Anda di halaman 1dari 10

MAKNA SILA KELIMA: KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

A. Makna Keadilan Sosial


Sila ke-5 Pancasila berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” memiliki
Lambang Padi dan kapas. Pada umumnya nilai pancasila digali oleh nilai nilai luhur nenek
moyang bangsa Indonesia termasuk nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena
digali oleh nilai nilai luhur bangsa Indonesia Pancasila mempunyai kekhasan dan kelebihan,
sedangkan Prinsip keadilan berisi keharusan/tuntutan untuk bersesuaian dengan hakikat adil.
Dengan sila ke lima ini, manusia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sila “keadilan sosial” merupakan perwujudan yang paling kongkrit dari prinsip-prinsip
Pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam pembukaan UUD 1945 dengan
menggunakan kata kerja “mewujidkan suatu Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” karena
prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul
persatuan, matra kedaulatan rakyat. Pada satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus
mencerminkan imperative etis keempat sila lainnya. Notonagoro menyatakan (1974), “Sila
kelima: Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang yang
menjadi rakyat Indonesia, baik yang berdiam di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun
warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri. Jadi, keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang
hokum, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Sesuai dengan UUD 1945 makna keadilan social
mencakup pula pengertian adil dan makmur. 1

B. Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata al-‘adl (adil) yang secara harfiah berarti “lurus:, “seimbang”.
Dalam fikih, ‘adil’ pertama-tama berarti memperlakukan setiap orang secara setara, tanpa
diskriminasi berdasarkan hal-hal yang bersifat subjektif.
Dalam kitab al-Mufasshal fi fiqh ad-Da’wah, Abul Qasim al-Amadi menulis, bahwa,
“Keadilan adalah konsep yang merengkuh setiap orang, atau setiap komunitas; tanpa
dipengaruhi perasaan subjektif suka tidak suka, atau factor keturunan, atau status social kaya-
miskin, kuat-lemah; intinya menakar setiap orang dengan takaran yang sama dan menimbang
dengan timbangan yang sama, sebagai manusia, hamba Allah dan ciptaan-Nya”.
Dengan kata lain, unsur pertama keadilan adalah ‘kesetaraan’. Perbedaan suku, ras,
budaya dan semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain.
Keanekaragaman bahasa, budaya, maupun warna kulit adalah salah satu tanda kebesaran Allah
SWT.

