Anda di halaman 1dari 19

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Dari Wikipedia bahasa

Indonesia,
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai, Nihon-
shiki: Dokuritu Zyunbi Tyoosa-kai), lebih dikenal sebagai Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat "BPUPKI") adalah sebuah badan yang dibentuk
oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang. Pemerintahan militer Jepang yang diwakili
komando AD Ke-16 dan Ke-25 menyetujui pembentukan Badan Penyelidikan Upaya Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada 1 Maret 1945. Karena kedua komando ini berwenang atas daerah
Jawa (termasuk Madura) dan Sumatra. BPUPKI hanya dibentuk untuk kedua wilayah tersebut,
sedangkan di wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur yang dikuasai komando AL Jepang tidak
dibentuk badan serupa
[1].Pendirian badan ini sudah diumumkan oleh Kumakichi Harada pada tanggal 1 Maret 1945,
[2] tetapi badan ini baru benar-benar diresmikan pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan
hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari
bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan
Indonesia. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden
Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang
Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang
beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan
wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari
BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek
politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan
negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau (bahasa Jepang Dokuritsu Junbi Iinkai), dengan
anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis
di wilayah Hindia-Belanda
[3], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal
Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis
Tionghoa.
Daftar isi
1 Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
1.1 Sidang resmi pertama
1.2 Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua
1.3 Sidang resmi kedua
2 Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI
3 Rujukan
Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal
Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan
dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya.
Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai
penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan
militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan
khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang
dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau
dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki,
mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata
pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
BPUPKI resmi dibentuk pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar
Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPKI dengan
didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan
Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga
diangkat sebagai kepala kantor tata usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda
Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 67 orang, yang
terdiri dari: 60 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua
daerah dan aliran, serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan
militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan
mereka adalah pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat
saja).
Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga
adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu adalah
sebagai berikut:

Sidang resmi pertama


Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945
Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan
masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada zaman kolonial
Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga
"Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu
dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun
masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama
empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan
berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk merumuskan dasar negara
Indonesia, membahas bentuk negara Indonesia serta filsafat negara "Indonesia Merdeka".
Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini
dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu:
Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara
Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan
resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh anggota
BPUPKI.

Sebelumnya agenda sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara
Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"),
kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih
dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah merupakan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka
agenda acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah mendengarkan pidato
dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya
tentang dasar negara Republik Indonesia itu adalah sebagai berikut:

Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan
gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “
1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri Ketuhanan;
4. Peri Kerakyatan; dan
5. Kesejahteraan Rakyat”.
Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Dasar
Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “
1. Persatuan;
2. Kekeluargaan;
3. Keseimbangan lahir batin;
4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan
lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Pancasila", yaitu: “1.
Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan;
3. Mufakat atau Demokrasi;
4. Kesejahteraan Sosial; dan
5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh
Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", masih menurut beliau
bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila"
(Tiga Sila), yaitu:
“1. Sosionasionalisme;
2. Sosiodemokrasi; dan
3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”.
Bahkan masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas kembali
dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”, ini adalah
merupakan upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai
rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada dalam
kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Masa persidangan
BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan
tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama,
setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu
bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang
beranggotakan 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir.
Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai
dasar negara Republik Indonesia.

Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua


Naskah Asli "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" yang dihasilkan oleh "Panitia
Sembilan" pada tanggal 22 Juni 1945
Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu
kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat,
sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok berbagai masukan
dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI itu.
Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno (ketua)


2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
5. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
6. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
7. Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)
8. Haji Agus Salim (anggota)
9. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak
"Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni
1945 "Panitia Sembilan" kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara
Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement".
Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil
yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan
"Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut,
dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,


Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang
kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang
dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno
yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-
Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan
BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua


Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945
Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal
17 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi
dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI
yang kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil
yang terbentuk itu antara lain adalah:
1. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno),
2. Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan
3. Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai
oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya
adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang yaitu
sebagai berikut:
1. Prof. Mr. Dr. Soepomo (ketua panitia kecil)
2. Mr. KRMT Wongsonegoro (anggota)
3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
5. Mr. Raden Panji Singgih (anggota)
6. Haji Agus Salim (anggota)
7. Dr. Soekiman Wirjosandjojo (anggota)
Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh
Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus
merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-
Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan
tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya
tercantum tiga masalah pokok yaitu:
1. Pernyataan tentang Indonesia Merdeka
2. Pembukaan Undang-Undang Dasar
3. Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai "Undang-
Undang Dasar 1945", yang isinya meliputi:
Wilayah negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah
dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara
Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang adalah
wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
1. Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
2. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik,
3. Bendera nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
4. Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.
Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan
mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep Undang-Undang Dasar
hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan
terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam, Syariat Islam,
dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhirnya disetujui
dengan urutan dan redaksional yang sedikit berbeda.
Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI
Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia
Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia"
("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai
ketuanya.
Tugas "PPKI" ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule)
serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua adalah melanjutkan hasil
kerja BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan
militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut
masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.

Anggota "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia,
sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda,
terdiri dari:
12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan,
1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.
"PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya adalah Drs. Mohammad
Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad Soebardjo
Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu:
Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti
Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945,
dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden
Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa
Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), adalah kota terbesar di negara
Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak.
Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu
menghendaki agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah
pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang
"PPKI". Pada saat itu ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini adalah hanya
merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di lain pihak
"PPKI" adalah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu bagi
terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan
militer Jepang adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral
Terauchi kemudian akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang
bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan
pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana
mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus bekerja keras guna
meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang
sangat haus dan rindu akan sebuah kehidupan kebangsaan yang bebas, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.

Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah
diketik oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta
Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang
dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum
keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran
kebatinan, yang kemudian diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna
melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dihapuskannya
"tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan empat
perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan
yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah:

Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata
“Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”,
seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi:
“Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kelompok muda
kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga buatan pihak pemerintah
pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta jasa badan ini
sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Anggota "PPKI" telah
menjalankan tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, hingga pada
akhirnya "PPKI" dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi negara Indonesia
yang saat itu baru saja berdiri.

Sejarah Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)


written by Adara Primadia

PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau atau dalam bahasa Jepang disebut
Dookuritsu Junbi Iinkai adalah panitia yang bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI setelah
BPUPKI dibubarkan Jepang pada 7 Agustus 1945. Selain itu, PPKI juga bertugas meresmikan
pembukaan atau preambule dan batang tubuh UUD 1945. PPKI diresmikan oleh Jendral
Terauchi pada 9 Agustus 1945 di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Peresmian ini dihadiri oleh Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno, dengan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Anggotanya
sendiri berjumlah 21 orang yang merupakan tokoh utama pergerakan nasional Indonesia.
Anggota PPKI terdiri dari berbagai etnis Nusantara, meliputi 12 orang etnis Jawa, 3 orang etnis
Sumatera, 2 orang etnis Sulawesi, 1 orang etnis Kalimantan, 1 orang etnis Nusa Tenggara, 1
orang etnis Maluku, dan 1 orang etnis Tionghoa.
Yang termasuk anggota PPKI antara lain: Mr. Soepomo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, R. P.
Soeroso, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Kiai Abdoel Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo,
Otto Iskandardinata, Abdoel Kadir, Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran Poerbojo, Dr.
Mohammad Amir, Mr. Abdul Maghfar, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Dr. GSSJ Ratulangi,
Andi Pangerang, A.H. Hamidan, I Goesti Ketoet Poedja, Mr. Johannes Latuharhary, Drs. Yap
Tjwan Bing. Kemudian, tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang, anggota PPKI bertambah lagi
6 orang, yaitu: Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara, R.A. A.
Wiranatakoesoema, Kasman Singodimedjo, Iwa Koesoemasoemantri.

Golongan muda memberikan sikap tidak suka pada PPKI. Mereka menganggap PPKI sebagai
suatu badan bentukan pemerintah pendudukan militer Jepang yang sudah tentu memihak Jepang.
Akan tetapi, di lain pihak, PPKI adalah sebuah badan yang sangat berguna dalam
mempersiapkan kemerdekaan. Untuk mewujudkan Indonesia merdeka, perlu dipersiapkan segala
macam keperluan bagi berdirinya suatu negara. Meski demikian, baik cepat atau lambat,
kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan oleh pemerintah Jepang tergantung kepada kerja PPKI.

Pada akhirnya, Jendral Terauchi memberikan keputusan bahwa pemerintah Jepang akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan
kemerdekaan Indonesia tersebut diserahkan sepenuhnya kepada PPKI.

PPKI semula berencana mengadakan sidang pada 16 Agustus 1945, tetapi tidak dapat terlaksana
karena terjadi peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok ini berhubungan dengan
menyerahnya Jepang kepada sekutu (15 Agustus 1945) sehinggga golongan muda mendesak
agar segera mempersiapkan kemerdekaan. Golongan pemuda yang termasuk di dalamnya
Soekarni, Adam Malik, Kusnaini, Sutan Sjahrir, Soedarsono, Soepomo, dan kawan-kawan
mendesak Ir. Soekarno agar segera mengumandangkan proklamasi. Namun sebaliknya, golongan
tua menolak dengan alasan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dipersiapkan secara
matang.
Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan yang dilakukan golongan muda, dalam
hal ini dilakukan oleh Adam Malik dan Chaerul Saleh terhadap Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta. Pada pukul 04.30 WIB, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dibawa ke Rengasdengklok,
Karawang, untuk didesak menyegerakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka
mendesak sampai tercapai kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Ir. Soekarno, Moh.
hatta, dan Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda mengenai waktu pelaksanaan
proklamasi.
Pembacaan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta
semula direncanakan akan dilakukan pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di
rumah Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah dibuat dan bendera merah putih juga
sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada hari sebelumnya, Rabu tanggal 15 Agustus,
karena mereka telah berpikir keesokan harinya Indonesia akan merdeka.

Kunto dan Achmad Soebardjo yang tidak mendapat kabar dari Jakarta, memutuskan ke
Rangasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Moh. Hatta berangkat ke Jakarta untuk
membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam
rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Keesokan harinya, 17 Agustus 1945 dilakukan upacara pembacaan proklamasi dengan teks
proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik
yang diambil dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann
Kandeler. Proklamasi diperdengarkan kepada ribuan bangsa Indonesia secara rahasia melalui
siaran oleh pegawai radio menggunakan pemancar yang dikontrol Jepang.

Sidang PPKI
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan persidangan di bekas Gedung Road van Indie di
Jalan Pejambon. Dalam sidang tersebut, dalam hitungan belasan menit terjadi permusyawarahan
antara kelompok yang berbeda pendapat mengenai sila pertama Pancasila yang tertuang dalam
pembukaan Piagam Jakarta. Kelompok keagamaan non-Muslim dari Timur dan kelompok kaum
keagamaan penganut ajaran kebatinan serta golongan nasionalis keberatan terhadap tujuh kata
itu, sehingga mereka meminta kelapangan hati para tokoh dari kelompok Islam agar bersedia
dilakukan bengubahan. Pada akhirnya permusyawarahan itu berhasil membujuk pihak tokoh-
tokoh golongan Islam agar bersedia menghapuskan tujuh kata sila pertama Pancasila yang
tertuang dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dan menggantinya.

