Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pendirian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)


dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dilatarbelakangi oleh situasi menjelang
akhir perang dunia II saat jepang mengalami kekalahan perang di berbagai tempat. Jeoang
sangat membutuhkan bantuan rakyat jajahannya untuk menahan sekutu. Jepang kemudian
menerapkan strategi propaganda, mobikisasi massa, membentuk organisasi politik dan militer ,
hingga memberikan janji kemerdekaan seperti yang dilakukannya pada Indonesi

Dalam masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda pernah menjanjikan


kemerdekaan untuk Indonesia, akan tatapi rakyat Indonesia menyadari bahwa janji yang
diberikan Belanda hanyalah siasat kebohongan.

Dan bersamaan pada waktu itu Jepang terlibat dalam Perang Dunia II. Jepang
mengebom Pearl Harbour yang menjadi pangkalan Sekutu. Kejayaan Jepang dalam Perang
Dunia II tidak berlangsung lama. Mulai tahun 1943 kekuatan Jepang mulai melemah.
Ketidaberdayaan Jepang semakin terlihat ketika Pulau Saipan jatuh ke tangan Sekutu. Peristiwa
ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Tojo yang kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki Koiso,
agar mendapat simpati dan bantuan dari rakyat Indonesia dalam Perang Pasifik, maka Jenderal
Kuniaki Koiso memberikan janji kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Sebagai realisasinya
dibentuk BPUPKI yang kemudian berganti menjadi PPKI.

Kedua badan bentukan jepang tersebut menghasilkan berbagai keputusan, seperti


dasar negara, undang-undang dasar, bentuk negara, batas wilayah, hingga memilih presiden
dan wakil presiden. Hal-hal tersebut membantu mempercepat wujud negara indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustu 1945
Tujuan

1. Untuk membahas pembentukan BPUPKI dan PPKI

2. Untuk membahas usaha-usaha yang berhasil dilakukan BPUPKI dan PPKI dalam upaya
persiapan kemerdekaan Indonesia

3. Untuk membahas tentang pembentukan dan polemik Piagam Jakarta


BAB II

PEMBAHASAN

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan lebih dikenal sebagai Badan


Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat "BPUPKII") adalah sebuah
badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang. Pemerintahan militer
Jepang yang diwakili komando AD Ke-16 dan Ke-25 menyetujui pembentukan Badan
Penyelidikan Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Maret 1945. Karena kedua
komando ini berwenang atas daerah Jawa (termasuk Madura) dan Sumatra. BPUPKI hanya
dibentuk untuk kedua wilayah tersebut, sedangkan di wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur
yang dikuasai komando AL Jepang tidak dibentuk badan serupa.

Pendirian badan ini sudah diumumkan oleh Kumakichi Harada pada tanggal 1 Maret
1945, tetapi badan ini baru benar-benar diresmikan pada tanggal 29 April 1945 bertepatan
dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan
dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses
kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden
Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang
Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat)
yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso
dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari
BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek
politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan
negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian


membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan anggota berjumlah 21
orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-
Belanda,[3] terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang asal Sulawesi, 1
orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang
asal etnis Tionghoa.

Nama resmi badan ini dalam bahasa Indonesia adalah "Badan untuk Menyelidiki
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan", tetapi nama yang lebih sering digunakan adalah "Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan". Dalam literatur Indonesia, sering kali badan
ini disebut "Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" atau "BPUPKII",
tetapi sebenarnya nama asli lembaga ini tidak mencakup "Indonesia". Alasannya adalah karena
badan ini dibentuk oleh komando Angkatan Darat ke-16 Jepang yang hanya memiliki wewenang
di Jawa. Komando Angkatan Darat ke-25 Jepang yang memiliki wewenang di Sumatra baru
mengizinkan pendirian BPUPKI untuk Sumatra pada 25 Juli 1945. Sementara itu, wilayah
Kalimantan dan Indonesia Timur berada di bawah wewenang kaigun (Angkatan Laut) Jepang
dan mereka tidak mengizinkan pendirian lembaga persiapan kemerdekaan.

Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKII

Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang,
Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan
dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya.
Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai
penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah
pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya
suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan
Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia"
(BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk
menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan
masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
BPUPKI resmi dibentuk pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun
kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPKI dengan
didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan
Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga
diangkat sebagai kepala kantor tata usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda
Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 67 orang, yang
terdiri dari: 60 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari
semua daerah dan aliran, serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah
pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara
(keanggotaan mereka adalah pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI
sebagai pengamat saja).

Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan
juga adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu
adalah sebagai berikut:

Sidang resmi pertama

Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945l
Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial
pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada
zaman kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda,
semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda),
dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi di Jalan Pejambon
6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang
pertama) diadakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada
tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk
merumuskan dasar negara Indonesia, membahas bentuk negara Indonesia serta filsafat negara
"Indonesia Merdeka".

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang


pertama ini dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang,
yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima
Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa
persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh
seluruh anggota BPUPKI.

Sebelumnya agenda sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk


negara Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"),
kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih
dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah merupakan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar


tepat, maka agenda acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah
mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang
mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu adalah sebagai berikut:
1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato
mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia,
yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan;
dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan
"Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3.
Keseimbangan lahir batin; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai
rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Pancasila",
yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat
atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang
dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", masih
menurut beliau bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas
menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan
Yang Berkebudayaan”. Bahkan masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak
diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-
Royong”, ini adalah merupakan upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep
gagasan mengenai rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut
adalah berada dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan lainnya.
Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya
Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang
pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat)
selama satu bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu
panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai
oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI
mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua

Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKII yang pertama, masih belum ditemukan
titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar
tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok berbagai
masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI
itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno (ketua)


2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
5. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
6. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
7. Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)
8. Haji Agus Salim (anggota)
9. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum
kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada
tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar
negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement".
Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil
yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan
"Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut,
dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan


BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang
dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno
yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-
Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan
BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945
Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga
tanggal 17 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar,
ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada
persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil.
Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain adalah: Panitia Perancang Undang-Undang
Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno
Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang
diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang
tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang
yaitu sebagai berikut:

1. Prof. Mr. Dr. Soepomo (ketua panitia kecil)


2. Mr. KRMT Wongsonegoro (anggota)
3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
5. Mr. Raden Panji Singgih (anggota)
6. Haji Agus Salim (anggota)
7. Dr. Soekiman Wirjosandjojo (anggota)

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang
diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya
adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang
Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam
laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya
tercantum tiga masalah pokok yaitu:

1. Pernyataan tentang Indonesia Merdeka


2. Pembukaan Undang-Undang Dasar
3. Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai "Undang-
Undang Dasar 1945", yang isinya meliputi:
a. Wilayah negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda
dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah
dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei
Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor
Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
b. Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
c. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik,
d. Bendera nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
e. Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.

Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun


dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep Undang-Undang
Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu,
perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam,
Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada
akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit berbeda.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI adalah panitia yang bertugas
untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya sudah dibentuk BPUPKII,
kemudian dibubarkan oleh Jepang dan dibentuk PPKI pada tanggal 12 Agustus 1945 yang
diketuai oleh Ir. Soekarno. Izin pembentukan badan ini diberikan oleh Hisaichi Terauchi,
seorang marsekal Jepang yang berada di Saigon. Badan ini dibentuk sebelum MPR ada.

Tentang lembaga

Dibentuk :12 Agustus 1945; 76 tahun lalu


Dibubarkan : 29 Agustus 1945; 75 tahun lalu

Pejabat eksekutif : Sukarno, Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Hatta, Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Tanggal pembentukan

Menurut Mohammad Yamin, PPKI didirikan pada 7 Agustus 1945. Namun, hal ini
dibantah oleh A. B. Kusuma yang berhasil memperoleh dokumen otentik Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan dan PPKI. Menurut Kusuma, pada tanggal 7 Agustus
1945, Jepang baru memberikan izin untuk mendirikan PPKI. PPKI sendiri baru dibentuk secara
resmi pada tanggal 12 Agustus 1945 setelah Marsekal Hisaichi Terauchi menyatakan bahwa
pemerintah Jepang menyetujui pendirian PPKI dan mengangkat Soekarno sebagai ketuanya.

