Anda di halaman 1dari 210

PENGINTEGRASIAN PENGETAHUAN INDIGENOUS KONTEKS

MITOLOGI JAWA DALAM PEMBELAJARAN SAINS

Oleh:
RIF’ATI DINA HANDAYANI
NIM 16703261034

Disertasi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk


mendapatkan gelar Doktor Pendidikan

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019

i
ABSTRAK

ABSTRAK, Rif‟ati Dina Handayani, Pengintegrasian Pengetahuan Indigenous


Konteks Mitologi Jawa dalam Pembelajaran Sains. Yogyakarta: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2019.

Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan relevansi pengetahuan


indigenous konteks mitologi Jawa yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran
sains di sekolah; (2) untuk membangun pola pembelajaran sains yang dapat
mengintegrasikan pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa di sekolah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif semi etnografi yang berfokus
pada menemukan dan mendeskripsikan pengetahuan indigenous di masyarakat
Jawa. Lokasi penelitian meliputi kota Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber data berasal dari guru sains, tokoh masyarakat, dokumen pengajaran, dan
dokumen mitologi Jawa. Adapun teknik pengumpulan data meliputi wawancara,
kajian dokumen, Focus Group Discussion, dan observasi. Analisis data dilakukan
menggunakan enam tahapan meliputi: menyiapkan dan mengorganisasi data,
mengeksplore dan menyortir data, pengkodean untuk membangun tema, analisis
deskriptif sesuai alur penelitian, analisis lanjut dan interpretasi penemuan, dan
validasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan indigenous konteks
mitologi Jawa sangat relevan dalam pembelajaran sains. Analisis relevansi
kesesuaian standar kompetensi lulusan menunjukkan bahwa pengetahuan
indigenous konteks mitologi Jawa relevan dengan domain sikap, keterampilan dan
pengetahuan yang faktual, prosedural, konseptual, dan metakognisi. Ditinjau dari
analisis kompetensi sains, terdapat irisan antara kedua pengetahuan yang disebut
sains indigenous. Selanjutnya hasil analisis materi dan kompetensi dasar (KD)
menunjukkan bahwa pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa memenuhi
beberapa KD, antara lain: kelas VII KD 3.1, 4.1; kelas VII KD 3.2, 4.2, Kelas VIII
KD 3.4, 4.4, kelas IX KD 3.2, 4.2; kelas VII KD 3.7, 4.7; Kelas VII KD 3.4, 4.4;
kelas VIII KD 3.3, 4.3; kelas VII KD 3.11, 4.11; kelas VII KD 3.9, 4.9; dan kelas
IX KD 3.9, 4.9. Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
dengan pengetahuan sains di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan cara
pengintegrasian FCSI. FCSI terdiri atas empat tahapan: dipisahkan, dihubungkan,
disejajarkan, dan diintegrasikan. Sains indigenous yang sudah diperoleh dari
metode FCSI belum dapat diajarkan secara langsung tetapi membutuhkan
pengintegrasian lanjutan yang diistilahkan dengan siklus 8M KBI. Tahapan 8M
KBI meliputi: 1). Mengidentifikasi sains indigenous, 2). Memilih topik, 3).
Menganalisis topik, 4). mengimplementasikan topik terpilih di kelas, 5).
Melakukan refleksi, 6). Melakukan evaluasi, 7). Mengembangkan penelitian
lanjutan, dan 8). Membagi hasil kajian kepada masyarakat indigenous. Ke delapan
tahapan dilaksanakan secara bertahap, berurutan dan berkesinambungan.
Kontribusi guru yang memahami sains indigenous akan menguatkan pengetahuan
siswa sehingga pembelajaran lebih kontekstual dan bermakna.

Kata Kunci: Pengetahuan Indigenous, Mitologi Jawa, Pembelajaran Sains

ii
ABSTRACT

ABSTRACT, Rif’ati Dina Handayani, Integration of Indigenous Knowledge in the


Context of Javanese Mythology in Natural Science Learning. Yogyakarta:
Graduate School Yogyakarta State University, 2019.

This study aims: (1) to describe the relevance of indigenous knowledge of


the Javanese mythological context that can be integrated into school science; (2)
to create a learning pattern that can integrate indigenous knowledge of Javanese
mythological contexts into school science.
This research is semi-ethnographic qualitative research that focuses on
finding and describing knowledge from the Javanese community. The research
setting was conducted in Surakarta and the Special Region of Yogyakarta.
Sources of research data come from natural science teachers, Javanese elders,
natural science teaching documents, and Javanese mythological documents. Data
was gathered through interviews, documents analysis, observations, and Focus
Group Discussion. Data analysis was carried out using six stages included:
preparing and organizing data, exploring and sorting data, coding to construct
themes, descriptive analysis according to the research framework, further
analysis, findings interpretation, and validation.
The results indicated that indigenous Javanese knowledge was relevant to
be integrated into school science. The analysis of the suitability relevance of
graduate competency standards showed that indigenous Javanese is related to the
dimension of attitudes, skills, and knowledge in four categories: factual,
conceptual, procedural, and metacognitive. Also, analysis of scientific
competencies showed that there were overlapping between both of knowledge
called indigenous science. Furthermore, the results of the content knowledge
analysis and basic competencies (KD) showed that native Javanese knowledge
was proper to be taught in several KDs, including class VII KD 3.1, 4.1; class VII
KD 3.2, 4.2, Class VIII KD 3.4, 4.4, class IX KD 3.2, 4.2; class VII KD 3.7, 4.7;
Class VII KD 3.4, 4.4; class VIII KD 3.3, 4.3; class VII KD 3.11, 4.11; class VII
KD 3.9, 4.9; and class IX KD 3.9, 4.9. The integration of indigenous knowledge of
Javanese mythological context into school science can be arranged using the
FCSI method. The FCSI method consists of four stages: fragmented, connected,
sequenced, and integrated. Indigenous science that has been obtained from the
FCSI cannot be implemented directly; it needs further integration, which is called
the 8M KBI cycle. The stages in the 8M KBI process includes 1). Indigenous
science identification, 2). Topic selection, 3). Topic analyzes, 4). Implementation
selected issues, 5). Reflection, 6). Evaluation, 7). Developing further research, 8)
Sharing the results of the study with indigenous communities. Contributions from
teachers who understand indigenous Javanese science will strengthen students'
knowledge, so science learning is more contextual and meaningful.

Keywords: Indigenous Knowledge, Javanese Mythology, Natural Science


Learning

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT,

karena atas segala limpahan berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyusun

disertasi dengan judul pengintegrasian pengetahuan indegenous konteks mitologi

Jawa dalam pembelajaran sains sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penyusunan

disertasi ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh

karena itu masukan dan kritik yang membangun sangat diperlukan untuk

perbaikan agar disertasi ini menjadi lebih baik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu terselesaikannya disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat memberi

manfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga memberi sumbangan pemikiran

untuk pendidikan di Indonesia agar menjadi lebih baik.

Yogyakarta, 2019

Penulis

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. ii
ABSTRACT ............................................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 12
C. Fokus dan Rumusan Masalah ............................................................. 14
D. Tujuan Penelitian................................................................................ 14
E. Manfaat Penelitian.............................................................................. 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 16
A. Kajian Teori........................................................................................ 16
1. Pembelajaran Sains ..................................................................... 16
2. Content Knowledge (Pengetahuan Konten) ................................ 25
3. Paradigma Indigenous ................................................................. 34
4. Pengetahuan Indigenous.............................................................. 40
5. Mitologi Jawa .............................................................................. 48
6. Pranata Mangsa .......................................................................... 57
7. Pengintegrasian pengetahuan indigenous dalam pembelajaran
sains ............................................................................................. 71
B. Kajian Penelitian Relevan .................................................................. 74
C. Alur Pikir ............................................................................................ 79
D. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 83
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 85
A. Jenis Penelitian ................................................................................... 85
B. Lokasi/ Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 89
C. Sumber Data ....................................................................................... 90
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ......................................... 91
E. Keabsahan Data .................................................................................. 99
F. Analisis Data .................................................................................... 101
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 106
A. Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................ 106
1. Relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dalam
pembelajaran sains di sekolah ................................................... 106
2. Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
dengan pengetahuan sains di sekolah ........................................ 194
B. Pembahasan dan Temuan ................................................................. 213

vii
1.
Relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dalam
pembelajaran sains di sekolah ................................................... 213
2. Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi dengan
pengetahuan sains di sekolah .................................................... 232
C. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 244
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 246
A. Simpulan........................................................................................... 246
B. Implikasi ........................................................................................... 247
C. Saran ................................................................................................. 249
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 251

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Struktur Dimensi Proses Kognitif Taksonomi Bloom Revisi ................. 28


Tabel 2. Struktur Dimensi Pengetahuan Taksonomi Bloom Revisi ..................... 29
Tabel 3. Hakikat Pengetahuan Indigenous (NoIK) ............................................... 43
Tabel 4. Tinjauan Sains dan Pengetahuan Indigenous secara Epistemologi ........ 46
Tabel 5. Perbedaan dan Persamaan Pengetahuan Indigenous dan Sains Sekolah 47
Tabel 6. Contoh beberapa ungkapan gugon tuhon ................................................ 55
Tabel 7. Contoh beberapa ungkapan mitosfirasat/ngalamat ................................. 56
Tabel 8. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara Guru dan Tokoh Masyarakat ............... 94
Tabel 9. Biografi Informan Penelitian .................................................................. 91
Tabel 10. Pedoman Observasi ............................................................................... 97
Tabel 11. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Penelitian ........................... 98
Tabel 12. Analisis Data Penelitian ...................................................................... 105
Tabel 13. Hasil analisis hakikat sains (NoNS) dan hakikat pengetahuan indigenous
konteks mitologi Jawa ........................................................................ 115
Tabel 14. Persamaan antara sains dan pengetahuan indigenous konteks mitologi
Jawa .................................................................................................... 116
Tabel 15. Ungkapan gugon tuhon dan maknanya dalam pranata mangsa ......... 122
Tabel 16. Nama- wuku pada kalender Jawa ........................................................ 126
Tabel 17. Kondisi meteorologi pranata mangsa................................................. 140
Tabel 18. Kondisi kosmografi dan bioklimatologi pranata mangsa .................. 141
Tabel 19. Nama hari sebagai representasi Tata Surya ........................................ 154
Tabel 20. Lintang pranata mangsa dan konstelasi modern ................................ 165
Tabel 21. Analisis Konsep sains dalam pranata mangsa dan distribusi KD ...... 166
Tabel 22. Hasil analisis pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa .......... 185
Tabel 23. Hasil analisis aspek pembelajaran pengetahuan indigenous konteks
mitologi Jawa...................................................................................... 191
Tabel 24. Analisis relevansi aspek pembelajaran antara sains normatif dan
pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa ................................ 193
Tabel 25. Hasil analisis dokumen pengajaran dan observasi guru sains selama
mengajar di kelas ................................................................................ 203
Tabel 26. Aktivitas 8M KBI dalam pengintegrasian sains indigenous di kelas.. 212

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Aspek kompetensi pembelajaran sains dalam kurikulum 2013 .......... 23


Gambar 2. Taksonomi Bloom revisi ..................................................................... 27
Gambar 3. Kombinasi antara dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan 33
Gambar 4. Prinsip dasar pada metodologi indigenous .......................................... 39
Gambar 5. Sistem kalender pranata mangsa ........................................................ 59
Gambar 6. Roadmap penelitian yang relevan ....................................................... 78
Gambar 7. Alur berpikir umum penelitian ............................................................ 81
Gambar 8. Alur berpikir khusus penelitian ........................................................... 82
Gambar 9. Desain Penelitian ................................................................................. 86
Gambar 10. Peta kota Surakarta dan DIY sebagai basis kerajaan Mataram ......... 90
Gambar 11. Ilustrasi metode snowball dalam penentuan informan ...................... 93
Gambar 12. Hubungan antar variabel teknik pengumpulan data pada penelitian
kualitatif ............................................................................................. 97
Gambar 13. Tahapan analisis data kualitatif ....................................................... 102
Gambar 14. Kalender pranata mangsa (almanak dinding) ................................ 117
Gambar 15. Pranata mangsa sebagai mitologi Jawa dan pengetahuan ilmiah... 118
Gambar 16. Tokoh Dewi Sri dalam pewayangan ............................................... 119
Gambar 17. Wayang Murwakala ........................................................................ 120
Gambar 18. Lintang Waluku atau rasi bintang Orion ......................................... 124
Gambar 19. Pawukon di Museum Radya Pustaka .............................................. 125
Gambar 20. Ukuran jengkal/kilan ....................................................................... 130
Gambar 21. Ukuran hasta .................................................................................... 130
Gambar 22. Ukuran depa .................................................................................... 131
Gambar 23. Ukuran pecak................................................................................... 131
Gambar 24. Ukuran beruk ................................................................................... 132
Gambar 25. Ukuran bojog ................................................................................... 132
Gambar 26. Luku untuk mengolah tanah di sawah ............................................. 135
Gambar 27. Konsep tuas pada luku ..................................................................... 136
Gambar 28. Garu untuk menghaluskan tanah sawah.......................................... 136
Gambar 29. Ani-ani untuk memanen padi .......................................................... 137
Gambar 30. Pacul untuk menggali tanah ............................................................ 138
Gambar 31. Konsep tuas pada pacul ................................................................... 138
Gambar 32. Tanaman gembili ............................................................................. 143
Gambar 33. Tanaman gadung ............................................................................. 144
Gambar 34. Tanaman suweg dalam fase generatif (kiri) dan fase vegetatif (kanan)
.......................................................................................................... 145
Gambar 35. Tanaman kunyit (Curcuma longa) .................................................. 146
Gambar 36. Tumbuhan temu kunci (Boesenbergia pandurata) ......................... 147
Gambar 37. Tumbuhan lempuyang (Zingiber) ................................................... 148
Gambar 38. Burung pipit dan sarangnya............................................................. 149
Gambar 39. Jangkrik dan sarangnya ................................................................... 150
Gambar 40. Binatang tenggoret .......................................................................... 151

x
Gambar 41. Larva uret ........................................................................................ 152
Gambar 42. (a) Kalender Candra Sangkala; (b) Kalender Surya Sangkala ....... 153
Gambar 43. Ilustrasi bayangan pada pranata mangsa ........................................ 155
Gambar 44. Lintang Waluku atau rasi bintang Orion ......................................... 158
Gambar 45. Lintang Waluku/rasi bintang Orion bulan Maret ............................ 159
Gambar 46. Lintang Wuluh (Rasi Bintang Pleiades) .......................................... 160
Gambar 47. Lintang Sapi Gumarang (Rasi Bintang Taurus) ............................. 161
Gambar 48. Lintang Gubug Penceng (Rasi bintang Crux) ................................. 162
Gambar 49. Lintang lanjar ngirim (Rasi Bintang Centaurus) ............................ 163
Gambar 50. Lintang Pedati Suwung (rasi Ursa Mayor) ..................................... 164
Gambar 51. Lintang Banyak Angkrem (rasi bintang Scorpio) ............................ 164
Gambar 52. Kegiatan merti dusun di desa Srunggo Selopamioro kecamatan
Imogiri Yogyakarta .......................................................................... 170
Gambar 53. Prosedur penanaman padi dalam pranata mangsa.......................... 179
Gambar 54. Relevansi kompetensi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
dalam sains normatif di sekolah ....................................................... 187
Gambar 55. Dua pengetahuan ditinjau secara terpisah dan terisolasi ................. 195
Gambar 56. Dua pengetahuan dihubungkan ....................................................... 197
Gambar 57. Dua pengetahuan disejajarkan ......................................................... 198
Gambar 58. Dua pengetahuan dintegrasikan (integrated) .................................. 199
Gambar 59. Tahapan pengintegrasian FCSI pengetahuan indigenous konteks
mitologi Jawa dan sains normatif ..................................................... 200
Gambar 60. Sains indigenous.............................................................................. 201
Gambar 61. Siklus 8M KBI untuk mengajarkan sains indigenous ..................... 205
Gambar 62. Aspek kompetensi sains indigenous ................................................ 221
Gambar 63. Aspek pembelajaran sains indigenous............................................. 229

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Indikator Ketercapaian Penelitian................................... 268


Lampiran 2. Hasil Analisis Standar Kompetensi Lulusan (SKL) SMP ............. 270
Lampiran 3. Hasil Analisis Kompetensi Dasar (KD) IPA .................................. 275
Lampiran 4. Analisis Data................................................................................... 281
Lampiran 5. Identitas Informan........................................................................... 320
Lampiran 6. Contoh Transkrip Wawancara ........................................................ 325
Lampiran 7. Contoh Catatan Hasil Observasi ..................................................... 335
Lampiran 8. Contoh Log Book Penelitian ........................................................... 337
Lampiran 9. Foto Penelitian ................................................................................ 340
Lampiran 10. Surat Ijin Penelitian ...................................................................... 343
Lampiran 11. Artikel Publikasi ........................................................................... 350
Lampiran 12. Buku Pranata Mangsa dalam Tinjauan Sains .............................. 362
Lampiran 13. Buku Pembelajaran Sains indigenous........................................... 365

xii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha terencana untuk mewujudkan suasana dan proses

pembelajaran yang nyaman agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan

potensi yang diperlukan baik spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, serta keterampilan untuk dirinya dan masyarakat. Pendidikan juga

merupakan suatu medan kajian untuk menjelaskan dan memahami suatu

fenomena yang terjadi, dimana hasil kajiannya dapat dijadikan sebagai suatu

perbaikan (Suyata, 2011). Pendidikan mencakup beberapa domain multi

dimensional yang sangat luas dan saling berkaitan secara signifikan seperti

keterampilan, kekuatan, dan kebudayaan (Osborne, 2007; Singh, 1991).

Pendidikan lebih mengarah pada pengajaran sesuatu yang tidak dapat dilihat yaitu

pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan melalui suatu

kebudayaan. Dalam hal ini pendidikan secara umum berfungsi untuk melestarikan

nilai-nilai budaya yang positif, dan menciptakan perubahan ke arah kehidupan

yang lebih inovatif, karena itu pendidikan memiliki fungsi ganda (Budhisantoso,

1992; Osborne, 2007).

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan itu usaha

memerdekakan setiap individu dan dibangun di atas kebudayaan nasional yang

merdeka. Hal ini membuat sistem pendidikan asli di suatu masyarakat memiliki

fungsi dan peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan dan

kebudayaan. Akan tetapi pendidikan di Indonesia merupakan sistem pendidikan

1
nasional yang cenderung untuk melihat keluar dan bukan melihat kedalam.

Kebijakan pembaharuan pendidikan lebih banyak dikendalikan oleh kekuasaan

birokrasi pemerintah pusat dengan acuan pola-pola eksternal seperti UNESCO

dan badan sponsor yang secara aktif menyebarkan keseragaman kebijakan

mengenai ideologi, struktur, dan praktek pendidikan ditingkat nasional (McNeely,

1995; Suyata, 2002). Secara internal, kebijakan lebih banyak dikendalikan oleh

kekuatan politik dan kepentingan-kepentingan yang berkonspirasi dengan

menetapkan kebijakan yang mengabaikan nilai-nilai budaya dan pengalaman-

pengalaman sejarah. Dominasi perkara ekonomi, sains dan teknologi, politik lebih

mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan kognitif intelektual dan

cenderung mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan moral dan spiritual,

melupakan khasanah lokal etnis yang menyimpan banyak kearifan yang potensial

(Suyata, 2011).

Pengetahuan indigenous adalah pengetahuan tradisional unik yang berkaitan

dengan budaya dari suatu masyarakat di suatu wilayah (Aikenhead, 2006).

Pengetahuan indigenous sering disebut juga pengetahuan lokal tradisional.

Pengetahuan ini biasanya diwujudkan dalam bentuk ilmu pertanian, astronomi,

navigasi, matematika, ilmu pengobatan, arsitektur, sistem pertahanan, dan ekologi

(Snively & Corsiglia, 2000). Pengetahuan ini masih sangat relevan dengan

perkembangan zaman seperti ilmu pertanian, astronomi, dan ilmu pengobatan.

Pengetahuan indigenous mulai terabaikan karena dianggap aneh, tidak relevan,

bertentangan dengan pengetahuan saintifik atau tidak ilmiah, dan ketinggalan

zaman (Abah, Mashebe, & Denuga, 2015; Baquete, Grayson, & Mutimucuio,

2
2016; Shizha, 2014). Orang-orang indigenous harus terus berjuang untuk menjaga

hak, tradisi, dan pengetahuan mereka dalam suatu sistem yang didominasi oleh

pandangan barat (Western worldview) (Magni, 2017). Beberapa orang juga

memberikan kritik bahwa pengetahuan indigenous tidak harus disebarkan dan

dipelajari karena akan menghalangi pemikiran orang-orang non indigenous.

Pengetahuan indigenous dianggap bertentangan dengan pengetahuan sains

Western seperti pengetahuan tradisional yang bertentangan dengan pengetahuan

modern (Botha, 2012). Hal ini dikarenakan pengetahuan indigenous dianggap

tidak cukup kuat untuk memahami alam apabila dibandingkan dengan

pengetahuan di sekolah yang sudah teruji, prediktif dan jelas (Aikenhead &

Ogawa, 2007; le Grange, 2004; Sithole, 2016).

Dampak alamiah dari persinggungan budaya ini adalah munculnya

ketidakseimbangan di masyarakat mengenai hilangnya nilai-nilai budaya atau

tradisi karena dianggap tidak selaras dengan kemajuan dan perkembangan zaman,

sehingga kearifan lokal sudah mulai ditinggalkan dan ada keterasingan terhadap

pengetahuan itu sendiri. Kenyataan ini memunculkan desakan orientasi

pendidikan ke indigenous dan kesadaran kembali ke pengetahuan asal berdasarkan

keyakinan, nalar, dan metafisik yang mulai terlihat dengan munculnya slogan-

slogan kembali ke alam (back to nature), kembali hijau (go green), dan cinta hijau

(green heart). Upaya kembali kekearifan tradisional itu sendiri menjadi tema

inspiratif sebagai bentuk balikan terhadap mulai dirasakannya kemunduran

kehidupan masyarakat modern (Herusatoto, 2012).

3
Menurut Sadler (2009) lingkungan sosial seharusnya mengambil peran yang

serius dalam kegiatan belajar mengajar, pebelajar dapat mencari sinergi antara

pengetahuan indigenous dan pengetahuan sains di sekolah. Vigotsky percaya

bahwa perkembangan fungsi mental siswa bergantung pada kekuatan alamiah

pada diri (ingatan, perhatian, persepsi, dan respon terhadap rangsangan belajar)

dan kekuatan sosial budaya (perkembangan konsep, alasan logis, dan pengambilan

keputusan) (Howe, 2002: 36). Pengidentifikasian pengetahuan indigenous yang

berhubungan dengan konsep sains memberi kesempatan untuk pengembangan

kurikulum agar dapat menyentuh langsung pengetahuan yang familiar bagi siswa,

yang memiliki nilai sangat penting dalam menghubungkan pengetahuan sains di

sekolah dengan kehidupan sehari-hari (Belleau et al., 2012; Coştu, 2008). Orang-

orang harus belajar, mengamati, mengingat, dan mengembangkan kemampuan

sosial, moral, dan tanggung jawab emosional terhadap lingkungannya (Retnowati,

Anantasari, Marfai, & Dittmann, 2014).

Ditinjau dari aspek pembelajaran, pembelajaran sains yang dilakukan di

sekolah merupakan cerminan dari pengetahuan asing (Western knowledge) yang

terkadang melupakan aktivitas sosial di lingkungan kehidupan sebenarnya, yang

berbeda dengan budaya mereka sendiri (Aikenhead, 1997, 2006; Aikenhead &

Jegede, 1999; Cronje, de Beer, & Ankiewicz, 2015). Pembelajaran di sekolah

hanya cara resmi untuk menjelaskan suatu fenomena (Ogunniyi, 2006, 2007) dan

hanya menekankan pada tujuan ranah kognitif dengan mengutamakan pada

penyelesaian persoalan tanpa mengetahui manfaat atau aplikasinya dalam

kehidupan sehari-hari (Baquete et al., 2016). Akibatnya pembelajaran

4
berlangsung: 1) tidak menyenangkan dan menimbulkan kesan negatif; 2) pasif,

didominasi pada penyelesaian soal-soal dan menghafalkan rumus; 3) tidak

memberi peluang untuk mengembangkan kreativitas; 4) jumlah waktu yang

termanfaatkan belum maksimal bagi pencapaian kompetensi peserta didik

(Chiappetta & Koballa, 2009, p. 441; Prasetyo, 2016). Guru sendiri terkadang

memandang pengetahuan indigenous terlalu sempit dan kontekstual, sehingga

materi yang disampaikan oleh guru lebih bersifat umum dengan terpaku pada

buku. Selain itu keterbatasan pengetahuan guru tentang pengetahuan indigenous

dan keterbatasan metode dalam mengajar juga menjadi faktor tidak diajarkannya

pengetahuan indigenous dalam pembelajaran (Mothwa, 2014). Hal ini

menyebabkan pembelajaran dilakukan secara seragam tanpa meninjau kekhasan,

latar belakang dan potensi serta keragaman yang ada pada siswa (Gay & Howard,

2000).

Kenyataan yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah siswa membawa

banyak ide di dalam kelas berdasarkan pengalaman dan perbedaan latar belakang

yang menginterpretasikan konsep sains yang berbeda. Dalam proses, pebelajar

membutuhkan suatu cara agar pengetahuan yang dimiliki dapat diterapkan dalam

kehidupannya (Mothwa, 2014: 134). Membelajarkan sains pada siswa harus

menekankan pada bagaimana memulai suatu pembelajaran berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki serta membangun dari dasar untuk

membantu mengembangkan pemahaman mereka terhadap sains. Guru-guru perlu

untuk mengadopsi dan memilih cara mengajar yang responsif terhadap budaya

sehingga pengintegrasian pengetahuan tradisional dalam pembelajaran dapat

5
dilakukan (Santoro, Reid, Crawford, & Simpson, 2013). Semua hal yang pernah

dialami atau dipercayai oleh siswa bisa menjadi sumber pengetahuan yang bersifat

ilmiah (Dahncke, Behrendt, & Reiska, 2001; Kasanda et al., 2005). Pada

pembelajaran sains di kelas, siswa menerima dua pengetahuan berbeda terhadap

suatu kejadian atau fenomena yang sama (De Beer & Whitlock, 2009; Moyo &

Kizito, 2014; VanWyk, 2002). Hal ini berdampak kurangnya aktivitas sosial siswa

di masyarakat yang menyebabkan siswa merasa asing dengan lingkungannya

sendiri “elienasi” (Mashoko, 2014), sehingga secara tidak langsung memunculkan

krisis lingkungan alam maupun lingkungan manusia yang selanjutnya berdampak

terhadap krisis moral, krisis sosial dan budaya yang juga menyebabkan krisis

kemanusiaan (McInnes, 2017).

Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan sains

belum membumi, padahal penguasaan sains sangat fundamental untuk

membentuk karakter keilmuwan yang siap bersaing di era masyarakat ekonomi

ASEAN (Jay, 2016). Hal ini menjadi fokus yang menantang bagi para pendidik

dan peneliti untuk terus mengembangkan pembelajaran dan kurikulum agar tetap

bersinergi tanpa harus meninggalkan nilai-nilai budaya lokal sebagai ciri khas.

Siswa sangat memerlukan penanaman nilai-nilai budaya melalui suatu

pembelajaran yang bersifat kontekstual berdasarkan pada kearifan budaya

disekitarnya. Pembelajaran yang menarik dan bersifat kontekstual inilah yang

dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan untuk menanamkan nilai budaya,

sehingga makna dan kearifan budaya dapat dilestarikan. Dari perspektif

pendidikan, penggabungan pengetahuan indigenous dalam kurikulum sekolah

6
memiliki efek positif terhadap ketertarikan siswa pada sains, yang membantu

mereka untuk menghargai nilai dan menjaga pengetahuan indigenous nenek

moyangnya (Kasanda et al., 2005; Ng‟asike, 2011). Menurut John Dewey, sekolah

merupakan agen dari masyarakat yang berfungsi menyederhanakan (simplifying),

memurnikan (purifying), dan menyeimbangkan (balancing) sehingga setiap

individu dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial (Gutek, 1974: 114).

Beberapa tahun ini peneliti dan pendidik sains di berbagai negara memiliki

ketertarikan mengenai indigenous seperti di Alaska (Alaska Native Knowledge

Network), Canada (First Nations of Canada), New Zealand (Maori of New

Zealand), Jepang (Ainu of Japan), Australia (Aborigines of Australia), Rusia

(Indigenous People of Russia), USA (Native Hawaiians), Amerika Utara (Native

North Americans), termasuk Scandinavia (Saami of Scandinavia). Beberapa

peneliti indigenous seperti Snively & Corsiglia (2000) mengembangkan dengan

kelompok indigenous di Columbia; Zinyeka, Onwu, & Braun (2016)

mengembangkan kerangka kerja epistemologi yang mendukung pengintegrasian

pengetahuan indigenous dalam pengajaran sains di Afrika Selatan; Miller &

Roehrig (2018) dari Universitas Minnesota menggunakan permainan tradisional

ular salju (Gooneginebig di Ojibwe) dari Indian Amerika dalam STEM; Ninnes

(2000) dari Universitas New England merepresentasikan pengetahuan indigenous

dalam buku teks di sekolah menengah di Australia yang meliputi legenda dan

mitos, teknologi indigenous, pengetahuan indigenous tentang alam, kehidupan

sosial indigenous dalam ilmu pengetahuan dinamis dan penyelidikan sains.