1
Darji Darmodiharjo, dkk., 1991, SANTIAJI PANCASILA Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis-Konstitusional,
Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, hlm.46.
ô `Ï B u r ¾ Ï m ÏG »t ƒ#u ä ß ,ù =y z ÏN º uq»yJ ¡ ¡ 9 $ # Ç Ú ö ‘F {$#ur ß#»n =ÏG÷z$#ur
öN à 6 ÏGo Y Å ¡ø 9r & ö/ä 3 ÏRº uqø9r&ur 4 ¨b Î ) ’Îû y7 Ï9ºs Œ ;M »tƒU y tûü ÏJÎ=»yè ù=Ïj 9
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui”. (QS ar-Rum :22)
p k š‰r ' ¯»t ƒ â ¨$ ¨Z9 $# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `Ïi B 9 x .sŒ 4 Ó s\ Ré &ur öNä3»oYù=yèy_ ur$
$\ /qã èä© Ÿ@ Í ¬!$t7 s%ur (#þ qè ù u‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò 2 r& y‰YÏã «!$# öNä39 s)ø? r& 4
¨bÎ) © !$# î Lì Î=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (QS al-Hujurat :13)
Juga perbedaan agama atau keyakinan tidak boleh dijadikan alasan untuk
mendeskriminasikan seseorang karena persoalan agama dan keyakinan adalah persoalan
hidayah Allah SWT:
žw â/ä38 yg ÷Ytƒ ª !$# Ç`tã tûï Ï%© !$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ム’Îû È ûïÏd ‰9$# ó O s9ur
/ä.qã_Ì øƒä† `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdr •Žy9 s? (#þqäÜ Å¡ø)è?ur öNÍk öŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$#
=Ït ä† tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS al-Mumtahanah :8)
Salah satu prinsip keadilan adalah tidak memperlakukan diri sendiri atau seseorang
berdasarkan garis nasab, darah. Dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulallah saw bersabda yang
artinya: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Agung telah membuang jauh keangkuhan
jahiliyah dan kesombongan-nya atas dasar keturunan (darah)… semua kalian keturunan Adam
dari tanah. (HR Turmudzi, Abu Daud, Imam Ahmad)
Dalam pidatonya di hadapan umat hari Tasyriq ketika menunaikan Haji Wada’
(Pamitan), lebih tegas lagi, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nadhrah r.a., Rasulallah saw
bersabda, yang artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu
(Allah SWT), bapak kalian juga satu (Adam); Ketahuilah tidak ada kelebihan bagi orang Arab
atas orang Ajam (non-Arab); tidak ada kelebihan bagi orang Ajam atas orang Arab: tidak juga
bagi orang kulit berwarna atas kulit hitam dan sebaliknya, kecuali dengan takqa (HR Ahmad)
(Masdar Farid Mas’udi, 2013 : H.53-54)
Keadilan terkait dengan hak-hak yang melekat secara kodrati dan social pada setiap
inividu atau kelompok. Maka keadilan secara praktis sebagaimana didefinisikan oleh para
ulama, antara lain Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, juz 3, hal.368, sebagai berikut: ‘Adil
adalah ketika setiap orang/pihak mendapatkan apa yang menjadi haknya”.
Yang dimaksud punya hak disini tentunya tidak terbatas pada makhluk manusia,
melainkan juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan semesta sebagai sesame makhluk
Allah SWT. Untuk manusia, khususnya sebagai prioritas, hak-hak yang melekat padanya
meliputi apa yang ada pada konsep Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) modern dikategorikan
dalam hak-hak sipil, hak social ekonomi, hak politik, dan social budaya. Dalam konteks ini detail
hak-hak insani yang telah begitu rinci dalam konsep HAM universal sangat membantu misi
agung umat manusia-juga Negara- untuk menegakkan keadilan.
Dengan mengacu pada pemenuhan hak-hak, maka agenda penegakkan keadilan tidak
bias tidak harus menempatkan mereka yang lemah kepada prioritas tertinggi, disbanding untuk
mereka yang kuat. Karena seseorang atau suatu kelompok disebut kuat apabila mereka telah
mampu memenuhi hak-haknya lebih dari yang lain. Sebaliknya, seseorang atau sekelompok
orang disebut lemah jika mereka tidak atau belum mampu memenuhi hak-haknya dengan
kemampuan sendiri.
Oleh sebab itu, Negara sebagai pelindung dan penegak keadilan tidak bias tidak harus
selalu menempatkan warga yang lemah (mustadh’afin) sebagai prioritas agendanya, sehingga
keadilan alam makna yang pertama (keseimbangan an kesetaraan) bias diwujudkan. Dalam
konteks ini Imam al-Mawardi mengutif sabda rasulallah saw, riwayat Umar bin Khattab, yang
artinya: “Negara adalah paying Allah di muka bumi, tempat berlindung rakyat yang terzalimi
(hak-haknya tidak terpenuhi atau terampas)”.
“Allah tidak menyucikan suatu umat/bangsa di mana silemah tidak bisa mengambil
haknya dari si kuat tanpa harus dibikin susah (HR Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath)
Dalam pidato pelantikannya sebagai khalifah pertama, Abu akar menegaaskan
pandangannya terhaap rakyat yang lemah, wong cilik, sebagai berikut: “Dimata saya, rakyat
yang lemah justru kuat sehingga saya harus mengembalikan apa yag menjadi hak-haknya;
sementara rakyat yang kuat di mata saya justru lemah sehingga saya bias mengambil hak-hak
darinya (Tarikh al-Khulafa, Jilid I, hal.27).
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ (VI/322) dan kitab al-Hisbah mengutip
ungkapan dari Ibnu Aqil menyatakan:

ُ‫ هللا‬:‫الظ ْل ِم َو ِخي َمةٌ َوعَاقِبَةُ ْال َع ْد ِل َك ِري َمةٌ َولِهَ َذا يُ رْ َوى‬
ُّ َ‫اس لَ ْم يَتَنَا َز ُعوا فِي َأ َّن عَاقِبَة‬
َ َّ‫فَِإ َّن الن‬
ْ ‫ص ُر ال َّدوْ لَةَ الظَّالِ َمةَ َوِإ ْن َكان‬
‫َت ُمْؤ ِمنَة‬ ْ ‫ص ُر ال َّدوْ لَةَ ْال َعا ِدلَةَ َوِإ ْن َكان‬
ُ ‫َت َكافِ َرةً َوالَ يَ ْن‬ ُ ‫يَ ْن‬
“Sesungguhnya manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak kezaliman itu
sangatlah buruk, sedangkan dampak keadilan itu adalah baik. Oleh karena itu, dituturkan,
“Allah menolong negara yang adil walaupun negara itu kafir (sekuler) dan Allah tidak akan
menolong negara yang zalim, walaupun negara itu Mukmin (religious).”
Keadilan menurut  Ibnu Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada
setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak
berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban,
mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan
yang telah ditetapkan.
“Manakala tanda-tanda keadilan telah tampak dan menunjukkan wajahnya, dengan
cara apapun, maka disana ada syari’at Allah dan agama-Nya….Jalan apa pun yang dapat
menghadirkan keadilan dan keseimbangan, itulah agama. Tidak bisa dikatakan bahwa politik
yang adil berlawanan dengan syariah. Sebaliknya, politik yang adil itu sejalan dengan syariah,
bahkan merupakan bagian dari padanya. Kami menamakannya sesuai arti terminologinya; ialah
keadilan Allah dan rasul-Nya.”2
Jadi, jelas bahwa Negara yang dikehendaki oleh Islam tidak ditentukan oleh nama,
label, atau sebutannya, melainkan oleh tujuan (ghayah)-nya, yakni “keadilan” bagi seluruh
rakyatnya. Negara yang tiak memberikan perlindungan kepada rakyatnya terutama yang lemah
dengan memenuhi hak-haknya yang hilang atau terampas, apa pun sebutan dan mereknya,
bukanlah Negara yang dikehendaki oleh Allah, Tuhan Yang Maha Esa maupun rakyat
keseluruhannya. Dalam konteks Indonesia dengan Pancasila-nya, parameter sukses Negara
sangatlah jelas dan gambling, yakni: apakah Negara bias mewujudkan keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia (terutama yang lemah, yang paling jauh dari keadilan) atau tidak.
Untuk itu segenap manusia Indonesia sebagai warga bangsa, terutama para
pemimpinnya, dalam memahami menghayati dan mengamalkan empat sila pertama dari
Pancasila haruslah selalu merujuk dan bermuara pada sila terakhir: “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, bagi bangsa Indonesia adalah keyakinan terhadap Tuhan
pencipta dan pelindung segenap tumpah darah Indonesia, apa pun agama dan keyakinannya.
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”, adalah kemanusiaan bagi semua insan Indonesia tanpa
diskriminasi apa pun, Demikian pula “Persatuan Indonesia”, tidak mungkin terwujud jika di
sana-sini masih ada ketimpangan social dan ekonomi baik antar-daerah maupun antar-
masyarakat. Last but not least adalah sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan”. Sila yang jadi acuan kehidupan politik
bangsa, yang dikenal dengan sebutan demokrasi, pun harus diuji kesahihannya pada
sejauhmana ia benar-benar mampu mempercepat tujuan keadilan social. Demokrasi yang tidak
dikiblatkan pada keadilan sosial, alias demokrasi untuk demokrasi, hanya mencemooh dan
melegitimasi dirinya sendiri.3

C. Keadilan Menurut para Fhilosof


Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani.
Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis,
hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan
tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup
terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan
manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin
“iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif
berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti
tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan
persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist,
magistrate).4

2
Ibnu al-Qayyim, at-Thuruq al-Hukmiyah; vol I, hal.19.

3
Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, Jakarta: PT Pustaka Alvabet, Maret 2013, hlm. 59.

4
http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html [diakses tanggal 6 November 2002].
Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan
teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang dipahami sebagai
sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-
varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut. 5

1. Plato
Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan diluar
kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian pula
halnya dengan masalah keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan
manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat
memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
a. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh para
penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba
manusia.
b. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus terhadap
kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang
rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta
kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya.6
  Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya,
domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas negara
untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara
individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi
smakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya
ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal
manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau
keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. 7 Oleh karena inilah Plato
mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of
philosopher.8

2. Aristoteles
Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme. Pemikirannya tentang
keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics. Buku ini secara
keselurahan membahas aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah-
masalah hukum, keadilan, persamaan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.

5
Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang dari berbagai aliran
pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory),
diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994.

6
Konsepsi keadilan Plato dapat dilihat dalam bukunya The Republik terjemahan Benjamin Jowett. Dalam bagian awal
buku ini plato mengetengahkan dialog antara Socrates dengan Glaucon tentang makna keadilan.

7
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, terj. oleh Mohamad Arifin, Op.Cit., h. 117.

8
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Bandung, Pustaka Mizan, 1997, h. 1-15.
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku
Nicomachean Ethics.9 Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga
hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2) apa arti keadilan, dan
(3) diantara dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.
Pandangan Aristoteles sehubungan dengan adil dan keadilan adalah sebagai berikut:
Pertama: Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah) yang merupakan puncak
kebaikan manusia10 sebagai “aktifitas jiwa dalam menyesuaikan dengan keutamaan.” 11 Ia
menilai puncak dari keutamaan ini adalah keadilan yang merealisasikan kebahagiaan umat
manusia.
Menurut Aristoteles keadilan adalah keutamaan sempurna; karena berlaku adil atau
berkeadilan meniscayakan pengerahan dan pemberdayaan seluruh keutamaan. Keadilan dari
sudut pandang ini juga merupakan kemuliaan sempurna dimana manusia merealisasikan
keadilan ini pada dirinya bahkan juga pada pelbagai interaksi dengan orang lain. 12
Kedua: Aristoteles menafsirkan keadilan sebagai tingkat medium dan berposisi ekuilibrium
antara posisi ekstrem (ifrath) dan sikap terlalu longgar (tafrith).13
Ketiga: Aristoteles menjelaskan keadilan sosial dalam dua makna umum dan khusus;
keadilan bermakna umum adalah penghormatan terhadap aturan-aturan dan persamaan
warga kota.14 Keadilan bermakna khusus terbagi menjadi dua jenis distribusi dan evaluasi
(tashhihi); dalam keadilan distributive; kehormatan dan kemuliaan manusia, uang dan hal-hal
yang berpengaruh lainnya dibagi di tengah warga kota. Dalam keadilan evaluatif; pelbagai
transaksi dan interaksi antara sesama warga kota dievaluasi dan diluruskan. 15 Keempat:
Aristoteles menilai bahwa adil itu bukan persamaan melainkan kelayakan dan kepantasan.
Menurutnya kedudukan hak-hak setiap orang di masyarakat harus sesuai dengan kepantasan
dan pengetahuannya (meritokrasi).

3. Jhon Rawls
John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan social. 16
Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan

9
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html.
[diakses pada tanggal 20 Oktober 2000].

10
Aristoteles, Ilmu al-Akhlaq ila Niqomakhus (Etika Nicomakea), jil. 1, hal. 175, Kairo, Dar Shadir, Cetakan Pertama,
Tanpa Tahun.

11
Ibid, jil. 1, hal. 189.

12
Ibid, jil 2, hal. 60-61.

13
Ibid, jil. 2, hal. 55.

14
Ibid, jil. 2, hal. 62.

15
Ibid, jil. 2, hal. 62-77.

16
Hari Chand, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, International Law Book Review, 1994, hal. 278.
negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas
hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar
masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan,
pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan
untuk:
1. menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
2. melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial
sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk
membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara
mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position).
Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota
masyarakat secara sederajat.

 D.    Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an


Kata al-‘adl dari segi bahasa memiliki beberapa arti. 17 Dari pengertian yang
bermacam-macam itu  dapat dikembalikan kepada makna: “Luzum al-wast wa al-ijtinab ‘an
janibaiy al-ifrat wa al-tafrith”.18 Keadilan adalah kata jadian dari kata ”adil” yang terambil dari
bahasa Arab “adl”. Apabila dicermati term-term atau simpul-simpul keadilan yang berakar kata
‘a-d-l terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 31 kali. 19 Menurut M. Quraisy Syihab, “Kata adl yang
dalam berbagai bentuk terulang 28 kali dalam Al-Qur’an, tidak satupun yang dinisbatkan
kepada Allah menjadi sifat-Nya.
Kamus bahasa Arab mengimformasikan bahwa kata “adil” pada umumnya berarti 
“sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Keadilan
diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan
menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman.
‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu
pihak tidak akan terjadi persamaan.
Qisth (penegak keadilan) Dalil yang mendukung kata qisth sebagaimana Firman Allah
SWT. :

p k š‰r ' ¯»t ƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qç Rqä. tûüÏBº§qs% ÅÝ ó¡É )ø9$$Î/ uä!#y‰p kà ¬!$
öqs9ur #’n? tã öNä3Å¡àÿ Rr& Írr& Èûøïy‰Ï9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ï Æ ä3tƒ $†‹ÏYxî
÷rr& #Z ŽÉ)sù ª!$$sù 4’n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿx sù (#qãèÎ7F s? #“uqol ù;$# br& (#qä9ω÷ès?

17
Jamaluddin Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-‘Arab, Juz 13-14, Mesir: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-
Tarjamah, tt, h. 456-463.

18
Artinya: Senantiasa mengambil sikap tengah dan menjauhkan dua sikap ekstrim yaitu ifrat (berlebihan) dan tafrit
(ketaksiran). Muhammad Husain al-Thabatabai, al-Mizan fi al- Tafsir Al-Qur’an, Juz 12, (Beirut: Muassasah al-A’la li
al-Matbu’at, tt), h. 331.