Keanggotaan

Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra,
2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari
Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa). Susunan awal anggota PPKI adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno (Ketua)


2. Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
3. Prof. Mr. Dr. Soepomo (anggota)
4. KRT Radjiman Wedyodiningrat (anggota)
5. R. P. Soeroso (anggota)
6. Soetardjo Kartohadikoesoemo (anggota)
7. Abdoel Wachid Hasjim (anggota)
8. Ki Bagus Hadikusumo (anggota)
9. Otto Iskandardinata (anggota)
10. Abdoel Kadir (anggota)
11. Pangeran Soerjohamidjojo (anggota)
12. Pangeran Poeroebojo (anggota)
13. Dr. Mohammad Amir (anggota)
14. Mr. Abdul Abbas (anggota)
15. Teuku Mohammad Hasan (anggota)
16. GSSJ Ratulangi (anggota)
17. Andi Pangerang (anggota)
18. A.A. Hamidhan (anggota)
19. I Goesti Ketoet Poedja (anggota)
20. Mr. Johannes Latuharhary (anggota)
21. Yap Tjwan Bing (anggota)

Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 yaitu:

1. Achmad Soebardjo (Penasihat)


2. Sajoeti Melik (anggota)
3. Ki Hadjar Dewantara (anggota)
4. R.A.A. Wiranatakoesoema (anggota)
5. Kasman Singodimedjo (anggota)
6. Iwa Koesoemasoemantri (anggota)

Tanggal 8 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman
Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi.

Hal yang dibahas dan diubah dalam sidang tanggal 18 agustus 1945

1. Kata Mukadimah diganti menjadi kata Pembukaan


2. Sila pertama yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "ketuhanan yang maha esa"
3. Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi pasal 29 UUD
1945 yaitu "Nagara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa"
4. Pada Pasal 6 Ayat (1) yang semula berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli dan
beragama Islam diganti menjadi Presiden ialah orang Indonesia asli.

Sidang-Sidang PPKI

Sidang 18 Agustus 1945

 Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.


 Memilih dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden.
 Tugas Presiden sementara dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum
dibentuknya MPR dan DPR.

Sidang 19 Agustus 1945

PPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945.

 Membentuk 12 Kementerian dan 4 Menteri Negara


 Membentuk Pemerintahan Daerah. Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yang dipimpin
oleh seorang gubernur.

Sidang 22 Agustus 1945

1. Membentuk Komite Nasional Indonesia


2. Membentuk Partai Nasional Indonesia
3. Membentuk Badan Keamanan Rakyat
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertujuan agar tidak memancing
permusuhan dengan tentara asing di Indonesia. Anggota BKR adalah himpunan bekas
anggota PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan semacamnya.
Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI

Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi
negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya "Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir.
Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda:
preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua adalah
melanjutkan hasil kerja BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah
pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala sesuatu yang
menyangkut masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.

Anggota "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia,
sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda,
terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal
Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis
Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya adalah Drs. Mohammad
Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Kemudian, anggota "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki
Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa
Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945,
dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden
Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa
Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), adalah kota terbesar di negara
Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin
memuncak. Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua
golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda
kala itu menghendaki agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak
pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam
sidang "PPKI". Pada saat itu ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini adalah hanya
merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di lain pihak
"PPKI" adalah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu bagi
terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah
pendudukan militer Jepang adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari
"PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah
pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24
Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya
kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah
"PPKI" harus bekerja keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau cita-cita
luhur seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu akan sebuah kehidupan kebangsaan
yang bebas, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah
diketik oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan
kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak
kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut
ajaran kebatinan, yang kemudian diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna
melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna
dihapuskannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan
membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik
tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda:
"preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut
dengan hanya UUD '45 adalah:

 Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti
dengan kata “Pembukaan”.
 Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama
Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan
beragama Islam”.
 Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula
berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan
Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun
kelompok muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga buatan pihak
pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta
jasa badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Anggota
"PPKI" telah menjalankan tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya,
hingga pada akhirnya "PPKI" dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi
negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

Piagam Jakarta
Naskah "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" yang dihasilkan oleh "Panitia Sembilan" pada
tanggal 22 Juni 1945

Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Rancangan ini dirumuskan oleh Badan Penyelidikan Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi
pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya". Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya
dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945. Tujuh
kata ini dihilangkan atas prakarsa Mohammad Hatta yang pada malam sebelumnya menerima
kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia
Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus. Pada
tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut
agar Indonesia kembali ke Piagam Jakarta. Untuk memenuhi keinginan kelompok Islam,
Presiden Soekarno mengumumkan dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 (yang menyatakan
kembali ke UUD 1945) bahwa Piagam Jakarta "menjiwai" UUD 1945 dan "merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut". Makna dari kalimat ini sendiri terus memantik
kontroversi sesudah dekret tersebut dikeluarkan. Kelompok kebangsaan merasa bahwa kalimat
ini sekadar mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis, sementara kelompok
Islam meyakini bahwa dekret tersebut memberikan kekuatan hukum kepada "tujuh kata"
dalam Piagam Jakarta, dan atas dasar ini mereka menuntut pengundangan hukum Islam khusus
untuk Muslim.