7
Penelitian indigenous dalam perspektif pendidikan meninjau pengetahuan

indigenous dari beberapa aspek yaitu hak asasi manusia, perspektif keadilan sosial

(Aikenhead, 2006; Das Gupta, 2011) dan perspektif pedagogik (Baquete et al.,

2016; McKinley & Stewart, 2012). Secara umum ketertarikan ini dipenuhi oleh

keinginan dalam hal keadilan sosial dan keberhasilan sains di sekolah yang

mendasarkan pada identitas budaya dari masing-masing individu (Aikenhead &

Ogawa, 2007). Siswa indigenous berhak untuk mendapatkan pendidikan,

kesetaraan, dan keadilan sosial seperti siswa non-indigneous (Santoro et al.,

2013). Perspektif pedagogik menilai bahwa sistem pengetahuan indigenous adalah

salah satu prinsip yang harus dijadikan dasar dalam kurikulum yang dapat

menghubungkan antara keadilan sosial dan pedagogik (Aikenhead, 1997; Baquete

et al., 2016; McKinley & Stewart, 2012; Regmi & Fleming, 2012).

Pada dasarnya setiap budaya berdampak terhadap ekosistem dan

pengetahuan lokal, dimana hal itu merupakan tanggungjawab dari masyarakat

yang berada di sekitar lingkungan tersebut (Retnowati, Anantasari, Marfai, &

Dittmann, 2014). Budaya berjalan sesuai dengan zaman, meskipun saat ini

sebagian besar masyarakat mengalami perubahan menuju era industrialisasi yang

rasional dan efisien (Hersapandi, Dana, Sudjinah, & Hadiprayitno, 2005).

Adaptasi budaya diharapkan mampu mengatasi persinggungan antara pengetahuan

indigenous dan pengetahuan sains di sekolah agar selaras dan harmonis dengan

perkembangan modern, bukan hanya sekedar mewarisi, memelihara dan

menyelamatkannya, melainkan mengarah pada restrukturisasi budaya. Menurut

Alessa, Kliskey, Beaujean, & Gosz (2016) tiap-tiap budaya memiliki pengetahuan

8
masing-masing dan pengetahuan yang terdapat dalam budaya dikenal sebagai

pengetahuan indigenous. Pengetahuan indigenous terdapat pada kelompok budaya

tertentu diajarkan turun temurun, bukan per individu. Penggunaan cerita rakyat,

sangat bernilai dalam suatu proses pembelajaran khususnya pendidikan yang

berbasis pada keunikan kultural. Setiap kelompok budaya memiliki jalur keunikan

sendiri sendiri yang merupakan rangkaian dari perubahan sosial historis

(McKinley & Stewart, 2012).

Kearifan untuk menjaga keselarasan dengan alam merupakan karakteristik

masyarakat tradisional nusantara. Alam bukanlah musuh yang harus ditaklukkan,

melainkan tempat dimana manusia menjadi bagian dan selalu berinteraksi

dengannya. Kesadaran dari alam inilah yang membuat masyarakat Nusantara

khususnya masyarakat Jawa berusaha mengakrabi dan mempelajari perilaku alam.

Mitologi Jawa pada hakikatnya adalah salah satu akar budaya Jawa yang

dengannya manusia Jawa mencari jawaban atas persoalan kebudayaan yang

dihadapi (Ahimsa, 2012; Zaidan, Tasai, & Suyatno. S, 2002). Mitologi Jawa

mengandung kearifan lokal yang seringkali melandasi setiap sikap dan perilaku

sehari-hari orang Jawa (Endraswara, 2006: 12). Suku Jawa selalu berusaha

mempersatukan alam semesta dengan dirinya sendiri dengan suatu keyakinan

bahwa alam yang ”subur tansah tinandur, gemah ripah loh jinawi” tidak akan

bermanfaat jika tidak dikerjakan dan diolah dengan akal dan budi yang baik untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya (Sastronaryatmo, 1986). Ini merupakan suatu

bentuk pemikiran bahwa alam semesta akan menjelma menjadi suatu kekuatan

yang akan memberikan rasa nyaman dan dapat memenuhi segala kebutuhan

9
orang-orang Jawa. Mitologi Jawa seperti pranata mangsa dan pawukon

merupakan pengetahuan indigenous yang masih dipercayai dan dipergunakan oleh

masyarakat Jawa sampai sekarang. Pranata mangsa merupakan pengetahuan sains

kultural dan pedoman bagi masyarakat Jawa yang penuh dengan kearifan dalam

membaca tanda-tanda alam yang menghubungkan antara orang-orang dengan

lingkungannya untuk saling memahami, menghormati, dan memiliki terhadap

bumi. Keberadaan pranata mangsa dalam bidang pertanian saat ini sedikit demi

sedikit mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan perubahan zaman

dan beberapa jenis tumbuhan penanda dalam pranata mangsa juga sudah mulai

hilang. Sikap hidup masyarakat Jawa masa kini mulai mengalami pergeseran yang

dan ada persinggungan budaya yang mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola

pikir (Endraswara, 2006: 5). Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan komunikasi yang cepat juga mulai menggeser nilai-nilai budaya

dan tradisi Jawa yang sudah ada, bahkan menganggap budaya dan pengetahuan

Jawa itu kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Terlepas dari

apakah pranata mangsa secara praktis bisa atau tidak digunakan saat ini,

pengetahuan ini memiliki peran sentral dalam sejarah masyarakat Jawa.

Salah satu cara yang paling efektif untuk memperkuat dan menjaga

keseimbangan tatanan sosial masyarakat dalam konteks pendidikan adalah dengan

mengintegrasikan pengetahuan indigenous di masyarakat melalui pembelajaran

dan kurikulum di sekolah (Baquete et al., 2016; McKinley & Stewart, 2012;

Regmi & Fleming, 2012). Pengintegrasian merupakan cara agar pengetahuan

lokal mendapatkan ruang dan akses yang lebih baik ke dalam sains sekolah,

10
sementara pada saat yang sama juga untuk memvalidasi masyarakat lokal

bagaimana memahami alam (Glasson, Mhango, Phiri, & Lanier, 2010). Secara

umum pengetahuan indigenous berkontribusi bagi pengetahuan lain yang berdasar

pada sesuatu yang bersifat ilmiah (McKinley & Stewart, 2012). Pengetahuan

indigenous pada dasarnya bersifat ilmiah yang diturunkan dari pengalaman dan

hasil pengamatan, akan tetapi tidak dijelaskan secara saintifik dan ada pula yang

dibentuk melalui cara lain seperti kepercayaan atau tuntutan dari seseorang yang

memiliki kekuasaan (Baquete et al., 2016).

Pengintegrasian ini juga bertujuan untuk menjaga eksistensi dan

keberlanjutan pengetahuan indigenous dalam lingkungan pendidikan (Chandra,

2014). Shizha (2014) berpendapat bahwa pengintegrasian pengetahuan indigenous

dapat membantu siswa untuk mengkonseptualisasikan pengetahuan, membantu

mengembangkan dan meningkatkan identitas dan percaya diri. Pengintegrasian

pengetahuan indigenous dalam pembelajaran sains di sekolah merupakan suatu

cara memperkenalkan pada generasi muda untuk menghargai nilai-nilai

indigenous (Baquete et al., 2016). Regmi & Fleming (2012) menyarankan agar

guru memikirkan kembali bagaimana bermanfaat dan berartinya pembelajaran

sains bagi siswa indigenous, dimana pengetahuan indigenous dan Western

scientific knowledge seharusnya terhubung dan memberikan kontribusi satu

dengan yang lain untuk kemajuan dan perkembangan sains. Selain itu, Atwater &

Riley (1993) dalam penelitiannya “Multicultural science education: Perspectives,

definitions, and research agenda” menyarankan bahwa para guru diharapkan

11
dapat mengkaitkan pengajaran mereka dengan pengetahuan multikultutral dimana

siswa terlibat langsung dalam sains.

B. Identifikasi Masalah

Sains sendiri pada dasarnya merupakan disiplin pengetahuan dimana siswa

sering mengalami kesulitan, instruksi pembelajaran yang diberikan juga terkadang

tidak efektif untuk membantu siswa memahaminya. Pembelajaran sains

menekankan pada proses bagaimana memahami sains di alam, yang merupakan

tempat semua kejadian terjadi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap guru,

analisis dokumen pembelajaran (silabus, RPP, buku guru, buku siswa) dan latar

belakang di atas, maka permasalahan yang terjadi adalah:

1. Pembelajaran sains tidak menyentuh pengetahuan lokal tradisional atau

indigenous yang ada di masyarakat. Hal ini memunculkan adanya celah

antara pengetahuan sains yang ada di masyarakat dengan pengetahuan

sains yang ada di sekolah. Pemahaman mengenai konsep sains yang lebih

bersifat konstektual, berdasar pada kearifan lokal yang setiap hari menjadi

lingkungan interaksi dari siswa maupun guru perlu untuk diperhatikan.

2. Pemahaman guru terhadap pengetahuan indigenous kurang dan lemah.

Wawancara terhadap beberapa guru menunjukkan mereka kurang paham

bahwa pengetahuan tradisional/ indigenous itu bersifat ilmiah dan

menganggapnya sebagai tradisi turun temurun dari orang tua. Hal ini

menyebabkan tidak terhubungnya pengetahuan di masyarakat dengan

12
pengetahuan di sekolah. Hakikatnya pengetahuan indigenous dan

pengetahuan sains dari di sekolah dapat diajarkan secara bersama-sama.

3. Tidak terdapat buku pendukung mengenai pengetahuan lokal tradisional

atau indigenous yang dapat dibaca dan dipelajari oleh guru dan siswa.

Buku pelajaran yang dipergunakan tidak memuat pengetahuan lokal dan

terpaku kaku pada buku guru dan buku siswa yang disediakan oleh

pemerintah sehingga pembelajaran sains lebih menekankan pada

pengetahuan kognitif.

4. Guru sains merasa tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan

materi dan perencanaan pembelajaran dengan baik, apalagi harus

mempelajari pengetahuan indigenous dan mengajarkannya pada siswa.

Hal ini dikarenakan silabus pembelajaran sains yang terlalu padat dan

melaksanakan praktikum dengan fasilitas yang kurang memadai.

5. Ada anggapan di kalangan guru bahwa mengajarkan pengetahuan lokal

tradisional atau indigenous terlalu sempit dan kurang sesuai dengan

perkembangan zaman. Pengetahuan indigenous dianggap terlalu kuno

dan terlalu dipaksakan jika diajarkan. Hal ini dikarenakan guru-guru

kurang memahami bahwa pengetahuan indigenous tersebut bersifat

ilmiah.

Berdasarkan hasil identifikasi di atas perlu suatu pengintegrasian atau

jembatan yang menghubungkan terputusnya jalur pengetahuan sains yang

diterima siswa di sekolah dengan pengetahuan indigenous di masyarakat. Hal ini

sangat penting agar sikap terasing yang dialami siswa pada pengetahuan

13
indgenous di masyarakat Jawa bisa dikurangi dan nilai-nilai budaya Jawa tetap

terlestarikan.

C. Fokus dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada identifikasi masalah, maka penelitian ini berfokus

pada konteks mengekplorasi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa yang

dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPA di sekolah. Adapun rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah

1. bagaimana relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

dalam pembelajaran sains di sekolah?

2. bagaimana cara mengintegrasikan pengetahuan indigenous konteks

mitologi Jawa dalam pembelajaran sains di sekolah?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mendeskripsikan relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran sains di sekolah

2. membangun pola pembelajaran sains yang dapat mengintegrasikan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa di sekolah

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu

manfaat praktis dan manfaat teoritis.

14
1. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. adanya buku panduan pengintegrasian pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa dalam Pembelajaran sains di sekolah

b. hasil penelitian diharapkan dapat digunakan oleh guru dan calon guru

untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sains di sekolah

c. kepedulian terhadap pengetahuan indigenous yang mempengaruhi

kualitas pembelajaran dan pengajaran sains di sekolah

2. Manfaat teoritis

a. sebagai masukan sekaligus referensi bagi penelitian lain yang relevan

b. pengembangan teori pembelajaran, pengajaran yang kontekstual

berbasis pengetahuan indigenous

15
BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk

memahami suatu fenomena dalam konteks tertentu (Golafshani, 2003). Penelitian

kualitatif yang digunakan adalah pendekatan etnografi yang berfokus pada

penemuan atau discovery dan mendeskripsikan budaya dari sekelompok orang

atau masyarakat. Penelitian ini menyajikan serangkaian informasi mengenai

pengetahuan lokal tradisional dari sekelompok orang atau daerah tertentu yang

sudah ditentukan. Menurut Pole & Morrison (2003: 3) ada lima karakteristik dari

penelitian etnografis, yaitu fokus terhadap lokasi, kegiatan atau setting tertentu;

memperhatikan perilaku sosial yang terjadi dalam lokasi, kegiatan atau setting

penelitian; mengkombinasikan berbagai macam metode dengan tujuan untuk

memahami perilaku sosial dari setting atau kegiatan yang diteliti; menekankan

pada data dan analisis secara detail; penelitian dilakukan secara teliti dan

kompleks.

Metode yang dipergunakan adalah eksploratori. Metode eksploratori

mendasarkan pada tiga langkah penting yaitu melakukan observasi, mencari pola

atau pattern dari pelaksanaan observasi, dan membuat kesimpulan (Johnson &

Christensen, 2013: 17). Sedangkan menurut Creswell (2012, 206) metode

eksploratori bukan untuk melakukan suatu generalisasi dari suatu fenomena atau

85
kajian, akan tetapi lebih pada menggali secara mendalam suatu topik atau

fenomena tertentu. Adapun desain dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 9. Desain Penelitian

86
Pada desain penelitian eksploratori di atas ada tiga tahapan yang harus

dilakukan, yaitu tahap 1 meliputi kajian teori dan kajian terhadap masyarakat;

tahap 2 adalah analisis; tahap 3 meliputi handbook pembelajaran sains indigenous

dan pelaporan.

1. Tahap 1. Melakukan observasi

a. Kajian literatur

Tahapan ini adalah tahapan awal penelitian. Pada tahapan ini

peneliti mencari dan mengkaji literatur mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan penelitian indigenous. Kajian literatur ini bertujuan

untuk mencari informasi sebanyak dan semendalam mungkin mengenai

penelitian indigenous baik dalam negeri maupun luar negeri. Tahapan ini

meliputi analisis jurnal-jurnal ilmiah mengenai penelitian indigenous,

pengetahuan indigenous dan pendidikan indigenous, dan buku-buku

mengenai mitologi Jawa yang sesuai dengan penelitian yang akan

dilakukan.

b. Kajian terhadap masyarakat

Pada tahapan ini peneliti melakukan kajian langsung ke masyarakat

Jawa. Kajian pada tahapan ini meliputi identifikasi pengetahuan

indigenous konteks mitologi Jawa dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Data lisan diperoleh melalui wawancara terhadap para tokoh adat di

masyarakat Jawa dan guru-guru sains di sekolah dan FGD. Sedangkan

data dalam bentuk tulisan diperoleh melalui dokumen di museum Jawa,

87
Kajian kurikulum sains, dan observasi langsung terhadap kegiatan yang

dilakukan di sekolah dan masyarakat Jawa.

2. Tahap 2. Mencari pola atau pattern

c. Analisis

Pada tahap ini peneliti akan mengorganisasikan atau

mengelompokkan data yang diperoleh pada tahapan sebelumnya ke

dalam matriks atau tabel berdasarkan jenis data. Data yang sudah

diorganisasikan selanjutnya akan dianalisis secara mendalam meliputi

analisis konten sains apa saja yang yang terdapat dalam pengetahuan

indigenous konteks mitologi Jawa, analisis kurikulum sains (standar

kompetensi lulusan (SKL), aspek kompetensi sains, silabus, rencana

pembelajaran, buku guru, dan buku siswa). Hasil analisis kualitatif

pengetahuan indigenous dan sains yang ada di sekolah kemudian

disejajarkan, dibandingkan dan dicari kesamaan dan perbedaannya yang

selanjutnya dibuat pemetaan terhadap kedua pengetahuan tersebut untuk

kemudian dijadikan dasar pengintegrasian. Apabila pada saat analisis

ternyata data yang diperoleh belum mencukupi maka akan dilakukan

tahapan ke dua kembali ke kajian masyarakat sampai dengan semua data

menurut peneliti sudah dianggap sesuai atau data jenuh.

3. Tahap 3. Membuat kesimpulan

d. Handbook pembelajaran sains indigenous.

Pada tahap ini hasil analisis mengenai pengetahuan indigenous dan

sains di sekolah akan diwujudkan dalam bentuk sebuah buku pegangan

88
atau handbook yang berisi konsep-konsep sains indigenous dan pedoman

mengenai pengintegrasian sains indigenous konteks mitologi Jawa di

sekolah, materi sains indigenous konteks mitologi Jawa, metode

pengintegrasian sains indigenous, dan contoh instrumen pembelajaran

sains indigenous.

e. Pelaporan:

Tahapan ini adalah penyajian hasil analisis pada tahap sebelumnya

yang sudah sesuai dengan teori dan kajian dari peneliti. Pelaporan akan

dilakukan apabila semua hasil analisis sudah dinyatakan trustworthiness

(valid) dan dependability (reliabel). Pelaporan hasil penelitian berupa

informasi substansial mengenai pengintegrasian pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa dalam pembelajaran sains di sekolah.

B. Lokasi/ Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY). Adapun lokasi penelitian di kota Surakarta dilaksanakan di museum Jawa

antara lain: Pura Mangkunegaran Surakarta, museum Radya Pustaka, Museum

Sonobudoyo dan Monumen Pers. Sedangkan untuk DIY lokasi penelitiannya

adalah Keraton Yogyakarta, museum Jawa Sonobudoyo, museum Tembi/ Omah

Jowo, Desa Trirenggo Kabupaten Bantul, SMP N 1 Bantul, SMPN 1 Pandak,

SMPN 1 Sewon, SMPN 2 Sewon, dan SMP 1 Jetis. Berikut adalah peta dari lokasi

penelitian wilayah kota Surakarta dan DIY.

89
Gambar 10. Peta kota Surakarta dan DIY sebagai basis kerajaan Mataram
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat)

Lama penelitian adalah 13 bulan dimulai dari bulan Oktober 2017 sampai dengan

bulan Oktober 2018. Adapun rincian pelaksanaan dan tanggal penelitian terdapat

dalam lampiran logbook penelitian.

C. Sumber Data

Sumber data penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.

Dalam penelitian ini, sumber data penelitian berasal dari hasil wawancara dengan

guru sains, tokoh masyarakat Jawa di DIY dan kota Surakarta, dokumen

pengajaran sains (RPP, silabus, buku guru, dan buku siswa), buku dan dokumen

mitologi Jawa yang terdapat di museum Jawa yang meliputi Pura Mangkunegaran

Surakarta, museum Radya Pustaka, Museum Sonobudoyo dan Monumen Pers.

90
Adapun rangkuman biografi dari informan penelitian disajikan dalam

tabel 9, sedangkan untuk uraian detail dapat dilihat pada kampiran identitas

informan.

Tabel 8. Biografi Informan Penelitian

Aspek Guru sains Tokoh masyarakat


Populasi Guru yang mengajar di Tokoh masyarakat Jawa yang
SMP Negeri di wilayah ada di DIY dan Surakarta
Bantul
Sampel 10 guru sains 13 orang
Kualifikasi Sudah bersertifikasi dan Memiliki pengalaman tentang
mengajar sains. mitologi Jawa dan
Berpendidikan S1 (8 berkecimpung dalam bidang
orang) dan S2 (2 orang) kebudayaan Jawa
Metode Purposive sampling Snowball
Setting Wawancara dan observasi Wawancara dan observasi
dilakukan di sekolah dilakukan di tempat informan
dimana guru bekerja bekerja dan dirumah
Jenis 3 orang laki-laki dan 7 13 orang laki-laki
kelamin orang perempuan
Pengalaman Mengajar sains lebih dari Memiliki pengetahuan dalam
15 tahun mitologi Jawa / pranata
mangsa

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi untuk

dapat menjawab rumusan masalah mengenai pengintegrasian pengetahuan

indigenous konteks mitologi Jawa dalam pembelajaran sains di sekolah.

Pengumpulan data dilakukan sejak awal perencanaan penelitian. Teknik

pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian adalah wawancara, kajian

dokumen dan literatur, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi lapangan.

91
1. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada orang-orang indigenous yaitu masyarakat

dan tokoh adat Jawa. Wawancara ini akan dilakukan secara mendalam yang

terdiri atas pertanyaan semi terstruktur untuk guru dan terbuka untuk tokoh

masyarakat. Wawancara semi terstruktur dilakukan kepada guru dikarenakan

informan memiliki tugas pokok yang sudah jelas yang diatur dalam Undang-

Undang. Sedangkan Wawancara terbuka dipergunakan untuk menggali

informasi secara mendalam kepada masyarakat yang kondisi dan situasi

belum dapat ditentukan secara pasti. Selain itu wawancara terbuka ini

dilakukan untuk menggali informasi secara menyeluruh mengenai apa yang

dipikirkan oleh informan, pengetahuan, alasan, motivasi, dan perasaaan

mengenai topik dan merekam semua jawaban (Johnson & Christensen, 2013:

235). Wawancara terbuka dipilih karena partisipan dapat menjawab

pertanyaan dengan lebih leluasa dan fleksibel serta jawaban lebih mendalam.

Teknik pengumpulan informan atau responden guru di sekolah

dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling area. Teknik ini

dipilih oleh peneliti dikarenakan ada pertimbangan seperti guru sains harus

sudah bersertifikasi, memiliki pengalaman mengajar sains, memiliki latar

belakang suku Jawa, wilayah tempat mengajar masih menggunakan

pengetahuan indigenous pranata mangsa dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan teknik pengambilan responden atau informan dari

masyarakat menggunakan snowball sampling. Snowball adalah metode

penentuan sampling dalam suatu jaringan yang dianalogkan dengan bola

92
salju, yang dimulai dari bola kecil yang kemudian membesar secara bertahap

(Neuman, 2014: 275). Responden diperoleh secara bergulir dari satu

responden ke responden yang lain yang dimulai dari satu atau beberapa

responden yang kemudian akan bertambah berdasarkan informasi dari

responden sebelumnya. Proses snowball pencarian data ini akan berhenti

apabila tidak ada penambahan informasi dari informan atau data sudah jenuh

atau homogen.

Gambar 11. Ilustrasi metode snowball dalam penentuan informan


Berikut adalah tabel kisi-kisi pedoman wawancara untuk guru dan

tokoh msyarakat Jawa.

93
Tabel 9. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara Guru dan Tokoh Masyarakat

Informan Aspek Kisi-kisi pedoman wawancara


tinjauan
1. Apakah guru-guru mengenal dan mengetahui
pengetahuan indigenous/ pengetahuan lokal
tradisional?
2. Apakah guru-guru mengetahui bahwa pengetahuan
tersebut bersifat ilmiah?
Eksistensi 3. Apakah guru-guru pernah mengajarkan pengetahuan
pegetahuan indigenous seperti pranata mangsa?
Indigenous 4. Apakah guru-guru pernah melakukan kajian
konteks mengenai pengetahuan indigenous?
mitologi 5. Apakah pembelajaran yang diajarkan saat ini sudah
Jawa di sesuai dengan nilai-nilai lokal yang ada di
sekolah masyarakat?
Guru
6. Bagaimana keberadaan pengetahuan lokal mitologi
(semi
Jawa saat ini?
terstruktur)
7. Apa yang harus disiapkan anak-anak sehingga nilai-
nilai pengetahuan dan keterampilan indigenous/
lokal tradisional tetap terjaga?
1. Bagaimana persiapan guru-guru sebelum mengajar?
2. Apakah guru-guru mempertimbangkan kemampuan
siswa atau ketersediaan sarana prasarana sekolah
sebelum mengajar?
Pembelajaran
3. Apakah guru-guru sering berdiskusi dengan teman
sejawat tentang materi atau hal lain yang berkaitan
dengan pembelajaran?
4. Apakah guru-guru melakukan perbaikan
pembelajaran?
Eksistensi 1. Bagaimana keberadaan pengetahuan lokal
pegetahuan tradisional konteks mitologi Jawa?
Indigenous 2. Darimana asal sumber pengetahuan yang dimiliki?
konteks 3. Bagaimana sikap masyarakat Jawa terhadap
Tokoh
mitologi pengetahuan lokal tradisional?
masyarakat
Jawa 4. Nilai luhur apa saja yang ada di masyarakat Jawa?
(terbuka)
5. Apa tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan
tradisi pranata mangsa?
6. Bagaimana cara melestarikan pengetahuan lokal atau
tradisional mitologi Jawa?

94
2. Kajian dokumen/ literatur

Selain wawancara, kajian dokumen atau literatur mengenai mitologi

Jawa dan kurikulum sains di Sekolah Menengah Pertama merupakan sumber

informasi yang sangat penting. Dokumen merupakan sumber informasi dan

data dalam bentuk teks yang siap dianalisis tanpa perlu disalin (Creswell,

2012, p. 225). Kajian dokumen dalam penelitian ini dilakukan di museum

Jawa yang menyediakan informasi mengenai mitologi Jawa dan dokumen

pembelajaran sains yang terdapat di sekolah. Kajian dokumen dilakukan

untuk menginvestigasi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa yang

terdokumentasi di museum-museum Jawa. Sedangkan analisis dokumen

kurikulum sekolah dilakukan untuk mengkaji apakah pengintegrasian

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa memungkinkan untuk

dilakukan dan apa saja topik atau materi yang dapat diintengrasikan. Analisis

dokumen sekolah ini meliputi analisis silabus, standar kompetensi lulusan

kelulusan, analisis aspek kompetensi pembelajaran, rencana pembelajaran,

buku guru, dan buku siswa.

3. Forum Group Discussion (FGD)

FGD merupakan salah satu metode riset kualitatif dalam bentuk diskusi

terfokus dari suatu kelompok untuk membahas suatu masalah atau topik

tertentu, dalam suasana informal dan santai (Calderon, 2011). Semua

partisipan dalam kelompok berdiskusi mengenai topik, saling belajar

membangun apa yang mereka dengar, mereka ketahui satu dengan yang lain.

FGD adalah cara yang baik untuk mengumpulkan orang dari latar belakang

95
atau pengalaman serupa untuk membahas topik tertentu sebagai data dalam

penelitian kualitatif (Calderon, 2011). FGD digunakan untuk mengeksplorasi

temuan yang tidak dapat dijelaskan secara statistik mengenai pengetahuan

indigenous konteks mitologi Jawa, kisaran pendapat/pandangan mengenai

pengetahuan indigenous, dan untuk mengumpulkan berbagai macam

informasi.

FGD dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu di Banjar

Wilapa dengan melibatkan empat orang abdi dalem di keraton Yogyakarta

pada tanggal 30 Juni 2018 dan tanggal 17 Juli 2018 di Pascasarjana UNY.

FGD pertama membahas mengenai falsafah Jawa, mitologi Jawa dan pranata

mangsa, sedangkan FGD kedua dilakukan untuk menyamakan persepsi

mengenai data penelitian antara pakar kebudayaan Jawa dari akademis dan

pakar pembelajaran sains. FGD dapat menjembatani penelitian dan kebijakan

sehingga bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang berbagai hal

diantara berbagai pihak yang terlibat dalam proses perubahan, sehingga

memungkinkan proses penelitian dikelola dengan lebih lancar. FGD

dilakukan dengan melibatkan partisipan atau subjek penelitian, yaitu tokoh

masyarakat Jawa dan para akademisi.

4. Observasi Lapangan

Observasi merupakan hal yang penting dalam penelitian kualitatif

karena merupakan langkah dasar penelitian untuk memahami topik

(Silverman, 1993: 9). Observasi dilakukan terhadap kegiatan proses

pembelajaran sains yang dilakukan guru di sekolah sebagai tindak lanjut dari

96
wawancara dan konfirmasi kemungkinan diajarkannya pengetahuan

indigenous tetapi tidak tertuang dalam RPP guru. Pada saat pelaksanaan

observasi peneliti akan melakukan pencatatan terhadap semua kegiatan

selama observasi berlangsung.

Tabel 10. Pedoman Observasi

No Aktivitas yang diperhatikan


1. Persiapan pembelajaran oleh guru
2. Pelaksanaan pembelajaran
3. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran
4. Perilaku guru terhadap siswa selama proses pembelajaran
5. Metode dan media pengajaran guru
6. Penilaian pembelajaran
7. Kemungkinan munculnya pengetahuan indigenous konteks mitologi
Jawa selama pembelajaran

Keempat metode dalam penelitian kualitatif ini saling berkaitan satu dengan

yang lain seperti digambarkan dalam bagan berikut.

