJARAH


MILITER INDONESIA (Kajian Historis Tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Pada
1945). Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 20, No. 1

Wirasaputri, Nina Mirantie. 2017.Perkembangan Politik Hukum Kalangan Militer Dalam


Transisi Demokrasi Indonesia. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 19, No. 3.

Yosarie,Ikhsan.2017. Militer dan Politik di Indonesia(Ketahanan Kekuatan Politik


Militer Pasca Orde Baru 1999-2017).Skripsi.Universtias Andalas Padang.Diakses pada 11 Juni
2019

Buku :

Cholil,M.1971.Sedjarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat.Jakarta: Departemen


Pertahanan.

Danukusumo,Sunarso.2005.Sejarah Perjuangan Geriya di Daerah Muria-


Kudus.Jakarta:Yayasan Karya Dharma Pusat.

Gert Oostindie,dkk.2016. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950.Jakarta: Yayasan


Pustaka Obor Indonesia.

Kadi,Saurip.2000.TNI-AD Dahulu,Sekarang dan Masa Depan.Jakarta: PT Pustaka Utama


Grafiti.

Makaarim,Mufti.2015. Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan 2014.Penerbit


DCAF – Geneva Center for Democratic Control of the Armed Forces.

Nugroho Notosusanto, 1985. Prajurit dan Pejuang, Persepsi dan Implementasi Dwi
Fungsi ABRI.Jakarta: Sinar Harapan.
Petrik Matanasi, 2007. KNIL Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Medpress.

Ratmanto,Aan.2013.KRONIK TNI: Tentara Nasional Indonesia 1945-1949.Yogyakarta:


Mata Padi Pressindo

Soebijono (dkk). 1992.Dwi Fungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam


Kehidupan Politik di Indonesia.Yogyakarta: UGM Press.

Yulianto,Arif.2002.Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca ORBA ditengah Pusaran


Demokrasi.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai