Penemuan Batu Rosetta terhitung signifikan bagi studi atas kebudayaan-kebudayaan kuno.
Tulisan pada permukaannya diduga merupakan karya kaum pendeta Memphis. Isinya adalah
puji-pujian terhadap Ptolemy V, raja Mesir periode 204-181 SM.
16 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
Yang menarik adalah, seluruh tulisan itu dibuat dalam dua bahasa, yakni Mesir dan Yunani,
dengan memakai tiga abjad yang berbeda, yaitu Hi-eroglif, Demotik (keduanya dari Mesir
Kuno), dan Yunani. Oleh karena itu, penemuan Batu Rosetta amat membantu proses
penerjemahan prasasti-prasasti Mesir Kuno, yang sampai saat itu belum bisa dilakukan.
Dua orang ilmuwan berjasa dalam membongkar makna tulisan yang tergurat pada Batu
Rosetta.Mereka adalah Thomas Young (meninggal 1829) dari Inggris dan Jean-Francois
Champollion (meninggal 1832) dari Prancis. Setelah Prancis hengkang dari Mesir pada 1801,
benda yang tak ternilai harganya itu menjadi milik Kerajaan Inggris.
Sampai saat ini, Batu Rosetta dapat dilihat di ruang pameran British Museum, London.
Sepanjang abad ke-19, Iskandariah tidak jauh berbeda daripada kota-kota di Mesir.
Bilangan Hieroglif
Awal mula Hieroglif ditemukan pada dinding Kuil di Mesir sehingga diyakini memiliki nilai
keagamaan, oleh karena itu disebut “hieroglyphics” yang berarti “tulisan suci”. Kenyataan
yang terjadi adalah dalam hieroglif banyak berisikan sistem bilangan. Terdapat simbol-
simbol untuk satuan, puluhan, ratusan, dan semua perpangkatan dari sepuluh hingga satu
juta.
Gambar 4.2. Hieroglif yang ditulis dari atas kebawah, kanan ke kiri
Untuk mewakili suatu bilangan, simbol-simbol yang ditampilkan dalam gambar 4.2 bileh
diulang sebanyak yang diperlukan. Contoh pada penulisan 231 maka akan dituliskan:
17 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
Perhatikan bahwa ketika bilangan yang mengandung terlalu banyak simbol “bagian”,
ditempatkan di atas bilangan bulat, seperti dalam 1/249, maka simbol “bagian” ditempatkan
di atas “bagian pertama” bilangan. Symbol diletakkan di atas bagian pertama karena
bilangan ini dibaca dari kanan ke kiri.
Kita harus menunjukkan bahwa hieroglif tidak tetap sama sepanjang dua ribu tahun atau
lebih dari peradaban Mesir kuno. Peradaban ini dipecah menjadi tiga periode berbeda:
Kerajaan tua – sekitar 2700 SM sampai 2200 SM
Bukti dari penggunaan matematika di Kerajaan tua adalah langka, tapi dapat
disimpulkan dari contoh catatan pada satu tembok dekat mastaba di Meidum yang
memberikan petunjuk untuk kemiringan lereng dari mastaba. Garis pada diagram
diberi jarak satu cubit dan memperlihatkan penggunaan dari unit dari pengukuran.
Kerajaan Tengah – sekitar 2100 SM sampai 1700 SM
Dokumen matematis paling awal yang benar tertanggal antara dinasti ke-12.
Papirus Matematis Rhind yang tertanggal pada Periode Perantara (ca 1650 BC)
berdasarkan satu teks matematis tua dari dinasti ke-12. Papyrus Matematis Moscow
dan papyrus Matematis Rhind adalah teks masalah matematis. Terdiri dari satu
koleksi masalah dengan solusi. Teksini mungkin telah ditulis oleh seorang guru atau
satu murid yang terlibat dalam pemecahan masalah matematika.
Kerajaan Baru – sekitar 1600 SM sampai 1000 SM
Selama Kerajaan Baru masalah matematis disebutkan pada Papyrus Anastasi 1, dan
Wilbour Papyrus dari waktu Ramesses III mencatat pengukuran lahan. Angka
hieroglif agak berbeda dalam periode yang berbeda, namun secara umum
mempunyai style serupa. Sistem bilangan lain yang digunakan orang Mesir setelah
penemuan tulisan di papirus, terdiri dari angka hieratic. Seperti hieroglif, simbol
hieratic berubah dari waktu ke waktu tetapi mereka mengalami perubahan lagi
dengan enam periode yang berbeda. Awalnya simbol-simbol yang digunakan cukup
dekat hubungannya dengan tulisan hieroglif namun bentuknya menyimpang dari
waktu ke waktu. Versi yang diperlihatkan dari angka hieratic dari sekitar 1800 SM.
Kedua system berjalan secara parallel selama sekitar 2000 tahun dengan simbol
hieratic yang digunakan dalam menulis di papirus, seperti misalnya dalam papyrus
Rhind dan papyrus Moskow, sementara hieroglif terus digunakan ketika dipahat
pada batu.
18 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
hieratik oleh penulis Ahmes. Papirus Rhind adalah manual instruksi bagi pelajar aritmetika
dan geometri termasuk didalamnya perkalian dan pembagian.
Metode perkalian Mesir dalam Papirus Rhind cukup pintar, tapi bisa memakan waktu lebih
lama daripada metode modern. Ini adalah bagaimana mereka mencari 13 x 12:
Caranya: Cari di tabel kiri yang di jumlahkan hasilnya 13 kemudian di tandai dengan tanda *,
kemudian jumlahkan bagian tabel kanan yang sudah ditandai * di table sebelah kiri. sehingga
hasil jumlah di table kanan itulah yang merupakan hasil kali dari 13 x 12 = 156.
Cara mereka melakukan pembagian sama dengan perkalian mereka. Untuk masalah 98/7,
mereka berpikir masalah ini sebagai 7 kali beberapa nomor sama dengan 98. Sekali lagi
masalah itu bekerja di kolom.
2 + 4 + 8 = 14 14 + 28 + 56 = 98
Kali ini angka di kolom kanan ditandai jumlah yang ke 98 maka angka yang sesuai di kolom
kiri dijumlahkan untuk mendapatkan hasil bagi.
19 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
diheptagonal. Proyek Piramida Cherpen dan Khufu menggunakan metode pengukuran dan
nilai esoteric yang berbeda. Tahukah bahwa Pythagoras memperoleh pengetahuan itu dari
orang Mesir Kuno? Saat masih muda, Pythagoras berguru kepada Thales (salah satu orang
paling bijaksana di Athena), dan sang guru menyarankan Phytagoras muda pergi ke Mesir
untuk belajar matematika.
Dari pengamatan Pythagoras melihat orang-orang Mesir menggunakan mistar dan tali
pembanding untuk menghitung tinggi bangunan - maka ia terinspirasi untuk membuat
hukum matematika untuk menghitung tinggi dan sisi miring segitiga siku-siku. Dari
kunjungan ke Mesir itulah Pythagoras lalu memperkenalkan prinsip yang kita kenal dengan
hukum Pythagoras.
Penyelidikan-penyelidikan yang baru agaknya menunjukkan bahwa orang Mesir Kuno
mengetahui bahwa luas setiap segitiga ditentukan oleh hasil kali alas dan tinggi. Beberapa
soal nampaknya membahas cotangent dari sudut dihedral antara alas dari sebuah
permukaan piramida, dan beberapa lagi menunjukkan perbandingan.
Pada Masa Mesir Kuno penggunaan Matematika khususnya Geometri hanya digunakan
secara praktis. Pada saat itu geometri hanya digunakan untuk keperluan yang sangat
mendasar yaitu pemantauan ukuran tanah milik penduduk untuk keperluan pemungutan
pajak. Hal ini dilakukan karena setiap tahunnya terjadi luapan dari Sungai Nil, sehingga
kepemilikan tanah oleh penduduk perlu dipantau, atau diukur ulang.
Pada saat itu pengukuran hanya menggunakan tali yang direntangkan. Selain itu, untuk
menentukan luas-luas dan volume-volume dari berbagai bangun datar dan bangun ruang
merupakan hasil dari trial and error, mereka mendasari perhitungannya dari sebuah fakta
tanpa harus membuktikan secara deduktif. Rumusan yang diperoleh hanya mempunyai nilai
pendekatan dan pada saat itu telah mencukupi dan diterima untuk keperluan praktis pada
kehidupan masa itu. Sehingga pada Mesir Kuno Geometri berkembang tidak jauh dari
tingkatan intuitif belaka, dimana pengukuran-pengukuran objek nyata adalah sasaran utama
dari penggunaannya.
Tahun 1650 SM, orang-orang Mesir Kuno menemukan nilai phi yaitu 3,16. Sumber informasi
matematika Mesir Kuno adalah Papyrus Moskow dan Papyrus Rhind. Papyrus Moskow
berukuran tinggi 8 cm dan lebar 540 cm sedangkan Papyrus Rhind memiliki tinggi 33 cm dan
lebar 565 cm. Dari 100 soal-soal dalam lembaran Papyrus Moskow dan Rhind terdapat 26
soal bersifat geometris. sebagian besar dari soal-soal tersebut berasal dari rumus-rumus
pengukuran yang diperlukan untuk menghitung luas tanah dan isi lumbug padi-padian.
Luas sebuah lingkaran dipandang sama dengan kuadrat 8/9 kali garis tengahnya. Orang
Mesir Kuno telah menemukan nilai π yaitu 3,16.
4. Tinjauan Sifat Matematika Mesir Kuno
Matematika Mesir pada dasarnya “bersifat penjumlahan”, berarti bahwa kecenderungan
matematikanya adalah menurunkan perkalian dan pembagian menjadi penjumlahan
berulang. Perkalian dari dua bilangan dapat diselesaikan dengan cara menggandakan secara
berurutan salah satu dari bilangan-bilangan tersebut dan kemudian menambahkan
pengulangan yang sesuai untuk memperoleh hasil kalinya. Metode perkalian dengan cara
menggandakan dan menjumlahkan dapat bekerja secara baik karena setiap bilangan bulat
(positif) dapat ditunjukkan sebagai jumlah perpangkatan berbeda dari 2; yaitu, seperti
jumlah suku-suku dari barisan, 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya. Dalam hal lainnya,
pembagian yang dilakukan oleh bangsa Mesir dapat dimaknai sebagai proses perkalian yang
20 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
dibalikkan----pembagi digunakan secara berulang untuk memperoleh hasil baginya. Saat
para matematikawan Mesir Kuno menghitung dengan pecahan, mereka hanya
menggunakan apa yang disebut sebagai pecahan-pecahan satuan; yaitu pecahan-pecahan
1
dengan bentuk 𝑛 , dimana n adalah bilangan asli.
Dengan melihat naskah-naskah metematika bangsa Mesir Kuno secarakeseluruhan, kita
akan temukan bahwa naskah-naskah tersebut hanyalah kumpulan permasalhan praktis dari
persoalan-persoalan yang terkait perdagangan dan transaksi administratif. Pengajaran seni
perhitungan muncul sebagai unsur utama dalam permasalahan-permasalahan tersebut.
Segala sesuatu dinyatakan dalam istilah-istilah bilangan khusus, dan tidak terdapat jejak dari
apapun yang pantas disebut sebagai teorema atau aturan umum dari suatu prosedur. Jika
kriteria untuk matematika keilmuan adlah keberadaan konsep bukti, maka bangsa Mesir
Kuno membatasi diri mereka pada “aritmetika terapan”.
Barangkali, penjelasan terbaik tentang mengapa bangsa Mesir Kuno tidak pernah melangkah
keseberang tingkat yang relatif primitif ini adalah karena mereka memiliki gagasan yang
alami, tetapi tidak menguntungkan, untuk hanya menggunakan pecahan-pecahan dengan
pembilang satu. Oleh karena itu, bahkan perhitungan-perhitungan paling sederhana
sekalipun menjadi lamban dan sukar untuk dilakukan. Kita sukar katakan apakah simbolisme
mereka memang tidak memungkinkan penggunaan pecahan dengan pembilang-pembilang
lain, ataukah penggunaan eksklusif pembilang satuan itu yang telah menjadi alasan untuk
simbolisme yang mereka gunakan. Penanganan pecahan-pecahan selalu menjadi seni yang
istimewa dalam metamatika Mesir Kuno, dan hal itu tampaknya dapat dijelaskan sebagai
penghambat bagi prosedur-prosedur numerik.
Seperti halnya dibuktikan oleh Papirus Akhmin(nama ini diambil dari nama kota dibagian
atas Sungai Nil, tempat Papirus tersebut ditemukan), tampak bahwa metode-metode dari
penulis Ahmes masih tetap berlaku sampai bebrapa abad kemudian. Dokumen ini, ditulis
dalam bahasa Yunani sekitar tahun 500 hingga 800 M, hampir mirip dengan Papirus Rhind.