Gambar 12. Hubungan antar variabel teknik pengumpulan data pada penelitian
kualitatif
Secara lebih terperinci teknik dan instrumen penelitian yang dipergunakan untuk

menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian disajikan dalam tabel

berikut:

97
Tabel 11. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Penelitian

No Rumusan masalah Pertanyaan penelitian Teknik dan instrumen


pengumpulan data
1 Bagaimana 1. Apa saja perbedaan dan persamaan antara pengetahuan 1. Wawancara dengan guru,
relevansi indigenous konteks mitologi Jawa dengan sains di sekolah? tokoh masyarakat Jawa
pengetahuan 2. Apa saja materi sains yang terdapat dalam pengetahuan 2. Dokumen pembelajaran sains,
indigenous konteks indigenous konteks mitologi Jawa? literatur dan dokumen
mitologi Jawa 3. Bagaimana relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
dalam pembelajaran mitologi Jawa dalam pembelajaran sains ditinjau dari 3. Observasi
sains di sekolah? kesesuaian kompetensi lulusan pembelajaran sains di SMP? 4. FGD
4. Bagaimana relevansi pengetahuan indigenous konteks
mitologi Jawa dalam pembelajaran sains di sekolah ditinjau
dari kesesuaian aspek kompetensi sains?
5. Bagaimana relevansi pengetahuan indigenous konteks
mitologi Jawa dalam pembelajaran sains di sekolah ditinjau
dari kesesuaian aspek pembelajaran sains?
2 Bagaimana cara 6. Bagaimana cara mengintegrasikan pengetahuan indigenous 1. Dokumen pembelajaran sains,
mengintegrasikan dengan pengetahuan sains di sekolah? literatur mitologi Jawa
pengetahuan 7. Bagaimana cara mengajarkan sains indigenous dalam 2. FGD
indigenous konteks pembelajaran sains di sekolah?
mitologi Jawa
dalam pembelajaran
sains di sekolah?

98
E. Keabsahan Data

Kesahihan tidak hanya sekedar mengukur apa yang seharusnya diukur,

namun juga mengandung pengertian sejauhmana informasi atau data yang

diperoleh dari pengukuran dapat diinterpretasikan sebagai capaian karakteristik

yang akan diukur (Kimberlin & Winterstein, 2008; Yusrizal, 2008). Pada

penelitian kualitatif kevalidan penelitian dikenal dengan istilah trustworthiness

(kepercayaan). Validitas dalam penelitian kualitatif merujuk pada sesuatu yang

plausible (masuk akal), credible (kredibel), trustworthy (dapat dipercaya), dan

defensiable (dapat dipertahankan) (Johnson & Christensen, 2013: 299).

Menurut Silverman, (1993: 156) validasi yang disarankan dalam penelitian

kualitatif adalah comparing different kinds of data (membandingkan berbagai

jenis data) dan different method (metode yang berbeda) untuk melihat apakah ada

keterkaitan dan saling menguatkan satu dengan yang lain. Proses membandingkan

ini dikenal dengan triangulasi. Triangulasi menurut Johnson & Christensen (2013:

299) merupakan pendekatan untuk memvalidasi dengan meninjau berbagai

macam, metode, sumber data, penyelidikan, dan pandangan teori yang menuju

pada kekonvergenan hasil, yaitu kesimpulan yang sama. Pendekatan ini

membangun kajian dan proses penelitian menjadi lebih sistematik, saling

mengkroscek informasi sehingga kesimpulan diambil melalui berbagai macam

prosedur atau sumber.

Penelitian ini menggunakan dua jenis triangulasi, yaitu triangulasi metode

dan triangulasi sumber data. Triangulasi metode adalah validasi yang dilakukan

dengan menggunakan berbagai macam metode dalam mengumpulkan data yaitu

99
observasi, wawancara, dokumen. Data dikatakan valid apabila hasil observasi,

hasil wawancara, dan dokumen menunjukkan kecenderungan yang sama atau

kohoren. Sedangkan triangulasi sumber data digunakan oleh peneliti untuk

memahami suatu fenomena atau mengumpulkan data dengan cara melakukan

wawancara terhadap orang-orang yang berbeda mengenai subjek mitologi Jawa

yang sama. data dikatakan valid apabila informasi yang diperoleh dari beberapa

informan menunjukkan kesamaan atau kemiripan. Selain triangulasi, keabsahan

data juga dilakukan melalui participant feedback (umpan balik dari informan),

dimana peneliti akan melakukan diskusi dengan informan untuk mengkonfirmasi

ulang dan memverifikasi data yang sudah diperoleh. Setelah hasil triangulasi dan

verifikasi, maka akan dilakukan pertemuan atau FGD yang terdiri atas para

praktisi dan akademisi yang berdiskusi untuk menyatukan persepsi mengenai hasil

penelitian yang diperoleh peneliti. Data dikatakan valid apabila ada kesamaan

persepsi selama antara praktisi dan akademisi dalam FGD.

Secara khusus reliabilitas dalam penelitian kualitatif dikenal dengan istilah

“dependability” atau dependabilitas (Golafshani, 2003). Keteguhan dalam

penelitian kualitatif setara dengan reliabilitas pada penelitian kuantitatif. Salah

satu cara untuk mengukur dependabiitas dari penelitian kualitatif adalah melalui

“audit inkuiri”. Audit inkuiri dapat dipergunakan untuk memeriksa proses dan

produk penelitian agar konsisten (Hoepfl, 1997; Seale, 1999). Meninjau kembali

sumber data dan teknik pengumpulan data. Konsistensi dari data akan dicapai

ketika tahapan penelitian dapat diverifikasi melalui pemeriksaan data mentah, data

100
hasil analisis, data hasil reduksi, dan catatan pada proses penelitian (Campbell,

1997).

Selain masalah validitas dan reliabilitas permasalahan lain yang sering

terjadi dalam penelitian kualitatif adalah bias peneliti. Peneliti harus berhati hati

dalam melakukan penelitian karena penelitian ini bergantung kepada apa yang

peneliti inginkan, yang kemudian dituliskan sebagai hasil. Untuk menghindari

bias peneliti, maka peneliti menggunakan strategi refleksi yang berarti bahwa

peneliti secara aktif melakukan kritik terhadap diri sendiri tentang potensial bias

dan kecenderungannya (Johnson & Christensen, 2013: 299). Selain itu peneliti

akan menulis semua kegiatan penelitian, ide penelitian dan semua hal yang

berhubungan dengan penelitian dalam bentuk catatan diary atau log book.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan enam

tahapan yang dikemukakan oleh Creswell (2012, p. 235) yaitu membaca dan

mengorganisasi data untuk di analisis, mengeksplor dan menyortir data kedalam

kerangka penelitian, pengkodean untuk membangun tema, menggunakan

kerangka penelitian untuk analisis deskriptif, analisis keberlanjutan dan

interpretasi penemuan, dan validasi keakuratan hasil penemuan. Gambar 13

berikut adalah urutan dari ke enam tahapan analisis.

101
Gambar 13. Tahapan analisis data kualitatif

1. Membaca dan mengorganisasi data untuk di analisis

Pada tahapan ini, peneliti membaca data awal dan mengumpulkan data

penelitian ke dalam sebuah folder atau matriks sesuai dengan jenis data yang

diperoleh. Data yang berupa teks seperti dokumen dan catatan observasi,

ataupun catatan dari hasil FGD akan dikumpulkan tersendiri, terpisah dengan

data yang berupa rekaman suara. Sedangkan data yang berupa rekaman hasil

wawancara akan diubah menjadi data teks tanpa mengubah kata-kata atau

jawaban dari responden. Setelah data audio dan data visual ditrankrip dalam

bentuk data teks selanjutnya semua data tersebut digolongkan dan

dikelompokkan sesuai dengan kerangka penelitian. Pengelompokan ini

dilakukan dengan memberikan kode atau tanda pada teks dengan tujuan

mempermudah dalam merestrukturisasi data.

2. Mengeksplor dan menyortir data kedalam kerangka penelitian

Tahapan ini merupakan tahapan analisis awal data dimana peneliti akan

membaca data secara umum untuk mengetahui kesesuaian data. Data yang

102
dianggap tidak sesuai dengan kerangka penelitian akan disortir atau direduksi.

Peneliti akan menyusun data sesuai dengan rumusan masalah penelitian dan

kerangka penelitian.

3. Pengkodean untuk membangun tema

Data yang sudah disortir kemudian akan dibaca secara lebih detail

untuk memberikan kode atau informasi data teks. Selama pengkodean,

reduksi data akan dilakukan kembali secara lebih detail untuk membentuk

sebuah tema yang sesuai dengan kerangka berpikir. Data yang sudah diberi

label atau kode akan dikumpulkan sesuai dengan kesamaan yang kemudian

kode tersebut akan diubah menjadi tema.

4. Menggunakan kerangka penelitian untuk analisis deskriptif

Hasil pengkodean yang sudah sesuai dengan kerangka penelitian akan

dianalisis secara deskriptif untuk menjawab rumusan masalah. Analisis ini

meliputi identifikasi tema hasil pengkodean dalam bentuk tabel, diagram serta

gambar. Semua temuan tersebut dijabarkan menjadi paragraf yang terintegrasi

dengan setting penelitian ataupun orang-orag yang indigenous yang menjadi

subjek penelitian.

5. Analisis keberlanjutan dan interpretasi penemuan

Pada tahapan ini hasil analisis deskriptif yang sudah sesuai pada

tahapan ke keempat akan dianalisis kembali untuk mencari penemuan atau

finding yang sangat berharga dari penelitian. Selain untuk menemukan

sesuatu yang berharga, analisis keberlanjutan ini juga merupakan wujud

refleksi dari penelitian yang sudah dilakukan meliputi keterbatasan penelitian,

103
saran yang diperlukan untuk penelitian lanjutan serta pandangan penelitian

yang mungkin bertentangan dengan literatur atau kajian pustaka.

6. Validasi keakuratan hasil penemuan

Pada tahapan ini, dilakukan pemeriksaan terhadap interpertasi

penemuan pada tahap lima melalui triangulasi dan audit inkuiri. Selain itu

peneliti juga akan melakukan FGD untuk menguatkan dan meyakinkan

keakuratan dari hasil penemuan penelitian.

Secara lebih rinci analisis data penelitian yang dipergunakan untuk

menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian disajikan dalam tabel 9.

104
Tabel 12. Analisis Data Penelitian

No Rumusan masalah Pertanyaan penelitian Analisa data


1 Bagaimana relevansi 1. Apa saja perbedaan dan persamaan antara 1) Menyiapkan dan mengorganisasi data
pengetahuan pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
indigenous konteks dengan sains di sekolah? 2) Mengkaji dan menyortir data pengetahuan
mitologi Jawa dalam 2. Apa saja materi sains yang terdapat dalam indigenous konteks mitologi Jawa sesuai dengan
pembelajaran sains di pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa? aspek kompetensi sains di sekolah
sekolah? 3. Bagaimana relevansi pengetahuan indigenous 3) Pengkodean/ kategorisasi
konteks mitologi Jawa dalam pembelajaran sains 4) Analisis deskriptif dari pemetaan yang meliputi
ditinjau dari kesesuaian kompetensi lulusan perbedaan dan persamaan sains indigenous
pembelajaran sains di SMP? konteks mitologi Jawa dengan sains sekolah,
4. Bagaimana relevansi pengetahuan indigenous hakikat NoNS dan NoIK, Analisis deskriptif dari
konteks mitologi Jawa dalam pembelajaran sains aspek Standar Kompetensi Lulusan SMP, aspek
di sekolah ditinjau dari kesesuaian aspek kompetensi (sikap, keterampilan dan
kompetensi sains? pengetahuan) dan aspek pembelajaran (metode
5. Bagaimana relevansi pengetahuan indigenous pengajaran, media pembelajaran, dan penilaian)
konteks mitologi Jawa dalam pembelajaran sains 5) Analisis lanjut dan interpretasi pemetaan
di sekolah ditinjau dari kesesuaian aspek pengetahuan Indigenous konteks mitologi Jawa
pembelajaran sains? dalam pembelajaran sains di sekolah
2 Bagaimana cara 6. Bagaimana cara mengintegrasikan pengetahuan 4) Analisis deskriptif dari pengintegrasian
mengintegrasikan indigenous dengan pengetahuan sains di pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
pengetahuan sekolah? 5) Analisis lanjut dan interpretasi pengintegrasian
indigenous konteks 7. Bagiamana cara mengajarkan sains indigenous pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
mitologi Jawa dalam dalam pembelajaran sains di sekolah? 6) Validasi keakuratan cara pengintegrasian
pembelajaran sains di
sekolah?

105
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dalam

pembelajaran sains di sekolah

a. Perbedaan dan persamaan antara pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa dengan sains di sekolah

Paradigma indigenous menjadi orientasi dasar untuk membangun

teori dan melakukan penelitian dengan kepercayaan mendasar bahwa

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa adalah rasional. Orientasi

dan pandangan ini didasarkan pada aspek ontologi, epistemologi dan

aksiologi.

1) Ontologi

Secara ontologi, orang Jawa selalu berada dalam hubungan

dengan Tuhan dan alam. Orang-orang Jawa berpikir dan merenungi

dirinya dalam rangka menemukan jati diri dalam kaitan dengan Tuhan

untuk mencapai kesempurnaan hidup. Orang yang sempurna adalah

yang bisa menemukan jati dirinya sendiri.

... seperti Werkudara dalam lakon Dewa Ruci hidup itu apa sih,
ketika dia sudah berhasil ternyata bertemu dengan dirinya
sendiri. Orang yang sempurna adalah bisa menemukan jati
dirinya sendiri dan yakin bisa berdialog dengan diri sendiri
(wawancara KI, 15 April 2019)

Orang Jawa mencurahkan seluruh kemampuan dan keberadaan

diri baik raga maupun jiwanya secara utuh untuk mencapai

106
kesempurnaan “the love of perfectionism” (ngudi kasampurnan)

sebagai tujuan akhir melalui sembah kalbu, sembah rasa, sembah

raga, sembah cipta.

Sempurna itu adalah tingkatan yang paling tinggi ... Orang Jawa
itu pinginnya hidupnya sempurna, sempurna dalam hal
kehidupan di dunia dan mati masuk surga, makanya ada
istilahnya manunggaling kawula gusti karena itu adalah
kesempurnaan sejati. Dalam mencari kedekatan dengan Tuhan
ada istilah sembah rasa, sembah raga, sembah kalbu, sembah
sejati. Sembah rasa itu keseriusan/ kekhusyukan, sembah raga
itu tata cara/ syariat. Sembah kalbu itu hatinya bersih dan suci,
sembah sejati itu Tuhan. agar ada keseimbangan/ balancing
dalam hidup, memenuhi kebutuhan batin (wawancara KI, 1
Agustus 2018).

Ngudi kasampurnan akan dicapai melalui falsafah sangkan paraning

dumadi yang menunjukkan ulah daya hidup atau rahsa untuk menyatu

dalam kehidupan sejati dan bergerak menuju kesempurnaan.

sangkan paran itu dari dan akan kemana orang Jawa itu. Dari
segi kosmologi kita kan berasal dari Bapa angkasa dan ibu
pertiwi. Ibu pertiwi itu disimbolkan Dewi Sri dan bapa angkasa
itu adalah simbol langit. Orang Jawa asal-usulnya sendiri kan
berasal dari tanah. semua tidak ada yang tidak berasal dari tanah,
tidak ada yang tanpa tanah. orang hidup karena tanah ...
(wawancara SE, 13 Agustus 2018)

... sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula gusti.


Sangkan paran artinya asalnya dari mana dan menuju atau mau
kemana.... (wawancara TY, 16 Agustus 2018)

Sangkaning dumadi itu manusia berasal dari mana, terdiri atas


apa saja ... Paraning dumadi ya kehidupan yang dijalani
manusia.. (wawancara KI, 15 April 2019)

Orang Jawa percaya bahwa alam adalah perwujudan dari Tuhan

yang disimbolkan dengan perlambang seperti dewa yang dikenal

107
dengan bapa angkasa. Rasa percaya ini adalah dasar dan pondasi

utama untuk mengetahui dan memahami alam. Alam semesta

diciptakan terkait dengan kehidupan manusia, agar manusia selamat

dan mencapai kesempurnaan hidup sejati. Mereka selalu berhubungan

dengan alam lingkungannya sebagai satu kesatuan yang utuh. Semua

itu adalah cara masyarakat Jawa memandang suatu realitas alam dan

Tuhan.

2) Epistemologi

Epistemologi adalah bagaimana mencari pengetahuan,

bagaimana mendapatkan pengetahuan atau memperoleh suatu

pemahaman tertentu. Logika berpikir orang Jawa adalah sirkular yaitu

mempertimbangkan baik buruk, baik bagi dirinya sendiri maupun

orang lain berdasarkan pengalaman ataupun wejangan secara lisan

dari orang tua atau lingkungan. Pemikiran ini menekankan bahwa

semua perlu dipikirkan, dirasakan, diucapkan, dan dilakukan. Proses

mengajarkanya diturunkan dari generasi ke generasi melalui cerita

dongeng dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bentuk hubungan

antara dunia manusia, semangat, alam, dan benda mati termasuk

persepsi dari pengalaman. Persepsi ini merupakan ekstraksi dari

informasi yang diperoleh sebagai hasil interaksi dengan lingkungan

dan dirinya sendiri dalam wujud pengalaman.

Lingkungan sangat menentukan pemikiran seseorang, untuk


mencari jalan keluar dimana pengalaman dan kebiasaan dari
orang sekitar akan menbangun persepsi untuk kematangan jiwa.

108
Bisa juga melalui pencarian seperti semedi atau kontemplasi
(wawancara KI, 15 April 2019)

Pengetahuan yang diperoleh bersifat holistik, lokal, unik,

subjektif, dan multikultural. Hal ini dikarenakan pengetahuan ini

diperoleh melalui pengalaman inderawi, otoritas, dan ngalamat.

... Jadi begini, berbagai pengetahuan lokalitas yang abstrak tidak


bisa dijelaskan dengan menggunakan teori-teori barat, karena
pemikirannya tidak sampai kesempurnaan, pikirannya linier...
Intinya orang Jawa itu tidak to the point apa anane... ... Mitologi
Jawa bukan mitos tetapi pengetahuan orang Jawa. Pengetahuan
itu bersifat holistik tidak terpilah-pilah. Mitologi Jawa adalah
semua pengetahuan Jawa yang berkaitan dengan mitos, seni,
perilaku, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya...
(wawancara KI, 1 Agustus 2018).

... mendapatkan pengetahuan bisa dari literasi, tradisi lisan, bisa


dari guru, dll sehingga dalam serat-serat itu ada dialog antara
guru dengan murid seperti dalam suluk-suluk, dalam wayang
contoh Dewa Ruci ...(wawancara KI, 15 April 2019).

Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi diperoleh

dengan membaca tanda-tanda alam seperti perilaku hewan, tumbuhan,

angin, suhu, dan sebagainya. Pengetahuan yang diperoleh melalui

pengalaman otoritas berasal dari kekuasaan yang dimiliki oleh

sesorang, seperti Paku Buwana VII di Surakarta pada tahun 1830-

1858 yang membakukan kalender pranata mangsa. Sedangkan

pengetahuan yang berasal dari ngalamat diperoleh dari firasat, atau

wahyu seperti penyusunan nama hari pasaran oleh Resi Radi di masa

Prabu Watugunung yang diceritakan dalam serat Babad Ila-Ila.

Pengalaman yang diperoleh kemudian disintesis dengan cipta, rasa,

dan karsa. Cipta adalah kemampuan berpikir atau akal pikiran, rasa

109
adalah kemampuan merasakan dan intuisi, karsa adalah kemauan

untuk mencapai tujuan atau kehendak.

3) Aksiologi

Aksiologi adalah bagaimana menerapkan,

mengimplementasikan pengetahuan atau ajaran di masyarakat yang

nantinya akan berkaitan dengan nilai-nilai. Aksiologi di masyarakat

Jawa berhubungan dengan nilai-nilai yang lebih terkait dengan etika

hal baik dan hal buruk yang diwujudkan dalam empat sifat dasar

manusia yaitu: mutmainah, amanah, lawamah, dan supiah. Sifat dasar

tersebut mendasari perilaku dan wujud kedewasaan orang Jawa.

... dalam kehidupan kita diberi empat nafsu yaitu, amarah


(abang), supiah (kuning), aluwamah (ireng), mutmainah (putih).
Ada yang nyebut ludra, angkara, sungkerta, anuraga.... dalam
diri kita itu kan ada nafsu amarah, aluwamah (keinginan untuk
makan), supiyah (keinginan yang menarik/seksualitas),
mutmainah (orang itu memiliki keinginan berbuat baik-baik).
(wawancara SU, 22 Juli 2018).

... yang harus di kendalikan itu adalah empat wujud nafsu


amarah, aluwamah, supiyah, dan mutmainah. Ini tidak dihindari
tetapi dikendalikan. Kalau manusia tidak memiliki 4 hal ini bisa
bahaya ... ke empat nafsu ini dalam kehidupan harus
dikendalikan agar terjadi keseimbangan oleh sukma sejati
(wawancara KI, 15 Aprili 2019)

Keempat sifat dasar manusia itu harus dikendalikan. Manusia

harus selalu berbuat baik terhadap alam dan terhadap sesama manusia.

Orang Jawa menjaga hubungannya dengan alam dengan memilih

hidup selaras dan harmoni dengan alam, berusaha mempersatukan

dirinya dengan alam seperti sebuah keluarga “ibu pertiwi bapa

110
angkasa”. Berbuat baik terhadap alam berarti berbuat baik kepada ibu

“ibu pertiwi”. Pertiwi adalah bumi yang melambangkan seorang ibu

yang menyayangi anaknya dengan menumbuhkan tanaman untuk

kebutuhan manusia. Sedangkan langit “angkasa” adalah simbol ayah

yang akan selalu melindungi dan akan menurunkan hujan agar

tumbuhan tumbuh dengan subur.

Selain itu, hubungan baik antar sesama manusia merupakan

interaksi saling kebergantungan sehingga sikap tepaslira (tenggang

rasa, saling menghormati dan menghargai) merupakan nilai-nilai yang

sangat dijunjung tinggi. Sikap tepa slira ini memainkan peran yang

sangat penting dalam interaksi secara sosial, memperlakukan orang

lain dengan baik seperti pada diri sendiri. Pengejawantahan hubungan

secara sosial ini banyak diwujudkan dalam berbagai ungkapan seperti

rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, wani ngalah luhur

wekasane, dll.

Ditinjau dari hakikatnya, pengetahuan indigenous memenuhi hakikat

sains yang meliputi cara berpikir, cara menyelidiki atau menginvestigasi,

dan kumpulan pengetahuan. Adapun penjabaranya adalah sebagai berikut

1) Cara berpikir

Cara bepikir dalam pengetahuan indigenous konteks mitologi di

masyarakat Jawa adalah sirkular yang bersifat lokal terkait dengan

metafisik, spiritual dan kepercayaan yang dilambangkan dalam

simbol-simbol atau perlambang. Perlambang adalah bentuk

111
gambaran, simbol atau kiasan dari penghayatan dan pemikiran yang

tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata teratur, sistematis dan logis.

Cara berpikir ini dilandasi oleh pengalaman dan rasa ingin tahu yang

diwujudkan dalam imajinasi, pemikiran hubungan sebab akibat

dengan pandangan objektif dan subjektif untuk tujuan

mempertahankan keberadaan, keberlangsungan hidup, keseimbangan

dan harmonisasi dengan alam.

... Jadi begini, berbagai pengetahuan lokalitas yang abstrak tidak


bisa dijelaskan dengan menggunakan teori-teori barat, karena
pemikirannya tidak sampai kesempurnaan, pikirannya linier...
Intinya orang Jawa itu tidak to the point apa anane... dalam
prakteknya ya agar terjadi harmonisasi dalam kehidupan....
Disini ada hubungan bagaimana keseimbangan antara manusia
dengan alam. Tujuannya adalah ya tadi agar ada balancing,
karena itu hukum alam... (Wawancara KI, 1 Agustus 2018)

... kalau di Jawa setiap ada hal yang baik akan diimbangi oleh
hal yang buruk, dan setiap hal yang buruk akan diimbangi oleh
hal yang baik. ... (Wawancara SU, 15 Oktober 2017)

Pengetahuan indigenous di masyarakat Jawa meninjau alam bukan

sebagai suatu interaksi dan adaptasi, tetapi memahami dan menjaga

keberlangsungan alam sebagai suatu proses kehidupan dan

harmonisasi untuk keberlangsungan dan falsafah hidup, seperti orang

tua kepada anak.

2) Cara Menyelidiki

Proses penyelidikan dalam pengetahuan indigenous di

masyarakat Jawa bukan melalui percobaan, tetapi lebih kepada

pengejawantahan dari pengalaman yang dialami orang-orang tua pada

112
saat muda yang selanjutnya disampaikan secara lisan dan contoh

perilaku secara turun temurun antar generasi. Detail dari pengetahuan

ini dikomunikasikan dalam sebuah cerita atau legenda, laku, dan

sebagainya.

Ilmu pitungan Jawa diperoleh secara turun temurun dari bapak


... (Wawancara KA, 2 Juni 2018)

... bapak kula niku ngandane, yen mangsa ngene tandure ngene
lo le, mas tua kula pun ngandani mangsane niki. Nderek
ketang-ketang saking mbah, saking kempalan kempalan
menika... (wawancara DH, 26 Desember 2017)

Hasil dari pengalaman selanjutnya dijadikan dasar untuk membangun

suatu persepsi, hipotesis atau dugaan, pengamatan, klasifikasi,

imajinasi, mitos, keterampilan hidup, yang selama kurun waktu antar

generasi menjadi suatu pembuktian atas penyelidikan dan

penyelesaian masalah yang dikenal dengan ilmu titen.

Orang itu harus titen, open, tlaten, saen. Saen itu berpikir
positif... Karena kalau di Jawa setiap ada hal yang baik akan
diimbangi oleh hal yang buruk, dan setiap hal yang buruk akan
diimbangi oleh hal yang baik. Ini adalah filsafat Wong Jawa...
(wawancara SU, 15 Oktober 2015)

... yen mangsa niku mboten saget diganggu, mboten saget di


lira, menika pun alam, kecenderungan misale ninggali aturan
alam menika biasanipun sak derenge tanggal 15 angin
grobogan bulan kawolu, pantun saget seda, wonten walang
sangit, sundep-sundep menika katah, hasile sekedik, malah
mboten panen....(wawancara DH, 26 Desember 2017)

3) Kumpulan pengetahuan

Kumpulan pengetahuan indigenous di masyarakat Jawa adalah

ilmu yang terintegrasi dan holistik dengan fakta-fakta terbuktikan dan

113
tidak terbuktikan karena berupa kepercayaan atau spiritual dan

metafisika yang meliputi manusia maupun bukan manusia sebagai

bagian dari kehidupan. Masyarakat Jawa berdasarkan pengalamannya

berinteraksi dengan lingkungannya, dan pengakuan adanya kekuatan

spiritual dan metafisika yang mempengaruhi kehidupannya.

