Anda di halaman 1dari 26

BAB II

A. Teori
I. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi berarti tekanan tinggi
di dalam arteri. Arteri adalah pembuluh yang mengangkut darah
dari jantung yang memompa ke seluruh jaringan dan organ-organ
tubuh. Tekanan darah tinggi bukan berarti tegangan emosi yang
berlebihan, meskipun tegangan emosi dan stress dapat
meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu
(Muhammadun, 2010).
Menurut The Eighth Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 8) klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa (18 tahun dan lebih tua) didasarkan pada rata-rata dua atau
lebih diukur dengan benar pembacaan tekanan darah dari dua atau
lebih kunjungan klinis. Jika tekanan darah sistolik dan nilai-nilai
tekanan darah diastolik jatuh ke dalam kategori yang berbeda,
klasifikasi keseluruhan ditentukan didasarkan pada lebih tinggi dari
dua tekanan darah. Tekanan darah adalah diklasifikasikan ke dalam
salah satu dari empat kategori: normal, prehipertensi, hipertensi
derajat 1 dan hipertensi derajat 2. Prehipertensi tidak dianggap
sebagai penyakit, namun mengidentifikasi mereka yang cenderung
untuk maju ke tahap 1 atau Tahap 2 HTN di masa depan.
Klasifikasi Tekanan Tekanan darah Tekanan darah
Darah Sistolik (mmHg) diastolik (mmHg)
Normal <180 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-95
Hipertensi Derajat I 140159 Atau 90-99
Hipertensi Derajat II ≥160 Atau ≥100
2. Etiologi
Berdasarkan etiologi, hipertensi diklasifikasikan menjadi
1) Hipertensi primer/esensial (insidens 80-95%):
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (Tanto,
Hustrini, 2014). Hipertensi semacam ini dikenal
sebagai hipertensi idiopatik. Hipertensi primer
adalah suatu kategori umum untuk peningkatan
tekanan darah yang disebabkan oleh beragam
penyebab yang tidak diketahui dan bukan suatu
entitas tunggal. Orang dapat memperlihatkan
kecenderungan genetik yang kuat mengidap
hipertensi primer, yang dapat dipercepat atau
diperburuk oleh faktor kontribusi misalnya
kegemukan, stres, merokok, atau kebiasaan makan
(Sherwood, 2012).
2) Hipertensi sekunder akibat suatu penyakit atau
kelainan mendasari, seperti stenosis arteri renalis,
penyakit-penyakit parenkim ginjal,
hiperaldosteronisme, dan sebagainya (Tanto,
Hustrini, 2014). Beberapa contoh hipertensi
sekunder antara lain: (1)Hipertensi ginjal. Sebagai
contoh lesi aterosklerotik yang menonjol ke dalam
lumen suatu arteri renalis atau penekanan eksternal
pembuluh ini oleh suatu hormon dapat mengurangi
aliran darah ke ginjal. Ginjal berespons dengan
mengaktifkan jalur hormon yang melibatkan
angiotensin II. Jalur ini mendorong retensi garam
dan air sewaktu pembentukan urin sehingga volume
darah bertambah untuk mengompensasi
berkurangnya aliran darah ginjal. Angiotensin II
merupakan vasokontriktor kuat. Meskipun kedua
efek ini (peningkatan volume darah dan
vasokontriksi yang dipicu oleh angiotensin) adalah
mekanisme kompensasi untuk memperbaiki aliran
darah ke arteri renalis yang menyempit namun
keduannya juga menjadi penyebab meningkatnya
tekanan darah arteri secara keseluruhan.
(2)Hipertensi endokrin. Sebagai contoh,
feokromositoma adalah suatu tumor medulla
adrenal yang mengeluarkan epinefrin dan
nonepinefrin secara berlebihan. Peningkatan
abnormal kadar kedua hormon ini menyebutkan
peningkatan curah jantung dan vasokontriksi perifer
generalisata, di mana keduanya berperan
menyebabkan hipertensi khas pada penyakit ini.
(3)Hipertensi neurogenik. Salah satu contoh adalah
hipertensi yang disebabkan oleh kesalahan kontrol
tekanan darah karena defek di pusat kontrol
kardiovaskular (Sherwood, 2012).
3. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan
peningkatan hipertensi esensial antara lain :
1) Curah Jantung dan Tahanan Perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan
perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan
tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial, curah jantung biasanya normal tetapi
tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh kosentrasi sel otot halus yang
terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi
sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan
konsentrasi otot halus ini semakin lama akan
mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol
yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang
menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible.
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui
peningkatan volume cairan ekstraseluler dan
ekskresi renin. Sistem Renin-Angiotensin
merupakan sistem endokrin yang penting dalam
pengontrolan tekanan darah. Renin diekskresi oleh
juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon
glomerulus underperfusion atau penurunan asupan
garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatik.
3) Sistem saraf otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat
menyebabkan vasokontriksi dan dilatasi arteriol.
Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang
penting dalam mempertahankan tekanan darah.
Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara
sistem saraf otonon dan sistem renin-angiotensin
bersama-sama dengan faktor lain termasuk natrium,
volume sirkuasi, dan beberapa hormon.
4) Disfungsi endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai
peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh
darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal, yaitu molekul oksida nitrit dan
peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak
terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis
pengobatan dengan antihipertensi menunjukan
perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit.
5) Substansi Vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang
mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah pada keadaan
normal. Bradikinin merupakan vasodilator yang
potensial, begitu endothelin. Endothelin dapat
meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah
serta mengaktifkan sistem rein-angiotensin lokal.
Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang
diproduksi di atrium jantug dalam merespon
peningkatan volum darah. Hal ini dapat
meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal
yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan
dan hipertensi.
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan
ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah
(disfungsi endotelium atau kerusakan sel
endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis,
patelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat
menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang
semakin lama akan semakin parah dan merusak
organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah
dengan pemberian obat anti-hipertensi.
7) Disfungsi Diastolik
Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan
ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi
tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama
pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan
atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan
ventrikel.
4. Penyebab Hipertensi
Telah dikemukakan di atas bahwa penyebab hipertensi
yang telah diketahui adalah hipertensi sekunder, sedangkan
penyebab hipertensi esensial belum diketahui secara pasti. Adapun
penyebab dari hipertensi sekunder antara lain kelainan pembuluh
darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), dan penyakit
kelenjar adrenal (hiperaldosterorisme). Menurut Dalimartha (2012)
penyebab hipertensi, yaitu:
1) Stenosis arteri ginjal
Stenosis arteri ginjal adalah suatu kondisi
yang harus mendapat perhatian khusus.
Penyempitan arteri yang memasok darah ke ginjal
(stenosis arteri ginjal) menyebabkan tekanan darah
menjadi tinggi. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan
pembedahan atau dilatasi (melebarkan arteri). Pada
dilatasi, sebuah tabung fleksibel dengan balon kecil
di ujung dimasukkan ke dalam arteri di
selangkangan. Balon diletakkan tepat pada bagian
arteri yang menyempit.
Balon selanjutnya dipompa sehingga
memekarkan daerah yang sempit sehingga aliran
darah ke ginjal dan sekitarnya kembali lancar.
Fungsi ginjal seringkali meningkat jika pembedahan
dan proses dilatasi berhasil. Apabila telah dilakukan
balonisasi dan tekanan darah masih tinggi maka
tekanan darah tersebut dapat diturunkan dengan
pemberian obat.
2) Gagal ginjal
Penderita gagal ginjal biasanya juga
membutuhkan perawatan tekanan darah tinggi.
Tekanan darah yang tinggi pada penderita ini
terutama disebabkan oleh kegagalan ginjal dalam
mengatur jumlah garam dan air dalam tubuh.