Setelah itu, Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang PPKI melakukan pembacaan
tentang empat perubahan hasil kesepakatan dan kompromi atas perbedaan pendapat para
golongan tersebut. Hasil sidang tersebut adalah:

Kata “Muqaddimah” yang merupakan kata bahasa Arab pada preambule Undang-Undang Dasar
diganti dengan kata “Pembukaan”.
Pembukaan alenia keempat, berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Ini sekaligus
mengganti sila pertama Pancasila.
ada Pembukaan alenia keempat, kalimat “Menurut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” diganti
menjadi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ini sekaligus mengganti sila kedua Pancasila.
Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama
Islam” diganti menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”.
Sidang pertama PPKI menyepakati hasil antara lain:

Melakukan pengesahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Setelah sebelumnya terjadi


sedikit perubahan di dalamnya.
Memilih, menetapkan, dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia.
Keputusan akhirnya ditetapkan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
Untuk sementara waktu, presiden dibantu oleh komite bernama KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) sebelum DPR dan MPR dibentuk.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, diadakan sidang kedua PPKI. Hasil sidang kedua tersebut
menghasilkan:

Membentuk kabinet yang terdiri atas 12 Kementrian dan 4 Mentri Negara.


Membentuk Pemerintah Daerah, yang tiap-tiap daerah dipimpin oleh seorang Gubernur.

Pembentukan Komite Nasional di samping telah adanya Komite Nasional Indonesia Pusat.
Pembentukan Partai Nasional sebagai partai politik.
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Demikianlah PPKI sebagai panitia yang mempersiapkan pemerintahan Indonesia merdeka.
Sidang-sidang PPKI itu kemudian menghasilkan dan membentuk apa yang dibutuhkan bagi
suatu negara yang telah berdiri.
Menghargai nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
September 22, 2011
BPUPKI dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945 yang diketuai oleh Rajiman Widyadiningrat.
Tujuan BPUPKI ddibentuk yaitu untuk menyelidiki dan mempelajari hal-hal penting tentang
pembentukan/persiapan Indonesia merdeka.
Sidang BPUPKI yang pertama tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 membahas tentang perumusan dasar
negara.
Tiga tokoh yang mengemukakan pendapatnya mengenai dasar negara Indonesia merdeka dalam
sidang BPUPKI yaitu Ir. Soekarno, Muhammad Yamin dan Mr. Supomo. Ketiganya
mengusulkan hal yang pada intinya sama, yaitu agar Indonesia merdeka dibangun atas lima sila
yang isinya hampir sama, tetapi dengan rumusan yang berbeda-beda.
Tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang BPUPKI Muhammad Yamin mengusulkan lima asas dan
dasar negara kebangsaan Republik Indonesia sebagai berikut::
1) Perikebangsaan
2) Perikemanusiaan
3) Periketuhanan
4) Perikerakyatan
5) Kesejahteraan rakyat/keadilan sosial

Tanggal 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPKI Mr. Supomo mengemukakan lima dasar negara
Indonesia merdeka seperti berikut:
1) Persatuan
2) Kekeluargaan
3) Keseimbangan lahir dan batin
4) Musyawarah

Tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang BPUPKI Ir. Soekarno mengajukan secara lisan usulan lima
asas sebagai dasar negara Indonesia yang akan dibentuk, yaitu:
1) Kebangsaan Indonesia
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi
4) Kesejahteraan atau keadilan sosial
5) Ketuhanan Yang Maha Esa
Tanggal 1 Juni 1945 dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila.
Ir Soekarno mengajukan usul agar dasar negara tersebut diberi nama “Pancasila”.
Pada tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan.
Tugas Panitia Sembilan adalah memberikan usul-usul baik lisan maupun tulisan serta membahas
dan merumuskan dasar negara Indonesia merdeka.

Panitia Sembilan menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan tujuan dan
maksud pendirian negara Indonesia merdeka.
Rumusan dasar negara berdasarkan Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ir. Soekarno (ketua)
Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)
Haji Agus Salim (anggota)
Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
Pada tanggal 7 Agustus 1945 panglima bala tentara Jepang di Asia Tenggara yang bermarkas
besar di Dalat, Saigon mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), sebagai pengganti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).

Tugas PPKI adalah mempercepat segala usaha yang berhubungan dengan persiapan terakhir
guna membentuk pemerintahan Republik Indonesia.
Anggota PPKI terdiri atas Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, B.P.H. Purboyo, Dr. Radjiman
Wediodiningrat, Sutarjo Kartohadikusumo, Andi Pangerang, Mr.I.G.K. Puja, dr. Mohammad
Amir, Otto Iskandardinata, R. Panji Suroso, P.B.K.A. Suryohamijoyo, Ki Bagus Hadikusumo,
Mr. Abdul Abas, Dr. J. Latuharhary, A.A. Hamidhan, Abdul Kadir, Mr. Supomo, K.H. Wachid
Hasyim, Dr. Teuku Mohammad Hassan, Dr. G.S.J.J Ratulangi, Drs. Cawan Bing. Selain itu,
Achmad Subarjo diangkat sebagai penasihat khusus panitia itu.

Tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI, seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Ratulangi)
minta kepada Hatta supaya Piagam Jakarta dicoret dari pembukaan UUD 1945, karena kalau
tidak, kemungkinan golongan Kristen dan Katolik di Indonesia Timur akan berdiri di luar
republik. Mereka setuju menghapuskan ketujuh kata dalam Piagam Jakarta (dengan menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya).

Kompetensi Dasar 1.2. Menceritakan secara singkat nilai kebersamaan dalam proses perumusan
Pancasila sebagai Dasar Negara.
Dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara terdapat nilai-nilai juang dan sebagai
warga negara yang baik kita harus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu antara
lain:
a. Mementingkan kepentingan umum (bangsa) daripada kepentingan pribadi.
b. Memperjuangkan dan menegakkan hak asasi manusia.
c. Rasa cinta tanah air.
d. Persatuan dan kesatuan.