19
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, h.
448-449.
4 bÎ)ur (#ÿ ¼ âqù=s? ÷rr& (#qàÊ Ì÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6 yz
ÇÊÌÎÈ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS an-Nisa :135)
Arti asal adil adalah “bahagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan
adanya “persamaan”. Bukankah “bagian” dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata
qisth lebih umum dari pada adil, dan karena itu pula ketika Al-Qur’an menuntut seseorang
untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
  Mizan berasal dari asal kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan
adalah “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”, karena bahasa sering
kali menyebutkan “alat” untuk makna hasil penggunaan alat itu. Menurut Muhammad
Mutawalli Sya’rawi, “acuan dari proses timbangan tersebut adalah ketelitian dalam timbangan
supaya tidak ada unsur kecurangan sedikitpun di dalamnya. Karena itu pulalah dipilih kata  al-
mizan,  karena kata ini merupakan standar yang paling tepat untuk menentukan segala sesuatu
tanpa unsur kecurangan”.20
Adil dalam arti luas dapat diartikan menjaga keseimbangan dalam masyarakat, artinya
keadilan adalah segala sesuatu yang dapat melahirkan kemaslahatan bagi masyarakat atau
menjaga dan memeliharanya dalam bentuk lebih baik sehingga masyarakat mendapatkan
kemajuan.21 Jika diperhatikan secara seksama ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang keadilan, tampaknya keadilan yang diperintahkan Tuhan kepada penguasa di bumi
adalah keadilan yang seimbang.
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut Al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada
proses penepatan hukum atau terhadap pihak yang beselisih, melainkan Al-Qur’an menuntut
dan menerangkan tentang pentingnya keadilan ditegakkan.
Ayat-ayat berikut ini menerangkan tentang pentingnya keadilan, di antaranya:
uä !$ y J ¡ ¡ 9 $ #ur $ygyèsùu‘ yì |Êurur šc #u”ÏJø9$# ÇÐÈ

“dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan”. (Q.S Ar-
Rahman: 7)

( /ö @ è % z sD r& ’În 1 u ‘ ÅÝó¡É)ø9$$Î


Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". (Q.S Al-A’raf : 29)

b Î ) ©!$# ããBù' tƒ ÉA ô ‰y èø9$$Î/ Ç`»|¡ôm M }$#ur¨

20
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan dan Hidayah Allah, terj. Ahsan Askan, Jakarta: Cendekia,
2005, h. 21.

21
Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, Terj. Ahmad Sobandi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h.
225.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (Q.S Al-
Nahl : 90)

uä !$ y J ¡ ¡ 9 $ #ur $ygyèsùu‘ yì |Êurur šc #u”ÏJø9$# ÇÐÈ žw r& (#öqtó ôÜs? ’Îû Èb#u”ÏJø9$#
ÇÑÈ
“dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) agar kamu
jangan melampaui batas tentang neraca itu”. (Q.S Al Rahman : 7-8)
             Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di atas bukan sekedar
kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin
untuk menegakkan keadilan. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan
atas dasar keadilan.
Menurut M. Quraisy Syihab, Paling tidak, ada empat makna keadilan  yang
dikemukakan oleh pakar agama, yaitu: Pertama, adil dalam arti “sama”. dinyatakan dalam al-
Quran:
b Î ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxs è? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym¨
tû÷üt/ Ä ¨$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $K ÏèÏR /ä3Ý à Ïètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!
$# tb%x. $J è‹Ïÿ xœ #ZŽÅÁ t/ ÇÎÑÈ
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS al-Nisa’: 58)
            Kata “adil” dalam ayat ini bila diartikan  ‘sama”  hanya mencakup sikap dan perlakuan
hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Kedua, adil dalam arti “seimbang”.
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau
syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi ketidak seimbangan (keadilan). Contoh
lain tentang keseimbangan  adalah alam raya bersama ekosistemnya, Al-Qur’an menyatakan
bahwa:
“Ï%© !$# t,n=y{ yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3 “ts? †Îû È ,ù=yz Ç`»uH ÷q §9$# `ÏB
;Nâq»xÿs? ( Æ ìÅ_ö‘$$sù uŽ|Ç t7ø9$# ö@yd 3“ts? `ÏB 9‘qäÜèù
“yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-
ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?”. (QS al-Mulk :3)
            Dari sini, keadilan identik dengan kesesuaian  (keproporsionalan), bukan lawan kata
“kezaliman”. Ketiga, adil adalah “pengertian terhadap hak-hak individu  dan memberi hak-hak
itu kepada setiap pemiliknya”. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berati
“memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan
perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.” Semua wujud tidak
memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya.
Keadilan-Nya mengandung konsekwensi bahwa rahmat Allah. tidak tertahan untuk diperoleh
sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Anda mungkin juga menyukai