Perusahaan menghitung persediaan fisik untuk memverifikasi keakuratan catatan persediaan perpetual
atau jika catatan tidak ada, untuk mengetahui jumlah persediaan yang ada. Namun demikian, terkadang
menghitung persediaan fisik tidaklah praktis. Dalam kasus tersebut, perusahaan menggunakan
pengukuran pengganti untuk memperkirakan persediaan yang ada. Salah satu metode pengganti untuk
memverifikasi atau menentukan jumlah persediaan adalah metode laba bruto ( gross profit method )
atau juga disebut metode margin bruto. Auditor banyak yang menggunakan metode ini dalam situasi di
mana mereka hanya perlu estimasi jumlah persediaan perusahaan ( misalnya, laporan interim ).
Perusahaan juga menggunakan metode ini ketika kebakaran atau bencana lainnya menghancurkan
persediaan atau catatan persediaan. Metode laba bruto bergantung pada tiga asumsi :
1. Persediaan awal ditambah pembelian yang sama dengan total barang yang akan diperhitungkan.
2. Barang tidak terjual yang harus tersedia.
3. Penjualan, dikurangi dengan biaya perolehan, dikurangi dari jumlah persediaan awal ditambah
pembelian, sama dengan persediaan akhir.
Untuk mengilustrasikan, asumsikan bahwa Cetus Corp memiliki persediaan awal sebesar €60.000 dan
pembelian sebesar €200.000, keduanya sebesar biaya perolehan. Penjualan sebesar harga penjualan
berjumlah €280.000. Laba bruto sebesar harga penjualan adalah 30 persen. Cetus menerapkan metode
margin bruto sebagai berikut :
Catatan pada periode berjalan berisi semua informasi yang Cetus perlukan untuk menghitung
persediaan pada biaya, kecuali untuk persentase laba bruto. Cetus menentukan persentase laba bruto
dengan meninjau kebijakan perusahaan atau catatan periode sebelumnya. Dalam beberapa kasus,
perusahaan harus menyesuaikan persentase ini jika menganggap periode sebelumnya tidak
mencerminkan periode berjalan.
1. Sebagian besar perusahaan menyatakan barang berdasarkan ritel , tidak berdasarkan biaya
perolehan.
2. Laba yang dinyatakan pada harga penjualan nilainya lebih rendah daripada yang dinyatakan
berdasarkan pada biaya perolehan. Tingkat yang lebih rendah ini memberikan kesan yang baik
kepada konsumen.
3. Laba bruto berdasarkan harga penjualan tidak dapat melebihi 100 persen.
Dalam Ilustrasi laba bruto merupakan informasi yang diberikan. Akan tetapi, bagaimana Cetus
mendapatkan angka tersebut ? Untuk melihat bagaimana menghitung persentase laba bruto ,
asumsikan bahwa barang memiliki biaya perolehan sebesar € 15 dan dijual seharga € 20, atau laba bruto
sebesar € 5. Seperti yang ditunjukkan dalam perhitungan pada Ilustrasi, markup ini sebesar atau 25
persen dari ritel , dan ½ atau 33 % persen dari biaya perolehan,
Markup €5 Markup €5
Meskipun perusahaan biasanya menghitung laba bruto atas dasar harga penjualan, kita harus
memahami hubungan dasar antara markup pada biaya perolehan dan markup pada harga penjualan.
Misalnya, asumsikan bahwa perusahaan membuat markup terhadap item sebesar 25 persen dari biaya
perolehan. Berapakah laba brato pada harga penjualan ? Untuk menemukan jawabannya, asumsikan
bahwa item tersebut dijual seharga € 1. Dalam hal ini, rumus yang digunakan sebagai berikut :
C + 0,25C = SP
( 1 + 0,25 )C = SP
1,250C = € 1,00
C = € 0,80
Laba bruto sama dengan € 0,20 ( € 1,00 € 0,80 ). Oleh karena itu, tingkat laba bruto pada harga
penjualan adalah 20 persen ( € 0,20 / € 1,00 ).
Sebaliknya, asumsikan bahwa laba bruto pada harga penjualan adalah 20 persen. Berapa markup pada
biaya perolehan ? Untuk menemukan jawabannya, asumsikan bahwa item tersebut dijual seh arga € 1.
Sekali lagi, rumus yang sama digunakan sebagai berikut :
C + 0,20SP = SP
C = ( 1-0,20 ) SP
C = 0,80SP
C = € 0,80( €1,00)
C = € 0,80
Seperti pada contoh sebelumnya, markup sama dengan € 0,20 ( € 1.00 - € 0,80). Markup pada biaya
perolehan adalah 25 persen ( € 0,20 / € 0,80 ).
Oleh karena harga penjualan melebihi biaya perolehan, dan dengan jumlali laba bruto sama untuk
keduanya, laba bruto pada harga penjualan akan selalu lebih kecil dari persentase terkait berdasarkan
pada biaya perolehan. Perhatikan bahwa perusahaan tidak mengalikan penjualan dengan persentase
markup yang berdasarkan biaya perolehan. Sebaliknya, perusahaan harus mengubah persentase laba
bruto menjadi persentase berdasarkan pada harga penjualan.
Kelemahan metode laba bruto adalah menghitung persediaan fisik sekali setahun untuk memverifikasi
persediaan yang bahwa metode ini hanya memberikan estimasi. Akibatnya, perusahaan tetap harus
benar - benar ada Kedua, metode laba bruto menggunakan persentase masa lalu dalam menentukan
mutrkup. Meskipun persentase masa lalu sering memberikan jawaban atas persentase masa depan,
penggunaan tingkat kini lebih tepat. Perhatikan bahwa setiap kali fluktuasi signifikan terjadi, perusahaan
harus menyesuaikan persentase dengan tepat. Ketiga, perusahaan harus berhati - hati dalam
menerapkan tingkat laba bruto yang universal. Sering kali sebuah toko atau departemen menangani
persediaan barang dagangan dengan tingkat laba bruto yang sangat beragam. Dalam situasi ini,
perusahaan mungkin harus menerapkan metode laba bruto per subbagian, lini barang dagangan, atau
dasar lainnya yang mengklasifikasikan barang sesuai tingkat laba bruto masing - laba bruto biasanya
tidak dapat diterima untuk tujuan pelaporan keuangan karena hanya menyediakan estimasi. IFRS
mensyaratkan persediaan fisik sebagai verifikasi tambahan dari persediaan yang ditunjukkan dalam
catatan. Perhatikan bahwa metode laba bruto akan mengikuti metode persediaan yang digunakan ( FIFO
atau biaya rata - rata ) karena mengandalkan catatan historis.