Sidang BPUPKI menghasilkan 3 putusan penting, yaitu:


1. Rancangan pembukaan atau mukadimah hukum dasar.
2. Rancangan hukum dasar negara.
3. Pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Nilai-nilai juang dan kebersamaan 1945 antara lain:


1. Semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari Pancasila.
2. Semua nilai yang terdapat dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Semua nilai yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik pembukaan, batang tubuh,
maupun penjelasannya, nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa
Indonesia, yaitu:
a. Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Jiwa dan semangat merdeka.
c. Nasionalisme.
d. Patriotisme.
e. Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka.
f. Pantang mundur dan tidak kenal menyerah.
g. Persatuan dan kesatuan.
h. Anti penjajah.
i. Percaya kepada diri sendiri atau percaya kepada kekuatan dan kemampuan sendiri.
j. Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya.
k. Idealisme kejuangan yang tinggi.
l. Berani dan rela berkorban untuk tanah air, bangsa, dan negara.
m. Kepahlawanan.
n. Kesetiakawanan, senasib sepenanggungan, dan kebersamaan.
o. Disiplin yang tinggi.
p. Ulet dan tabah menghad api segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.

Kompetensi Dasar 1.3. Meneladani nila-nilai juang para tokoh yang berperan dalam proses
perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara dalam kehidupan seharí-hari

Ir. Soekarno yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Karno, terkenal sebagai orator yang
ulung dimana pidato-pidatonya mampu membangkitkan semangat rakyat.
Sikap yang perlu kita teladani dari semangat Ir. Soekarno antara lain tidak memaksakan
kehendak dalam menyelesaikan masalah dan selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Supomo lahir di Sukoharjo, Surakarta pada tanggal 22 Januari 1903 dan meninggal dunia di
Jakarta tanggal 12 September 1958 dan dimakamkan di Solo.
Rasa cinta tanah air Indonesia harus kita teladani dengan cara menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari yaitu sebagai contoh sebagai berikut:
 Ikut serta dalam perayaan hari kemerdekaan RI baik di sekolah maupun di masyarakat
sekitarmu.
 Ikut serta dalam parade pakaian adat,
 Mengikuti upacara bendera di sekolah dengan khidmat,
 Ikut lomba baca puisi tentang keindahan alam Indonesia atau yang lainnya.
Nilai-nilai juang dalam perumusan Pancasila yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu:
1. Persatuan dan Kesatuan
2. Cinta Tanah Air
3. Mengutamakan Kepentingan Umum
4. Rela Berkorban
5. Menghargai Orang Lain
Contoh perilaku yang menunjukkan semangat persatuan dan kesatuan antara lain:
a. Gotong royong membersihkan lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.
b. Menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan tidak dengan kekerasan.
c. Mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri.

Sikap cinta tanah air yang dapat kamu terapkan antara lain:
a. Memakai barang-barang buatan bangsa Indonesia sendiri.
b. Berpartisipasi dalam pertunjukan tarian Nusantara.
c. Ikut serta parade pakaian adat.
d.Lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepen-tingan diri sendiri atau golongan.

Nilai-nilai kebersamaan dalam proses perumusan Pancasila yang patut kita teladani adalah
adanya semangat kekeluargaan di dalam perumusan Pancasila, menghargai pendapat orang lain,
menerima keputusan bersama, dan melaksanakan hasil keputusan bersama.

Contoh menghargai orang lain dalam kehidupan sehari-hari:


a. Tidak membeda-bedakan teman yang berbeda suku bangsa, agama atau golongan.
b. Mau mendengar dan menerima pendapat orang lain dalam suatu rapat meskipun pendapatnya
berbeda dengan pendapat kita.
c. Berbicara sopan dengan siapa pun tanpa terkecuali
Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka
agenda acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini ialah mendengarkan pidato dari
tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang
dasar negara Republik Indonesia itu ialah sebagai berikut :
Sidang pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan
gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “

1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri Ketuhanan;
4. Peri Kerakyatan; dan
5. Kesejahteraan Rakyat”.

Sidang pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakanbahwa
gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan
“Dasar Negara Indonesia Merdeka”, yaitu: “

1. Persatuan;
2. Kekeluargaan;
3. Mufakat dan Demokrasi;
4. Musyawarah; dan
5. Keadilan Sosial”.
Sidang pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato beliau mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan “Pancasila”,
yaitu: “
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan;
3. Mufakat atau Demokrasi;
4. Kesejahteraan Sosial; dan
5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh
Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal istilah “Pancasila”, masih menurut beliau bilamana
diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi “Trisila” (Tiga Sila),
yaitu: “
1. Sosionasionalisme;
2. Sosiodemokrasi; dan
3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”.

Bahkan masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut jika hendak diperas kembali
dinamakannya sebagai “Ekasila” (Satu Sila), yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini ialah upaya dari
Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai rumusan dasar negara
Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut berada dalam kerangka “satu-kesatuan”, yang
tak terpisahkan satu dengan lainnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang
dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkanlah dan diperingati
sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama,
sesudah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu
bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang
beranggotakan 9 orang, yang dinamakan dengan”Panitia Sembilan” dengan diketuai oleh Ir.
Soekarno, yang bertugas guna mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar
negara Republik Indonesia.

Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua


Naskah Asli “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter” yang dihasilkan oleh “Panitia Sembilan”
pada 22 Juni 1945

Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu
antara kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat,
sehingga dibentuklah “Panitia Sembilan” tersebut di atas guna menggodok berbagai masukan
dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI itu.
Tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir.
Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus
merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang tersebut.

Tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-
Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan
tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum
tiga masalah pokok yaitu :

Pernyataan tentang Indonesia Merdeka


Pembukaan Undang-Undang Dasar
Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai “Undang-Undang
Dasar 1945”, yang isinya yaitu meliputi :
Wilayah negara Indonesia ialah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah
dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara
Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang ialah
wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik,
Bendera nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.

Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan
mengambil tiga alenia pertama yaitu “Piagam Jakarta”, sedangkan konsep Undang-Undang
Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat “Piagam Jakarta”. Sementara itu,
perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam,
Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter” pada
akhirnya disetujui dengan urutan dan juga redaksional yang sedikit berbeda.

Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI


Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
Tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia
Merdeka, dan lagu digantikan dengan dibentuknya “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”
(“PPKI”) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai
ketuanya.

Tugas “PPKI” ini yang pertama ialah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta
batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua adalah melanjutkan hasil kerja
BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer
Jepang kepada bangsa Indonesia, dan juga mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut
masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.

Anggota “PPKI” sendiri terdiri 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai
upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri
dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan,
1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.
“PPKI” ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan juga sebagai wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta,
sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Kemudian, anggota “PPKI” ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki
Hadjar Dewantara, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Mr. Kasman Singodimedjo, Iwa
Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Secara simbolik “PPKI” dilantik oleh Jendral Terauchi, tanggal 9 Agustus 1945, dengan
mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung
(K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke “Kota Ho Chi Minh” atau dalam bahasa Vietnam: Thành
phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), merupakan kota terbesar di negara Vietnam dan
terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat “PPKI” terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk bisa merdeka semakin memuncak.
Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu
menghendaki agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah
pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk juga proklamasi kemerdekaan dalam sidang
“PPKI”. Pada saat itu ada anggapan dari golongan muda bahwa “PPKI” ini ialah hanya
merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di lain pihak
“PPKI” ialah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu bagi
terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan
militer Jepang ialah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari “PPKI”. Jendral
Terauchi kemudian akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang
bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan
pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada “PPKI”. Dalam suasana
mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah “PPKI” harus bekerja keras guna
meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang
sangat haus dan juga rindu akan sebuah kehidupan kebangsaan yang bebas, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan juga makmur.

Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah
diketik oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta

Sementara itu dalam sidang “PPKI” pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari
15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum
keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran
kebatinan, yang kemudian diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak “Nasionalis”) guna
melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dihapuskannya
“tujuh kata” dalam “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter”.

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang “PPKI” dan membacakan
empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil
perubahan yang kemudian disepakati sebagai “pembukaan (bahasa Belanda: “preambule”) dan
batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945″, yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD ’45
adalah :
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata
“Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat “Piagam Jakarta” yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”,
seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama
Islam”.

Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi:
“Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
“PPKI” sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kelompok muda
kala itu hanya menganggap “PPKI” sebagai sebuah lembaga buatan pihak pemerintah
pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta jasa badan ini
sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Anggota “PPKI” telah
menjalankan tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, hingga pada
akhirnya “PPKI” dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi negara Indonesia
yang saat itu baru saja berdiri.
Pancasila sebagai ideologi negara berarti Pancasila dijadikan pedoman oleh masyarakat
Indonesia dalam menjalankan kehidupannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima asas
Pancasila menjadi landasan masyarakat dalam bersosialisasi, kehidupan beragama, hak asasi
manusia, dan bekerja sama.

PANCASILA
A. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari bahasa Yunani yang diambil dari 2 kata, idea dan logos. Idea berarti ide,
gagasan, buah pikir, atau konsep. Sedangkan logos berarti hasil pemikiran. Jadi berdasarkan
bahasa, ideologi adalah ilmu yang mencakup ilmu kajian asal mula, juga hakikat buah pikir atau
gagasan.

Ideologi juga disebut a system of ideas yang akan mengatur seluruh hasil pemikiran tentang
kehidupan, lalu melengkapinya dengan berbagai sarana juga kebijakan serta strategi, dimana
tujuan yang ingin dicapai disesuaikan dengan kenyataan nilai-nilai yang ada dalam filsafat yang
menjadi sumbernya.

Berarti dapat disimpulkan bahwa ideologi merupakan hasil pemikiran yang isinya mencakup
nilai-nilai tertentu demi mencapai sebuah tujuan tertentu yang ingin dicapai. Ideologi disebut
juga sebagai identitas dari sebuah negara. Karena ideologi sebenarnya memiliki fungsi yang
sangat penting untuk sebuah negara, dimana ideologi digunakan sebagai sebuah hal yang
memperkuat identitas sebuah masyarakat negara.

B. Fungsi Ideologi
Seperti halnya kartu identitas yang umumnya dimiliki setiap orang sebagai tanda pengenal,
ideologi juga dapat digunakan sebagai tanda pengenal dari sebuah bangsa. Selain itu, ideologi
memiliki fungsi lainnya, yaitu fungsi kognitif dan orientasi dasar. Sebagai fungsi kognitif berarti
ideologi dapat dijadikan sebuah landasan bagi suatu bangsa dalam berkehidupan dunia.

Fungsi orientasi dasar berarti ideologi merupakan hal yang dapat dijadikan sumber wawasan dan
makna bagi rakyat, juga dapat menjadi pembimbing bagi rakyatnya dalam mencapai tujuan.
Ideologi memiliki kedudukan yang sentral bagi setiap bangsa. Hal tersebut disebabkan ideologi
peranannya mencakup berbagai hal dan menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mencapai
tujuannya.