Hitungan pawukon masih banyak digunakan, misal untuk


menentukan hari hajat, bangun rumah, bangun perusahaan,
kawinan, ..perhitungan hari baik... ... Pawukon dalam horoskop
Jawa menggambarkan watak manusia... disimbolkan dengan
tokoh tokoh wayang... (Wawancara TY, 16 Agustus 2018)

Pranata mangsa itukan siklus atau perputaran kehidupan


sakjane, dimana di dalamnya ada waktu-waktu tertentu yang
berkaitan dengan pertanian... ... pranata mangsa itu lebih lokal
ke arah penjagaan terhadap alam. Pranata mangsa itu
menselaraskan kejadian-kejadian alam dengan menjaga
ekosistem... (wawancara SU, 15 Oktober 2017)

Pengetahuan ini saling berkaitan, melengkapi dan menyeluruh untuk

mencapai keselamatan dan kesempurnaan. Kumpulan pengetahuannya

adalah pengalaman yang lebih menekankan pada proses dan

keterampilan hidup. Secara sederhana dapat dikatakan kumpulan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa hanya sarana untuk

mencapai kesempurnaandan kesejatian hidup. Secara lebih terperinci

perbedaan hakikat dari sains dan pengetahuan indigenous konteks

mitologi Jawa disajikan dalam tabel 13 berikut

114
Tabel 13. Hasil analisis hakikat sains (NoNS) dan hakikat pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

Hakikat sains (NoNS) Hakikat pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa (NoIK)
Cara berpikir
Cara berpikir dalam sains adalah bagaimana Cara bepikir dalam pengetahuan indigenous konteks mitologi di masyarakat Jawa adalah sirkular
memahami dan mengeksplorasi alam. Cara terkait dengan hal-hal spriritual atau kepercayaan yang dilambangkan dalam simbol-simbol atau
berpikir ini dipengaruhi oleh faktor percaya, perlambang. Cara berpikir ini dilandasi oleh pengalaman dan rasa ingin tahu yang diwujudkan
rasa ingin tahu, imajinasi, alasan, hubungan dalam imajinasi, pemikiran hubungan sebab akibat dengan pandangan objektif dan subjektif untuk
sebab akibat, evaluasi diri dan skeptis, tujuan mempertahankan keberadaan, keberlangsungan hidup, keseimbangan dan harmonisasi
objektif dan berpikir terbuka. dengan alam. Pengetahuan indigenous di masyarakat Jawa meninjau alam bukan hanya sebagai
suatu interaksi dan adaptasi, tetapi juga memahami dan menjaga keberlangsungan alam sebagai
suatu proses kehidupan dan harmonisasi untuk keberlangsungan dan falsafah hidup.
Cara Menyelidiki
Cara menyelidiki dalam sains merupakan Proses penyelidikan dalam pengetahuan indigenous di masyarakat Jawa bukan melalui percobaan,
kesatuan dari berbagai pendekatan, metode tetapi lebih kepada pengejawantahan pengalaman yang dialami orang-orang tua pada saat muda
yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang disampaikan secara lisan dan contoh perilaku secara turun temurun. Hasil dari pengalaman
untuk mencari solusi dari suatu permasalahan selanjutnya dijadikan dasar untuk membangun suatu persepsi, hipotesis atau dugaan, pengamatan,
atau membuktikan kebenaran. Tahapan yang klasifikasi, imajinasi, mitos, keterampilan hidup, yang selama kurun waktu antar generasi menjadi
dilakukan meliputi melakukan pengamatan, suatu pembuktian atas penyelidikan dan penyelesaian masalah yang dikenal dengan ilmu titen.
membangun hipotesis, melakukan percobaan,
mengkomunikasikan (disajikan secara
matematis)
Kumpulan Pengetahuan
Kumpulan pengetahuan dalam sains Kumpulan pengetahuan indigenous di masyarakat Jawa adalah ilmu yang terintegrasi dan holistik
dihasilkan dari banyak ilmu dan bidang kajian dengan fakta-fakta terbuktikan dan tidak terbuktikan karena berupa kepercayaan baik manusia
yang menunjukkan hasil kreasi manusia maupun bukan manusia sebagai bagian dari kehidupan. Pengetahuan ini saling berkaitan dan saling
disajikan dalam fakta, konsep, hukum dan melengkapi untuk tujuan mencapai keselamatan dan kesempurnaan dalam hidup. Kumpulan
prinsip, teori, model pengetahuannya adalah pengalaman yang lebih menekankan pada proses dan keterampilan hidup.

115
Berdasarkan tabel 13 di atas ada beberapa aspek yang berkaitan atau

kesamaan antara pengetahuan sains normatif di sekolah dengan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa Adapun keterkaitan atau

persamaan dari kedua pengetahuan tampak pada tabel 14 berikut:

Tabel 14. Persamaan antara sains dan pengetahuan indigenous konteks


mitologi Jawa

Indikator Hubungan Antara Nons Dan Noik Konteks Mitologi Jawa


Cara Alam adalah nyata, dapat diamati, dan diprediksi. Memahami
berpikir alam didasari oleh rasa percaya, ingin tahu, imajinasi, dan
hubungan sebab akibat
Cara Pengalaman adalah dasar untuk melakukan pengamatan yang
menyelidiki mendalam, merumuskan hipotesis atau membuat prediksi, dan
mengkomunikasikannya dengan tujuan untuk menyelesaikan
masalah
Kumpulan Kumpulan Pengetahuan adalah hasil pengalaman dan
pengetahuan pemikiran manusia dapat bentuk fakta, konsep, prinsip dan
keterampilan

b. Materi sains dalam Pranata mangsa

Pranata mangsa merupakan pengetahuan sains kultural dan

pedoman bagi masyarakat Jawa mengenai periodisasi waktu selama satu

tahun yang dibagi menjadi 12 mangsa berdasarkan peredaran matahari

(suryasangkala). Pengetahuan ini penuh dengan kearifan dalam membaca

tanda-tanda alam seperti letak matahari, arah angin, cuaca, kegiatan hewan

dan tumbuhan yang menghubungkan antara orang-orang dengan

lingkungannya untuk saling memahami, menghormati, dan memiliki.

Di masyarakat Jawa khususnya para petani di wilayah Yogyakarta,

mereka masih menggunakan pranata mangsa sebagai patokan dalam

pertanian walaupun ada beberapa pergeseran seperti, masa tanam padi

116
pranata mangsa pada zaman dahulu adalah satu kali sedangkan saat ini

sudah berubah menjadi dua atau tiga kali. Berikut adalah gambar kalender

pranata mangsa atau dikenal dengan almanak dinding yang masih dipakai

oleh masyarakt Jawa di wilayah Yogyakarta khususnya Kabupaten Bantul.

Gambar 14. Kalender pranata mangsa (almanak dinding)

Pranata mangsa bukan hanya kawruh yang memuat konsep

mitologi, tetapi juga ilmu pengetahuan alam yang dapat diajarkan dalam

pembelajaran. Penelitian ini mencoba mengkaji dan menghubungkan

keterkaitan antara pranata mangsa sebagai mitologi Jawa dengan

117
pengetahuan ilmiah atau sains di sekolah menengah pertama yang

disajikan dalam gambar 15.

Gambar 15. Pranata mangsa sebagai mitologi Jawa dan pengetahuan


ilmiah

Sebagai perwujudan dari pengetahuan indigenous, pranata mangsa

memuat dongeng atau legenda, tembang, larangan (gugon tuhon/ora ilok),

palintangan, dan pawukon yang masih dipercayai dan dipergunakan dalam

kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa sampai saat ini.

1) Dongeng

Dongeng adalah cerita prosa lisan yang berkisah tentang

perjalanan hidup tokoh manusia, binatang dan riwayat tempat.

Dongeng berisikan pendidikan moral dan etika tentang sifat dan

tindakan yang baik dan kecerdikan tokoh utama dalam menghadapi

sifat dan tindakan jahat. Dongeng yang terdapat dalam pranata

mangsa adalah dongeng Dewi Sri dan Murwakala. Dongeng ini

diceritakan melalui lisan dan divisualkan dalam bentuk wayang.

118
Dongeng Dewi Sri memuat informasi mengenai sikap

menghargai alam sebagai suatu proses kehidupan seperti seorang ibu

yang selalu memberi kehidupan bagi tumbuhan, hewan dan manusia.

... Widodari Sri adalah lambang kemakmuran dan itu adalah istri
dari Wisnu... Bagi orang Jawa Dewi Sri adalah Dewi
kemakmuran, Dewi kebahagiaan, Dewi Padi yang berpasangan
dengan Sadono, melambangkan ketentraman hidup dan
kebahagiaan sehingga orang Jawa mempunyai ruang khusus di
senthong tengah tempat untuk meletakkan patung Lara Blanya
(wawancara KRTR, 11 Agustus 2018)

... Dewi Sri ini akan memberi kemakmuran, kesuburan dan


kebaikan bagi masyarakat. Alam dipelihara dengan baik
sehingga hasil panen berikutnya lebih baik melalui upacara
boyong Dewi Sri. Disini ada hubungan bagaimana
keseimbangan antara manusia dengan alam... (wawancara KI, 1
Agustus 2018)

Gambar 16. Tokoh Dewi Sri dalam pewayangan


(http://caritawayang.blogspot.com/2013/02/dewi-sri.html)

Sedangkan dongeng Murwakala memuat informasi mengenai

konsep waktu bagi masyarakat Jawa (purwaning dumadi) yaitu awal

dimulainya kehidupan manusia. Istilah murwakala adalah perlambang

119
atau simbol untuk peristiwa yang dialami atau menimpa manusia.

Murwa berarti awal mula dan kala berarti waktu. Murwakala berarti

asal mula sang waktu atau sangat (saat yang persis tepat berkaitan

dengan baik buruk dan untung malang). Waktu diibaratkan seperti

seorang raksasa yang akan menelan apapun apabila tidak

dipergunakan secara baik.

Batara Kala itu waktu yang tidak tepat dan tidak pada
tempatnya. Kalau salah memanage waktu maka dia akan kalah
dan dimakan oleh waktu itu sendiri... (Wawancara SE, 13
Agustus 2018)

Gambar 17. Wayang Murwakala


(http://albumkisahwayang.blogspot.com/2014/08/murwakala.html)

Ada empat sa’at yang dalam dongeng Murwakala sebagai konsep

waktu, yaitu Sa’at gegat-esuk, gegating raina (pada saat terbit fajar),

Sa’at surya tumumpang aksa (tengah hari saat matahari tepat di atas

kepala), Sa’at sandyakala/sandhekala (senjakala atau matahari

terbenam), dan Sa’at candra tumumpang aksa (tengah malam saat

bulan purnama tepat di atas kepala). Pada ke empat sa’at tersebut,

120
orang diwajibkan berada pada kondisi jagra (terjaga, bangun dan

sadarkan diri), berjaga jaga terhadap kemungkinan adanya Kalahala

(bahaya/ hal buruk).

2) Tembang

Tembang merupakan syair yang diberi nada atau irama untuk

dinyanyikan. Adapun tembang yang memuat informasi menganai

pranata mangsa adalah slisir mareng tenggereng. Slisir mareng

tenggereng memuat informasi mengenai suasana malam hari di

mangsa mareng dan aktifitas para petani Jawa pada zaman dahulu.

...
...
...
Kang saweneh punggawa piniji
asung penget pangreksaning raga
ing mangsa roga praptane
yeku arya kumukus
manjer dwaja neng pancaniti
tangeh yen winursita
satataning dalu
ndungkap luwaring sewaka
jaka belek merem melek melik-melik
sasmita minta nendra
...
...
...

3) Gugon tuhon/ ora ilok

Konsep etiket atau sistem nilai berkaitan dengan hal-hal yang

layak dan tidak layak, patut dan tidak patut merupakan bagian dari

aturan bertingkah laku yang dikenal dengan istilah gugon tuhon dan

ora ilok. Gugon tuhon adalah piwulangan (ajaran) yang bersifat

121
pamali (larangan) atau himbauan untuk tidak dilakukan. Sedangkan

istilah ora ilok adalah bagian dari aturan bertingkah laku di

masyarakat Jawa. Ora ilok adalah hal yang dianjurkan untuk tidak

dilakukan agar orang Jawa tidak bertindak sembarangan. Ora ilok

memiliki dua fungsi: menanamkan nilai etis dan menanamkan nilai

estetis. Larangan atau pepali yang ada dalam pranata mangsa banyak

berkaitan dengan larangan untuk melakukan suatu perbuatan. Tabel

berikut 15 adalah contoh dari ungkapan gugon tuhon yang berkaitan

dengan keseharian di masyarakat Jawa.

Tabel 15. Ungkapan gugon tuhon dan maknanya dalam pranata mangsa
Ungkapan Makna/ tafsir
Ora ilok Jendhela Pada sore hari akan banyak hewan seperti nyamuk akan
menga. Srengenge masuk dalam rumah. Selain itu angin sore atau malam juga
wis meh surup, tidak baik untuk penghuni rumah
jendhela durung
ditutup.
Ora ilok Lumbung Biasanya petani menyimpan padi di dalam lumbung yang
tanpa dhedhasar beralaskan daun kluwih yang juga sebagai do‟a agar hasil
panen bisa cukup untuk panen berikutnya dan lebih (turah
luwih)
Ora ilok Pawon Dapur yang menghadap ketimur tidak baik karena sinar
mangetan matahari dari timur akan menyebabkan silau dimata saat
memasak (banjur silo marga pletheking srengenge saka ing
wetan)
Nugel wungkal Mematahkan batu pengasah pisau atau parang, akan
mendapatkan sial
Ora ilok nandur Menanam tanaman bawang, cabe, jagung di pekarangan
bawang, lombok, rumah akan menyebabkan sial
jagung, ing
pekarangan omah
ora ilok nandur maja Menanam pohon maja di halaman rumah akan menyebabkan
aneng latar sial, jika buahnya masak, jatuh dan pecah bau busuknya
akan sangat menyengat dan mengganggu
yen tandur aja nerak Menanam padi tidak boleh dihari saat kedua orang tua atau
geblak, tompo seren, mertua meninggal, bulan suro, atau hari na‟as petaninya agar
nas taliwangke hasil panen baik dan tidak membawa hal buruk

122
4) Kawruh palintangan

Ilmu perbintangan sangat terkait erat dengan kawruh pranata

mangsa. Kawruh palintangan yang banyak dipergunakan oleh

masyarakat Jawa antara lain lintang Waluku atau lintang luku, lintang

lumbung, lintang panjer rina, panjer sore, lintang gubug penceng, dll.

... gubug penceng menunjukkan kidul. Panjerina itu planet


Venus. Ana meneh Bima Sekti. Bima Sekti itu terdiri atas ribuan
bintang neng langit kaya Werkudara nuak tutuge naga (nyuwek
cangkeme naga). Seng cetha pertanian ya lintang luku....
(wawancara KRTR, 11 Agustus 2018)

Lintang-lintang tersebut dipergunakan sebagai penanda perubahan

mangsa dan musim bagi masyarakat Jawa khususnya petani. Sebagai

contoh munculnya lintang Waluku atau rasi bintang Orion

menandakan musim bertani akan dimulai. Lintang Waluku atau rasi

bintang Orion di khatulistiwa tampak dalam posisi horisontal. Berikut

adalah tampilan lintang Waluku atau rasi bintang Orion dengan

menggunakan software Neave Planetarium

(https://neave.com/planetarium/) di wilayah Yogyakarta.

123
Gambar 18. Lintang Waluku atau rasi bintang Orion

5) Kawruh pawukon

Kawruh pawukon adalah pengetahuan lelakon (perjalanan)

hidup manusia menurut kodratnya masing-masing berdasarkan ilmu

horoscoop. Pawukon berasal dari kata wuku yang berarti rahsa (rasa),

yang dimiliki oleh setiap manusia sehingga pawukon banyak

digunakan oleh masyarakat Jawa untuk melihat hari na’as atau hari

baik, meneliti watak dan sifat perangai dari seseorang berdasarkan

kelahirannya melalui petungan wuku dan petungan weton.

124
Gambar 19. Pawukon di Museum Radya Pustaka

Pawukon adalah istilah kurun waktu sebanyak 30 yang dimulai

dari hari minggu sampai dengan sabtu yang meliputi wuku Sinta,

Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung,

Jalungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasyio,

Julungpulud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madangkungan,

Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu,

Dukut, Watugunung. Kawruh pawukon diperoleh melalui ilmu titen

berupa catatan orang Jawa zaman dahulu yang dikumpulkan selama

ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Tabel 16 berikut menunjukkan

nama-nama wuku yang terdapat dalam kalender Jawa.

125
Tabel 16. Nama- wuku pada kalender Jawa
I Minggu Pahing – Sinta (1)
Sabtu Pon Gumbreg (6)
Galungan (11)
Pahang (16)
Maktal (21)
Wugu (26)
II Minggu Wage – Landep (2)
Sabtu Kliwon Warigalit (7)
Kuningan (12)
Kuruwelut (17)
Wuye (22)
Wayang (27)
III Minggu Legi – Wukir (3)
KELOMPOK

Sabtu Pahing Warigagung (8)


Langkir (13)
Marakeh (18)
Manail (23)
Kulawu (28)
IV Minggu Pon – Kurantil (4)
Sabtu Wage Jalungwangi (9)
Mandasyio (14)
Tambir (19)
Prangbakat (24)
Dukut (29)
V Minggu Kliwon – Tolu (5)
Sabtu Legi Sungsang (10)
Julungpulud (15)
Madangkungan (20)
Bala (25)
Watugunung (30)

Sedangkan sebagai perwujudan dari pengetahuan ilmiah, materi

sains yang terdapat di dalam pengetahuan indigenous mitologi Jawa

pranata mangsa adalah sebagai berikut:

1) Sikap Ilmiah

a) Sikap tepa slira

126
Sikap tepa slira memainkan peranan yang penting dalam

pola interaksi sosial bagi siswa. Tepa slira atau tenggang rasa

merupakan etika dalam pergaulan sosial Jawa untuk

menghormati, menghargai, dan memperlakukan orang lain seperti

memperlakukan dirinya sendiri. Tepa slira mengajarkan bahwa

setiap orang harus selalu memperlihatkan sikap hormat terhadap

orang lain sesuai dengan kedudukan dan derazatnya masing-

masing. Setiap orang tidak boleh bersikap tidak baik dengan

mengkerdilkan atau merendahkan orang lain (dumeh, srei,

dengki).

b) Sikap mawas diri dan mulat salira.

Mawas diri adalah kemampuan untuk meneliti, mengukur

dan menilai diri sendiri, kelebihan dan kelemahan diri. Sedangkan

mulat salira adalah mampu memahami diri sehingga tahu jati diri

atau identitas diri. Rasa mawas diri dan mulat salira ini

bersumber pada kesadaran untuk melakukan instrospeksi diri

mengenai kekurangan-kekurangan sebagai manusia (eling),

merasa kecil karena nasibnya sudah ditentukan oleh Tuhan

(pinesti dening pangeran)

c) Sikap rumangsa

Sikap rumangsa adalah kemampuan merasakan keadaan

disekitarnya. Sikap rumangsa membuat orang Jawa itu selalu

rendah hati dan menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna.

127
Selain itu sikap rumangsa ini akan menyebabkan seseorang

menjadi semakin mampu melakukan pengujian diri (self

examination) bahwa dirinya bukanlah orang yang sempurna

d) Sikap manut

Sikap manut (setuju/mengikuti) adalah kemampuan

menempatkan diri sebagai seseorang yang memiliki kekurangan

terhadap orang tua atau orang lain yang dianggap tua dan

memiliki wibawa atau kedudukan lebih tinggi. Sikap manut

merupakan salah satu sikap menghormati dan menghargai yang

masih dipegang teguh oleh dimasyarakat Jawa, khususnya sikap

anak kepada orang tua. Kekurangan dari sikap manut ini apabila

tidak ditempatkan dengan baik adalah dapat membuat orang Jawa

menjadi kebergantungan dan mengurangi sikap kemandirian.

e) Sikap sungkan atau ewyh pakewuh.

Sikap sungkan atau ewuh pakewuh adalah sikap enggan dan

tidak enak hati. Sikap ini memiliki dampak negatif dan positif.

Dampak negarifnya adalah munculnya sikap untuk selalu setuju

dan tidak berani menolak atau mengutarakan pendapat.

Sedangkan dampak positif dari sikap atau ewuh pakewuh adalah

melatih orang Jawa untuk menggunakan pikiran, perasaan,

mengenai bagaimana cara untuk menyampaikan suatu gagasan

atau pendapat secara lebih bener (benar) dan pener (tepat).

128
2) Pengukuran

a) Satuan waktu

Ada beberapa satuan tidak baku waktu yang dikenal

masyarakat Jawa dan dipergunakan dalam pengetahuan mitologi

Jawa khususnya pranata mangsa, yaitu

(1) Dina: satu hari 24 jam.

(2) Pasaran/ pancawara: hari yang berjumlah lima yaitu

Legi/ Manis, Pahing/ Jenar, Pon/ Palguno, Wage/

Cemengan, Kliwon/ Kasih.

(3) Satwara: hari yang berjumlah enam yaitu Tungle,

Aryang, Warukung, Paningrong, Uwas, Mawulu.

(4) Saptawara: hari yang berjumlah tujuh yaitu Radite/ Dite,

Soma, Hanggara/ Anggara, Budha, Respati/ Wrahaspati,

Sukra, Tumpak/ Saniscaya.

(5) Selapan: 35 hari kombinasi antara pancawara dan

saptawara.

(6) Windu: ukuran waktu delapan tahunan yang terdiri atas

tahun Alip (354), tahun Ehe (355), tahun Jimawal (354),

tahun Je (354), tahun Dal (355), tahun Be (354), tahun

Wawu (354), tahun Jimakir (355).

129
b) Satuan panjang

Ada beberapa satuan tidak baku panjang yang dikenal

masyarakat Jawa dan dipergunakan dalam pengetahuan mitologi

Jawa khususnya pranata mangsa, yaitu:

(1) Kilan/ Jengkal: ukuran panjang dari ujung jari ibu

(jempol) sampai dengan ujung jari kelingking (jenthik)

pada saat tangan terbuka maksimal (mbegar). Sakilan

berkisar antara 20-25 cm

Gambar 20. Ukuran jengkal/kilan

(2) Hasta: ukuran panjang mulai dari ujung siku sampai

dengan ujung jari tengah

Gambar 21. Ukuran hasta

(3) Depa: ukuran panjang dimulai dari ujung jari tengah

kanan sampai dengan ujung jari tengah tangan kiri dalam

kondisi tangan telentang

130
Gambar 22. Ukuran depa

(4) Pecak: Ukuran telapak kaki dari tumit sampai dengan

ujung jari kaki

Gambar 23. Ukuran pecak

c) satuan massa

Adapun beberapa ukuran tidak baku massa yang dikenal

masyarakat Jawa dan dipergunakan dalam pengetahuan mitologi

Jawa khususnya pranata mangsa, antara lain

(1) Beruk: ukuran massa yang dibuat dari batok tempurung

kelapa yang di pangkas bagian atas, 1 beruk besar

berkisar 1 kg

131
Gambar 24. Ukuran beruk

(2) Bojog: ukuran massa sekitar 10 kg. bojog terbuat dari

anyaman bambu yang dibuat seperti kubus terbuka atau

lingkaran

Gambar 25. Ukuran bojog

d) Satuan luas tidak baku

(1) Ru: satuan yang menunjukkan ukuran satu bidang tanah

setara dengan 3,75 m x 3,75 m atau lebih kurang 14

meter persegi

(2) Bau: satuan yang menunjukkan ukuran luas tanah/ sawah

berkisar 500 m x 14 m atau lebih kurang 7.140 meter

persegi

132
(3) Clebek: satuan yang menunjukkan ukuran tanah

persawahan satu petak yang dibatasi oleh pematang

sawah

(4) Iring: satuan yang digunakan untuk menunjukkan ukuran

luas satu bidang tanah. yang setara dengan 125 m x 14 m

atau lebih kurang 1700 meter persegi atau 125 Ru

(5) Kedhok: satuan yang menunjukkan ukuran ini sama

dengan clebek yaitu ukuran tanah persawahan satu petak

yang dibatasi oleh pematang sawah

(6) Lupit: satuan yang menunjukkan ukuran luas satu bidang

tanah yang setara dengan 250 m x 14 m atau lebih

kurang 3500 meter persegi, setara juga dengan rong iring

atau 250 Ru

(7) Paron: satuan yang menunjukkan ukuran luas tanah.

berkisar lebih kurang 890 meter persegi, setara dengan

62,5 Ru

3) Suhu dan Kalor

a) Bedhidhing

Bedhidhing merupakan suatu keadaan dimana suhu udara

malam hari menjelang pagi turun secara tiba-tiba dan menjadi

sangat dingin sedangkan siag hari terasa sangat panas. Istilah ini

dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk menyatakan keadaan

133
perbedaan suhu yang terlalu mencolok. Bedhihing terjadidi pada

mangsa mareng- ketiga atau awal kemarau. Perubahan suhu yang

demikian terjadi selama 3 - 4 bulan, bisanya terjadi pada

pertengahan tahun, antara bulan Juni sampai Agustus. Bedhidhing

terjadi karena posisi matahari berada pada posisi terjauh di

sebelah utara garis khatulistiwa sehingga menyebabkan belahan

bumi sebelah utara menjadi panas dan belahan bumi sebelah

selatan menjadi dingin. Letak pulau Jawa yang berada di selatan

garis khatulistiwa menyebabkan suhu di pulau Jawa menjadi lebih

dingin daripada biasanya. Angin musim dingin dari Australia pun

turut memiliki peran dalam menjadikan pulau Jawa menjadi lebih

dingin dari biasanya. Bagi para petani di Jawa, kondisi seperti ini

merupakan saat yang baik untuk menanam palawija, dan

tembakau.

b) Pancaroba

Pancaroba adalah masa peralihan antara dua musim, yaitu

musim hujan dan musim kemarau. Dalam pranata mangsa

peralihan musim hujan (mangsa rendheng) menuju kemarau

(mangsa ketiga) disebut mangsa mareng, sedangkan peralihan

dari musim kemarau (mangsa ketiga) menuju musim hujan

(mangsa rendheng) disebut mangsa labuh.

134
4) Usaha dan Pesawat sederhana

a) Luku

Luku/ bajak singkal adalah alat yang dipergunakan untuk

membolak-balik (mbedah) tanah yang ditarik oleh kerbau atau

sapi dengan tujuan tanah bagian atas ada di bawah dan tanah

bagian bawah berada di atas sehingga tanah bagian bawah terkena

sinar matahari. Selain untuk membalik tanah proses luku juga

bertujuan untuk mengangkat akar tanaman padi yang masih

tersisa di bawah tanah. Kata luku berasal dari kata laku artinya

perbuatan atau melakukan. Orang membajak sawah itu

diibaratkan melakukan sesuatu untuk memulai kehidupan.

Gambar 26. Luku untuk mengolah tanah di sawah

Konsep sains pesawat sederhana yang terdapat pada luku adalah

beban diapit oleh titik tumpu dan titik kuasa seperti pada gambar

27 berikut:

135
Gambar 27. Konsep tuas pada luku

b) Garu

Garu alat yang digunakan untuk meratakan dan menghaluskan

tanah sawah setelah proses luku. Tujuan dari proses nggaru

adalah agar tanah yang sudah di lukon menjadi lebih halus dan

bongkahan tanah yang besar menjadi lebih kecil dan merata.

Konsep sains pesawat sederhana yang terdapat pada garu sama

dengan pada luku gambar 27.

Gambar 28. Garu untuk menghaluskan tanah sawah

c) Ani-ani

Ani-ani adalah alat pemanen atau pemotong batang padi

yang terbuat dari kayu, pegangannya terbuat dari selongsong

bambu kecil dan sebilah pisau kecil yang ukurannya tidak lebih

besar dari telapak tangan. Konsep sains dari pesawat sederhana

136
yang terdapat pada ani-ani adalah titik beban berada diantara titik

tumpu dan titik kuasa.

Gambar 29. Ani-ani untuk memanen padi

d) Pacul

Pacul atau cangkul adalah alat yang dipergunakan untuk

menggali, membersihkan tanah. Pacul memiliki makna yang

mendalam bagi para petani. Pacul merupakan singkatan dari

ngipatake barang kan muncul lan mendugul. Kalimat ini

dimaknai sebagai membuang sesuatu yang tidak rata, menyadari

akan keburukan diri sebagai manusia yang memiliki banyak

kesalahan dan berusaha memperbaiki diri dengan membuang

keburukan (barang yang muncul dan mendugul) dan selalu

melakukan kebaikan.

137
Gambar 30. Pacul untuk menggali tanah

Konsep sains dari pesawat sederhana yang terdapat pada cangkul/

pacul adalah titik kuasa berada diantara titik beban dan titik

tumpu seperti sebagai berikut

Gambar 31. Konsep tuas pada pacul

5) Musim dan Perubahan Iklim

Pranata mangsa penuh dengan kearifan dalam membaca tanda-

tanda alam seperti letak matahari, arah angin, cuaca, perilaku hewan

dan tumbuhan yang menghubungkan antara orang-orang dengan

lingkungannya untuk saling memahami, menghormati, dan memiliki.

Ditinjau dari aspek klimatologi, pranata mangsa memberikan

informasi mengenai perubahan musim serta waktu-waktu yang

138
dipengaruhi oleh angin disertai arahnya yang dikendalikan oleh

peredaran matahari. Pranata mangsa juga memiliki latar belakang

kosmografi (pengukuran posisi benda langit) dan bioklimatologi.

Latar belakang kosmografi menekankan pada pemahaman bahwa

pranata mangsa menggunakan peredaran dari benda-benda langit atau

rasi-bintang, khususnya lintang waluku atau rasi orion. Sedangkan

secara bioklimatologi, pranata mangsa menggunakan tanda-tanda

yang diberikan oleh perilaku hewan dan tumbuhan serta arah angin.

