Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

SEJARAH ISLAM

“KHILAFAH ABBASYIAH”

Dosen Pengajar :

Agung Nugroho, M.Si, M.Pd.I

Disusun Oleh :

ALAMSYAH GITA WARDHANA

2008010211

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN

MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARY

BANJARMASIN
“KHILAFAH ABBASYIAH”
(132 H/750 M-656 H/1258 M)
Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: ‫العباسية الخالفة‬,al-khilāfah al-‘abbāsīyyah ) atau Bani Abbasiyah
(Arab: ‫العباسيون‬a, l-‘abbāsīyyūn ) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam
sebagai pusat pengetahuan dunia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani
Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk
kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-
Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa
mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama
tiga abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan
bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk.
Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk
menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan.
Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan
Ifriqiya kepada Aghlabiyyah dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan
serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.

Umayyah-Abbasyiah

• Pengaruh Arab : Pengaruh unsur non

Arab (Persia dan Turki)

• Ekspansi : Pengaruh unsur non Arab (Persia dan Turki)

Pembentukan kebudayaan dan peradaban Islam Ada jabatan wazir

Tentara professional.

Karakteristik Abbasyiah

• Bahasa Arab sebagai bahasa administrasi,


diplomasi, ilmu pengetahuan dan filsafat

• Terjadi kontak Islam dengan kebudayaan Barat

(Yunani Klasik) yang terdapat di Mesir, Suria,

Mesopotamia, dan Persia.

• Masa gilang gemilang; pengaruh al-Qur’an yang

menghargai kekuatan akal.

Ilmuan-ilmuan Islam

Bukan hanya ilmu umum tetapi juga agama yaitu :


• Al-Fazari (VIII H) dan al-Fargani : astronomi
• Ibnu Haitam (X H) : optika
• Jabir bin Hayyan : Ilmu Kimia
• Al-Biruni : Fisika
• Al-Mas’udi : Geografi
• Al-Razi : Kedokteran; pengarang buku tentang
• cacar/campak yang dicetak sampai 40 kali dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
Inggris dan bahasa Eropa lainnya.
• Ibnu Sina (980-1037 M) : Kedokteran
• Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd : Filsafat
• Bukhari dan Muslim (IX M) : Hadis
• Malik bin Anas (713-795 M), Syafii (767-820) M, Abu
• Hanifah (700-767 M) dan Ahmad bin Hanbal

(780-855 M) : Fikih

• Al-Thabari : Tafsir
• Ibnu Hisyam, Ibn Sa’d : Sejarah
• Washil bin ‘Atha, Al-Asy’ari, dll. : ilmu kala

Disini Saya akan membahas tentang salah satu Khilafah yang bernama” Al-Fazari (VIII
H) dan al-Fargani”
“Al-Fazari (VIII H) dan al-Fargani : Astronomi”

Muhammad ibnu Ibrahim al-Fazari menyumbang peran. Terutama dalam perkembangan


astronomi di masa Abbasiyah. Ilmuwan yang karib disapa al-Fazari ini bahkan disebut-
sebut sebagai salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Di antara sumbangsih
besarnya melalui pemikirannya dan penerjemahan sejumlah literatur asing. Al-Fazari
yang bernama lengkap Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari, belum terdeteksi
tempat kelahirannya. Ada sumber mengatakan orang Arab hijrah ke Persia ada juga
mengatakan orang Persia. Akan tetapi di dalam ensiklopedia ia dikategorikan sebagai
ilmuan Persia. Tanggal kelahirannya juga belum disepakati dan tahun wafatnya ada dua
versi. Yang pertama menganggap ia wafat tahun 796M dan lainnya tahun 806M.
Ia termasuk salahseorang ilmuan muslim abad pertengahan yang menggores sejarah
keilmuan, terutama dengan penemuannya yang sangat menakjubkan, yaitu Astrolabe,
sebuah alat pengukuran secara spesifik dengan menggunakan sistem peralatan tertentu di
dalam menyelesaikan problem yang berhubungan dengan waktu dan posisi matahari,
bulan, dan bintang. Astrolabe sesungguhnya bagian dari astronomi, bidang kajiannya
hampir sama, hanya saja astrolabe lebih spesifik dan dapat dikatakan bagian dari
astronomi dalam arti umum. Astrolabe lebih operasional dan lebih praktis. Astrolabe ini
kemudian dikembangkan di dalam program ilmu computer yang sekarang ini semakin
canggih, seperti Astrolabe Planispheris.

Melalui sejumlah langkah yang ditempuhnya, al-Fazari ikut membawa Muslim berada di
garda depan dalam pengembangan astronomi. Silang pendapat muncul mengenai dari
mana ia berasal. Sejumlah kalangan mengungkapkan al-Fazari mungkin berkebangsaan
Persia. Di sisi lain, beberapa sejarawan pun angkat bicara. Menurut mereka, jika mengacu
pada nama, al-Fazari berasal dari Arab, tetapi mempelajari keahliannya di Persia. Al-
Fazari hidup sekitar abad ke-8, dan menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota
kekhalifahan Abbasiyah.