Peran lain yang dimiliki ideologi adalah sebagai alat dalam pencegahan terjadinya berbagai
konflik dalam masyarakat. Tentunya hal ini dengan tujuan agar masyarakat dapat tetap hidup
dalam rasa tentram sekaligus memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Ideologi juga memiliki
peranan sebagai pemersatu bangsa. Karena pada dasarnya tiap bangsa di dunia memiliki
keberagaman suku, bahasa, adat, budaya, dan agama.

Ideologi disini berperan sebagai pemersatu keberagaman yang ada agar masyarakat. Tentu saja
hal tersebut memiliki tujuan agar tercipta kehidupan bernegara yang baik. Ideologi sebagai
identitas bangsa Indonesia terlihat dari ideologi Pancasila yang dimiliki. Ideologi Pancasila
dirumuskan oleh Panitia Sembilan berdasarkan pidato oleh Ir. Soekarno.
C. Kedudukan Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara
Pancasila sendiri memiliki beberapa kedudukan dalam kehidupan bernegara masyarakat
Indonesia, yaitu:
Sebagai jiwa bangsa Indonesia
Sebagai ciri dari pribadi bangsa Indonesia
Sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia
Sebagai dasar negara
Sebagai sumber dari dari segala hukum
Sebagai perjanjian yang luhur ketika negara Indonesia didirikan
Sebagai tujuan atau cita-cita bangsa
Kedudukan ini jelas menyatakan bahwa Pancasila merupakan pedoman bagi masyarakat
Indonesia dalam menjalankan aktivitas kehidupan bernegara. Pancasila adalah petunjuk dalam
kehidupan bernegara bagi masyarakat. Layaknya arah yang tidak pasti dari kapal tanpa kompas,
demikian juga negara akan tanpa arah bila tidak ada Pancasila.

Selain itu, Pancasila juga memiliki nilai sejarah karena proses pembentukannya sebagai hasil
dari perjanjian para wakil golongan ketika mendirikan negara Indonesia. Berdasarkan kedudukan
dan fungsinya yang ternyata begitu penting, maka Pancasila harus dapat dijaga keluhurannya
oleh setiap warga negara.

D. Peran Pancaila Sebagai Ideologi Negara


Peran Pancasila sebagai ideologi negara memberi bimbingan kepada masyarakat Indonesia
dalam menentukan sikap dan tingkah laku. Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima asas
Pancasila dijadikan patokan aturan oleh bangsa ini dalam berbuat di kehidupan bermasyarakat
serta bernegara.
Kedudukan nilai-nilai yang terkandung dalam kelima asas Pancasila adalah sebagai aturan
tentang moral, oleh karena itu pelaksanaannya juga harus berdasarkan pada keyakinan dan
kesadaran penggunanya.
Apabila aturan Pancasila sebagai ideologi negara dilanggar, maka hukumannya adalah berupa
sanksi moral dan sosial. Mereka yang melanggar dan tidak berpedoman pada nilai-nilai Pancasila
tidak akan terkena sanksi hukum. Ada baiknya mereka merasa malu dengan segala sikap dan
tingkah lakunya yang melanggar norma Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara mengalami beberapa masa perkembangan. Seperti halnya
Pancasila di masa orde lama, Pancasila di masa orde baru, dan Pancasila di era reformasi.
Berbagai pihak dan para ahli sepakat apabila ideologi Pancasila merupakan kumpulan gagasan
yang disepakati bersama, dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Hasil kesepakatan yang
menyatakan Pancasila sebagai ideologi negara ini yang harus dipertahankan dan dipraktikkan
dalam kehidupan bernegara yang berbeda-beda suku bangsa ini.

E. Makna Pancasila Sebagai Ideologi Negara


Adapun makna Pancasila sebagai ideologi negara adalah sebagai berikut ini:

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan acuan dalam mencapai cita-cita yang
berkaitan dengan aktivitas kehidupan bernegara.
Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila adalah nilai yang berupa kesepakatan bersama, dan menjadi
sarana pemersatu bangsa.
Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus menjadi tujuan atau cita-cita terwujudnya kehidupan
bernegara tertuang dalam ketetapan MPR tentang visi Indonesia di masa depan, yaitu:

Visi ideal, merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945.
Visi antara, merupakan visi bangsa Indonesia hingga tahun 2020.
Visi lima tahunan, seperti yang telah tercantum dalam GBHN.
Mewujudkan Pancasila sebagai cita-cita bangsa Indonesia, berarti sekaligus menciptakan bangsa
yang taat beragama, penuh kemanusiaan, demokratis, penuh persatuan, adil serta sejahtera.
F. Sejarah Perkembangan Ideologi Pancasila dari Masa Ke Masa
1. Ideologi Pancasila Pada Zaman Orde Lama
Pada masa orde lama, Pancasila masih dalam tahap dibangun untuk dijadikan keyakinan
sekaligus ciri khas bangsa Indonesia. Presiden Soekarno yang mengusung konsep Pancasila
menyatakan meski berasal dari mitologi yang belum jelas, tetap saja dapat membimbing
masyarakat Indonesia menuju kesejahteraan.
Pada masa ini perkembangan Pancasila dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan situasi di dunia
yang masih dilanda kekacauan. Masa orde lama merupakan masa pencarian bentuk Pancasila
terutama pengaruhnya terhadap kehidupan bernegara.

2. Ideologi Pancasila Pada Zaman Orde baru


Pada masa ini gejolak politik di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Dimulai dengan pecahnya
peristiwa G 30 S/PKI. Kemudian peristiwa dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada tahun 1966. Walaupun pemerintahan orde baru berhasil mempertahankan
Pancasila sebagai ideologi negara, pelaksanaannya pada tahun-tahun berikutnya ternyata malah
keluar dari jalur. Banyak dari kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dalam
Pancasila.