Rincian dan karakteristik tiap mangsa pada pranata mangsa

dijabarkan dalam tabel 17 berikut:

139
Tabel 17. Kondisi meteorologi pranata mangsa
Humaning
Waktu Mangsa Arah Angin Kondisi Meteorologis
Mangsa
Kaso (Kartika) 22 Juni – 1 Agustus Timur laut ke Barat Sinar matahari 76%; lengas udara 60,1%; curah hujan 67,3 mm; suhu
daya udara 27,40C
Karo (Poso) 2 Agustus – 24 Timur laut ke Barat Sinar matahari 76%; lengas udara 60,1%; curah hujan 32,5 mm; suhu
Agustus daya udara 27,40C
Katelu 25 Agustus – 17 Utara menuju Sinar matahari 76%; lengas udara 60,1%; curah hujan 42,2 mm; suhu
(manggasri) September Selatan udara 27,40C
Kapat (Sitra) 18 September – 12 Barat laut menuju Sinar matahari 72%; lengas udara 75,5%; curah hujan 83,3 mm; suhu
Oktober Tenggara udara 26,70C
Kalimo 13 Oktober – 8 Barat Laut ke Sinar matahari 72%; lengas udara 75,5%; curah hujan 125,9 mm;
(Manggala) November Tenggara suhu udara 26,70C
Kanem (Naya) 9 November – 21 Barat menuju Timur Sinar matahari 72%; lengas udara 75,5%; curah hujan 402,2 mm;
Desember suhu udara 26,70C
Kapitu 22 Desember – 2 Dari Barat ke arah Sinar matahari 67%; lengas udara 80%; curah hujan 501,4 mm; suhu
(Palguna) Februari tidak menentu udara 26,20C
Kawolu 3 Februari – 28 Barat daya ke Timur Sinar matahari 67%; lengas udara 80%; curah hujan 371,8 mm; suhu
(Wasika) Februari laut udara 26,20C
Kasanga (Jita) 1 Maret – 25 Maret Dari arah selatan Sinar matahari 67%; lengas udara 80%; curah hujan 252,5 mm; suhu
udara 26,20C
Kasadasa 26 Maret – 18 April Tenggara ke timur Sinar matahari 60%; lengas udara 74%; curah hujan 181,6 mm; suhu
(Srawana) laut udara 27,80C
Dhesta 19 April – 11 Mei Tenggara menuju Sinar matahari 60%; lengas udara 74%; curah hujan 129,1 mm; suhu
(Pradawana) Timur laut udara 27,80C
Sadha (Arsuji) 12 Mei – 21 Juni Arah Timur ke Barat Sinar matahari 60%; lengas udara 74%; curah hujan 149,2 mm; suhu
udara 27,80C
(Bratasiswara, 2000; Doyodipuro, 2016; Sindhunata, 2011; Yulianto, Prasetyo, Dwi, & Bistok, 2017)

140
Tabel 18. Kondisi kosmografi dan bioklimatologi pranata mangsa

Mangsa Lintang Tafsir/ situasi alam


Kasa Sapi gumarang Daun mulai berguguran, belalang bertelur/ binatang beralih, menanam palawija
Karo Tagih/ Panjer Sore Tanah mulai retak, kering, panas, paceklik, pohon mangga dan randu mulai berbunga, menebar
benih padi gaga
Katelu Lumbung/ Gubug Pohon bambu, gadung, kunyit, temu, uwi, gembili mulai tumbuh merambat melalui lanjaran,
Penceng sumur kering
Kapat Jaran dawuk Pohon kapuk melimpah buahnya, burung pipit dan manyar mulai sibuk membuat sarang,
sumur tak berair, menyiangi gaga
Kalimo Banyak-angkrem Pohon asam rimbun dedaunan muda, hujan turun, sumber mata air mulai hidup, ulat mulai
keluar, sawah mulai digarap
Kanem Gotong mayit Pohon mangga dan rambutan mulai masak, pohon berbuah, parit mulai banyak lipas, burung
kuntul neba, alam hijau
Kapitu Bimasekti Muncul penyakit, hama, hujan mulai melimpah, angin kencang, sungai meluap, padi ditanam
Kawolu Wulanjar ngirim/ Binatang kawin, uret banyak muncul, padi berbunga, kowangan menetas, banjir
Lanjar ngirim
Kasanga Wuluh Tenggoret dan jangkrik berbunyi, serangga seperti belalang mulai keluar, banyak petir, bulir
padi mulai penuh dan menguning
Kasadasa Waluku Binatang-binatang hamil, burung mengerami telurnya, panen padi, gareng/garempung ngereng
Dhesta Lumbung/ Gubug Telur burung menetas, musim ngloloh, Merti Dusun
Penceng
Sadha Tagih/ Panjer Sore Orang sukar berkeringat karena udara dingin, musim dingin kering (bedhidhing), pohon dadap
berbunga (kembang celung)
Sumber: (Badrudin, 2014; Doyodipuro, 2016; Sindhunata, 2011; Wisnubroto, 1995, 1998)

141
6) Mahluk Hidup

a) Tumbuhan penciri pranata mangsa

Pada pranata mangsa perubahan mangsa dicirikan dengan

tumbuhnya beberapa tanaman tertentu, seperti gembili dan

gadung pada mangsa katelu, kunyit, temu kunci, lempuyang pada

mangsa kalima. Berikut beberapa contoh tanaman penanda

pranata mangsa.

(1) Gembili

Gembili merupakan salah satu jenis tanaman umbi yang

bentuknya menyerupai ubi jalar yang berukuran satu kepalan

tangan orang dewasa. Gembili adalah tanaman yang

merambat dan rambatannya berputar ke arah kanan searah

jarum jam, dengan warna batang hijau dan agak sedikit

berduri. Kulit umbi gembili tipis dan berwarna coklat muda

dan apabila dikupas sedikit lengket dan berlendir. Usia panen

dari umbi gembili cukup lama karena sangat bergantung pada

kondisi alam. Gembili biasa tumbuh di mangsa katelu dan

dipergunakan sebagai penanda bagi para petani bahwa

mereka sudah masuk pada mangsa ketiga atau musim

kemarau.

142
Gambar 32. Tanaman gembili

(2) Gadung

Gadung memiliki nama latin Dioscorea hispida, sejenis

umbi-umbian yang dapat dimakan dan mengandung racun

yang dapat membuat pusing, dan muntah apabila diolah

secara tidak benar. Gadung adalah tumbuhan yang merambat

dan memanjat dengan panjang berkisar antar 5 – 20 meter

dengan arah rambatan kekiri melawan jarum jam. Hal ini

berbeda dengan gembili dimana arah rambatan gembili

searah dengan jarum jam. Batang tanaman gadung lebih keras

dibandingkan dengan gembili, lebih kurus dan ramping

dengan ketebalan 0,5 cm – 1 cm yang ditumbuhi duri dengan

warna hijau ke abu-abuan. Daun gadung terletak berselang-

seling dengan tiga anak daun menjari yang berbentuk bulat

telur dan tipis. Bunga jantan terletak di dalam tandan di

ketiak daun, sedangkan bunga betina majemuk berbentuk

bulir. Adapun ciri dari bunga tanaman gadung adalah

mahkota berwarna kuning, jumlah benang sari enam buah

143
dan memiliki warna yang sama dengan mahkotanya. Umbi

gadung berbentuk elips, berdaging putih, kuning dan

berdiameter berkisar 1 cm dan berkulit coklat.

Gambar 33. Tanaman gadung

(3) Suweg

Suweg adalah tanaman yang memiliki batang lunak

tidak berkayu. Suweg adalah tanaman yang hidup di dua

musim karena memiliki dua fase pertumbuhan yang tidak

bersamaan yaitu fase generatif dan fase vegetatif. Fase

vegetatif nampak sebagai dedaunan bercabang dengan batang

lunak yang tumbuh tegak dan berwarna hijau dengan belang-

belang putih. Akar tanaman suweg di bawah permukaan

tanah akan menjadi umbi sebagai cadangan makanan.

Adapun daging umbi suweg berwarna putih dengan semburat

merah jambu atau ungu. Permukaan daun terasa kasar apabila

diraba. Bunga akan muncul apabila simpanan karbohidrat

atau tepung di umbi sudah mencukupi untuk pembungaan.

144
Sebelum bunga muncul seluruh daun termasuk batang akan

layu kemudian akan muncul bunga tersusun majemuk yang

tumbuh pada tongkol. Kuntum bunga tidak sempurna,

berumah satu dengan bunga jantan terletak dibagian lebih

tinggi (distal) dari pada bunga betina. Struktur ini adalah

struktur pertumbuhan pada fase generatif dimana saat mekar

mengeluarkan bau bangkai yang memikat lalat untuk

membantu penyerbukan.

Gambar 34. Tanaman suweg dalam fase generatif (kiri) dan fase
vegetatif (kanan)

(4) Kunyit

Tanaman kunyit merupakan tanaman yang memiliki

waktu hidup lama. Setiap tanaman kunyit memiliki daun

berkisar antara 5 - 16 helai daun dengan panjang mencapai 85

cm dan lebar berkisar 25 cm. Daun kunyit berbentuk lonjong,

ujung runcing, berwarna hijau, dengan bagian tepi daun

merata. Batang tanaman kunyit adalah batang semu yang

merupakan kumulan dari pelepah daun yang berwarna hijau

145
dengan tinggi berkisar 70-100 cm. Sedangkan batang

sejatinya berbentuk rimpang. Kulit rimpang kunyit berwarna

jingga kecoklatan, dengan daging berwarna oranye atau

merah kekuning-kuningan. Bunga muncul dari rimpang yang

berada di bawah tanah. Mahkota bunga berwarna putih atau

putih kekuning-kuningan, memiliki rambut, sisik dari pucuk

sampai batang semu. Akar tanaman kunyit beraroma khas

yang berasa pedas dan agak pahit.

Gambar 35. Tanaman kunyit (Curcuma longa)

(5) Temu kunci

Temu kunci merupakan tanaman herbal yang banyak

dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Temu kunci memiliki

aroma yang khas dan berasa agak pahit. Batang asli berupa

rimpang yang terdapat di bawah tanah, bagian luar kuning

coklat dan bagian dalam berwarna kuning pucat, beraroma.

Sedangkan batang semu berada di atas tanah berupa

kumpulan pelepah daun. Tanaman temu kunci umumnya

memiliki daun sebanyak 2 – 7 helai. Tangkai daun beralur,

146
tidak berambut denganpanjang berkisar antara 7 – 16 cm.

Pelepah daun memiliki ukuran yang sama dengan tangkai

daun. Daun berbentuk lonjong dengan ujung runcing, dan

permukaan halus, helai daun berwarna hujau dengan lebar 5 -

11 cm.

Gambar 36. Tumbuhan temu kunci (Boesenbergia pandurata)

(6) Lempuyang Gajah

Lempuyang merupakan tanaman rempah yang

dimanfaatkan sebagai obat tradisional, khususnya pada

bagian rimpang. Tumbuhan ini tumbuh di daerah tropis pada

ketinggian 1 - 1200 meter di atas permukaan laut dan biasa

ditanam di sekitar pekarangan rumah. Tanaman lempuyang

memiliki batang semu berupa kumpulan pelepah daun

berseling yang berwarna hijau, dan batang asli berupa

rimpang di bawah tanah. Daun tanaman lempuyang termasuk

daun tunggal, berpelepah duduk berseling, ujung daun

runcing, berwarna hijau, permukaan daun terasa berambut

saat disentuh, memiliki tulang daun, tangkai daun berambut.

147
Bunga tanaman memiliki susunan majemuk bulir, bentuknya

bulat telur, muncul di atas tanah, tegak, dan berambut halus,

mahkota bunga berwarna kuning terang, hijau gelap, atau

putih. Rimpang lempuyang merayap, berdaging dan

beraroma, bagian luar berwarna coklat muda, bagian dalam

berwarna kuning muda, memiliki rasa pahit dan pedas. Ada 3

jenis tanaman lempuyang, yaitu lempuyang emprit (zingiber

Amaricana), Lempuyang gajah (Zingiber Zerumbet),

Lempuyang wangi (zingiber Aromaticum).

Gambar 37. Tumbuhan lempuyang (Zingiber)

b) Hewan penciri pranata mangsa

(1) Burung Pipit

Burung pipit adalah burung kecil pemakan biji-bijian

yang biasanya berada dan tersebar di wilayah tropis. Burung

pipit tidak tahan dengan iklim dingin. Burung ini biasa

terbang bergerombol atau berkelompok dalam hal mencari

makan. Burung pipit bertelur 4-10 butir yang disimpan di

148
dalam sarang. Sarang burung pipit biasanya terbuat dari

rumput-rumput kering/ jerami kering

Gambar 38. Burung pipit dan sarangnya


(https://www.pontianakpost.co.id/padi-diserang-pipit-
petugas-sudah-turun)

(2) Jangkrik

Jangkrik adalah serangga yang yang memiliki tubuh

rata dan antena panjang. Antena pada jangkrik berfungsi

sebagai pengindera untuk dapat mengenali lingkungan atau

daerah disekitarnya. Jangkrik termasuk dalam tumbuhan

omnivora. Binatang ini memiliki suara yang khas, yang

dipergunakan untuk menarik betina dan menolak yang

jantan.Suara jangkerik akan semakin keras dengan naiknya

suhu disekitarnya.

149
Gambar 39. Jangkrik dan sarangnya
(http://ecotopia.hani.co.kr/?amp;category=114&mid=media
&page=165&document_srl=27878)

(3) Tenggoret

Tenggoret atau garempung adalah serangga yang

mengeluarkan suara nyaring yang lama dari pepohonan.

Tenggoret memiliki sepasang mata faset yang terletak jauh

dari kepala dan sayap yang tembus pandang. Serangga ini

hidup di daerah beriklim sedang hingga tropis. Suara nyaring

garempung biasanya akan muncul di akhir musim penghujan.

Tenggoret memiliki fase metamorfosa yang luar biasa,

dimana selama 17 tahun serangga ini hidup dalam fase larva.

150
Gambar 40. Binatang tenggoret
(https://id.wikipedia.org/wiki/Tonggeret)

(4) Uret

Uret adalah larva dari serangga/ kumbang yang

menyerang akar dari berbagai jenis tanaman. Ciri dari uret

adalah ukurannya yang besar, putih, bening/badan tembus

cahaya, kepala berwarna coklat, memiliki taring yang besar,

kaki berwarna coklat. Paparan sinar matahari sekitar 5 menit

akan membuat uret menghitam, mengkerut dan selanjutnya

mati. Uret akan menjadi pupa sekitar bulan agustus atau

memasuki musim kemarau hingga menjadi serangga dibulan

Oktober.

151
Gambar 41. Larva uret
(http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/infotek/mengenal-
siklus-hidup-hama-lundiuret-dan-pengendaliannya/)

7) Tata surya dan Astronomi

a) Periodisasi matahari dan bulan

Periodisasi matahari dimasyarakat Jawa dijadikan patokan

dalam penentuan tahun yang disebut dengan tahun Surya

Sangkala. Jumlah hari pada tahun Surya Sangkala adalah 365

yang disebut wastu atau 366 hari yang dikenal dengan istilah

wuntu. Tahun Surya Sangkala terdiri atas 12 mangsa yaittu

mangsa Kasa (41), Karo (23); Katelu (24), Kapat (25), Kalima

(27), Kanem (43), Kapitu (43), Kawolu (26/27), Kasanga (25),

Kasadasha (24), Dhesta (23), Sadha (41). Sedangkan periodisasi

bulan dijadikan patokan dalam penentuan tahun yang dikenal

dengan tahun Candra Sangkala. Tahun Candra Sangkala

memiliki jumlah hari 354 (wastu) atau 355 (wuntu) dan terdiri

atas 12 bulan yaitu Suro, Sapar, Mulud, Ba’da Mulud, Jumadil

Awa, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar.

152
Gambar 42. (a) Kalender Candra Sangkala; (b) Kalender
Surya Sangkala

b) Tata surya Jawa

Masyarakat Jawa mengenal lintang pepitu planeet yang

merupakan nama-nama planet dalam tata surya modern. Adapun

ke tujuh planet yang dikenal di masyarakat Jawa dijabarkan dalam

tabel 19 berikut

153
Tabel 19. Nama hari sebagai representasi Tata Surya

Nama hari Keterangan


Radite / Minggu Matahari
Soma/ Senin Bulan
Anggara/ Selasa Planet Mars
Lintang Anggara dalam penjelasan Sasadara, Radya Pustaka, 1902-09, #1807 bab 3 tentang lintang papitu memiliki ukuran
1/20 kali garis tengah/ diameter matahari apabila dilihat dari bumi (lintang anggara yen kasawang saking bumi sapara kalih
dasanipun midheleining surya) dan 1/6 diameter bumi (midheleinipun lintang anggara sami midheleining bumi langkung
sapraneman).
Buda/ Rabu Planet Merkurius
Lintang Buda dalam penjelasan Sasadara, Radya Pustaka, 1902-09, #1807 bab 3 tentang lintang papitu memiliki ukuran 1/15
kali diameter matahari apabila dilihat dari bumi (lintang buda punika sawanganipun saking bumi sapara gangsal welasipun
midheleining surya) dan 1/28 diameter bumi (midheleinipun lintang buda punika sapara wolulikuripun midheleining bumi).
Wrahaspati/Ka Planet Yupiter
mis Lintang Wrahaspati dalam penjelasan Sasadara, Radya Pustaka, 1902-09, #1807 bab 3 tentang lintang papitu memiliki
ukuran 1/12 kali diameter matahari apabila dilihat dari bumi (lintang wrahaspati yen kasawang saking bumi midheleinipun
sapara kalih welasing midheleinipun surya) dan 49/16 diameter bumi (Midheleinipun lintang wrahaspati samidheleining
bumi kaping 49/16).
Sukra/ Jum‟at Planet Venus
Lintang Sukra dalam penjelasan Sasadara, Radya Pustaka, 1902-09, #1807 bab 3 tentang lintang papitu memiliki ukuran
1/10 kali diameter matahari apabila dilihat dari bumi (midheleinipun lintang sukra kasawang saking bumi sapara dasanipun
midheleining surya) dan 3/10 diameter bumi (midheleining lintang sukra tigang para dasanipun midheleining bumi).
Saniscaya/Tump Planet Saturnus
ak/ Sabtu Lintang Saniscaya atau Tupak dalam penjelasan Sasadara, Radya Pustaka, 1902-09, #1807 bab 3 tentang lintang papitu
memiliki ukuran 1/18 kali diameter matahari apabila dilihat dari bumi (dene midheleinipun lintang tupak, kasawang saking
bumi sapara wolulasipun midheleining surya) dan 4½ diameter bumi (midheleinipun lintang tupak samidheleining bumi
kaping 4½).

154
c) Matahari dalam pranata mangsa

Tanggal 22 Juni dipilih sebagai hari pertama dalam kalender

pranata mangsa karena pada tanggal tersebut adalah hari pertama

bergesernya kedudukan matahari dari garis balik utara ke garis

balik selatan (Fidiyani & Kamal, 2012; Wisnubroto, 1998). Pada

saat itu bagi para petani di wilayah gunung Merapi dan gunung

Lawu adalah keadaan bayangan terpanjang (empat pecak/ dlamak

kaki ke arah selatan).

Gambar 43. Ilustrasi bayangan pada pranata mangsa


(sumber. Serat Pranata Mangsa)

Menurut serat pranata mangsa pada saat tengah hari di

tanggal 4 Februari dan 17 Oktober, jika diletakkan batang secara

vertikal di tengah lapang maka tidak akan terbentuk bayangan

(titik C). Kondisi ini disebut dengan mangsa tumbuk. Setelah

tanggal 4 Februari bayangan akan terbentuk di arah selatan mulai

dari titik D, E, F dan sampai ke titik G pada tanggal 21 Juni (4

pecak). Jika bayangan sudah sampai ketitik G maka bisa dicirikan

bahwa itu adalah mangsa sadha (mangsa ke dua belas). Selepas

155
tanggal 21 Juni bayangan akan bergeser menuju ke utara yaitu

titik F, E, D dan akan sampai ke titik C lagi pada tanggal 17

Oktober. Apabila bayangan menuju ke titik F dari titik G maka

masyarakat Jawa waktu itu mempercayai bahwa mereka

memasuki mangsa kasa, titik E mangsa karo, dan seterusnya.

Selanjutnya bayangan akan bergeser terus ke utara sampai dengan

ke titik A pada tanggal 21 September (2 pecak) dan akan kembali

ke titik C pada tanggal 4 Februari.

d) Perbintangan Jawa (Palintangan)

Pranata mangsa dilengkapi dengan membaca keadaan

bintang-bintang di langit (lintang) sebagai suatu isyarat datangnya

hujan dan arah angin. Lintang dalam Kamus Bausastra diartikan

maujud ing langit ing wayah wengi katon pating kerlip, yang

artinya muncul di malam hari terlihat kelap-kelip, yang tidak lain

adalah kumpulan bintang-bintang di langit saat malam hari.

Lintang yang dijadikan isyarat tersebut antara lain: lintang Panjer

Rina, lintang Panjer Surup/ Sore, lintang Jaka Belek, Lanjar

ngirim, Waluku, Gubug Penceng, Bima Sekti, lintang Kemukus,

lintang Banyak Angkrem, lintang Sapi Gumarang dll. Nama-nama

lintang ini tertuang dalam Slisir Mareng Tenggereng (Mareng itu

musim antara mangsa rendheng dengan ketiga, Tenggereng

adalah keadaan dimana matahari tidak tertutup oleh

awan/mendung) yang ditulis oleh R.T. Tandhanagara, yaitu:

156
(1) Lintang Panjer Rina

Lintang Panjer rina adalah lintang yang tampak pada

saat fajar diufuk timur (Lintang panjer rina, amargi kapirid

medalipun ing wanci enjing), dalam astronomi modern

disebut dengan Planet Venus.

(2) Lintang Panjer Surup/ Panjer Sore

Lintang Panjer Surup adalah lintang yang tampak pada

saat menjelang matahari terbenam di langit sebelah barat

(Lintang panjer surup, kapirid medalipun ing wanci serap),

dalam astronomi modern disebut dengan Planet Venus.

(3) Lintang Jaka Belek

Lintang Jaka Belek adalah gambaran seorang laki-laki

yang matanya merah (Lintang Jaka Belek, kapirid saking

wujudipun asemu abrit kados mripat beleken). Astronomi

modern menyebut lintang Joko Belek sebagai Planet Mars.

(4) Bima sekti atau Bima Sakti

Bima sekti adalah kumpulan dari ribuan bahkan jutaan

bintang di langit (soroting lintang-lintang ingkang mayuta-

yuta sumebar angrenggani ing saindenging cakrawala).

Menurut Sulardi Harja Sujana, lintang Bima Sekti, punika

sami-sami namaning lintang pancen radi nyaleneh piyambak,

inggih punika, kajawi boten anggadhahi sorot, wujudipun ing

ngriku sakalangkung ageng, teka dipun wastani lintang yang

157
berarti memang lintang Bima Sekti ini berbeda dari pada

lintang sebelumnya, karena wujudnya yang sangat besar.

(5) Lintang Waluku

Bagi para petani lintang waluku merupakan pertanda

alam yang sangat penting untuk mulai menanam padi.

Lintang Waluku dalam astronomi modern disebut dengan rasi

bintang Orion. Lintang Waluku adalah rasi bintang yang

dijadikan sebagai pertanda bagi para petani untuk mulai

melakukan tanam padi. Ditinjau dari segi astronomi, rasi

bintang Orion menggambarkan seorang pemburu Yunani

yang bernama Orion, terdiri dari empat bintang utama yang

membentuk kerangka tubuh Sang Pemburu yaitu Betelgeuse,

Bellatrix, Saiph, dan Rigel.

Gambar 44. Lintang Waluku atau rasi bintang Orion


(http://www.infoastronomy.org/2015/12/menemukan-nebula-
orion.html)

Di bagian tengah kerangka tubuh ini terdapat tiga buah

bintang yang membentuk satu garis lurus, dan ini dikenal

158
dengan sebutan Sabuk Orion. Sabuk Orion terdiri dari tiga

buah bintang utama, yaitu Alnitak, Alnilam dan Mintaka.

Namun pandangan masyarakat Jawa tentang Orion cukup

berbeda dengan astronomi modern. Di daerah khatulistiwa,

Orion akan terbit dengan posisi horizontal. Berdasarkan serat

pranata mangsa tersebut maka penelitian ini mencoba

melihat posisi lintang waluku dengan Neave Interactibe

Online Planetarium (https://neave.com/planetarium/) dan

hasilnya rasi bintang Orion atau lintang luku tampak berada

di sebelah barat.

Gambar 45. Lintang Waluku/rasi bintang Orion bulan Maret

(6) Lintang Wuluh

Lintang Wuluh muncul di sebelah utara barat dari

lintang Waluku. Bentuknya kecil dan menggerombol dan

tampak jelas. Lintang Wuluh terdiri atas tujuh bintang yaitu

Pleione, Atlas. Alcyone, Merope, Maia, Taygeta, dan Electra.

159
Orang Jawa dulu menyebut lintang Wuluh ini dengan Bintang

Tujuh.

Gambar 46. Lintang Wuluh (Rasi Bintang Pleiades)

(7) Lintang Sapi Gumarang

Lintang Sapi Gumarang adalah kumpulan bintang yang

digambarkan seperti seekor sapi. Dalam astronomi modern

Lintang Sapi Gumarang dikenal dengan rasi bintang Taurus.

Lintang Sapi Gumarang muncul terlebih dahulu dari pada

lintang Waluku. Lintang ini berada di sebelah utara dari

Lintang Waluku. Berikut adalah penampakan lintang Sapi

Gumarang di Jawa pada tahun 1856.

160
Gambar 47. Lintang Sapi Gumarang (Rasi Bintang Taurus)

(8) Lintang Gubug Penceng

Lintang Gubug Penceng adalah rasi bintang sebagai

penunjuk arah selatan bagi para petani atau nelayan di Jawa

(lintang Gubug Penceng saha Wulanjar Ngirim katingalipun

ing nalikanipun mentas manthungul. Ingkang ningali

kaciptaa majeng mangidul leres (serat panata mangsa)).

Dalam astronomi modern Gubug Penceng adalah rasi bintang

Crux. Lintang Gubug Penceng memiliki empat bintang yang

menurut masyarakat Jawa waktu itu membentuk formasi

seperti gubug tetapi penceng (Lintang Gubug Penceng,

amargi cacahipun sakawan, pamanggenipun kados

pepethaning gubug, nanging penceng). Empat bintang terang

yang dimiliki dan bentuknya yang sederhana membuat rasi

ini mudah diamati dan diidentifikasi.

161
Gambar 48. Lintang Gubug Penceng (Rasi bintang Crux)

Lintang Gubung Penceng menurut serat pranata

mangsa muncul April sampai Mei saat matahari menjelang

terbenam (lintang Gubug Penceng saha Wulanjar Ngirim ing

wulan April saha Mei menawi sonten lintang mekaleh wau

ketingal mathungul ing kidul wetan... katingalipun ing nalika

sampun ngajengaken serap). Empat bintang pada lintang

Gubug Penceng adalah Gacrux, Decrux, Mimosa, dan Acrux.

Nama Gubug Penceng berasal dari kisah sejumlah pemuda

yang membangun rumah. Di depan rumah yang dibangun,

setiap hari lewatlah seorang perempuan cantik yang akan

mengantar makanan ke sawah. Kecantikan perempuan itu

mengganggu konsentrasi para pemuda. Alhasil, rumah yang

dibangun bentuknya miring alias penceng. Gambaran cerita

itu diabadikan menjadi nama Lintang Gubug Penceng.

162
(9) Lintang Wulanjar Ngirim

Dalam dongeng pada lintang Gubug Penceng,

perempuan cantik yang lewat pada saat para pemuda

membangun rumah dikenal dengan lintang Lanjar Ngirim

atau Wulanjar Ngirim. Lintang Lanjar Ngirim dalam

astronomi modern dikenal sebagai bintang Alpha Centauri

dan bintang Beta Centauri. Alpha Centauri merupakan

bintang terdekat dari Bumi setelah Matahari. Kedua bintang

ini merupakan bagian dari rasi Centaurus yang dalam

mitologi Yunani dilambangkan dengan kuda berkepala

manusia.

Gambar 49. Lintang lanjar ngirim (Rasi Bintang Centaurus)

(10) Lintang Pedati Suwung

Menurut serat pranata mangsa lintang Pedati Suwung

memiliki tujuh bintang yang besar. Ketujuh bintang tersebut

adalah Alkaid, Mizar (Alcor), Alioth, Phecda, Megrez, Merak,

dan Dubhe. Dari ketujuh bintang tersebut yang paling terang

163
adalah bintang yang berada diantara Alkaid dan Alioth. Jika

diamati lebih teliti bintang ini adalah rangkap yaitu bintang

Mizar dan bintang Alcor. Dalam Serat pranata mangsa

bintang yang rangkap tadi disebut dengan lintang Rangkep/

lintang Sunda.

Gambar 50. Lintang Pedati Suwung (rasi Ursa Mayor)

(11) Lintang Banyak Angkrem

Lintang Banyak Angkrem adalah lintang sebagai

gambaran bintang pada mangsa kalima di pranata mangsa.

Gambar 51. Lintang Banyak Angkrem (rasi bintang Scorpio)

164
Dalam astronomi modern lintang Banyak Angkrem atau

Katonggeng dikenal dengan rasi bintang Scorpio.

Tabel 20 berikut adalah beberapa kesetaraan antara nama-nama

lintang dalam pranata mangsa dengan konstelasi modern ynag diperoleh

melalui analisis dokumen Jawa dan simulasi Neave Interactibe Online

Planetarium (https://neave.com/planetarium/).