Filsuf, astronom, serta ahli matematika ini lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayahnya
diketahui bernama Ibrahim al-Fazari, yang dikenal pula sebagai astronom dan ahli
matematika. Sejumlah catatan sejarah menyingkap peran Muhammad al-Fazari pada
masa awal kelahiran tradisi intelektual di kota 1001 malam itu.

Bersama beberapa cendekiawan lainnya, seperti Naubakht, Masha'Allah, dan Umar ibnu
al-Farrukhan al-Tabari. Dia meletakkan dasar-dasar penerapan ilmu pengetahuan di dunia
Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan
besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pun pada bidang astronomi.

Khalifah al-Mansyur merupakan penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian


serius dalam pengkajian astronomi serta astrologi. Khalifah tidak segan mengeluarkan
dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini. Ia mengumpulkan serta mendorong
kaum cendekia Muslim menerjemahkan beragam literatur.

Seperti literatur dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Pada masa itu,
memang terjadi kegairahan luar biasa dalam transfer ilmu pengetahuan. Dalam
pengembangan intelektualitas di Baghdad, sang khalifah menunjuk seorang ahli
astronomi bernama Naubahkh, yang memimpin upaya itu.

Khalifah pernah menulis surat kepada kaisar Bizantium supaya mengirimkan buku-buku
ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus,
pada tahun 772 Masehi, Khalifah al-Mansyur meminta al-Fazari menerjemahkan sebuah
buku tentang astronomi dari India. Judulnya Sindhind, tulisan Brahmaghupta.

Buku luar biasa itu dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama
Mauka, ke Baghdad, dan segera menarik perhatian kaum terpelajar di sana. Al-Fazari
menunaikan tugasnya dengan baik. Bukan tanpa alasan khalifah memberikan amanat
penting itu kepada al-Fazari.

Al-Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya, Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di
Bidang Sains Modern, saat itu telah menguasai astronomi. Maka itu, di bawah arahan
khalifah langsung, dia mampu menerjemahkan serta menyadur teks astronomi India kuno
yang sangat teknis itu.

Kemudian, ia menyematkan judul pada karya terjemahan tersebut, yaitu Zij al sinin al
Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab). Ilmuwan kondang
bernama Yaqub ibnu Tariq juga membantu kerja pengalihbahasaan ini. Gairah dan
kemauan para sarjana Muslim belajar dari tradisi lain menjadi kunci keberhasilan.

Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Tak hanya karena
wawasan astronominya, tapi juga sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Kerja
al-Fazari melalui penerjemahan mengenalkan sistem itu ke dunia Arab untuk pertama
kalinya.

Ada kesinambungan yang berkait kelindan. Tugas yang diawali al-Fazari pada masa
selanjutnya disempurnakan al-Khawarizmi. Al-Fazari menyusun zij atau tabel indeks
kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dengan mengombinasikan penanggalan
India, Kalpa Aharganas, dengan perhitungan tahun Hijriah Arab.

Selain itu, dalam karyanya al-Fazari mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan
dimensinya berdasarkan perhitungan tabel. Ketika kekhalifahan dipangku oleh Khalifah
Harun al-Rasyid, al-Fazari lantas membuat astrolabe pertama di dunia Islam. Di tangan
para pakar, astrolabe menjadi instrumen ilmiah paling penting yang pernah dibuat.

Dengan desain akurat, astrolabe menjadi instrumen penentu posisi pada abad
pertengahan. Benda ini pun merupakan model alam semesta yang bisa digenggam,
sekaligus jam matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam Treatise
in the Astrolabe, menyatakan astrolabe kemudian menjadi alat bantu navigasi utama.

Hanya dalam kurun beberapa tahun setelah diciptakannya astrolabe oleh al-Fazari,
kemajuan astronomi melesat. Instrumen itu memainkan peran signifikan terhadap
pencapaian bidang astronomi umat Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang
astronom bernama al-Sufi berhasil memanfaatkannya dengan baik.

Al-Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan astrolabe dalam berbagai bidang
yang berbeda, seperti astronomi, astrologi, navigasi, survei, penentuan arah kiblat, waktu
shalat, dan penunjuk waktu. Ada karya lain al-Fazari, berupa syair dengan judul Qasida fi
Ilm al-Nujum (Puisi tentang Ilmu Pengetahuan dan Perbintangan).

Pada abad ke-13, karya ini ditemukan kembali oleh penjelajah dan ahli geografi Muslim
bernama Yaqut al-Hamawi dan al-Safadi.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.republika.co.id/berita/qej7a4430/alfazari-astronom-baghdad
https://news.detik.com/berita/d-5108831/al-fazari

Anda mungkin juga menyukai