Apabila penderita menjalankan perawatan
dialisis (cuci darah), biasanya tekanan darahnya
sudah dapat dikendalikan. Namun, sebagian
penderita masih tetap harus minum obat untuk
menjaga tetap normal.
3) Kelebihan noradrenalin
Penyebab tekanan darah tinggi lainnya
adalah gangguan kelenjar adrenal. Penyebab ini
jarang dijumpai. Namun, bila ada kasus, termasuk
gangguan yang dapat disembuhkan.
Kelenjar adrenal terdapat tepat di atas tiap-
tiap ginjal. Kelenjar adrenal mempunyai lapisan
dalam dan luar yang dapat mengeluarkan berbagai
horrnon ke dalam aliran darah. Bagian dalam
kelenjar disebut medula yang mengeluarkan
adrenalin atau hormon yang dihasilkan sebagai
akibat rasa takut, marah, dan latihan. Adrenalin
dapat meningkatkan denyut jantung. Selain itu,
medula juga menghasilkan hormon noradrenalin
yang juga menyebabkan kontraksi otot arteri dan
meningkatkan tekanan darah.
Kadang-kadang tumor jinak adrenal
(phaeochromocytoma) juga menyebabkan
peningkatan tekanan darah dari akibat kelebihan
noradrenalin dalam darah. Gejala serangan berupa
banyak keringat, palpitasi, dan sakit kepala hebat,
tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi.
Diagnosis ditegakkan dengan tes darah dan
air seni yang sederhana. Selain itu, pembesaran
kelenjar adrenal juga dapat terlihat pada
pemeriksaan sidik tubuh (body scan). Hipertensi
akibat terlalu banyak noradrenalin dapat
dikendalikan dengan obat, tetapi untuk
kesembuhannya, diperlukan tindakan bedah
(Dalimartha, 2012).
4) Sindroma cushing dan aldosteronisme
Sindrom ini merupakan suatu kedaan yang
sangat jarang terjadi. Keadaan ini sebagai akibat
adanya tumor atau pertumbuhan yang berlebihan
dari lapisan luar kelenjar adrenal. Pada keadaan ini,
dihasilkan hormon stres lain yaitu kortisol atau
hormon lain yang disebut aldosteronhormon yang
mengakibatkan ginjal menahan garam (sodium) dan
melepaskan kalium.
Terlalu banyak kortisol (hormon stres) dapat
memicu suatu kondisi yang dikenal sebagai
sindroma cushing (sama dengan nama ahli bedah
Amerika yang menemukannya). Sindroma cushing
mengakibatkan pertambahan berat badan yang amat
cepat, tekanan darah ilnggi, dan kadang-kadang
memicu diabetes.
Bentuk sindrom yang sering ditemukan
merupakan akibat tumor jinak kelenjar hipofise di
dasar otak yang merangsang kelenjar adrenal untuk
menghasilkan kortisol. Pengobatan biasanya dengan
pembedahan. Hasil pengobatannya cukup efektif.
Selain sindrom cushing, produksi aldosteron
(hormon yang mengakibatkan ginjal menahan
garam dan melepaskan kalsium) yang berlebihan
atau aldosteronisme dapat menyebabkan hipertensi
dengan kadar kalium yang rendah dalam darah.
Kadar kalium yang rendah menimbulkan kelemahan
otot dan hilangnya kemampuan memekatkan air
seni. Diagnosis ditegakkan dengan tes darah dan
kelenjar adrenal yang abnormal diangkat melalui
tindakan bedah (Dalimartha, 2012).
5) Alkohol
Pada beberapa keadaan, hipertensi
tampaknya dikaitkan dengan konsumsi alkohol
berlebihan dan hipertensi cenderung turun bila
konsumsi alkohol dihentikan atau dibatasi. Adanya
konsumsi alkohol yang berlebihan kadang-kadang
diketahui setelah pemeriksaan darah rutin.
Pada umumnya, orang yang menderita
hipertensi harus membatasi konsumsi alkohol. Batas
yang masih aman mungkin berkisar 2 unit sehari 1
unit dapat berupa 1 seloki minuman keras, segelas
anggur, atau seperempat liter bir), Namun, akan
lebih baik bila penderita hipertensi tidak
mengonsumsi alkohol sama sekali.
6) Stres
Mungkin hanya sedikit orang yang tidak
segera menghubungkan hipertensi dengan stres.
Namun, peranan stres sebagai faktor penyebab
hipertensi tidak diragukan lagi, stres dapat
meningkatkan tekanan darah dalam jangka waktu
pendek dengan cara mengaktifkan bagian otak dan
sistem saraf yang biasanya mengendalikan tekanan
darah secara otomatis.
Stres dalam kaitannya dengan pengukuran
tekanan darah di rumah sakit telah dibicarakan
dalam bab sebelumnya. Stres sulit untuk diberi
batasan atau diukur karena peristiwa yang
menimbulkan stres pada seseorang belum tentu
sama. Tidak dapat ditentukan apakah ada sedikit
peningkatan tekanan akibat stres yang berulangkali
hingga pada akhirnya akan menyebabkan tekanan
darah tinggi yang menetap. Namun, beberapa
pntunjuk dari hasil penelitian ahli mendukung
pendapat tersebut (Dalimartha, 2012).

5. Patogenesis Hipertensi Primer


Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial. Berbagai
mekanisme yang berperan dalam peningkatan tekanan darah,
antara lain:
 Mekanisme neural: stres, aktivitas simpatis, variasi diurnal
 Mekanisme renal: asupan natrium tinggi dengan retensi
cairan
 Mekanisme vascular: disfungsi endotel, radikal bebas, dan
remodeling pembuluh darah
 Mekanisme hormonal: sistem renin, angiotensin, dan
aldosterone (Tanto, Hustrini, 2014).
6. Gejala klinis
Hipertensi tidak menimbulkan gejala yang dapat dirasakan.
Seseorang yang menderita penyakit jantung, stroke atau ginjal bisa
saja tidak mengetahui bahwa menderita hipertensi sebelum
dilakukan pemeriksaan. Hal inilah yang menyebabkan hipertensi
dikatakan sebagai the silent killer.
Seseorang akan merasakan gejala seperti mual, muntah,
pengelihatan kabur, cara berjalan yang tidak mantap, nokturia, dan
adanya pembengkakan dependen sebagai manifestasi klinis karena
orang tersebut telah menderita hipertensi selama bertahun – tahun
7. Diagnosis Hipertensi
1) Anamnesis
Kebanyakan pasien hipertensi bersifat
asimtomatik. Beberapa pasien mengalami sakit
kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan
kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke
hipertensi sekunder, antara lain: penggunaan obat-
obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan, OAINS); sakit kepala paroksimal,
berkeringat, atau takikardi (feokromositoma);
riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Mencari faktor
risiko kardiovaskuler lainnya: merokok, obesitas,
inaktivitas fisik, dislipidemia, diabetes mellitus,
mikroalbuminuria, atau laju filtrasi glomerulus
(LFG) <60 mL/mnt, usia (laki-laki >55th,
perempuan >65th), riwayat keluarga dengan
penyakit kardiovaskuler dini (laki-laki <55th,
perempuan <65th) (Tanto, Hustrini, 2014).
2) Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan
pada penderita yang dalam keadaan nyaman dan
rilaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat
melakukan pengukuran tekanan darah adalah
a. Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis
sphygmomanometer. Yaitu aneroid
(kurang akurat bila digunakan
berulang-ulang), manometer
elektronik (juga kurang akurat) dan
manometer merkuri/air raksa (ingat
merkuri dapat mencemari
lingkungan). Gunakan manset
dengan ukuran iflatable bag; (karet
yang ada di bagian dalam manset)
yang sesuai, yaitu lebar ± 40% dari
lingkar lengan (rata-rata pada orang
dewasa 12-14 cm) dan panjang ± 60-
80% lingkar lengan, sehingga cukup
panjang untuk melingkupi lengan.
b. Pasang manset pada lengan atas
dengan pusat iflatable bag di bagian
atas arteri brakhialis (pada sisi dalam
lengan atas) dan sisi bawah manset ±
2,5 cm di atas fossa antecubiti.
c. Posisi lengan penderita sedikit fleksi
pada siku, lengan harus disangga
(dengan bantal, meja atau benda lain
yang stabil), pastikan bahwa manset
setinggi jantung. Cari arteri
brakhialis, biasanya sedikit medial
dari tendon bisep.
d. Lakukan pemeriksaan palapasi
tekanan darah sistolik (TDS) yaitu
ibu jari atau jari-jari lain diletakan di
atas arteri brakhialis, manset
dipompa/dikembangkan sampai ± 30
mmHg di atas tingkat mana pulsasi
mulai tidak teraba, kemudian manset
pelan-pelan dikendurkan dan akan
didapatkan TDS yaitu saat pulsasi
mulai terasa kembali.
e. Selanjutnya stetoskop (bagian bell)
diletakkan di atas arteri brakhialis,
manset dipompa kembali sampai ±
30 mmHg di atas harga palpasi TDS,
kemudian manset dikendurkan pelan-
pelan (mulai terdengar suara) dan
tekanan darah diastolik atau TTD
(suara mulai menghilang).
f. Pengukuran TD harus dilakukan
pada lengan (arteri brakhialis) kanan
dan kiri, setidaknya pernah dilakukan
walaupun sekali saja. Normal antara
kanan dan kiri terdapat perbedaan 5-
10 mmHg. Bila ada perbedaan > 10-
15 mmHg perlu dicurigai adanya
kompresi atau obstruksi arteri pada
sisi yang TD-nya lebih rendah.
g. Pada penderita yang mendapat obat
antihipertensi dan ada riwayat
pingsan atau postural dizziness, atau
pada penderita dengan dugaan
hipovolemik. TD diukur pada posisi
tidur, duduk, dan berdiri (kecuali ada
kontraindikasi). Normal dari posisi
horizontal ke posisi berdiri akan