Tabel 20. Lintang pranata mangsa dan konstelasi modern

Lintang Konstelasi modern


Sapi gumarang Rasi bintang Taurus
Tagih/ Panjer Sore Planet Venus
Lumbung/ Gubug Rasi bintang Crux
Penceng
Jaran dawuk/ badak Alpha Cenis Mayoris pada rasi bintang
Nyempal Sirius
Banyak-angkrem Rasi bintang Scorpio
Gotong mayit Kepala dari rasi bintang Scorpio
Bimasekti Galaksi Bima Sakti
Wulanjar ngirim/ Alfa centauri, betha centauri pada rasi
Lanjar ngirim bintang centaurus
Wuluh Rasi bintang Pleiades
Waluku Rasi bintang Orion
Sumber: (Daldjoeni, 1983; Daldjoeni & Hidayat, 1987)

Hasil kajian materi sains yang terdapat dalam pranata mangsa

selanjutnya dipetakan untuk mencari kompetensi dasar (KD) mana yang

sesuai. Hasil analisis materi dan KD secara lengkap dapat dilihat dalam

lampiran. Tabel 21 adalah cuplikan hasil analisis kesesuaian materi dan

KD dari pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa.

165
Tabel 21. Analisis Konsep sains dalam pranata mangsa dan distribusi KD

Materi Sub Materi Materi sains dalam pranata mangsa Kompetensi Dasar
Sikap ilmiah Sikap tepa slira; Sikap mawas diri dan mulat salir; Sikap rumangs;
Sikap manut; Sikap sungkan atau ewuh pakewuh; Sikap sawiji, greget,
sengguh, ora mingkuh
Kerja ilmiah Pengukuran Satuan waktu tidak baku (dina, pancawara, satwara, sapta wara, Kelas VII: 3.1, 4.1
selapan, windu); satuan panjang tidak baku (kilan, depa, hasta,pecak);
satuan massa tidak baku (beruk, bojok, kati); satuan besaran luas tidak
baku (ru, bau, clebek, iring, kedhok, lupit, paron)
Mahluk hidup Kelas VII: 3.2, 4.2
Mahluk hidup Tumbuhan penciri musim di pranata mangsa; Hewan penciri musim di
(hewan dan Kelas VIII: 3.4, 4.4
dan proses pranata mangsa
tumbuhan) Kelas IX: 3.2, 4.2
kehidupan
Ekosistem Ekosistem (tanah sabin, tanah tegalan, tanah pekarangan) Kelas VII: 3.7, 4.7
Suhu dan kalor Bedhidhing; Pancaroba Kelas VII: 3.4, 4.4
Energi dan
Pesawat
Perubahannya Luku; Garu; Pacul Kelas VIII: 3.3, 4.3
sederhana
Musim dan 12 mangsa dalam pranata mangsa ; Musim dalam pranata mangsa;
Kelas VII: 3.9, 4.9
Perubahan Iklim Watak candra dalam pranata wangsa
Lingkungan
Tanah dan
Jenis tanah; Sifat tanah Kelas IX: 3.9, 4.9
kehidupan
Tata surya Periodisasi matahari (Suryasangkala) dan periodisasi bulan
(Candrasengkala); Tata Surya Jawa (Radite, Soma, Anggara, Buda,
Bumi dan Wrahaspati, Sukra, Saniscaya); Peran matahari dalam pranata mangsa
Kelas VII 3.11, 4.11
antariksa Astronomi Palintangan Jawa (Panjer Rina. Panjer Surup, Jaka Belek, Bima sekti,
Waluku, Wuluh, Sapi Gumarang, gubug penceng, Lanjar Ngirim, Pedati
Suwung, Banyak Angkrem )

166
c. Analisis standar kompetensi lulusan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kriteria mengenai

kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup aspek sikap, pengetahuan,

dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan terdiri atas kemampuan

peserta didik yang diharapkan dapat dicapai setelah menyelesaikan masa

belajar dalam suatu satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan

Menengah menurut lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayan Nomor 20 Tahun 2016 meliputi:

1) Sikap

Peserta didik memiliki perilaku yang mencerminkan sikap:

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkarakter,

jujur, dan peduli, bertanggungjawab, pembelajaran sejati sepanjang

hayat, dan sehat jasmani dan rohani sesuai dengan perkembangan

anak di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan

alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.

2) Pengetahuan

Peserta didik memiliki pengetahuan faktual, konseptual,

prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis dan spesifik

sederhana berkenaan dengan: ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan

budaya. Mampu mengaitkan pengetahuan di atas dalam konteks diri

sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar,

bangsa, negara, dan kawasan regional.

167
a) Faktual

Pengetahuan tentang terminologi dan detail-detail elemen

khusus dan spesifik tingkat sederhana yang berkenaan dengan

ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya terkait dengan

masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan

kawasan regional.

b) Konseptual

Pengetahuan tentang klasifikasi, kategori, prinsip,

generalisasi, teori dan model, yang digunakan terkait dengan

pengetahuan teknis dan spesifik tingkat sederhana berkenaan

dengan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya terkait

dengan masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara,

dan kawasan regional.

c) Prosedural

Pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu atau kegiatan

yang terkait dengan pengetahuan teknis, spesifik, algoritma,

metode tingkat sederhana berkenaan dengan ilmu pengetahuan,

teknologi, seni, dan budaya terkait dengan masyarakat dan

lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.

d) Metakognisi

Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri sendiri

dan menggunakannya dalam mempelajari pengetahuan teknis dan

spesifik tingkat sederhana berkenaan dengan ilmu pengetahuan,

168
teknologi, seni, dan budaya terkait dengan masyarakat dan

lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.

3) Keterampilan

Peserta didik memiliki keterampilan berpikir dan bertindak:

kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif melalui

pendekatan ilmiah sesuai dengan yang dipelajari di satuan pendidikan

dan sumber lain secara mandiri.

Berdasarkan acuan standar kompetensi lulusan di atas, maka

dilakukan analisis kesesuaian pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa sebagai berikut:

1) Sikap

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang percaya terhadap

Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan di zaman dahulu mereka sudah

mempercayai adanya suatu kekuatan yang menggerakkan dan

mengatur alam semesta. Masyarakat Jawa memiliki spiritualitas

terhadap bumi dan kepercayaan terhadap Tuhan yang diwujudkan

dalam perilaku dan kepercayaan, seperti merti dusun. Merti dusun

merupakan kegiatan selametan di masyarakat sebagai ucapan syukur

atas keberkahan yang diperoleh atas melimpahnya panen. Semua

sajian yang dipergunakan dalam acara merti dusun adalah hasil

agraris, seperti sayuran, buah-buahan ataupun nasi lengkap dengan

lauk pauknya yang disusun dalam bentuk jodhangan atau gunungan.

Jodhangan atau gunungan kemudian dikumpulkan dan selanjutnya

169
secara bersama-sama dilakukan doa (kenduri) sebagai ucapan syukur

kepada Tuhan atas limpahan rezeki berupa panen dan hasil bumi yang

melimpah.

Gambar 52. Kegiatan merti dusun di desa Srunggo


Selopamioro kecamatan Imogiri Yogyakarta

Kearifan lokal tradisional masyarakat Jawa banyak memuat

pendidikan moral dan etika yang dikenal dengan istilah tatakrama,

unggah-ungguh, dan tepa slira.

... ada tingkatan tatakrama seperti pada orang tua pakai krama
inggil, sama orang yang baru kenal pake krama madya, kalau
setara bisa pake ngoko. Banyak orang bilang kalau ngoko itu
lebih demokratis tetapi krama madya itu lebih menghargai atau
lebih sopan dari ngoko... (wawancara KRTR, 30 Juni 2018)

Pendidikan moral tersebut diajarkan dalam keluarga dan masyarakat

secara turun temurun melalui pitutur dan laku (tindakan).

...disampaikan dari lisan ke lisan/ tidak tertulis, melalui


wejangan atau pitutur atau nasehat. Kondisi yang paling bagus
adalah saat di meja makan melalui adap makan bersama,
sehingga terjalin komunikasi dan kompromi yang
baik......(wawancara KRTPK, 28 Juni 2018)

170
Sikap yang ditekankan oleh masyarakat Jawa adalah selalu

berbuat baik dan menghormati terhadap apapun dan siapapun (saen).

Sikap menghormati di masyarakat Jawa memiliki beberapa makna:

a) menghormati adalah menyetujui/ setuju

Konsep menghormati adalah menyetujui/ setuju dikenal

dengan istilah manut. Sikap manut sering terjadi ketika seseorang

berinteraksi dengan orang tua atau orang lain yang dianggap

memiliki wibawa atau kedudukan yang lebih tinggi. Sikap ini

muncul karena rasa ewuh pakewuh, sungkan atau enggan, untuk

menolak karena merasa tidak enak hati atau rasa takut jika

membantah akan kuwalat (mendapatkan hal buruk atau karma).

... prinsip bangun turut.. Orang tua tahu keinginan anak, dan
anak menyampaikan kemauannya kepada orang tua
sehingga tercipta komunikasi yang baik. Jika orang tua
memahami keinginan anak, maka anak akan menghormati,
menghargai, manut kepada orang tua (wawancara KRTPK,
28 Juni 2019)

... orang tua atau juragan kebanyakan menggunakan pranata


mangsa, penggarap atau orang muda ya manut/ ngikut yang
tua ... (wawancara SN, 15 Oktober 2017)

b) menghormati adalah mengenal diri

Konsep menghormati adalah mengenal diri terjadi ketika

orang Jawa berinteraksi dengan orang lain yang memiliki

kedudukan sama seperti kepada teman atau tetangga. Sikap ini

muncul dalam bentuk tepa slira (tenggang rasa). Sikap tepa slira

menuntut setiap orang untuk dapat menguasai diri, menjaga

171
perasaan orang lain, dengan mengesampingkan keinginan dan

kepentingan pribadi. Tepa slira atau tenggang rasa merupakan

etika dalam pergaulan sosial untuk menghormati, menghargai,

dan memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya

sendiri.

Orang Jawa itu paling tidak suka di Leh ke (kalau kamu


suka digitukan jangan begitu) atau istilahnya harus tepa
slira (menghargai dan menghormati orang
lain)...(wawancara KRTPK, 28 Juni 2019)

c) menghormati adalah menjaga alam

Orang Jawa dalam menggambarkan kehidupan selalu

berkaitan dengan alam. Sikap menghormati adalah peduli dan

menjaga alam. Hal ini dikarenakan alam merupakan wujud dari

spiritualitas bumi dan pengakuan bahwa manusia itu tidak bisa

lepas dari alam, khususnya tanah.

... orang Jawa asal-usulnya sendiri kan berasal dari tanah.


Semua tidak ada yang tidak berasal dari tanah, tidak ada
yang tanpa tanah. orang hidup karena tanah. .... Sehingga
apapun selalu berkaitan dan berhubungan dengan tanah atau
pertiwi.... suatu saat akan kembali ke tanah... sejak lahirpun
orang Jawa sudah berhubungan tanah, orang mendirikan
rumah juga di tanah lagi, semua yang kita makan juga
berasal dari tanah ... air pun juga bersih setelah melewati
tanah (wawancara SE, 13 Agustus 2018)

Selain sikap menghormati di atas, masyarakat Jawa juga

memiliki istilah unik untuk menjaga etika, sikap dan perilaku dalam

keseharian yang disebut dengan “ora ilok”. Ora ilok merupakan

norma dalam sistem etika yang tumbuh dan berkembang di

172
masyarakat tradisional Jawa. Istilah ora ilok disampaikan secara lisan

dengan tujuan untuk menjaga sikap atau etika karena dianggap kurang

pantas atau sopan sehingga setiap orang Jawa tidak bertindak dengan

sembarangan.

... ora ilok itu hanya angan-angan saja untuk menjaga etika atau
kesopanan. Ora ilok itu maknanya larangan karena kurang
sopan... ora ilok itu larangan karena tindakan yang dilakukan
kurang sopan, lebih kepada menjaga etika. Contoh ora ilok
mangan ngadek, mangan kudu lungguh...(wawancara KRTPK,
KRTNR, RRYYW, 5 Juli 2018).

Cuplikan wawancara di atas menunjukkan bahwa ora ilok

merupakan suatu sistem pendidikan Jawa yang mempertahankan

tumbuhnya rasa malu (isin) dan menghormati individu atau

sekelompok orang. Ora ilok berisi nilai dasar etis baik dan buruk, dan

nilai dasar estetika pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Pada

prinsipnya ora ilok merupakan nasehat tersamar, tidak dikatakan

dengan selugasnya. Ora ilok adalah bagian dari norma tradisional

Jawa, yakni etika kecil dan aturan kesusilaan dalam tata pergaulan.

Ora ilok umumnya berisikan hal-hal yang kurang pantas untuk

dilakukan dan anjuran untuk tidak dilakukan.

Masyarakat Jawa dalam kesehariannya juga mengenal falsafah

Nyawiji (konsentrasi); Greget (kemauan); Sengguh (Jati diri); Ora

mingkuh (tanggung Jawab). Falsafah hidup ini selalu dipegang oleh

masyarakat Jawa, bahwa seseorang harus bertanggung jawab dan

memiliki jati diri sebagai orang Jawa (njawani). Berdasarkan uraian di

173
atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa sangat memenuhi kompetensi sikap ilmiah dalam SKL.

2) Pengetahuan

Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa merupakan

pengetahuan yang ada di masyarakat Jawa dan berlangsung secara

turun temurun dari generasi ke generasi. Pengetahuan ini menyatu dan

terintegrasi dengan pengetahuan lain dan sudah diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai falsafah hidup dan cara

hidup. Secara mitologi pengetahuan dalam pranata mangsa ada lima

seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu dongeng, tembang,

gugon tuhon/ora ilok, palintangan, dan pawukon yang saling

berkaitan satu dengan yang lain. Salah seorang informan mengatakan,

... Mitologi Jawa bukan mitos tetapi pengetahuan orang Jawa.


Pengetahuan itu bersifat holistik tidak terpilah-pilah. Mitologi
Jawa adalah semua pengetahuan Jawa yang berkaitan dengan
mitos, seni, perilaku, pengalaman, keterampilan, dan
sebagainya... (wawancara KI, 1 Agustus 2018).

Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa tidak semuanya

dijabarkan secara eksplisit, akan tetapi terbungkus dan menyatu

dengan cerita sejarah, mitos, legenda, budaya, seni, musik, cara

berbicara, menulis bahasa, penemuan ilmiah, jaringan sosial, dan

keterampilan hidup. Seperti kisah Murwakala yang mengandung

pengetahuan mengenai waktu atau kisah Dewi Sri yang berisi

pengetahuan mengenai alam.

174
Untuk memperjelas relevansi dari pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa pada domain pengetahuan berikut adalah hasil

analisis dengan meninjau aspek faktual, konseptual, prosedural, dan

metakognisi.

a) Faktual

Secara faktual pengetahuan indigenous sangat kontekstual

dan berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat Jawa dan

mengandung istilah/terminologi dan detail khusus seperti pranata

mangsa yang membahas tentang musim/ mangsa di Jawa atau

pawukon yang lebih berkaitan dengan hari baik atau hari buruk

dengan menggunakan perhitungan/ petungan Jawa. Pengetahuan

tersebut masih dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-

hari seperti bercocok tanam, pernikahan, membangun rumah,

kelahiran, dll.

... hitungan pawukon masih banyak digunakan, misal untuk


menentukan hari hajat, bangun rumah, bangun perusahaan,
kawinan, perhitungan hari baik ... (wawancara TY, 16
Agustus 2018)

Selain itu, pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

khususnya pranata mangsa juga sangat detail dengan elemen-

elemen yang spesifik.

... Mangsa paceklik itu kurang pangan, atau larang pangan.


Sambungane mau panen kan isih suwe, semplah itu artinya
susah atau kemeng atau gak punya semangat. Pengarep-
arep itu berharap tandure apik menjelang panen
(wawancara KRTR, 3 Juli 2018)

175
Pranata mangsa diresmikan sebagai kalender oleh Paku

Buwana VII di Surakarta, karena waktu itu pengetahuan ini

banyak digunakan oleh petani Jawa di wilayah gurung Merapi dan

gunung Merbabu. Jika seseorang mengatakan pranata mangsa

maka yang terbayang adalah musim yang dipercayai oleh para

petani Jawa. Selain itu pengetahuan mitologi Jawa juga berkaitan

dengan teknologi sederhana, seni dan kebudayaan Jawa seperti

luku, garu, gamelan dan wayang.

b) Konseptual

Secara konseptual pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa sangat memenuhi standar lulusan pada domain pengetahuan.

Beberapa konsep pengetahuan dalam mitologi Jawa bersifat

teknis dan spesifik. Berikut adalah contoh cuplikan wawancara

yang menunjukkan bahwa pengetahuan mitologi Jawa pranata

mangsa bersifat teknis dan spesifik

... diagram pranata mangsa atau pembagian dalam suatu


kalender Masehi yang dibagi menjadi 12 mangsa, dimana
mangsa.... Satu tahun dibagi menjadi 12 mangsa. Mangsa
pertama kasa sampai dua belas yang masa itu dari satu
sampai enam dan tujuh sampai 12, yang simetris/ sama.
Kaso (1) karo sadha (12) usianya sama yaitu 41, yang
ditulis dalam bentuk tembang “kasa sadha kawandasa siji,
karo dhesta trilikur umure, katelu kasepuluhe sami umur
pat likur, kapat lawan kasanga sami umur selawe dina,
kalima kawolu sami umure pitulikur, kanem lawan kapitu
umure sami sekawan dasa tiga” (wawancara KRTR, 30 Juni
2018)

176
Pengetahuan pranata mangsa memuat tentang klasifikasi

mangsa sebanyak 12 yang dikategorikan lagi menjadi empat yaitu

mangsa ketiga, labuh, rengdheng dan mareng yang disusun

berdasarkan kemiripan sifat dan karakteristik dari tiap mangsa 12.

Pengetahuan pranata mangsa juga dapat berupa prinsip,

generalisasi dan abstraksi serta teori yang diperoleh dari hasil

pengamatan, pengalaman dan penelaahan suatu kejadian atau

fenomena secara berulang-ulang yang dikenal dengan ilmu

“titen”. Abstraksi dari mitologi Jawa sangat bermanfaat untuk

mendeskripsikan, memprediksi menjelaskan, menentukan

tindakan yang akan diambil. Konsep pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa terintegrasi dengan pengetahuan lain

dalam adat istiadat, budaya dan kelangsungan hidup masyarakat

(cultural sustainability) serta cara hidup bahkan falsafah hidup.

c) Prosedural

Pengetahuan prosedural adalah tentang cara mengerjakan

sesuatu mulai dari hal yang rutin sampai menyelesaikan masalah.

Secara prosedural pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

pranata mangsa sangat berkaitan dengan kegiatan teknis

penanaman tanaman khususnya padi. Di dalam kalender pranata

mangsa secara spesifik dijabarkan tiap mangsanya mengenai

kondisi alam dan prosedur atau kegiatan yang harus dilakukan

petani tiap mangsa dalam bercocok tanam.

177
Kegiatan teknis pertanian ini secara nyata mulai tergerus

dengan tuntunan dan kebutuhan ekonomi petani. Sebagai contoh,

pranata mangsa zaman dahulu hanya dipergunakan untuk masa

tanam padi satu kali dalam satu tahun, tetapi mengalami

pergeseran menjadi tiga tahun. Hal ini bukan berarti pranata

mangsa tidak relevan, tetapi perlu disadari kemampuan

manusialah yang kurang mengerti dan memahami alam. Alam

tidak pernah berubah, yang mengubah dan berubah adalah

manusia itu sendiri.

... yen mangsa niku mboten saget diganggu, mboten saget di


lira, menika pun alam, kecenderungan misale ninggali
aturan alam menika biasanipun sak derenge tanggal 15
angin grobogan bulan kawolu, pantun saget seda, wonten
walang sangit, sundep-sundep menika katah, hasile sekedik,
malah mboten panen... (wawancara DH, 26 Desember
2017)

Berikut adalah contoh gambar prosedur yang dilakukan

petani mulai dari membakar jerami pada pranata mangsa

178
1. Damen/ jerami padi dibakar 2. Proses luku dan nggaru

3. Proses membuat uritan 4. Proses menanam padi

5. Tanaman padi menghijau 6. Tanaman padi siap panen

7. Proses pemanenan dengan ani-ani 8. Proses penjemuran padi

Gambar 53. Prosedur penanaman padi dalam pranata mangsa

179
d) Metakognitif

Secara metakognitif, pranata mangsa mengajarkan bahwa

manusia berhubungan erat dengan iklim dan lingkungan

disekitarnya. Pranata mangsa membantu para petani untuk

merancang kehidupannya, belajar mengatur ekonomi, berhemat

ketika memasuki masa paceklik dan semplah, dan berbahagia

ketika padi melimpah di masa panen. Pranata mangsa

mengajarkan pengharapan, di mangsa semplah manusia sangat

putus asa karena alam seakan-akan tidak memberi kebaikan dan

rezeki bagi mereka, namun ketika masa semplah ini berlalu maka

datanglah mangsa pengarep-arep atau pengharapan yang akan

membawa kesejahteraan dan kebaikan. Pranata mangsa

memperlihatkan betapa hidup para petani Jawa tetap bersabar,

bertahan dan berani.

Selain itu, masyarakat Jawa berwawasan tentang

kesentosaan budi pekerti seperti harep, tetep, mantep, gemi, titi,

tlaten, dan eling. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

melatih masyarakat Jawa untuk mengetahui kelebihan dan

kekurangan melalui proses liyep layap aluyup (liyep memahami

perjalanan nafas dalam diri, layap memahami rasa panas pada diri

manusia, dan aluyup nmemahami perjalanan darah). Orang Jawa

memiliki rasa mawas diri (mengukur diri) dan mulat salira

(mengaca diri). Mawas diri adalah kemampuan untuk mengukur

180
dan menilai diri sendiri, kelebihan dan kelemahan diri, sedangkan

mulat salira merupakan kemampuan memahami diri sehingga

tahu jati diri atau identitas diri.

... Orang Jawa itu harus empan papan (tahu diri dan posisi
diri), punya tatakrama, unggah ungguh. Dalam setiap
perbuatan harus berpikir (ikhsan), dirasakan (iman), baru
diucapkan (lisan)... ya empan papan tadi. Mampu
menempatkan diri, tahu posisi dan dimana ... (wawancara
KRTPK, 28 Juni 2018)

Pengetahuan di Jawa bersifat kontekstual dan kondisional

yang mengacu pada situasi dimana orang Jawa dapat

menggunakan pengetahuan metakognisinya sesuai dengan norma

sosial, budaya dan situasi lokal. Empan papan merupakan salah

satu contoh pengetahuan diri kapan memposisikan diri secara

tepat.

Selain hal yang sudah dijelaskan di atas, pengetahuan

metakognisi lain yang dimiliki orang Jawa adalah rasa rumangsa.

Rasa rumangsa ini akan menyebabkan seseorang semakin mampu

melakukan pengujian diri (self examination) dan menyadari

bahwa dirinya bukanlah orang yang sempurna seperti yang

termuat dalam peribahasa Jawa “aja rumangsa bisa, nanging bisa

rumangsa”.

3) Keterampilan

Masyarakat Jawa memiliki kemampuan “titen“ yaitu

keterampilan mengamati dan mempelajari fenomena alam yang

181
dilakukan dengan membaca tanda-tanda alam dan pengalaman.

Keterampilan titen mendidik orang-orang Jawa bak seorang ilmuwan,

yaitu mengamati, merekam, menganalisis dan menguji hipotesis

berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang terjadi secara terus

menerus dan berulang-ulang secara periodik.

... Orang itu harus titen, open, tlaten, saen. Saen itu berpikir
positif... Karena kalau di Jawa setiap ada hal yang baik akan
diimbangi oleh hal yang buruk, dan setiap hal yang buruk akan
diimbangi oleh hal yang baik.... titen itu niteni, lek ngene ki
engko akibate ngene... (wawancara SU, 15 Oktober 2017)

open iki sitik-sitik diopeni, tlaten iku pantang menyerah. Terus


titen, wong iki niteni lek ngene iki akhire ngene, membaca
perubahan fenomena alam. Lek saen iku berpikir positif. Dari ke
empat itu anda akan menghasilkan sesuatu yaitu panen makanya
disebut panca wisaya... (wawancara SU, 22 Juli 2018)

Kemampuan ini memunculkan sikap kritis, kreatif dan produktif

untuk terus belajar (nyinau, ngagas) dan menciptakan sesuatu baru

(nyipta). Keterampilan ini melatih kemandirian, kolaboratif/ gotong

royong dan komunikatif melalui pitutur. Orang Jawa berpikir sirkular

dengan mempertimbangkan nilai-sosial budaya di masyarakat dalam

membuat keputusan.

Hasil analisis kesesuaian pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa dalam SKL juga penelti sederhanakan dalam bentuk tabel yang

terdapat dalam lampiran. Berdasarkan kajian di atas, pengetahuan

indigenous konteks mitologi Jawa sangat memenuhi SKL yang meliputi

domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir

182
mengenai penyokong kehidupan, dan melindungi alam dari eksploitasi

yang berlebihan. Mengajarkan siswa untuk bertanggung jawab, kritis

terhadap permasalahan yang muncul di masyarakat. Pengetahuan

indigenous dapat membantu mendorong pengelolaan sumber daya yang

adil untuk kemandirian masyarakat dan mengajarkan siswa untuk

bertanggung jawab, mampu mengkomunikasikan dan menunjukkan sikap

kepedulian tentang hak asasi manusia dari orang-orang indigenous, budaya

tradisional dan kekayaan intelektual manusia.

d. Analisis aspek kompetensi sains

Kurikulum 2013 dirancang untuk memperkuat kompetensi siswa dari

sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap secara utuh. Silabus sains

disusun sebagai acuan dalam merancang pembelajaran yang meliputi

rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan

pengembangan penilaian hasil pembelajaran. Adapun tujuan khusus dari

misi dan orientasi kurikulum 2013 yang diterjemahkan dalam praktek

pembelajaran sains adalah siswa memiliki kompetensi yang diperlukan

bagi kehidupan masyarakat di masa kini dan masa mendatang. Kompetensi

yang dimaksud antara lain:

1) Menumbuhkan sikap religius dan etika sosial yang tinggi dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (kompetensi

sikap)

2) Menguasai pengetahuan (kompetensi pengetahuan)

183
3) Memiliki keterampilan dan kemampuan menerapkan pengetahuan

dalam rangka melakukan penyelidikan ilmiah, pemecahan

masalah, dan pembuatan karya kreatif yang berkaitan dengan

kehidupan sehari-hari (kompetensi keterampilan)

Kurikulum 2013 mengacu pada pembelajaran sains secara terpadu

dan utuh, sehingga setiap pengetahuan yang diajarkan, pembelajarannya

harus dilanjutkan sampai membuat siswa terampil dalam menyajikan

pengetahuan yang dikuasainya, dan bersikap sebagai makhluk yang

mensyukuri anugerah alam semesta melalui pemanfaatan secara

bertanggung jawab.

Pengetahuan yang ada di masyarakat Jawa diawali dengan rasa ingin

tahu yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan untuk mencari penjelasan,

penyelesaian paling sederhana, akurat dan konsisten dalam memprediksi

gejala-gejala melalui keterampilan niteni. Tabel 22 adalah cuplikan hasil

analisis kompetensi pada pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa.