Piagam Jakarta kembali memicu perdebatan selama proses amendemen undang-


undang dasar pada masa Reformasi (1999–2002). Partai-partai Islam mengusulkan agar "tujuh
kata" ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945, yaitu pasal yang mengatur soal kedudukan
agama dalam negara dan kebebasan beragama. Namun, usulan amendemen dari partai-partai
Islam tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Piagam Jakarta selama perumusan UUD 1945

Pada tahun 1942, Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda. Semenjak awal
pendudukan, pemerintahan militer Jepang sudah bekerja sama dengan para pemimpin
kelompok kebangsaan dengan maksud untuk memenuhi keperluan perang dan pendudukan.
Agar kerja sama dengan kelompok kebangsaan di Jawa dapat dimaksimalkan, Jepang
membentuk organisasi Jawa Hokokai pada awal Januari 1944, dan organisasi ini merupakan
pengganti Pusat Tenaga Rakyat yang telah dibubarkan. Ketika Jepang mulai mengalami
kekalahan dalam Perang Pasifik, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso berjanji akan
memberikan kemerdekaan kepada seluruh bangsa Indonesia pada suatu hari.

Pada 1 Maret 1945, Angkatan Darat ke-16, korps militer Jepang yang melaksanakan
pemerintahan atas wilayah Jawa, membentuk Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI, bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai). Badan ini bertugas
menetapkan dasar negara Indonesia dan merumuskan undang-undang dasarnya. BPUPKI terdiri
dari 62 anggota, dengan 47 dari antaranya berasal dari golongan kebangsaan dan 15 dari
golongan Islam. Wakil-wakil kelompok Islam meyakini bahwa undang-undang dasar Indonesia
sepatutnya dilandaskan pada syariat. BPUPKI menggelar sidang resmi pertamanya di Jakarta
dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dalam sidang ini, Soekarno menyampaikan pidatonya
yang terkenal, "Lahirnya Pancasila", pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato ini menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia, dengan "ketuhanan" sebagai sila kelimanya. Terkait sila ini,
Soekarno menjelaskan:

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa


kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk
Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada
padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. ”

Sebelum memasuki masa reses, BPUPKI membentuk sebuah Panitia Kecil yang terdiri
dari delapan anggota dengan Soekarno sebagai ketuanya. Panitia ini bertugas mengumpulkan
usulan-usulan dari anggota-anggota BPUPKI lainnya untuk dibahas kelak. Untuk mengurangi
ketegangan antara kelompok kebangsaan dengan Islam, Soekarno membentuk Panitia Sembilan
pada tanggal 18 Juni 1945. Panitia yang diketuai oleh Soekarno ini bertugas merumuskan
mukadimah undang-undang dasar Indonesia yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Sesuai namanya, panitia ini terdiri sembilan anggota, dengan empat anggota berasal dari
kelompok Islam dan lima dari kelompok kebangsaan.

Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan naskah usulan Mukadimah
Undang-Undang Dasar Indonesia, yang kemudian diberi julukan "Piagam Jakarta" oleh
Mohammad Yamin.

Piagam Jakarta sebagai kompromi

Di paragraf keempat dan terakhir Piagam Jakarta, terkandung lima butir sila yang kini
dianggap sebagai bagian dari Pancasila:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dalam Piagam Jakarta, asas "ketuhanan" dijadikan sila pertama, sementara dalam
rumusan Pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945,
"ketuhanan" merupakan sila kelima. Perbedaan terbesar antara Piagam Jakarta dengan
rumusan Pancasila Soekarno adalah keberadaan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa yang dikenal dengan sebutan "tujuh kata" ini mengakui
syariat untuk Muslim. Anggota Panitia Sembilan Abdoel Kahar Moezakir kelak mengklaim dalam
sebuah wawancara pada Desember 1957 bahwa anggota lain yang beragama Kristen, Alexander
Andries Maramis, setuju "200%" dengan rumusan ini. Rumusan tujuh kata sendiri dianggap
rancu dan tidak diketahui apakah rumusan tersebut membebankan kewajiban menjalankan
syariat Islam kepada perseorangan atau pemerintah. Walaupun begitu, Piagam Jakarta
merupakan hasil kompromi dan sila pertamanya dapat ditafsirkan berbeda sesuai dengan
kepentingan kelompok Islam ataupun kebangsaan.