menyebabkan TDS sedikit menurun
atau tidak berubah dan TDD sedikit
meningkat. Bila saat berdiri TDS
turun & 20 mmHg, apalagi disertai
adanya keluhan, menunjukan adanya
hipotensi ortostatik (postural). TDD
juga bisa turun. Penyebabnya adalah
obat, hipovolemia, terlalu lama tirah
baring dan gangguan sistem saraf
otonom perifer.
8. Faktor Resiko
Seseorang yang menderita hipertensi akan memiliki
penderitaan yang lebih berat lagi jika semakin banyak faktor risiko
yang menyertai. Hampir 90% penderita hipertensi tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti.
Para ahli mernbagi dua kelompok faktor risiko pemicu
timbulnya hipertensi, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol dan
faktor yang dapat dikontrol.
1) Faktor yang tidak dapat dikontrol
a) Keturunan
Sekitar 70-80% penderita hipertensi
esensial ditemukan riwayat hipertensi di
dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi
didapatkan pada kedua orang tua maka
dugaan hipertensi esensial lebih besar.
Hipertensi juga banyak dijumpai pada
penderita yang kembar onozigot (satu telur)
apabila salah satunya menderita hipertensi.
Dugaan menyokong bahwa faktor genetik
mempunyai peran dalam terjadinya
hipertensi.
b) Jenis Kelamin
Hipertensi lebih mudah rnenyerang
kaum perempuan dari pada laki-laki. Hal itu
kemungkinan karena perempuan memiliki
faktor pendorong terjadinya hipertensi,
seperti stres, kelelahan, dan makan tidak
terkontrol, adapun hipertensi pada
perempuan peningkatan risiko terjadi setelah
masa menopause (sekitar 45 tahun).
c) Umur
Pada umumnya, hipertensi menyerang pria
pada usia diatas 31 tahun, sedangkan pada
wanita terjadi setelah usia 45 tahun
(menopause) (Dalimartha, 2012).
2) Faktor yang dapat dikontrol
a) Kegemukan
Berdasarkan penyelidikan,
kegemukan merupakan ciri khas dari
populasi hipertensi. Telah dibuktikan pula
bahwa faktor ini mempunyai kaitan erat
dengan terjadinya hipertensi di kemudian
hari. Dijelaskan bahwa hubungan antara
obesitas dan hipertensi, membuktikan bahwa
daya pompa jantung dan sirkulasi volume
darah penderita obesitas dengan hipertensi
lebih tinggi dibandingkan dengan penderita
hipertensi dengan berat badan normal.
b) Konsumsi garam berlebih
Garam mempunyai sifat menahan
air. Konsumsi garam yang berlebihan
dengan sendirinya akan menaikkan tekanan
darah. Sebaiknya hindari pemakaian garam
yang berlebihan atau makanan yang
diasinkan. Hal itu tidak berarti
menghentikan pemakaian garam sama sekali
dalam makanan. Namun, sebaiknya
penggunaan garam dibatasi seperlunya saja.
c) Kurang olahraga
Olahraga isotonik, seperti bersepeda,
jogging, dan aerobik yang teratur dapat
memperlancar peredaran darah sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. orang
yang kurang aktif berorahraga pada
umumnya cenderung mengalami
kegemukan. Olahraga juga dapat
mengurangi atau mencegah obesitas serta
mengurangi asupan garam ke dalam tubuh.
Garam akan keluar dari dalam tubuh
bersama keringat.
d) Merokok dan konsumsi alkohol
Hipertensi juga dirangsang oleh
adanya nikotin dalam batang rokok yang
dihisap seseorang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nikotin dapat
meningkatkan penggumpalan darah dalam
pembuluh darah. selain itu, nikotin juga
dapat rnenyebabkan terjadinya pengapuran
pada dinding pembuluh darah. Efek dari
konsumsi alkohol juga merangsang
hipertensi karena adanya peningkatan
sintesis katekholamin yang dalam jumlah
besar dapat memicu kenaikan tekanan darah.
(Dalimartha, 2012).
9. Pencegahan Hipertensi
Dalam rangka pencegahan atas hipertensi, segala kegiatan
hidup haruslah dalam proses pengawasan. Khususnya kegiatan
sehari-hari keluarga, sehingga tidak sampai harus melakukan
berbagai hal yang terlalu serius. Karena pola kehidupan sehari-hari
jika mendapatkan perhatian serius dari keluarga, maka upaya
preventif dalam pencegahan hipertensi bisa dilakukan dengan baik.
Ada beberapa hal berikut ini menurut Muhammadun (2010) yang
bisa kita perhatikan dalam rangka mencegah hipertensi.
1) Pencegahan dengan olahraga yang cukup
Olahraga yang dianjurkan bagi orang yang
resiko tinggi terkena hipertensi adalah :
a. Aerobik, meliputi jalan santai,
jogging, lari, bersepeda, renag secara
teratur