184
Tabel 22. Hasil analisis pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

Kategori Tema kompetensi


Melestarikan budaya dan alam
Alam bagian dari hidup dan
Siklus kehidupan, Siklus alam,
kehidupan
keseimbangan manusia dan alam
Sikap teliti, menghormati,
menghargai, rasa ingin tahu, Sikap teliti, menghormati,
bersungguh-sungguh (sawiji), tekun menghargai, rasa ingin tahu,
dan serius (greget), tanggung jawab konsentrasi, tekun, cermat,
(ora mingkuh), percaya diri (sengguh), percaya diri, tanggung jawab,
menekankan pada kekuatan empirik menekankan pada kekuatan
Perhitungan metafisik, sikap teliti, empirik dan metafisik Sikap ilmiah
cermat
Sikap subjektif dalam berperilaku,
Perilaku hidup menghargai,
rendah hati, sopan (unggah-ungguh),
menghormati, tenggang rasa,
menghargai, menghormati, tepa slira.
toleran, subjektif, luwes, sopan
luwes, tata krama
Kemisteriusan bagian dari kehidupan
Kesadaran diri, tepa slira, mawas diri Etika dan kemisteriusan
Spiritualitas bumi dan harmonisasi sebagai harmonisasi
dengan alam
Pengukuran dalam pertanian,
perdagangan Pengetahuan menyatu dengan
Musim dan perubahan iklim, suhu dan pengetahuan lain yang di
Pengetahuan
kalor, mahluk hidup dan proses pelajari untuk kelestarian alam
kehidupan, ekosistem, lingkungan dan budaya
Astronomi, proses kehidupan, budaya
Mengamati, mempelajari alam,
memprediksi, menganalisis,
memverifikasi, mengatur polam
membaca tanda tanda alam
Mempelajari alam dengan cara
Pelestarian budaya dan alam secara
membaca tanda-tanda alam dan
praktek, mengatur pola, mengamati,
pengalaman dengan ilmu titen Keterampilan
mengelompokkan
yang bersifat lokal ilmiah
Berpikir kritis, mengatur pola,
mengamati, menganalisis, mengambil
keputusan, memverifikasi,
memprediksi
Cara berpikir sirkular Cara berpikir sirkular
Diskusi Dikomunikasikan secara lisan
Pitutur/ wejangan melalui pitutur dan diskusi

185
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 22, terdapat delapan tema

antara lain:

1. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa memandang alam

sebagai bagian dari hidup dan proses kehidupan

2. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa mengandung sikap

teliti, menghormati, menghargai, rasa ingin tahu, konsentrasi, tekun,

cermat, percaya diri, tanggung jawab, menekankan pada kekuatan

empirik dan metafisik

3. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa menekankan pada

praktek perilaku hidup menghargai, menghormati, tenggang rasa,

toleran, subjektif, luwes, sopan

4. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa memandang etika dan

kemisteriusan sebagai harmonisasi

5. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa menyatu dengan

pengetahuan lain yang di pelajari untuk kelestarian alam dan budaya

6. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa mempelajari alam

melalui ilmu titen yang bersifat lokal

7. Mitologi Jawa memiliki pola berpikir sirkular

8. Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dikomunikasikan

melalui pitutur dan diskusi

Sedangkan hasil pengintegrasian antara kompetensi sains dengan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa tampak dalam diagram

irisan berikut

186
Gambar 54. Relevansi kompetensi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dalam sains normatif di sekolah

187
e. Analisis aspek pembelajaran

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22

Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah

proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi

aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta

psikologis peserta didik. Oleh karena itu setiap satuan pendidikan

melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran

serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.

Di sekolah, peserta didik didorong untuk belajar melalui keterlibatan

aktif dengan keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-

prinsip. Proses pembelajaran sains dapat menggunakan berbagai model

pembelajaran seperti discovery based learning, problem-based learning,

dan project based learning. Selain itu, pembelajaran juga dapat

menggunakan beberapa metode seperti percobaan, resitasi, diskusi,

demonstrasi, penugasan, tanya jawab, pengamatan langsung, dll. Untuk

memperlancar dan mempermudah penyampaian materi dan pencapaian

kompetensi, pembelajaran dapat dibantu dengan menggunakan media,

seperti media visual, media audio, projector, dan projected motion media.

Proses pembelajaran sains tidak hanya mempelajari konsep-konsep tetapi

188
juga diperkenalkan aspek dan peran teknologi di masyarakat, serta

pengaruhnya terhadap masyarakat.

Cara belajar dan mengajar di masyarakat Jawa menganut prinsip

momot, momong, dan momor. Momot adalah sikap dapat mengerti, mampu

menampung dan menjiwai apa yang dipelajari. Sedangkan momor berasal

dari kata amor yang artinya menyatu sehingga dapat momong atau mampu

mengasuh. Momong artinya menjaga dengan sebaik-baiknya apa yang

sudah dipelajari. Momong dilakukan dengan pola asah, asih, asuh. Asah

berarti saling memberi pengertian, asuh berarti mengasuh tanpa membeda-

bedakan, jangan sampai kelara-lara (terabaikan/ tersakiti). Komunikasi

dalam mendidik dilakukan berlandaskan cinta kasih atau asih.

... orang Jawa, harus manut 3 M dan harus disingkiri 3 M. Mo yang


dianut momot, momor, momong. Momot iku iso menampung, momor
bisa menyatu, momong bisa mengasuh.... (wawancara SU, 22 Juli
2018)

... momong itu bisa ngemong (berarti bisa mengasuh/ hal membuat
kompromi). Momot itu menjiwai atau memuat atau mampu. Momor
itu berasal dari kata amor yang artinya menyatu, dalam hal ini
momor itu dapat berbaur dan menyatu sehingga dapat momong atau
mampu mengasuh... (wawancara KRTPK, 28 Juni 2018)

Sedangkan dalam mempelajari pengetahuan, masyarakat Jawa

mengenal prinsip Nyinau, Nggagas, Nyipta. Nyinau adalah membaca dan

mengamati dengan cermat dan mempelajari dengan sungguh-sungguh.

Nggagas adalah upaya, memahami, mendalami, mencerna (mensintesis

dan menganalisis) pengetahuan dan pengalaman. Nyipta adalah membuat

189
atau mengembangkan sesuatu yang baru berdasarkan hasil Nyinau dan

Nggagas.

... salah sistem belajar di masyarakat Jawa adalah epigonism yaitu


niroke, dan itu adalah empirik. Anda bisa ngomong atau berbicara
karena niroke... (wawancara KI, 1 Agustus 2018)

... Orang Jawa itu mengenal 3 N dalam praktek kesehariannya yaitu


Niteni, Niroke, Nambahi atau ada yang menyebutnya Nyinau,
Nggagas, Nyipta ...( wawancara KRTPK, 28 Juni 2018)

Penggunaan media merupakan pengejawantahan dan visualisasi dari

informasi yang akan disampaikan, sehingga lebih mudah dipahami dan

dimengerti. Dalam menyampaian informasi, orang-orang Jawa

menggunakan media visual seperti wayang, relief dan media audio seperti

kentrung. Untuk sistem penilaian, penilaian dalam pembelajaran

indigenous konteks mitologi Jawa sulit untuk dilakukan karena tujuannya

adalah mencapai keselamatan dan kesempurnaan, sehingga waktu yang

dibutuhkan bisa seumur hidup. Keberhasilan adalah keselamatan dan

kesempurnaan. Dua orang informan mengatakan

Orang Jawa itu kalau kondisinya sudah selamet itu sudah berhasil
dalam hidup. Untuk mencapai kasampurnan selamat itu sudah modal
yang sangat bagus, sehingga setiap langkah itu sangat
diperhitungkan, ini semua untuk keselamatan... (wawancara SE, 13
Agustus 2018)

Orang Jawa itu pinginnya hidupnya sempurna, sempurna dalam hal


kehidupan di dunia dan mati masuk surga, makanya ada istilahnya
manunggaling kawula gusti karena itu adalah kasampurnan sejati
(wawancara KI, 1 Agustus 2018)

Cuplikan hasil analisis aspek pembelajaran yang terdapat dalam

lampiran disajikan dalam tabel 23 berikut.

190
Tabel 23. Hasil analisis aspek pembelajaran pengetahuan indigenous
konteks mitologi Jawa

Kategori Tema Aspek


Pembelajaran
Melalui pitutur orang tua, berdiskusi Menyampaikan
dengan teman, membaca serat centhini pengetahuan
dilakukan secara oral
Melalui diskusi dan pitutur dari orang melalui pitutur,
tua, diberikan contoh langsung dalam diskusi dan contoh
bentuk laku langsung dalam laku
di masyarakat
Menggunakan pola asah, asih, asuh Prinsip 3M dalam
Metode
mengajar yaitu
Prinsip 3 M yang baik yaitu momot, pembelajaran
momot, momong
momor, momong.
(asah, asih, asuh),
Prinsip 3 M yang harus dihindari yaitu
dan momor
mokuta, mokutem, mokutetekan
Sistem belajar epigonism yaitu niroke Sistem 3 N dalam
Sistem belajar 3 N yaitu Niteni, Niroke, belajar, yaitu Niteni,
Nambahi atau Nyinau, Nggagas, Nyipta Niroke, Nambahi
atau Nyinau,
Nggagas, Nyipta
Alam memberi informasi tentang
Alam dan
perilaku mahluk hidup (hewan dan
pengalaman adalah Sumber belajar
tumbuhan) dan kondisi alam
sumber pengetahuan
Pengalaman membaca tanda-tanda alam
Menggunakan lambang
Menggunakan olah rasa
Media kentrung untuk bercerita, Menggunakan
disampaikan melalui irama sebagai media perlambang, media
Media
seperti suluk audio, media visual
pembelajaran
dalam penyampaian
Wayang sebagai media bayangan untuk
pengetahuan
menceritakan sesuatu dan simbol untuk
menyampaikan suatu ajaran
Pencapaian akhir adalah kesempurnaan
dalam hidup (manunggaling kawula
gusti) Tujuan akhir adalah
Untuk mencapai kasampurnan diperlukan kesempurnaan dan Penilaian
modal selamet dalam hidup keselamatan
Kesempurnaan yang sejati adalah
kematian

191
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 23, terdapat enam tema

mengenai sistem pembelajaran pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa di masyarakat antara lain:

1. Menyampaikan pengetahuan dilakukan secara oral melalui pitutur,

diskusi dan contoh langsung di masyarakat dalam laku

2. Prinsip 3M dalam mengajar yaitu momot, momong (asah, asih, asuh),

dan momor

3. Sistem 3 N dalam belajar, yaitu Niteni, Niroke, Nambahi atau Nyinau,

Nggagas, Nyipta

4. Alam dan pengalaman adalah sumber pengetahuan

5. Menggunakan perlambang, media audio, media visual dalam

penyampaian pengetahuan

6. Tujuan akhir adalah kesempurnaan dan keselamatan

Sedangkan hasil perbandingan antara pembelajaran sains di sekolah

dan pembelajaran pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

berdasarkan hasil analisis dokumen pembelajaran, wawancara, observasi,

dan dokumen mitologi di museum .

192
Tabel 24. Analisis relevansi aspek pembelajaran antara sains normatif dan pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

Aspek Perbedaan
Persamaan
Pembelajaran Sains normatif di sekolah Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa
Metode pembelajaran dilakukan di sekolah pembelajaran dilakukan di masyarakat dan alam menggunakan contoh
pembelajaran dalam waktu yang relatif cepat dalam waktu yang lama bahkan seumur hidup. untuk memperjelas
contoh diberikan melalui konsep contoh diberikan melalui perilaku (laku) proses transfer
pembelajaran dan pengajaran pembelajaran diberikan dengan prinsip 3M yaitu pengetahuan
diberikan dengan metode didaktik Momot (menjiwai atau memuat), Momong (asah, pembelajaran diberikan
(percobaan, resitasi, demonstrasi, asih, asuh) dan Momor (menyatu) dimulai dari hal yang
discovery, inquiry, problem-based proses pembelajaran dilakukan dengan sistem paling sederhana
learning, dll) 3N (Nyinau, Nggagas, Nyipta) atau (Niteni, sampai dengan yang
proses pembelajaran dilakukan Niroke, Nambahi) kompleks yaitu nyipta
mengacu taksonomi Bloom mulai pengetahuan disampaikan secara oral (pitutur), atau create
dari mengingat (remember) sampai diskusi
dengan cipta (create)
pengetahuan disampaikan secara
lisan, tertulis dan matematis
Sumber belajar sumber belajar dari buku, komputer, sumber belajar adalah pengalaman dan alam memiliki sumber
percobaan atau eksperimen belajar
Media menggunakan media visual, media menggunakan perlambang. media visual dan menggunakan media
pembelajaran audio, project motion, alat peraga media audio visual dan media audio
Penilaian penilaian dilakukan untuk mencapai penilaian dilakukan untuk keselamatan dan melakukan penilaian
tujuan pembelajaran kesempurnaan hidup memiliki target capaian
diujikan dalam bentuk tes diuji dalam praktek situasi kehidupan
keberhasilan diukur melalui keberhasilan sulit diukur karena berupa
penilaian proses, tes, dan ujian pengalaman kehidupan

193
2. Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

dengan pengetahuan sains di sekolah

a. Metode pengintegrasian FCSI

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan

nasional, pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan

pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan

potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk

masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai pendidikan yang berbasis

masyarakat adalah dengan mengintegrasikan pengetahuan lokal

tradisional/ indigenous dalam pembelajaran di sekolah. Pengintegrasian

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dengan pengetahuan sains

di sekolah adalah sebuah proses yang penggabungan dua pandangan yang

tampak berbeda dan bertentangan. Walaupun demikian pengintegrasian ini

tetap perlu dilakukan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih

mengenal pengetahuan tradisional Jawa yang dimilikinya sehingga

memunculkan kepedulian terhadap kelestarian pengetahuan tradisional.

Selain itu pengintegrasian ini diharapkan akan membuat pembelajaran

sains menjadi lebih bermakna.

Berdasarkan analisis data yang sudah disajikan dalam sub bab hasil

relevansi, maka ditemukan empat langkah untuk mengintegrasikan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dengan pengetahuan sains

di sekolah. Keempat tahapan tersebut merupakan hasil refleksi pada saat

melakukan analisis data penelitian. Keempat tahapan saling berurutan dan

194
berkaitan satu dengan yang lain. Adapun langkah pengintegrasian tersebut

meliputi: dipisahkan (fragmented), dihubungkan (connected), disejajarkan

(sequenced), diintegrasikan (integrated). Berikut adalah penjelasannya

1) Dipisahkan (Fragmented)

Pengetahuan indigenous (PI) dengan semesta masyarakat Jawa

dan sains normatif di sekolah masing-masing ditinjau secara terpisah.

Masing-masing pengetahuan berdiri sendiri tanpa ada hubungan atau

korelasi satu dengan yang lain. Hal ini bertujuan pengkajian dari

masing-masing pengetahuan lebih fokus. Pengkajian secara terisolasi

ini didasarkan pada kenyataan bahwa pengetahuan indigenous di

masyarakat Jawa sangatlah luas, kompleks dan menyeluruh terkait

banyak aspek apabila dibandingkan dengan sains normatif yang ada di

sekolah. Proses fragmentasi dari tahapan ini adalah hakikat dari

pengatahuan sains (NoNS) dan hakikat pengetahuan indigenous

(NoIK) yang meliputi cara berpikir, cara menyelidiki dan kumpulan

pengetahuan serta paradigma indigenous konteks mitologi Jawa pada

tabel 13.

Gambar 55. Dua pengetahuan ditinjau secara terpisah dan terisolasi

195
Secara simbol dapat dituliskan bahwa, variabel (N) yang

mempengaruhi pengetahuan indigenous di masyarakat lebih besar dari

pada variabel yang mempengaruhi pengetahuan sains di sekolah (NPI

> Ns). Variabel yang dimaksud adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi keberadaan pengetahuan indigenous seperti

kepercayaan, adat istiadat, ekonomi, politik, budaya, dan sosial

kemasyarakatan.

2) Dihubungkan (Connected)

Setelah kedua pengetahuan dikaji secara terpisah dan terisolasi

untuk mengetahui hakikat dari masing-masing pengetahuan.

Selanjutnya hasil analisis dari masing-masing pengetahuan

dihubungkan secara garis besar. Ciri dari tahapan ini adalah adanya

garis putus-putus seperti pada proses difusi osmosis. Garis putus-putus

bermakna mulai mencari dan menghubungkan kemungkinan adanya

keterkaitan secara umum antara kedua pengetahuan seperti pada

gambar 15 dan tabel 14, yang meliputi persamaan dari hakikat kedua

pengetahuan dan konsep sains apa yang terdapat dalam pengetahuan

indigenous pranata mangsa, atau ide lain yang saling berkaitan. Kunci

dari tahapan ini adalah usaha menghubungkan kedua pengetahuan

secara garis besar. Hasil dari tahapan ini yang sudah dilakukan oleh

peneliti adalah pengetahuan indigenous apa yang memuat konsep

sains dan memungkinkan untuk diajarkan di sekolah.

196
Gambar 56. Dua pengetahuan dihubungkan

Luasnya pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa

membutuhkan ketelitian dan analisis yang mendalam agar bisa

terhubung dengan pengetahuan sains normatif di sekolah. Proses ini

menyerupai proses osmosis, dimana konsentrasi pengetahuan

indigenous di masyarakat Jawa lebih besar dari pada sains normatif di

sekolah (NPI > Ns).

3) Disejajarkan (Sequenced)

Tahapan selanjutnya adalah mensejajarkan pengetahuan

indigenous dengan pengetahuan sains normatif di sekolah.

Pensejajaran ini bertujuan agar pengkajian hubungan antar kedua

pengetahuan lebih terperinci, detail dan menyeluruh. Penggabungan

semesta ini memiliki makna bahwa pada saat mengkaji, menganalisis

dan menghubungkan kedua pengetahuan tersebut dilakukan secara

mendalam dan detail dengan melibatkan semua variabel atau faktor di

sekolah, meliputi kesesuaian dengan standar kompetensi lulusan,

aspek kompetensi, aspek pembelajaran, dan kompetensi dasar seperti

197
pada tabel 21. Ciri dari tahapan ini adalah semesta antara kedua

pengetahuan sudah menyatu atau sama (NPI = Ns = NPI, S ).

Gambar 57. Dua pengetahuan disejajarkan

Kunci dari tahapan ini adalah mengatur dengan lebih rinci topik,

konsep, keterampilan, dan sikap yang berkaitan diantara kedua

pengetahuan tersebut sehingga memiliki kesamaan yang tepat. Hasil

tahapan ini adalah analisis standar kompetensi lulusan, analisis standar

kompetensi dasar, analisis pembelajaran.

4) Diintegrasikan (Integrated)

Tahapan yang terakhir adalah mengintegrasikan kedua

pengetahuan tersebut berdasarkan kesamaan topik, konsep,

keterampilan dan sikap. Kedua pengetahuan dintegrasikan dengan

mencari perbedaan dan kesamaan dengan memperhatikan kesesuaian

dengan standar kompetensi lulusan, kompetensi siswa, dan aspek

pembelajaran di SMP seperti pada gambar 54 dan tabel 24. Setelah

keempat tahapan pengintegrasian dilakukan, maka akan diperoleh

aspek kompetensi dan aspek pembelajaran hasil pengintegrasian yang

berupa daerah irisan yang disebut dengan sains indigenous.

198
Gambar 58. Dua pengetahuan dintegrasikan (integrated)

Adapun gabungan dari keempat langkah pengintegrasian

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dengan pengetahuan sains

di sekolah peneliti sebut sebagai metode FCSI (fragmented, connected,

sequenced, dan integrated) yang saling berurutan dan saling berkaitan

seperti pada gambar 59 berikut.

199
Gambar 59. Tahapan pengintegrasian FCSI pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dan sains normatif

200
Sains indigenous merupakan pengetahuan yang unik karena

memperhatikan aspek sosial dan nilai-nilai di masyarakat Jawa yang

bersifat ilmiah dan sudah disesuaikan dengan pengetahuan sains di

sekolah. Sains indigenous yang diperoleh dalam penelitian terdiri atas dua

komponen besar yaitu aspek kompetensi dan aspek pembelajaran.

Gambar 60. Sains indigenous

Aspek kompetensi meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Sikap sains indigenous meliputi jujur, teliti, kreatif, toleran, tekun,

kerjasama, percaya diri, bertanggung jawab, rasa ingin tahu, peduli ,

menghormati dan menghargai. Sains indigenous meliputi materi tentang

kerja ilmiah, mahluk hidup dan proses kehidupan, energi dan

perubahannya, bumi dan atariksa, lingkungan. Sedangkan untuk aspek

keterampilan meliputi mempelajari alam, mengamati, mengumpulkan data

dan bukti-bukti, mengkomunikasikan, membuat keputusan, memverifikasi,

berpikir kritis, memprediksi, menganalisis, mengevaluasi,

201
membandingkan, mengelompokkan, dan mengatur pola. Selain aspek

kompetensi sains indigenous juga dipengaruhi oleh aspek pembelajaran

yang meliputi metode pembelajaran, sumber belajar, media pembelajaran,

dan penilaian. Metode pembelajaran pada sains indigenous menggunakan

contoh untuk memperjelas proses transfer pengetahuan dimana

pembelajaran diberikan dimulai dari hal yang paling sederhana sampai

dengan yang kompleks yaitu nyipta atau create. Sains indigenous juga

memiliki sumber belajar dan dalam pembelajarannya membutuhkan media

pembelajaran untuk mencapai target capaian.

b. Komunitas belajar indigenous (KBI)

Sebelum diajarkan kepada siswa, guru sebagai orang yang

memegang dan memiliki peran penting dalam pendidikan terlebih dahulu

harus memahami konsep dasar dari sains indigenous. Oleh karena itu

peneliti melakukan analisis terhadap dokumen pengajaran guru,

wawancara dan observasi selama kegiatan pembelajaran sains di kelas.

Adapun hasil analisis lengkap dapat dilihat dalam lampiran. Tabel 25

adalah cuplikan hasil analisis yang dijadikan dasar untuk membangun

suatu langkah pengintegrasian.

202
Tabel 25. Hasil analisis dokumen pengajaran dan observasi guru sains selama mengajar di kelas
Kode Kategori Tema
R OB, WA Melakukan identifikasi terhadap topik yang akan diajarkan
Mengidentifi
A. Rencana pembelajaran memuat tujuan, WB Mempertimbangkan kemampuan siswa, media, sarana dan
kasi
pendekatan/metode/ model pembelajaran, prasarana
media dan sumber belajar, langkah RA Membuat rencana pembelajaran yang memuat tujuan, pendekatan/
pembelajaran, instrumen penilaian metode/ model pembelajaran, media dan sumber belajar, langkah
B. Memuat aktifitas kunci 5M (mengamati, pembelajaran, instrumen penilaian
menanya, mengumpulkan informasi, RB aktifitas pembelajaran memuat kunci 5M (mengamati, menanya,
Menganalisis
mengasosiasi,, mengkomunikasikan) mengumpulkan informasi, mengasosiasi,, mengkomunikasikan)
C. Langkah pembelajaran meliputi pendahuluan, RA, RB, RC Mengorganisasikan semua informasi dalam rencana
inti dan penutup pembelajaran dan lembar kinerja siswa
WC Mempertimbangkan metode yang digunakan
O OA Melakukan pembelajaran di kelas
A. Melakukan proses pembelajaran OC Memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya dan mengajukan
Melakukan
B. Melakukan identifikasi dan pendalaman materi pendapatan
pengajaran
C. Memberi kesempatan pada siswa untuk OD Memperhatikan aktivitas siswa
bertanya dan mengajukan pendapatan OE Melakukan penilaian
D. Memperhatikan aktivitas siswa (memberi WD Berdiskusi dengan teman sejawat mengenai aktivitas siswa selama
penguatan, menasehati, dan menegur siswa) pembelajaran untuk suatu topik yang sama Melakukan
E. Melakukan penilaian OF, WE Membuat catatan penting evaluasi
F. Membuat catatan penting
W
A. Melakukan identifikasi materi
B. Mempertimbangkan kemampuan siswa, iklim Melakukan
kelas, ketersediaan media OF, WE Membuat catatatan penting perbaikan
C. Mempertimbangkan metode yang digunakan pembelajaran
D. Melakukan diskusi dengan teman sejawat
E. Membuat catatan penting

203
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 25 di atas, kajian teori

mengenai learning community (komunitas belajar) dan keberlanjutan

pengintegrasian sains indigenous dalam pembelajaran, maka peneliti

mengusulkan atau menawarkan delapan langkah untuk mengajarkan sains

indigenous kepada siswa yang diistilahkan dengan siklus 8M. Siklus 8M

dalam penerapannya melibatkan orang-orang indigenous dari masyarakat

Jawa sehingga komunitas yang menerapkan 8M peneliti istilahkan

komunitas belajar indigenous (indigenous learning community) atau

disingkat dengan KBI. Siklus 8M KBI ini terdiri atas delapan langkah

yang meliputi 1). mengidentifikasi sains indigenous, 2). memilih salah satu

topik sains indigenous, 3). menganalisis topik, 4). mengimplementasikan

topik terpilih di kelas, 5). melakukan refleksi, 6). melakukan evaluasi, 7).

mengembangkan penelitian lanjutan, dan 8). membagi hasil kajian kepada

masyarakat indigenous. Kedelapan langkah yang dilakukan dalam KBI

tidak terpisah atau sendiri-sendiri, akan tetapi dilakukan secara bertahap

dan berkesinambungan oleh guru seperti pada gambar 61 berikut.

204
Gambar 61. Siklus 8M KBI untuk mengajarkan sains indigenous

1) Mengidentifikasi topik sains indigenous

KBI mengidentifikasi sains indigenous dengan memperhatikan

kemampuan yang dimiliki oleh guru itu sendiri dan hubungan dengan

masyarakat. Hubungan dengan masyarakat indigenous menjadi

perhatian karena orang-orang indigenous Jawa merupakan sumber

informasi dan sumber belajar bagi guru dan siswa di kelas. Adapun

hal-hal yang diperhatikan dalam identifikasi topik sains indigenous

oleh KBI adalah kebenaran pengetahuan, kemungkinan untuk dapat

diintegrasikan dalam pembelajaran, dan kesesuaian dengan nilai dan

budaya di masyarakat Jawa.

205
2) Memilih topik sains indigenous

Setelah melakukan identifikasi, KBI kemudian memilih satu

topik sains indigenous yang memungkinkan untuk diajarkan dalam

pembelajaran dan sesuai dengan kondisi siswa. Dalam hal ini

pemilihan satu topik sains indigenous bertujuan agar KBI lebih fokus.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih topik antara

lain: kesesuaian konsep, keuntungan dan kerugian dari topik apabila

diajarkan, pengaruh atau dampak terhadap siswa dan masyarakat,

kesesuaian dengan budaya dan nilai masyarakat Jawa, kemampuan

siswa, sarana prasarana, alokasi waktu dan jadwal pembelajaran sains.

Pada tahap ini topik yang dipilih akan dijabarkan berdasarkan

pendapat dari masing-masing guru yang kemudian didiskusikan

bersama sama. Prinsip saling menghargai dan menghormati dan

tenggang rasa (tepa slira) menjadi perhatian selama diskusi. Sebagai

bahan pertimbangan dalam menganalisis, KBI tidak hanya fokus pada

pengembangan akademik siswa saja tetapi juga pada sisi non

akademik seperti pengembangan kebiasaan, pola berpikir, perilaku

positif, perkembangan intelektualitas, tanggung jawab sebagai bagian

dari masyarakat, perilaku individu dan sosial yang mencerminkan

kualitas.

206
3) Menganalisis topik terpilih

Pada tahap ini guru sains dalam KBI melakukan brainstorming

kesesuaian topik yang sudah dipilih dengan kurikulum. Brainstorming

dilakukan dengan menganalisis berbagai hal seperti kompetensi apa

yang terdapat dalam topik, apa tujuan pembelajaran yang akan

dicapai, bagaimana hubungannya dengan sains di sekolah, apa

keuntungan dan kerugian mengajarkan topik tersebut, bagaimanakah

tanggapan siswa saat mempelajari topik tersebut, dan sebagainya.

Selanjutnya hasil brainstorming yang diperoleh dijadikan dasar untuk

menyusun sebuah perencanaan pembelajaran. Perencanaan

pembelajaran dilakukan secara bersama-sama dengan

mempertimbangkan berbagai aspek yang meliputi: kompetensi dasar

apa yang sesuai, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, metode yang

akan digunakan untuk pengajaran, asesmen atau penilaian, media,

sarana prasarana, kemampuan siswa, budaya dan kondisi sekolah, dan

sebagainya. Selain itu KBI juga diharapkan mampu melakukan

prediksi bagaimana tanggapan siswa selama mengikuti pembelajaran.

Setiap anggota KBI diharapkan mampu menempatkan diri sebagai

siswa dan membayangkan pengalaman dan aktivitas apa yang akan

dipelajari oleh siswa saat topik yang dipilih diajarkan. Hal ini

bertujuan agar guru mampu memprediksi aktivitas siswa selama

pelaksanaan pembelajaran dan membuat pembelajaran lebih tepat

sasaran untuk mencapai pembelajaran yang bermakna.

207
4) Mengimplementasikan/ mengajarkan topik di kelas

Sebelum mengimplementasikan rencana pembelajaran yang

sudah disusun pada tahapan analisis, KBI melakukan pertemuan

singkat untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi mengenai

kesiapan anggota KBI, kelas, media, siswa, dan sarana prasarana.

Persiapan dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tujuan

pembelajaran bisa dicapai. Desain pembelajaran yang sudah

dihasilkan pada tahap ke tiga selanjutnya akan diterapkan di kelas

berdasarkan jadwal yang sudah disepakati. Pada saat implementasi

salah satu guru akan bertindak sebagai guru pengajar sedangkan guru

lain akan berlaku sebagai observer. Peran dari guru pengajar adalah

melaksanakan desain pembelajaran yang sudah disusun di kelas,

sedangkan observer berperan untuk mengamati aktivitas siswa selama

mengikuti proses pembelajaran. Observer membuat catatan mengenai

aktivitas siswa sebagai bukti rekaman mengenai hasil pengamatan

selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Sebagai contoh,

bagaimana perilaku siswa selama mengikuti pelajaran? Bagaimana

respon siswa pada saat diajarkan konsep mengenai sains indigenous?

Apa saja hal-hal menarik yang terjadi selama proses pembelajaran?

dan sebagainya. Selain dari observer, aktivitas siswa juga dapat

direkam dengan menggunakan video recorder untuk dijadikan rujukan

dan data untuk proses refleksi di tahapan selanjutnya.