Pada masa orde baru terdapat beberapa tindakan pemerintah yang keluar dari nilai-nilai
Pancasila, antara lain :
Kekuasaan presiden yang dilanggengkan hingga 32 tahun lamanya.
Adanya penafsiran sepihak Pancasila lewat program p4.
Ada penindasan terhadap gagasan atau hasil pemikiran secara sepihak, hingga orang-orang takut
mengeluarkan pendapatnya.
Ada penindasan dalam bentuk fisik seperti yang terjadi di Timor Timur, Aceh, Irian Jaya, dan
lainnya.
Adanya diskriminasi terhadap masyarakat non pribumi, juga kelompok yang minoritas.

3. Ideologi Pancasila Pada Masa Reformasi


Yang dimaksud reformasi adalah sebuah kegiatan menata ulang, memformat ulang, atau menata
kembali segala hal yang dianggap keluar jalur, dan dikondisikan agar kembali pada bentuk yang
sebenarnya, sesuai dengan tujuan asalnya. Reformasi bisa juga diartikan sebagai pembaruan
untuk menuju hal yang lebih baik lagi dan sesuai dengan harapan.

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan untuk dapat melakukan reformasi atau pembaruan,
yaitu :
Terdapat penyimpangan.
Harus mengacu pada sebuah struktur kerangka tertentu.
Reformasi harus dapat mengembalikan sistem pada dasar negara demokrasi.
Reformasi harus berupaya dilakukan untuk hal yang lebih baik.
Reformasi harus berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menjamin persatuan
bangsa.
Adapun tujuan dilakukannya reformasi adalah sebagai berikut ini :
Untuk melakukan perubahan yang bertahap demi menemukan pembaruan nilai-nilai dalam
kehidupan bernegara.
Untuk melakukan penataan terhadap seluruh struktur kenegaraan termasuk hukum dan undang-
undang yang menyimpang dari tujuan.
Untuk melakukan perbaikan di berbagai aspek kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, juga pertahanan keamanan.
Meniadakan segala kegiatan dan kebiasaan dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan
reformasi, seperti KKN, kekuasaan yang otoriter, penyimpangan dan penyelewengan lainnya.
Inti dari pembaruan dalam reformasi adalah mempertahankan hal baik yang telah ada di
kehidupan bernegara sebelumnya, lalu mengoreksi kekurangan yang ada sekaligus menyusun
pembaruan demi menjawab menjawab tantangan masa depan.
Pada masa ini, Pancasila yang awalnya merupakan sumber dari nilai serta acuan kode etik bagi
negera beserta aparatnya, ternyata berubah dan dijadikan alat menghalalkan kegiatan politik di
negara ini. segala kegiatan politik mengatasnamakan Pancasila, padahal pada kenyataannya nilai-
nilainya bertentangan sama sekali.
Reformasi dilakukan di berbagai bidang dengan mengatasnamakan Pancasila. Tapi ternyata
masih tidak berpengaruh banyak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Adanya
globalisasi juga semakin menambah tantangan. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara
terancam tergusur. Apalagi sekarang Pancasila mengusung ideologi yang sifatnya terbuka.
Pancasila sebagai ideologi negara mengalami berbagai perkembangan. Pada masa orde lama
Pancasila masih dalam tahap dibangun untuk dijadikan keyakinan dan ciri khas bangsa
Indonesia. Padahal kenyataannya Pancasila hanya digunakan sebagai alat untuk melanggengkan
kekuasaan dengan adanya jabatan presiden seumur hidup.
Di masa orde baru, Pancasila dijadikan dasar negara beserta Undang-Undang Dasar 1945 oleh
bangsa Indonesia. Tapi ternyata Pancasila kembali hanya digunakan sebagai alat untuk
melanggengkan otorisasi kekuasaan presiden selama 32 tahun.
Era reformasi yang diharapkan membawa pengaruh baik dan baru pada masyarakat Indonesia
juga ternyata malah melenceng dari tujuannya. Masyarakat Indonesia diharapkan dapat kembali
mengamalkan nilai-nilai luhur dari Pancasila. Tapi kenyataannya di era reformasi kehidupan
bernegara masyarakat malah semakin jauh dari nilai-nilai tersebut.
Rakyat di negara ini mengalami pengikisan moral, terlebih lagi karena pengaruh globalisasi.
Korupsi juga dilakukan secara terang-terangan, seperti telah menjadi bagian dari budaya di
negara ini saja. Nilai-nilai dari Pancasila semakin jauh dari pengamalannya oleh masyarakat.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia seharusnya dijadikan acuan dalam
kehidupan sehari-hari. Walaupun arus globalisasi masuk ke negara ini sangat kencang,
seharusnya Pancasila bisa menjadi filternya. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap sila
Pancasila harus dapat menjadi penyaring bagi kebudayaan asing yang mencoba masuk.
Pancasila sebagai pandangan negara sebenarnya adalah wujud dari nilai-nilai kebudayaan milik
bangsa Indonesia yang kebenarannya diyakini. Ideologi Pancasila berasal dari kebiasaan
masyarakat dari zaman dahulu. Nilai-nilai Pancasila ini tumbuh dan berkembang dari masa ke
masa. Itulah sebabnya bangsa Indonesia sudah seharusnya mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, karena Pancasila adalah cerminan kepribadian bangsa.
Pancasila sebagai ideologi negara telah melewati beberapa fase perkembangan. Walaupun
dipertahankan, Pancasila beberapa kali mengalami penyelewengan dalam praktiknya. Namun
akar nilai-nilai Pancasila terlalu kuat sehingga masih dapat bertahan hingga kini. Pancasila
sebagai pedoman hidup akan tetap menjadi acuan masyarakat Indonesia dalam menjalani
kehidupan bernegara.