b. Olahraga rileks seperti yoga dan
meditasi
2) Pencegahan dengan tidak merokok
3) Pencegahan dengan tidak minum alkohol
Hipertensi dapat dihindari dengan tidak
mengkonsumsi minuman yang mengandung
alkohol. Minuman beralkohol banyak macamnya,
baik yang dibuat oleh pabrik maupun yang dibuat
secara tradisional. Semuanya akan membahayakan
bagi penderita hipertensi. Oleh karena itu,
hindarilah minum-minuman yang beralkohol. Selain
minuman, alkohol dapat pula terkandung dalam
makanan seperti tape dan brem. Hindarilah minum
air tape. Hindarilah hipertensi dengan tidak pernah
mencoba minum alkohol. Hentikan sedini mungkin,
bagi yang pernah atau sedang meminumnya.
4) Pencegahan dengan istirahat yang cukup
Istirahat dapat mengurangi ketegangan dan
kelelahan otot bekerja sehingga mengembalikan
kesegaran tubuh dan pikiran. Istirahat dengan posisi
badan berbaring dapat mengembalikan aliran darah
ke otak. Berusahalah untuk beristirahat setelah
beberapa saat melakukan kesibukan rutinitas.
Cara lain untuk mengurangi stres adalah
dengan hipnoterapi, pijat, refleksi. Kunjungi
psikolog untuk membantu memecahkan masalah,
jika stres teriadi karena adanya masalah yang rumit.
5) Pencegahan dengan cara medis
Pengobatan bagi pendetita hipertensi dapat
dilakukan dengan cara medis melalui
dokter dan tenaga para medis lainnya, serta cara
tradisional dengan memanfaatkan ramuan dan terapi
yang ada secara turun temurun dalam masyarakat.
Bagi orang yang memiliki resiko tinggi
terkena hipertensi, lakukanlah pemeriksaan diri ke
dokter secara berkala. Mencegah lebih baik dan
lebih mudahi dari pada mengobati. Pengobatan
hipertensi harus menurut petunjuk dokter. Jangan
minum obat tanpa petunjuk dari dokter, karena
dapat menimbulkan kekebalan terhadap obat
tertentu dan kerusakan ginjal.
Obat yung dapat digunakan pada penderita
hipertensi di antaranya menggunakan obat untuk
memperlebar pembuluh darah (vasodilator), obat
yang mengubah kecepatan kontraksi otot jantung,
obat untuk menurunkan tekanan darah
(antihipertensi), obat pelancar air seni (diuretic)
agar sisa metabolisme yang ada dalam darah keluar
bersama urine, sehingga darah tidak terlalu kental
(Muhammadun, 2010).
6) Pencegahan dengan cara tradisional
Banyak ramuan tradisional yang dipercaya
dapat menurunkan tekanan darah.
Beberapa ramuan sudah diteliti secara laboratoris.
Contoh bahan yang berkhasiat menurunkan tekanan
darah : cincau hijau, daun dan buah alpukat,
mengkudu masak (pace), mentimun, daun seledri,
daun selada air, bawang putih, daun dan buah
belimbing bintang, buah belimbing wuluh, daun
tapak dara, akar pepaya, rambut jagung serta adas
pulowaras. Jika tekanan darah sudah kembali
normal, dapat dihentikan pemakaiannya. Pemakaian
berlebihan dapat menurunkan tekanan darah di
bawah normal. Cara tradisional yang dapat
menurunkan tekanan darah (pijatan) dan akupuntur
pada tempat tertentu.
7) Pencegahan dengan mengatur pola makan
Perbanyaklah minum air putih. Cara makan
yang baik adalah sdikit-sedikit tetapi
sering, bukan makan banyak tetapi jarang.
Kandungan zat dalam menu makanan juga harus
diperhatikan, meliputi:
a) Kurangi minum minuman yang mengandung
soda, minuman kaleng dan botol. Minuman
bersoda dan mengandung bahan pengawet
banyak mengandung sodium (Natrium).
b) Kurangi makan daging, ikan, kerang
kepiting dan susu, camilan/snack yang asin
dan gurih.
c) Hindari makan makanan ikan asin, telur
asin, otak, vetsin (Monosodium
glutamate/MSG), soda kue, jeroan, sarden,
udang dan cumi-cumi.
d) Hindari makanan yang dianjurkan seperti
sayuran segar, buah segar, tempe, tahu,
kacang-kacangan, ayam dan telur.
e) Diet rendah kolesterol. Makanan yang
dimakan sebaiknya mengandung lemak baik
(meningkatkan HDL) dan sedikit
mengandung lemak jahat seperti kolesterol
(menurunkan LDL) (Muhammadun, 2010).
10. Pengobatan Hipertensi
Menurut Susyanti (2012), pengobatan hipertensi dibagi
menjadi dua, antara lain:
1) Pengobatan non farmakologi.
a. Makan sedikit garam
b. Pengendalian berat badan
c. Pengendalian minum alkohol
d. Melakukan olahraga
2) Pengobatan farmakologi
a) Thiazide diuretik
b) Beta-blocker
c) Penghambat saluran kalsium
d) Penghambat ACE
e) Alpha-blocker
f) Antagonis reseptor angiostensin