Penulisnya, seperti pendahulunya yaitu Ahmes dari zaman kuno, menuliskan tabel-tabel
pecahan yang diuraikan kedalam pecahan-pecahan satuan. Mengapa matematika Mesir
masih tetap sedemikian sama selama lebih dari 2000 tahun? Salah satu jawaban yang
mungkin adalah karena bangsa Mesir Kuno memasukkan temuan-temuan mereka kedalam
buku suci, sehingga pada masa-masa selanjutnya orang akan dianggap mengingkari kesucian
agama jika mengubah metode atau hasil yang tercantum disana. Apapun penjelasannya,
pencapaian matematis yang dilakukan Ahmes adalah hasil kerja keras dari para pendahulu
dan tentu jyga para penerusnya.
21 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
SM 'Old Babel' atau OB merupakan supremasi kota utara Babel bawah (Akkadia) dan
memiliki teks-teks matematika yang paling canggih.
2. Sistem Bilangan Bangsa Babilonia Kuno
Tulisan Paku
Tulisan dan angka bangsa Babilonia sering juga disebut sabagai tulisan paku karena
bentuknya seperti paku. Orang Babilonia menulisakan huruf paku menggunakan tongkat
yang berbentuk segitiga yang memanjang (prisma segitiga) dengan cara menekannya pada
lempeng tanah liat yang masih basah sehingga menghasilkan cekungan segitiga yang
meruncing menyerupai gambar paku.
Babilonia menggunakan satu untuk mewakili satu, dua untuk mewakili dua, tiga untuk tiga,
dan seterusnya, sampai sembilan. Namun, mereka cenderung untuk mengatur simbol-
simbol ke dalam tumpukan rapi. Setelah mereka sampai kesepuluh, ada terlalu banyak
simbol, sehingga mereka berpaling untuk membuat simbol yang berbeda. Sebelas itu
sepuluh dan satu, dua belas itu sepuluh dan dua, dua puluh itu sepuluh dan sepuluh. Untuk
simbol enam puluh tampaknya persis sama dengan yang satu. Enam puluh satu adalah enam
puluh dan satu, yang karenanya terlihat seperti satu dan satu, dan seterusnya.
Seksagesimal
Matematika Babylonia ditulis menggunakan sistem bilangan seksagesimal (basis-60) karena
keunggulanya pada bidang astronomi. Sistem perhitungan berbasis 60 masih ada sampai
sekarang, yakni dengan diturunkannya penggunaan bilangan 60 detik untuk satu menit dan
60 menit untuk satu jam.
Sistem Penulisan
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa notasi numerik bangsa Babilonia menekankan sua
karakter paku. Paku tegak sederhana memiliki nilai 1 dan dapat digunakan sembilan kali,
22 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
sedangkan paku lebar yang menghadap ke samping mewakili 10 dan boleh digunakan
sampai lima kali. Bangsa babilonia menempuh jalur yang sama seperti bangsa Mesir kuno,
membawa bilangan-bilangan lain dari kombinasi simbol-simbol tersebut, masing-msing
digunakan sebanyak yang diperlukan. Saat kedua simbol digunakan bersamaan, simbol-
simbol yang melambangkan puluhan ditempatkan dikiri simbol-simbol satuan, berikut
ilustrasinya pada sistem Seksagesimal:
23 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
Teorema Pythagoras
Telah diuji empat papan tulis suku Babylon yang semuanya memiliki hubungan dengan
teorema pythagoras. Suku Babylon sangat mengenal teorema Pythagoras. Suku Babylon
menggunakan suatu metode yang ekuivalen dengan metode suku Heron. Analisinya adalah
bahwa mereka memulainya dengan suatu perkiraan, katakanlah x. Mereka kemudian
menemukan bahwa e = x2 - 2.
24 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a
permasalahan numerik yang berkaitan erat, beserta perhitungan dan jawaban-jawaban
terkaitnya; teks semacam ini seringkali ditutup dengan kata-kata: “demikian prosedurnya.”
Meski tidak satupun dari tablet-tablet tersebut menunjukkan aturan-aturan umum, tetapi
konsistensi dalam hal bagaimana masalah-masalah diselesaikan menunjukkan kepada kita
bahwa bangsa Babilonia, tidak seperi bangsa Mesir, memiliki sejenis pendekatan teoritis
terhadap matematika. Permasalahan-permasalahan tersebut seringkali tampak seperti
latihan pikiran, bukan hanya sebentuk risalah survei atau catatan transaksi perdagangan,
dan permasalahan-permasalahan itupun mengisyaratkan suatu ketertarikan abstrak
terhadap relasi-relasi numerik.
25 | M a t e m a t i k a A w a l P e r a d a b a n M a n u s i a