Piagam Jakarta dalam Sidang Resmi Kedua BPUPKI

Sesuai dengan saran dari Panitia Sembilan, BPUPKI menggelar sidang resmi keduanya
dari 10 hingga 17 Juli 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno. Tujuannya adalah untuk
membahas permasalahan terkait undang-undang dasar, termasuk rancangan mukadimah yang
terkandung dalam Piagam Jakarta. Pada hari pertama, Soekarno melaporkan hal-hal yang telah
dicapai selama pembahasan pada masa reses, termasuk Piagam Jakarta. Ia juga mengabarkan
bahwa Panitia Kecil telah menerima Piagam Jakarta secara bulat. Menurut Soekarno, piagam ini
mengandung "segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada
anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPKI]".

Pada hari kedua sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPKI menyampaikan
penolakan mereka terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satunya adalah Johannes
Latuharhary, seorang anggota beragama Protestan yang berasal dari Pulau Ambon. Ia merasa
bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang "besar sekali"
terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan
memaksa suku Minangkabau untuk meninggalkan adat istiadat mereka dan juga berdampak
terhadap hak tanah yang berlandaskan pada hukum adat di Maluku. Dua anggota lain yang
tidak setuju dengan tujuh kata adalah Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut
mereka, tujuh kata dapat menimbulkan fanatisme karena seolah memaksakan umat Islam
untuk menjalankan hukum syariat. Salah satu anggota Panitia Sembilan, Wahid Hasjim,
menampik kemungkinan terjadinya pemaksaan karena adanya dasar permusyawaratan. Ia juga
berkomentar bahwa meskipun ada anggota yang menganggap tujuh kalimat itu "tajam", ada
pula yang menganggapnya "kurang tajam".

Dua hari sesudahnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas perubahan Pasal 4 Rancangan
Undang-Undang Dasar agar Presiden Indonesia harus beragama Islam. Ia juga mengusulkan
agar Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar (yang berkaitan dengan agama) diamendemen
untuk menjadikan Islam sebagai agama negara ditambah dengan klausul yang menjamin
kebebasan beragama untuk kaum non-Muslim. Menurutnya, hal ini diperlukan karena hanya
agama yang dapat membenarkan penggunaan kekuatan untuk mengambil nyawa dalam
konteks pertahanan nasional. Anggota BPUPKI lainnya, Otto Iskandardinata, menentang usulan
agar Presiden Indonesia harus Muslim, dan mengusulkan agar tujuh kata di Piagam Jakarta
diulang dalam Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar.

Piagam Jakarta kembali dibahas dalam rapat yang digelar pada 14 Juli, salah satunya
karena terdapat rencana untuk menggunakan isi dari piagam tersebut dalam deklarasi
kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat ini, Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagoes
Hadikoesoemo mengusulkan agar frasa "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Soekarno
menolak usulan tersebut dengan argumen bahwa tujuh kata merupakan hasil kompromi.

Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang
terhormat Mohd. Yamin "Jakarta Charter", yang disertai perkataan tuan anggota yang
terhormat Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam
dan pihak kebangsaan.

Hadikoesoemo juga berpandangan bahwa umat Islam akan merasa dihina jika ada
aturan yang berbeda untuk Muslim dan non-Muslim. Soekarno menjawab bahwa jika frasa
tersebut dihapus, akan muncul tafsir bahwa kaum non-Muslim juga wajib menjalankan syariat
Islam. Hadikoesoemo menampik kekhawatiran Soekarno karena menurutnya "Pemerintah tidak
boleh memeriksa agama". Pada akhirnya, Hadikoesoemo berhasil diyakinkan oleh anggota lain
dari golongan Islam, Abikusno Tjokrosujoso, bahwa tujuh kata sebaiknya dibiarkan seperti itu
demi persatuan dan perdamaian.

