Baghdad, didirikan oleh Dinasti Abbasiyah oleh Khalifah Abu Ja'far Al-
Mansur (754-775 M) sebagai ibu kora Republik Irak sejak tahun 1932M,
kota-kota terbesar di timur tengah ini merupakan kota metropolis dunia
islam, sekaligus menjadi pusat perdagangan terbesar di Dunia. Kota ini
terletak di tepian sungai Tigris. Masa keemasan kota Baghdad terjadi
pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan
anaknya Al-Makmun (813-833 M). Nama Baghdad sendiri telah dikenal
sebelum islam. Para sejarawan modern cenderung mengakui nama itu
berasal dari bahasa Persia yang berarti "Pemberian Allah" atau dalam
bahasa Inggris "Gift of God".
Berikut ini adalah bukti - bukti peradaban islam di kota Baghdad :
1. Universitas Nizamiyah
3. Karya sastra
Dalam literatur sejarah Islam, Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban
Islam, baik dalam bidang sains, budaya dan sastra. Kemajuan peradaban
ini menghadirkan Baghdad sebagai kota para intelektual, tidak hanya
orang arab yang hadir, bangsa Eropa, Persia, Cina, India serta Afrika
turut hadir mengisi atmosfer pengetahuan disini. Masa kekhalifahan
Abbasiyah ini lah yang dikenal berkembang pesatnya pengetahuan. Pada
masa ini banyak sekali bermunculan intelektual-intelektual muslim baik
dalam bidang ilmu pengetahuan maupun ilmu agama. Dalam masa
kekhalifahan Abbasiyah keadaaan sosial ekonomi pun berkembang
dengan baik. Seperti halnya dalam bidang pertanian maupun
perdagangan. Masyarakat pada masa itu mampu mengatur tatanan
kehidupannya dengan baik, hingga dikenal sebagai negeri masyhur dan
makmur. Pada masa kerajaan Abbasiyah kekuasaan Islam bertambah
luas. Masyarakat dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok khusus dan
kelompok umum, kelompok umum terdiri dari Seniman, ulama, fuqoha,
pujangga, saudagar, pengusaha kaya.
4. Air Zubaidah
Dalam ramah-tamah dengan Korps Wanita Angkatan Bersenjata di Istana
Negara Jakarta, 28 Desember 1965, Presiden Sukarno mengatakan bahwa
perempuan selalu ikut dalam setiap revolusi besar dalam sejarah
manusia. Sukarno menyebut Zubaidah yang membangun aliran air ke
Mekah yang dinamakan “air Zubaidah.” “Revolusi yang diadakan Nabi
Muhammad saw. misalnya, mengenal nama Zubaidah,” kata Sukarno.
Zubaidah (wafat tahun 831) adalah istri paling dicintai Harun al-Rasyid
(memerintah 786-803). Harun salah satu khalifah Dinasti Abbasiyah
yang kerap melaksanakan haji. Dia bersama istri, anak-anak, dan para
fukaha telah sembilan kali naik haji. Jika tidak pergi haji, dia
memberangkatkan 300 orang berhaji dengan dibekali biaya besar dan
pakaian mewah.
5. Jembatan Eufrat
Sungai Eufrat adalah sungai yang terletak di negara Republik Islam Irak.
Didekat sungai Eufrat terdapat sungai Tigris yang memanjang dari
Anatolia, Republik Turki hingga Republik Islam Iran dengan panjang
sekitar 1.900 km. Kedua sungai ini memiliki berbagai peradaban penting
dunia. Peradaban-peradaban yang terletak dikedua sungai ini erat
kaitannya dengan agama abrahamik, yaitu : Kristen, Yahudi dan Islam.
Dalam Kristen dan Yahudi sesuai dengan perjanjian lama (Taurat),
dimana Abraham pernah berpindah dari Ur-Kasdim yang merupakan
reruntuhan kota Ur kuno dari periode peradaban Sumeria ke Haran utara
dari peradaban Mesopotamia ditepi sungai Eufrat. Sedang dalam Islam
merupakan tempat terjadinya Pertempuran Karbala ditepi sungai Eufrat
dimana Imam Huessain beserta keluarga dan sahabat beliau mati
terbunuh.
6. Jam Modern
7. Kuttab
Sebelum Nidzamul Mulk (w. 1092 H/485 H) mendirikan lembaga
pendidikan formal tingkat dasar pertama pada tahun 1066 di kota
Baghdad, umat Islam sudah memiliki tradisi menyelenggarakan
pendidikan untuk anak-anak secara non formal. Kegiatan belajar
mengajar secara non formal dipusatkan di masjid-masjid. Menggunakan
sistem dan metode yang masih sangat sederhana. Pada periode
Abbasiyah, penyelenggaraan sekolah dasar non formal ini memanfaatkan
ruangan di masjid-masjid. Yaitu sebagai sarana belajar membaca
(qira’ah) dan menulis (kitabah) al-Qur’an. Lembaga pendidikan tingkat
dasar non formal yang masih sangat sederhana ini kemudian dikenal
dengan nama Kuttaab. Secara bahasa, kata kuttab berasal dari istilah
Arab, ka-ta-ba, yang berarti “menulis.” Menggunakan pola (wazan)
fu’aal menjadi kuttaab yang secara kharfiah berarti “para penulis.”
Lembaga ini memang bertujuan untuk mengajarkan keterampilan
menulis (kitabah) dan menghasilkan para penulis. Perlu ditegaskan di
sini, yang dimaksud para penulis bukan dalam arti para pengarang kitab-
kitab. Tetapi orang yang memiliki keahlian menulis pada umumnya.
Untuk dapat menulis, secara otomatis, murid-murid yang belajar di
Kuttaab harus dapat membaca (qira’ah).
8. 5 ilmuan Muslim Masa
Abbasiyah
b) Al Khwarizmi
Al Khwarizmi dikenal sebagai ilmuwan muslim lain yang berjasa bagi
ilmu matematika. Ilmuwan yang bernama lengkap Abu Ja'far Muhammad
bin Musa Al-Khwarizmi ini menuliskan pemikirannya dalam sebuah
buku yang menjadi dasar pengembangan aljabar dan algoritma
matematika. Buku yang dimaksud adalah Hisab al-jabr wa al-Muqabala
(The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing).
Dalam bukunya ini, Al-Khwarizmi mengenalkan beragam ilmu
matematika.
c) Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Fazari
Muhammad Ibnu Ibrahim Al -Farazi menyumbang peran. Terutama
dalam perkembangan astronomi di masa Abbasiyah. Ilmuwan yang karib
disapa al-Fazari ini bahkan disebut-sebut sebagai salah satu astronom
paling awal di dunia Islam. Di antara sumbangsih besarnya melalui
pemikirannya dan penerjemahan sejumlah literatur asing. Melalui
sejumlah langkah yang ditempuhnya, al-Fazari ikut membawa Muslim
berada di garda depan dalam pengembangan astronomi.
Al-Fazari adalah seorang ahli astronomi yang dimandati oleh Khalifah
Al-Manshur untuk meenerjemahkan naskah astronomi dari India yang
berjudul Sindhind, tulisan Brahmaghupta.
Hasil terjemahannya itu berjudul Zij al sinin al Arab (Tabel Astronomi
Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab). Al-Fazari menyusun zij atau
tabel indeks kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dengan
mengombinasikan penanggalan India, Kalpa Aharganas, dengan
perhitungan tahun Hijriah Arab. Selain itu, dalam karyanya al-Fazari
mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan dimensinya
berdasarkan perhitungan tabel. Ketika kekhalifahan dipangku oleh
Khalifah Harun al-Rasyid, al-Fazari lantas membuat astrolabe pertama di
dunia Islam. Dengan desain akurat, astrolabe menjadi instrumen penentu
posisi pada abad pertengahan. Hanya dalam kurun beberapa tahun setelah
diciptakannya astrolabe oleh al-Fazari, kemajuan astronomi melesat.
Instrumen itu memainkan peran signifikan terhadap pencapaian bidang
astronomi umat Muslim hingga masa-masa berikutnya.
e) Ibnu Sina
Terakhir, ada Ibnu Sina yang dikenal sebagai The Father of Farmacology
(Bapak Farmakologi) dan Al-Syekh al-Rais al-Thibb (Mahaguru
Kedokteran). Tidak mengherankan sebab, salah satu karyanya yang
terkenal yakni, Al-Qanun fi al- Thibb (The Canon of Medicine) sudah
diterjemahkan dalam 15 bahasa dunia.