Peristiwa Rengasdengklok: Sejarah, Latar Belakang, & Kronologi


Sejarah peristiwa Rengasdengklok terjadi tanggal 16 Agustus 1945 atau sehari sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bagaimana kronologi kejadian monumental ini dan siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat?
Pada 14 Agustus 1945, Soetan Sjahrir mendengar kabar dari radio bahwa Jepang menyerah dari
Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya.
Sjahrir segera menemui Sukarno dan Mohammad Hatta untuk menyampaikan kabar tersebut.
Saat itu, Sukarno dan Hatta baru saja pulang dari Dalat, Vietnam, usai bertemu dengan
pemimpin militer tertinggi Jepang untuk kawasan Asia Tenggara, Marsekal Terauchi. Kepada
Sukarno-Hatta, Terauchi menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Silang pendapat pun terjadi
di antara ketiga tokoh bangsa itu. Sjahrir meminta agar kemerdekaan segera dideklarasikan.
Namun, Sukarno dan Hatta yang belum yakin dengan berita kekalahan Jepang memilih
menunggu kepastian sembari menanti janji kemerdekaan dari Dai Nippon.
Latar Belakang Sukarno dan Hatta tidak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan. Di
sisi lain, para tokoh muda mendukung gagasan Sjahrir, yakni mendesak Sukarno-Hatta untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan., Sukarno dan Hatta berpendapat bahwa: “Kemerdekaan
Indonesia yang datangnya dari pemerintahan Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia
sendiri tidak menjadi soal karena Jepang sudah kalah." "Kini kita menghadapi serikat yang
berusaha akan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu, untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi." Maka
dari itu, Sukarno-Hatta ingin membicarakan hal ini terlebih dahulu dalam rapat PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 16 Agustus 1945 sambil menanti kabar terbaru dari
pemerintah Jepang. Namun, golongan muda tidak sepenuhnya sepakat. Mereka tetap mendesak
agar kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya. Peran BPUPKI dan PPKI Sejarah
Sukarno-Hatta Menjemput Janji Kemerdekaan ke Dalat Mufakat Senyap di Malaya yang Bisa
Mengubah Sejarah Kemerdekaan Kronologi Peristiwa Golongan muda mengadakan rapat pada
15 Agustus 1945 malam di Pegangsaan Timur, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh
ini menyepakati bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia, tidak tergantung
dari pihak lain, termasuk Jepang. Pada pukul 22.00 malam hari itu juga, Wikana dan Darwis
menjadi utusan dari golongan muda untuk menemui Sukarno, juga Hatta. Mereka kembali
menuntut agar proklamasi kemerdekaan dilakukan esok hari yakni tanggal 16 Agustus 1945. Jika
tidak, bakal terjadi pergolakan., Bung Karno menolak seraya berkata tegas: ". Saya tidak bisa
melepas tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada
wakil-wakil PPKI besok.” Gagal membujuk Sukarno, golongan muda kembali mengadakan
rapat. Dikutip dalam Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia (2017)
karya Haryono Riandi, rapat digelar pada pukul 00.30 di Jalan Cikini 71, Jakarta. Rapat dihadiri
oleh para tokoh muda termasuk Chairul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto,
Margono, Wikrana, Armansjah, Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dr. Muwardi dari Barisan
Pelopor, dan lainnya. Diputuskan bahwa Sukarno dan Hatta akan diamankan ke luar kota demi
menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang. Baca juga: PETA & Cara Membela Tanah Air
ala Gatot Mangkoepradja Latief Hendraningrat, Garda Terdepan Proklamasi Kemerdekaan Isi
Pembukaan UUD 1945 Alinea
1: Kedudukan, Makna, Penjelasan Peristiwa Rengasdengklok Para pejuang dari golongan muda
membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, dekat Karawang. Pengamanan pun berjalan
lancar karena dibantu oleh Latief Hendraningrat yang merupakan prajurit PETA (Pembela Tanah
Air) berpangkat Sudanco atau Komandan Kompi. Tepat pada pukul 04.30 dini hari tanggal 16
Agustus 1945, Sukarno bersama Fatmawati dan putra sulungnya, Guntur, serta Hatta dibawa ke
Rengasdengklok, kemudian ditempatkan di rumah seorang warga keturunan Tionghoa bernama
Jiauw Ki Song. Aksi "penculikan" ini semula dimaksudkan untuk menekan Sukarno dan Hatta
agar bersedia segera memproklamirkan kemerdekaan, tetapi karena wibawa dua tokoh bangsa
itu, para pemuda pun merasa segan. Di Jakarta, Achmad Soebardjo yang termasuk tokoh dari
golongan tua mengetahui peristiwa tersebut. Ia lantas menemui Wikana, salah satu tokoh
pemuda. Pembicaraan pun dilakukan dan disepakati bahwa kemerdekaan harus segera
dideklarasikan di Jakarta. Selanjutnya, Achmad Soebardjo bersama dengan Sudiro dan Jusuf
Kunto menuju Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno-Hatta dan membawa keduanya
kembali ke Jakarta. Baca juga: Indonesia Merdeka Bukan Hadiah dari Jepang Betapa Susah
Belanda Mengakui Proklamasi 1945 Sejarah Bendera Merah Putih & Kedudukannya dalam
Undang-Undang Pada hari itu juga, dilakukan pembicaraan terkait rencana pelaksanaan deklarasi
kemerdekaan. Malam harinya, di kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang perwira Jepang
yang mendukung kemerdekaan Indonesia, dirumuskanlah naskah teks proklamasi. Keesokan
harinya, tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan
Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Indonesia pun merdeka dan bukan
merupakan hadiah dari Jepang.

Anda mungkin juga menyukai