II. Lansia
1. Batasan-batasan Lansia
Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini
dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2
(Nugroho, 2008). Beberapa pendapat para ahli tentang
batasan usia adalah sebagai berikut :
1) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada
empat tahapan yaitu :
a) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59
tahun
b) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
2) Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) lanjut
usia dikelompokan menjadi usia lanjut(60-69 tahun)
dan usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih dari 70
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan)
2. Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :
1) Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59
tahun
2) Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau
lebih
3) Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan
4) Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat
menghasilkan barang atau jasa
5) Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak
berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.

III. Indeks Massa Tubuh


1. Definisi Indeks massa tubuh

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)


merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa, 2013).
Indeks Massa Tubuh didefinisikan sebagai berat badan
seseorang dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam
meter (kg/m2) (Irianto, 2017). Penggunaan rumus ini hanya
dapat diterapkan pada seorang dengan usia 18 hingga 70 tahun,
dengan struktur tulang belakang normal, bukan atlet atau
binaragawan, dan bukan ibu hamil atau menyusui. Pengukuran
IMT dapat digunakan terutama jika pengukuran tebal lipatan
kulit tidak dapat dilakukan atau nilai bakunya tidak tersedia
(Arisman, 2011)

. Komponen dari Indeks Massa Tubuh terdiri dari tinggi


badan dan berat badan. Tinggi badan diukur dengan keadaan
berdiri tegak lurus, tanpa menggunakan alas kaki, kedua tangan
merapat ke badan, punggung menempel pada dinding serta
pandangan diarahkan ke depan. Lengan tergantung relaks di
samping badan dan bagian pengukur yang dapat bergerak
disejajarkan dengan bagian teratas kepala (vertex) dan harus
diperkuat pada rambut kepala yang tebal, sedangkan berat
badan diukur dengan posisi berdiri diatas timbangan berat
badan (Arisman, 2011)

Indeks Massa Tubuh (IMT) pada setiap orang berbeda-


beda, faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Massa Tubuh
(IMT) diantaranya:
a. usia
Usia mempengaruhi Indeks Massa Tubuh (IMT)
karena semakin bertambahnya usia manusia cenderung
jarang melakukan olahraga. Ketika seseorang jarang
melakukan olahraga, maka berat badannya cenderung
meningkat sehingga mempengaruhi Indeks Massa
Tubuh (IMT) (Ramadhani, 2013).
b. Pola makan
Pola makan adalah pengulangan susunan makanan
yang terjadi saat makan. Pola makan berkenaan dengan
jenis, proporsi dan kombinasi makanan yang dimakan
oleh seorang individu, masyarakat atau sekelompok
populasi. Makanan cepat saji berkontribusi terhadap
peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) seseorang, ini
terjadi karena kandungan lemak dan gula yang tinggi
pada makanan cepat saji. Selain makanan cepat saji,
peningkatan porsi dan frekuensi makan berpengaruh
terhadap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Orang yang mengonsumsi makanan tinggi lemak lebih
cepat mengalami peningkatan berat badan dibandingkan
orang yang mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat
dengan jnumlah kalori yang sama (Abramowitz, 2014).
c. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang
disebabkan oleh kontraksi otot yang menghasilkan
energy ekspenditur. Indeks Massa Tubuh (IMT)
berbanding terbalik dengan aktifitas fisik, apabila
aktifitas fisiknya meningkat maka hasil Indeks Massa
Tubuh (IMT) akan semakin normal, dan apabila
aktifitas fisiknya menurun akan meningkatkan Indeks
Massa Tubuh (IMT) (Ramadhani, 2013).
d. jenis kelamin
IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih
banyak ditemukan pada laki-laki. Namun angka
obesitas lebih tinggi ditemukan pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. Distribusi lemak tubuh
juga berbeda antara lemak wanita dan pria, pria lebih
sering menderita obesitas viscelar dibanding wanita
(Asil, E dkk., 2014)
Menurut Arisman (2011) rumus untuk menghitung Indeks
Massa Tubuh (IMT) adalah sebagai berikut:

Menurut Sugondo kemenkes RI hasil dari penghitungan


Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat diklasifikasikan bedasarkan
klasifikasi kurus, normal, berat badan lebih dan
obesitas.dengan rentang angka sebagai berikut

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)


(kg/m2)
Kurus IMT < 18,5
Normal IMT ≥18,5 - <24.9
Berat badan berlebih IMT ≥25,0 - <27
Obesitas IMT ≥27,0
Sumber : Kemenkes,2013

Indeks Massa Tubuh sebagai salah satu indeks


anthropometri memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
Indeks Massa Tubuh diantaranya adalah pengukurannya yang
mudah dilakukan dan dapat menentukan kekurangan dan
kelebihan berat badan. Kekurangan dari Indeks Massa Tubuh
itu sendiri adalah hanya dapat digunakan untuk memantau
status gizi orang dewasa dengan usia lebih dari 18 tahun, tidak
dapat diterapkan pada bayi, anak remaja, ibu hamil dan
olahragawan, serta tidak dapat digunakan untuk menentukan
status gizi bagi orang yang menderita sakit edema, asites dan
hepatomegali.
B. Penelitian Terkait

No Peneliti (tahun) Judul Hasil Penelitian


1. CLAUDYANTIKA KOES HUBUNGAN Kesimpulan analisis data
FIERORA (2014) INDEKS MASSA secara statistik terhadap
TUBUH DENGAN indeks massa tubuh dan
TEKANAN DARAH tekanan darah diperoleh
di AGUNG FITNESS kesimpulan: bahwa hasil
SYARIAH dari uji chi-square
SURAKARTA dengan hasil 164,091 <
0,05 artinya bahwa
terdapat hubungan
antara indeks massa
tubuh dengan tekanan
darah.
2. FENTI UMAMI (2017) HUBUNGAN Ada Hubungan Indeks
INDEKS MASSA Massa Tubuh Dengan
TUBUH DENGAN Hipertensi Pada Pra
HIPERTENSI PADA lansia Usia 45-55 Tahun
PRA LANSIA USIA di Kelurahan Kaliwungu
45-55 TAHUN Kecamatan Jombang
Kabupaten Jombang.
3. HAYYU SARI HUBUNGAN Terdapat hubungan
ESTININGSIH (2012) INDEKS MASSA antara indeks massa
TUBUH DAN tubuh terhadap kejadian
FAKTOR LAIN hipertensi
DENGAN pada usia 18 – 44 tahun
KEJADIAN di Kelurahan Sukamaju
HIPERTENSI PADA Depok tahun 2012.
KELOMPOK USIA
18-44 TAHUN DI
KELURAHAN
SUKAMAJU
DEPOK TAHUN
2012
4. SITI ARDANIA HUBUNGAN Ada hubungan Indeks
INDEKS MASSA Massa Tubuh dengan
TUBUH DENGAN Tekanan Darah pada
TEKANAN DARAH masyarakat
PADA di Kelurahan Pakuncen
MASYARAKAT Wirobrajan Yogyakarta
DIKELURAHAN dengan tingkat keeratan
PAKUNCEN rendah.
WIROBRAJAN
YOGYAKARTA

C. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap
kejadian hipertensi

Faktor-faktor yang tidak Faktor-faktor yang dapat


dapat di kontrol: di kontrol:

Pola Makan
usia

Aktivitas
Jenis kelamin
Fisik
Hipertensi Kebiasaan Merokok
Etnis

Konsumsi Alkohol
Riwayat Keluarga

Konsumsi Kafein

Keadaan Stress

Faktor Penyakit Lain

Status Gizi
D. Hipotesis Kerja
semakin meningkat indeks massa tubuh pada pasien
hipertensi usia lansia di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada
bulan X hingga X 202X maka tekanan darah pada pasien tersebut
juga akan meningkat.

Anda mungkin juga menyukai