Pada sore hari tanggal 15 Juli, Hadikoesoemo kembali mengajukan usulannya. Karena
merasa kekhawatirannya tidak dijawab dengan memuaskan, ia menyatakan penolakannya
terhadap kompromi dalam Piagam Jakarta. Kemudian, pada tanggal 16 Juli, Soekarno membuka
rapat dengan permohonan kepada kelompok kebangsaan untuk mau berkorban dengan
memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh undang-undang dasar dan juga
dengan menambahkan klausul bahwa Presiden Republik Indonesia harus Muslim. Kelompok
kebangsaan memenuhi permohonan ini, sehingga BPUPKI menyetujui sebuah rancangan
undang-undang dasar yang mengandung tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29, serta sebuah
klausul yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus beragama Islam.

Penghapusan tujuh kata

Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Kemudian,


pada pagi hari tanggal 18 Agustus, PPKI berkumpul untuk mengesahkan undang-undang dasar
Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Hatta mengusulkan agar tujuh kata di Mukadimah dan
Pasal 29 dihapus. Seperti yang kemudian dijelaskan Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17
Agustus 1945, pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang opsir kaigun (Angkatan Laut)
Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa kelompok nasionalis beragama Kristen
dari Indonesia Timur menolak tujuh kata karena dianggap diskriminatif terhadap penganut
agama minoritas, dan mereka bahkan menyatakan lebih baik mendirikan negara sendiri di luar
Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dicabut. Hatta lalu menjabarkan usulan
perubahannya: istilah "ketuhanan" akan diganti dengan "ketuhanan yang maha esa",
sementara istilah "Mukadimah" yang berasal dari bahasa Arab diganti menjadi "Pembukaan".
Ayat yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus Muslim juga dihapus. Setelah usulan ini
diterima, PPKI menyetujui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada hari yang sama, dan
tujuh kata pun secara resmi dihapus.

Tidak diketahui secara pasti mengapa PPKI menyetujui usulan Hatta tanpa adanya
perlawanan dari golongan Islam. Di satu sisi, komposisi anggota PPKI sangat berbeda dengan
BPUPKI: hanya 12% anggota PPKI yang berasal dari golongan Islam (sementara di BPUPKI
terdapat 24%). Dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta, hanya tiga yang hadir dalam
pertemuan tanggal 18 Agustus. Ketiga orang itu pun bukan berasal dari golongan Islam; Hasjim
yang datang dari Surabaya baru tiba di Jakarta pada 19 Agustus. Di sisi lain, Indonesia pada
masa itu tengah terancam oleh kedatangan pasukan Sekutu, sehingga yang menjadi prioritas
adalah pertahanan nasional dan upaya untuk memperjuangkan aspirasi golongan Islam dapat
ditunda hingga situasinya memungkinkan.

Keputusan untuk menghapus tujuh kata mengecewakan golongan Islam. Mereka


merasa semakin tidak puas setelah PPKI pada tanggal 19 Agustus menolak usulan untuk
mendirikan Kementerian Agama. Hadikoesoemo mengungkapkan kemarahannya dalam
pertemuan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa hari setelah sidang PPKI
selesai. Walaupun begitu, seiring dengan kedatangan pasukan Sekutu, golongan Islam
memutuskan untuk memprioritaskan persatuan nasional demi mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menjelang tahun 1944, posisi Jepang dalam Perang Pasifik mulai terjepit. Satu per
satu daerah jajahan Jepang dapat direbut oleh Sekutu. Untuk mempertahankan kedudukannya
dan agar rakyat Indonesia membantu Jepang, maka Jenderal Kuniaki Koiso member janji
kemerdekaan. Dan sebagai realisasinya dibentuklah BPUPKI.

BPUPKI dan PPKI berperan sangat penting dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Kedua lembaga tersebut berhasil menyusun konsep-konsep negara Indonesia, seperti rumusan
dasar negara, pemilihan kepala negara, wilayah RI, dan lain-lain.

Saran

Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia bukan merupakan dari pemberian
Jepang melainkan hasil jerih payah bangsa Indonesia sendiri. Bersedia bekerja sama dengan
Jepang hanya merupakan salah satu taktik untuk mencapai kemerdekaan. Kita harus dapat
mencontoh para pendiri bangsa yang dapat mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada
demi keutuhan bangsa dan negara RI.

Anda mungkin juga menyukai