208
5) Melakukan refleksi terhadap penerapan sains indigenous

Setelah pelaksanaan pembelajaran di kelas, selanjutnya KBI

mengadakan pertemuan untuk melakukan refleksi mengenai

pengalaman selama menjadi observer dan guru pengajar. Tujuan dari

refleksi pada tahap ini adalah membangun dan meningkatkan

kemampuan self examination (menguji diri). Fokus utama dari tahapan

ini adalah menggali dan mengkaji dampak dari mengajarkan sains

indigenous. KBI mempertimbangkan dampak dan kesesuaian nilai,

etika dan kearifan yang terdapat dalam pengetahuan yang sudah

diintegrasikan terhadap guru itu sendiri. Singkatnya, tahapan ini

menekankan pada refleksi mengenai pengintegrasian dari kedua

perspektif sains, refleksi individu sebagai guru dan sebagai anggota

KBI. Guru-guru saling berinteraksi mengungkapkan pemikiran dan

pendapatnya serta pengalamannya sehingga terjadi hubungan

kolaborasi yang baik dalam komunitas. Kolaborasi dan interaksi antar

guru dapat meningkatkan dan mengembangkan keterampilan,

pengetahuan, kepercayaan, dan pemahaman mengenai hakikat dan

filosofi dari proses belajar mengajar.

6) Mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran di kelas

Pada tahapan ini evaluasi dilakukan oleh KBI dengan berfokus

pada aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran. Anggota KBI

yang berpartisipasi selama pelaksanaan kegiatan pembelajaran

membagi pengalaman dan mengungkapkan hasil catatan atau

209
penilaian yang diperoleh selama mengamati siswa. Sebagai contoh,

bagaimana pemahaman siswa mengenai sains indigenous? Apakah

siswa dapat menghubungkan kedua perspektif sains tersebut? Apa saja

yang harus ditingkatkan dan diperbaiki selama proses pembelajaran?.

Secara singkat, KBI melakukan evaluasi mengenai dampak

mengajarkan sains indigenous terhadap siswa. Informasi yang diperleh

pada tahap kelima dan keenam dipergunakan untuk melakukan

perbaikan perencanaan pembelajaran selanjutnya.

7) Mengembangkan kemungkinan penelitian lanjutan

Tahapan ini merupakan tahapan lanjutan dari fase ke lima dan

ke enam. Hasil yang diperoleh pada tahapan sebelumnya dijadikan

dasar untuk melakukan kajian lebih lanjut, seperti perbaikan

pembelajaran, penyesuaian kembali metode dan tujuan pembelajaran.

Setiap anggota KBI mengungkapkan pendapat dan pemikirannya

mengenai pengintegrasian sains indigenous, termasuk melakukan

evaluasi terhadap keseluruhan fase yang sudah dilakukan sebelumnya.

Selain melakukan perbaikan terhadap desain pembelajaran, KBI juga

mencari pola atau hal-hal penting apa yang diperoleh sebagai

penemuan baru yang memungkinkan untuk dibagi dan dijadikan dasar

untuk penguatan dan pembelajaran sains indigenous selanjutnya.

8) Membagi hasil kajian dengan komunitas indigenous

Hasil yang diperoleh pada tahap ke tujuh selanjutnya akan di

sosialisasikan kepada komunitas indigenous. Hal ini dilakukan sebagai

210
wujud tanggung jawab terhadap masyarakat indigenous. Menjaga

hubungan yang baik dan melakukan hubungan atau interaksi yang

saling menguntungkan dengan komunitas indigenous adalah tujuan

utama dari KBI. Tujuan utama dari fase ini adalah menjaga

keberlanjutan hubungan dengan masyarakat indigenous agar

pengintegrasian sains indigenous di sekolah tetap berlanjut/kontinyu.

Dalam hal ini hubungan antara KBI dengan komunitas indigenous

bukan hanya antara peneliti dengan objek penelitian tetapi lebih

kepada kolega, saling menghargai sebagai suatu hubungan yang saling

menguntungkan. Masyarakat berhak berperan serta dalam

merencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program

pendidikan. Selain itu masyarakat juga berkewajiban memberikan

dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka untuk

mempermudah pemahaman mengenai tahapan dalam siklus 8M KBI maka

peneliti menjabarkannya aktivitas makro KBI dalam tabel 26 berikut.

211
Tabel 26. Aktivitas 8M KBI dalam pengintegrasian sains indigenous di kelas

Fase Aktivitas kegiatan KBI dalam skala makro


1. Mengindentifikasi sains a. Mengidentifikasi sains indigenous dengan
indigenous mempertimbangkan kemampuan guru dan
hubungan dengan masyarakat indigenous
2. Memilih satu topik a. Memilih topik atau konsep sains indigenous
sains indigenous yang menarik
b. Melakukan klarifikasi terhadap topik terpilih
c. Melakukan identifikasi ide dan pemikiran dari
masing-masing anggota kelompok
d. Melakukan brainstrorming terhadap topik
3. Menganalisis topik a. Melakukan analisis terhadap konsep secara
terpilih mendalam
b. Melakukan perencanaan aktivitas penting
dalam pembelajaran
c. Melakukan diskusi tentang pedagogik dan
pembelajaran
d. Menyusun semua informasi dalam rencana
pembelajaran
e. Mengkonfirmasi kembali rencana
pembelajaran
4. Mengimplementasikan a. Mengimplementasikan rencana pembelajaran
rencana pembelajaran di kelas
tentang topik terpilih di b. Memperhatikan dan fokus pada aktivitas siswa
kelas c. Melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan
pembelajaran
5. Melakukan refleksi a. Merefleksikan dampak yang muncul dari
perspektif indigenous dan sains sekolah
b. Mempertimbangkan dampak terhadap nilai-
nilai budaya pada komunitas indigenous
c. Mengidentifikasi nilai-nilai positif dari
pengintegrasian
6. Melakukan evaluasi a. Mendiskusikan aktivitas siswa selama proses
pembelajaran
b. Mengevaluasi proses pembelajaran dan
dampak yang muncul terhadap siswa
c. Mendiskusikan hambatan atau kendala yang
dialami siswa selama mengikuti pembelajaran
7. Mengembangkan a. Memperbaiki rencana pembelajaran
penelitian lanjut b. Mencari kemungkinan untuk penelitian dan
penemuan baru lebih lanjut
8. Membagi hasil kajian a. Membagi hasil penelitian dan kajian pada
masyarakat indigenous

212
B. Pembahasan dan Temuan

1. Relevansi pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dalam

pembelajaran sains di sekolah

Sains adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari alam dan segala

fenomenanya secara terorganisir dan sistematis melalui berbagai metode

ilmiah, sedangkan pengetahuan Indigenous merepresentasikan bagaimana

dunia lokal bekerja melalui suatu kebudayaan khusus dan proses sains yang

melibatkan pengamatan secara rasional terhadap kejadian alam dan

mengklasifikasikannya untuk menyelesaikan permasalahan yang terangkai

dalam aspek budaya. Ruang lingkup sains umumnya terbatas pada hal yang

dapat diamati dan dipahami oleh indera (penglihatan, pendengaran, sentuhan,

perasa) dan pembuktian. Tabel 13 menunjukkan bahwa kedua pengetahuan

memiliki perbedaan dari aspek cara berpikir, cara menyelidiki, dan kumpulan

pengetahuan teapai juga memiliki kesamaan dasar.

Logika bepikir dalam sains yang diajarkan di sekolah, keabsahan dari

pengetahuannya menganut aliran filosofi positifis empirik (Aikenhead &

Ogawa, 2007; Cronje et al., 2015; Sandoval & Millwood, 2007). Cara

berpikir dalam sains adalah bagaimana memahami suatu fenomena melalui

imajinasi yang objektif dan terbuka. Proses menyelidiki pada sains cenderung

pada proses mekanistik, eksperimental dan menggunakan metode ilmiah yang

lebih berfokus pada eksplorasi dan literasi sains untuk mencari solusi dari

suatu permasalahan atau membuktikan kebenaran (Ogunniyi, 2011;

Porsanger, 2004; Zinyeka, 2013). Kumpulan pengetahuan yang diperoleh

213
pada sains diturunkan dari logika rasional dan matematika yang diwujudkan

dan dibuktikan secara sistematik dalam bentuk pengalaman inderawi.

Secara ontologi, paradigma indigenous konteks mitologi Jawa

memandang suatu realita sebagai cara untuk mencapai kesempurnaan yang

dikenal dengan istilah ngudi kasampurnan. Orang Jawa mencurahkan seluruh

kemampuan dan keberadaan diri untuk mencapai kesempurnaan (ngudi

kasampurnan) sebagai tujuan akhir (Ciptoprawiro, 2000). Alam adalah

perwujudan dari Tuhan dalam simbol-simbol atau perlambang dari

spiritualitas mereka. Manusia dan alam dipandang sebagai suatu keluarga

yang saling menyatu untuk mencapai kesempurnaan melalui falsafah

manunggaling kawula gusti. Menurut Ciptoprawiro (1986) konsep

manunggaling kawula gusti yang perlu ditinjau adalah ulah sukma dalam

upaya mengetahui, mengerti, memahami, dan menilai segala kejadian. Orang

Jawa mengakui sebuah realita spiritual yang dipahami sebagai suatu

hubungan antara spiritual dengan alam fisik. Hal ini juga diperkuat dengan

pendapat dari Cajete (2000) yang menjelaskan bahwa pengetahuan

indigenous terintegrasi pada orientasi spiritual yaitu manusia mempunyai

peran penting dalam menjaga dan mengabadikan proses alami di dunia dan

perilakunya tersebut terwujud dalam suatu ritual spiritualitas atau

kepercayaan.

Secara epistemologis, cara berpikir dalam paradigma indigenous

konteks mitologi Jawa adalah sirkular yang diturunkan dari pengalaman,

pengalaman antara dunia manusia yang berupa pengalaman inderawi dan

214
otoritas kekuasaan dengan pengalaman spiritual yang berupa firasat atau

ngalamat (Ciptoprawiro, 2000). Eksplorasi dari pengalaman tersebut

dijadikan dasar untuk membangun suatu persepsi yang dapat menghubungkan

apa yang terjadi dan apa yang ditemukan yang selanjutnya disebut

pengetahuan. Eksplorasi dari pengalaman ini dapat difasilitasi melalui ritual

seperti upacara dan semedi. Pengetahuan yang diperoleh dari eksplorasi

pengalaman selanjutnya dikomunikasikan melalui wejangan, pitutur, cerita,

dongeng/ legenda yang berlangsung dari generasi ke generasi. Orang-orang

penting dalam proses ini adalah orang-orang tua Jawa, raja-raja, resi atau

orang yang memiliki kemampuan lebih. Oleh karena itulah pengetahuan yang

dihasilkan bersifat lokal, unik, dan subjektif, karena bergantung pada

pengalaman dan kemampuan mengeksplorasi dari masing-masing individu.

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Aikenhead, (2006) dan

Zinyeka et al. (2016) yang menyatakan bahwa pengetahuan indigenous secara

epistemologis adalah produk yang dihasilkan dari pengalaman yang bersifat

subjektif dan lokal.

Secara aksiologi, paradigma indigenous di masyarakat Jawa sangat

terkait dengan nilai etika. Hubungan baik antara manusia dengan alam,

manusia dengan manusia adalah hal sangat penting. Etika adalah bagian dari

aksiologi Jawa (Endraswara, 2006: 138). Menurut Ciptoprawiro (2000) orang

Jawa adalah “manusia- dalam- hubungan”. Orang hidup harus berhubungan

dengan orang lain agar hidup memenuhi fungsinya. Setiap orang harus

menyadari kedudukannya “empan papan” karena apapun yang dilakukan

215
berkaitan dengan alam dan manusia lain. Oleh karena itu masyarakat Jawa

sangat menjunjung nilai-nilai etika seperti tepa slira, unggah- ungguh, dll

sebagai suatu nilai yang mengatur orang jawa dalam berinteraksi secara sosial

dengan sesamanya. Sedangkan nilai-nilai etika yang berkaitan atau

berhubungan dengan alam adalah menjaga alam seperti sebuah keluarga.

Alam adalah keluarga yang selalu memberi kehidupan sehingga perlu untuk

dijaga dan dilindungi dengan sebaik baiknya. Ketiga aspek dari paradikma

indigenous konteks mitologi Jawa yang meliputi ontologi, epistemologi, dan

aksiologi menjadi dasar untuk mencari dan membangun hakikat dari

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa itu sendiri.

Ditinjau dari hakikatnya, cara berpikir pengetahuan indigenous di

masyarakat Jawa adalah sirkular yaitu mempertimbangkan baik buruk baik

bagi dirinya sendiri maupun orang lain (dipikirkan, dirasakan, diucapkan, dan

dilakukan). Cara ini dilandasi oleh pengalaman dan rasa ingin tahu yang

diwujudkan dalam imajinasi, pemikiran hubungan sebab akibat dengan

pandangan objektif dan subjektif untuk tujuan mempertahankan keberadaan,

keberlangsungan hidup, keseimbangan dan harmonisasi dengan alam. Hal ini

diperkuat oleh Alessa, Kliskey, Gamble, et al., (2016), Cronje et al. (2015), le

Grange (2004) dan Shizha, 2014) yang menyatakan bahwa logika berpikir

pengetahuan indigenous adalah sirkular, yang diwujudkan dalam

kepercayaan, imajinasi, dan keterampilan hidup dengan tujuan untuk

mempertahankan keberadaan dan kelangsungan hidup. Pengetahuan

indigenous memandang suatu fenomena atau fakta secara menyeluruh atau

216
holistik mengenai pemikiran manusia, dimana secara umum logika dan bukti

empirik hanya dipergunakan sebagai salah satu cara untuk menggali dan

menghasilkan pengetahuan (Aikenhead, 2006; Mkabela, 2005; Zinyeka,

2013).

Proses penyelidikan dalam pengetahuan indigenous di masyarakat Jawa

merupakan pengejawantahan dari pengalaman yang dialami orang-orang tua

pada saat muda yang selanjutnya disampaikan secara lisan dan contoh

perilaku secara turun temurun. Hasil dari pengalaman dijadikan dasar untuk

membangun suatu persepsi, hipotesis atau dugaan, pengamatan, klasifikasi,

imajinasi, mitos, keterampilan hidup, yang selama kurun waktu antar generasi

menjadi suatu pembuktian atas penyelidikan dan penyelesaian masalah. Oleh

karena pengejawantahan inilah pengetahuan yang diperoleh adalah unik,

berlaku lokal dan relatif (subjektif dan objektif). Pengetahuan indigenous

merupakan akumulasi pengalaman dari orang-orang yang hidup di generasi

masa lalu dalam membaca tanda-anda alam yang meliputi fisik dan nonfisik,

mahluk hidup dan bukan mahluk hidup, serta kepercayaan atau supranatural

(Abah et al., 2015; Hart, 2010; Mapara, 2009), dimana keabsahannya harus

dilakukan dengan meninjau dari berbagai perspektif (Zinyeka, 2013; Zinyeka

et al., 2016).

Secara sepintas pengetahuan indigenous dan pengetahuan sains di

sekolah terlihat bekerja pada domain atau dimensi yang berbeda, akan tetapi

pada hakikatnya kedua pengetahuan tersebut memiliki kesamaan dan

keterkaitan secara prinsip. Tabel 14 menyajikan kesamaaan hakikat sains dan

217
pengetahuan indigenous yang dapat dipergunakan sebagai dasar atau landasan

untuk membangun suatu konsep pengintegrasian pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa dalam kurikulum sains. Pengetahuan indigenous dan

pengetahuan sains memiliki hakikat yang sama, dari cara berpikir, cara

menginvestigasi, dan kumpulan pengetahuannya. Cara berpikir sains dan

pengetahuan indigenous konteks mitologi dalam memandang alam adalah

nyata, dapat diprediksi dengan dasar rasa ingin tahu, percaya, imajinasi, dan

hubungan sebab akibat. Cara menyelidiki kedua pengetahuan juga

mendasarkan pada pengalaman untuk melakukan pengamatan yang lebih

mendalam, membuat suatu prediksi dan mengkomunikasikannya dengan

suatu tujuan untuk penyelesaian masalah. Kumpulan pengetahuan dari kedua

pengetahuan adalah hasil pengalaman dan pemikiran dalam bentuk fakta,

konsep, prinsip dan keterampilan.

Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa mengajarkan orang

Jawa untuk peduli pada alam dengan menjaga ekosistem, menghargai warisan

budaya nenek moyang melalui kebiasaan menjaga tradisi. Menurut Magni

(2017) pengetahuan lokal tradisional berakar dari hubungan dan interaksi

antara manusia dengan alam. Berpikir dan bertindak tidak hanya sesaat, tetapi

memikirkan apa yang akan terjadi, bagaimana dampaknya dan bagaimana

keberlanjutannya, baru diwujudkan dalam ucapan dan tindakan (laku), yang

dikenal dengan istilah catur murti. Konsep yang berbeda dan unik dari

pengetahuan indigenous dalam kurikulum akan menarik berbagai aspek di

218
masyarakat dan meningkatkan tantangan pelaksanaan pembelajaran baik dari

segi konten sains maupun pedagogi (Naidoo & Vithal, 2014).

Pengintegrasian pengetahuan indigenous dalam kurikulum

pembelajaran sains sangat bergantung pada materi yang akan diajarkan.

Penelitian ini berfokus pada pengetahuan indigenous pranata mangsa. Hal ini

dikarenakan pranata mangsa memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

1) Pengetahuan pranata mangsa bersifat sains ilmiah, karena

didalamnya terdapat materi mengenai perubahan iklim, musim, jenis

tanaman/ tumbuhan dan hewan asli Indonesia, ekosistem, adaptasi

mahluk hidup, siklus kehidupan, perbintangan, dan sistem

perkalenderan yang didasarkan pada siklus edar matahari.

2) Pranata mangsa mengajarkan orang-orang untuk berperilaku ilmiah

membaca tanda dari alam yang dikenal dengan ilmu “titen”. Ilmu ini

mendidik orang-orang Jawa bak seorang ilmuwan, seperti

mengamati, merekam, menganalisis dan menguji hipotesis

berdasarkan pengetahuan mereka.

3) Mempelajari pranata mangsa berarti mempelajari budaya dan peduli

terhadap global sustainibility (keberlanjutan global) dan cultural

sustainability (keberlanjutan budaya).

Apabila ditinjau dari mitologi pengetahuan pranata mangsa memuat

lima konsep besar yaitu dongeng, tembang, pawukon, gugon tuhon/ ora ilok

dan palintangan. Kelima pengetahuan ini saling berkaitan satu dengan yang

lain. Sebagai contoh ketika ditinjau dari segi palintangan maka ilmu pawukon

219
atau horoskop nasib manusia, tembang, gugon tuhon dan legenda seperti

Bima Sakti, Dewa Ruci juga akan muncul. Oleh karena itulah pengetahuan ini

mencakup semua aspek cara hidup di masyarakat Jawa (ways of living) untuk

tetap harmoni dan seimbang.

Sedangkan konsep atau materi sains apa saja yang muncul dan

memungkinkan untuk diajarkan dan sesuai dengan kurikulum sains di SMP

tampak pada tabel 21, yaitu kerja ilmiah yang memuat materi tentang sikap

ilmiah dan pengukuran, mahluk hidup dan proses kehidupan (tumbuhan,

hewan, dan ekosistem), energi dan perubahannya yang mencakup materi suhu

dan kalor, dan pesawat sederhana, bumi dan antariksa (tatasurya dan

astronomi Jawa), dan lingkungan yang didalamnya memuat informasi

mengenai musim dan perubahan iklim, tanah dan kehidupan. Sedangkan

kompetensi dasar (KD) yang memuat materi-materi tersebut antara lain kelas

VII KD 3.1, 4.1; kelas VII KD 3.2, 4.2, Kelas VIII KD 3.4, 4.4, kelas IX KD

3.2, 4.2; kelas VII KD 3.7, 4.7; Kelas VII KD 3.4, 4.4; kelas VIII KD 3.3,

4.3; kelas VII KD 3.11, 4.11; kelas VII KD 3.9, 4.9; dan kelas IX KD 3.9,

4.9.

Ditinjau dari aspek kompetensi, pengetahuan indigenous konteks

mitologi Jawa sangat relevan dengan kompetensi sikap, pengetahuan dan

keterampilan yang terdapat di dalam kurikulum 2013. Pengetahuan sains dan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa tidak bisa dipisahkan satu

dengan yang lain. Kedua pengetahuan ini tidak dapat dipertentangkan atau

diperbandingkan sebagai pengetahuan modern dengan pengetahuan

220
tradisional. Pengetahuan ini harus seimbang dan terus harmonis dengan

kondisi di masyarakat Jawa. Kedua sudut pandang pengetahuan sains dan

pengetahuan indigenous harus ditinjau sebagai satu kesatuan yang saling

terkait dan berkontribusi satu dengan yang lain serta saling melengkapi

(Stephens, 2000). Kedua jenis pengetahuan tersebut memiliki perbedaan akan

tetapi pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan tujuan pendidikan nasional

yang tertuang dalam tiga kompetensi yang harus dicapai oleh siswa yaitu

kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Gambar 62. Aspek kompetensi sains indigenous

Pada kompetensi sikap kedua pengetahuan sama-sama menekankan

sikap jujur, teliti, kreatif, toleran, tekun, kerjasama, percaya diri, peduli,

bertanggung jawab, rasa ingin tahu, saling menghormati dan menghargai.

Sikap ilmiah ini memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran

221
sains di kelas. Menurut Gauld & Hukins (1980), sikap ilmiah pada siswa

melibatkan strategi pengajaran dan kompleksitas dari materi yang akan

mempengaruhi perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ilmiah ini

sama pentingnya dengan keterampilan dan pengetahuan dalam sains. Pada

domain pengetahuan, konteks mitologi Jawa memuat fakta, konsep, prosedur,

metakognisi. Materi-materi yang terdapat dalam pengetahuan indigenous

pranata mangsa meliputi mahluk hidup, dan proses kehidupan, energi dan

perubahannya, bumi dan antariksa, dan lingkungan sangat mungkin untuk

diintegrasikan dalam kurikulum pembelajaran sains di sekolah.. Pada aspek

keterampilan kedua pengetahuan sama-sama mempelajari alam, melalui

pengamatan, mengumpulkan data dan bukti-bukti, mengkomunikasikan,

membuat keputusan, melakukan verifikasi, berpikir kritis, memprediksi,

menganalisis, mengevaluasi, membandingkan, mengelompokkan, dan

mengatur pola.

Irisan aspek kompetensi antara sains normatif di sekolah dengan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa yang ditunjukkan pada

gambar 62 menjelaskan bahwa pengetahuan indigenous sangat mungkin dan

relevan untuk diajarkan di sekolah. Kesamaan ini menawarkan nilai-nilai dan

perilaku normatif yang ideal dalam pembelajaran di sekolah. Kedua

pengetahuan sama-sama menerapkan klasifikasi, mendiskusikan isu-isu

mengenai implementasi dari struktur pengetahuan dan metode yang sesuai

dari beragam bidang pengetahuan untuk kebelanjutan pendidikan baik

disekolah dan di masyarakat.

222
Mengintegrasikan pengetahuan indigenous ke dalam kurikulum di

sekolah akan membuat pengetahuan indigenous lebih mudah diakses dan

dipelajari (Salīte, Drelinga, Iliško, Oļehnoviča, & Zariņa, 2016). Selain itu,

sekolah sendiri adalah tempat dimana siswa bisa membawa budaya dan

pengalaman yang sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian mereka (Meyer

and Crawford, 2011). Oleh karena itu mengintegrasikan dan mengajarkan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa di sekolah dapat

meminimalkan rasa asing atau elienasi yang dialami oleh siswa terhadap

budaya dan pengetahuan Jawa itu sendiri. Selain itu, keberlanjutan terhadap

nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal dalam komunitas indigenous Jawa

tetap terjaga. Pembelajaran yang bermakna dapat dicapai apabila peserta

didik atau pebelajar dapat membangun dan memahami identitas diri mereka

sendiri (Aikenhead, 2006; Stanley & Brickhouse, 1994).

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan

sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Kegiatan pembelajaran sains

dalam kurikulum 2013 didasarkan pada metode ilmiah yang mencakup

beberapa langkah, yaitu: mengamati, merumuskan masalah, merumuskan

hipotesis, merancang percobaan, mengumpulkan data, menganalisis,

menyimpulkan dan memberikan rekomendasi, dan mengkomunikasikan hasil.

Metode ilmiah tersebut dilakukan pada semua jenjang pendidikan dengan

mempertimbangkan kompleksitas materi yang semakin meningkat. Proses

pembelajaran tidak hanya terjadi selama pembelajaran berlangsung, tetapi

juga berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap siswa. Perbaikan sikap

223
sebagai proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan dan

dikembangkan diseluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan di kelas,

sekolah, dan masyarakat. Menurut Sadler (2009), lingkungan sosial dan

masyarakat harus mengambil peran yang serius dalam aktivitas belajar dan

mengajar. Harapannya adalah terjadi keseimbangan antara hard skill dalam

bentuk penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan dengan soft skill yang

berupa kemampuan berinteraksi sosial dan sikap religius.

Ditinjau dari aspek pembelajaran, metode belajar yang dipergunakan

dalam transfer pengetahuan di masyarakat Jawa menganut prinsip nyinau,

nggagas, nyipta. Nyinau adalah membaca dengan cermat dan mempelajari

dengan sungguh-sungguh. Nggagas adalah upaya, memahami, mendalami,

mencerna (mensintesis dan menganalisis) pengetahuan, sedangkan nyipta

adalah membuat atau mengembangkan sesuatu yang baru berdasarkan hasil

nyinau dan nggagas. Konsep lain dalam belajar yang dianut adalah niteni,

niroke, nambahi. Niteni adalah cara belajar dengan mengamati secara

seksama, menganalisis, mensintesis, sehingga bisa mengambil suatu

kesimpulan yang dapat dipergunakan untuk memprediksi. Ilmu titen ini juga

dipergunakan untuk niteni perilaku seseorang. Niroke adalah sikap meniru

dari apa yang sudah diamati dan dipelajari. Sedangkan nambahi adalah wujud

kreatifitas dengan menambahkan sesuatu sebagai hasil pengembangan atau

kreasi dari kegiatan niroke.

Prinsip belajar nyinau, nggagas, nyipta dan niteni, niroke, nambahi

memiliki pola yang sama dengan taksonomi Bloom yang dikembangkan lebih

224
lanjut oleh Anderson and Krathwol pada tahun 2001 mulai dari Lower Order

Thinking Skill yang meliputi mengingat, memahami dan menerapkan sampai

dengan Higher Order Thinking Skill yang terdiri atas kemampuan

menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Konsepsi-konsepsi pembelajaran

sains lebih terfokus pada proses-proses aktif, kognitif dan konstruktif, untuk

menciptakan pembelajaran yang bermanfaat (Anderson & Krathwohl, 2017).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sains normatif di sekolah dengan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa sama-sama menggunakan

tahapan paling sederhana dalam belajar diawali dari mengingat sampai

dengan menciptakan. Belajar secara bertahap dengan mengawali dari yang

mudah bertujuan untuk membangun dan mengembangkan konsep pada siswa

dan persepsi siswa dalam proses berpikir (Anderson et al., 2000; Krathwohl,

2002)

Prinsip dasar keterampilan yang dipergunakan dalam kurikulum 2013

meliputi mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji dan mencipta.

Mengamati dan menalar dalam pengetahuan indigenous konteks mitologi

Jawa termasuk dalam prinsip niteni. Keterampilan titen mendidik orang-orang

Jawa bak seorang ilmuwan, yaitu mengamati, merekam, menganalisis,

memprediksi, menguji hipotesis dan mengambil keputusan berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman yang terjadi secara terus menerus dan berulang-

ulang secara periodik. Sedangkan menanya dan mencoba dalam pengetahuan

indigenous diwakili oleh prinsip nyinau, mencipta diwakili oleh prinsip

nyipta. Hasil nyinau, nggagas, niteni, niroke, nambahi, dan nyipta selanjutnya

225
dikomunikasikan dengan pitutur dan disajikan melalui media visual seperti

wayangdalam wayang dan meida audio seperti kentrung atau tembang.

Pitutur adalah cara mengkomunikasikan atau penyampaian informasi

secara lisan yang dipergunakan orang tua kepada anak atau cucunya, atau

orang dewasa kepada orang-orang muda. Pitutur adalah salah satu metode

pembelajaran dalam pendidikan indigenous di masyarakat Jawa dimana

pengetahuan disampaikan melalui suatu wejangan (nasehat) yang berupa

anjuran atau larangan (gugon tuhon, ora ilok), dongeng, dan tembang.

Adapun beberapa kelebihan dan kelemahan dari budaya pitutur di masyarakat

Jawa berdasarkan hasil analisis peneliti selama melakukan penelitian adalah

sebagai berikut:

1) Kegigihan

Mitologi Jawa ada selama berabad-abad tahun yang lalu sampai

saat ini masih terpelihara dan dipergunakan di masyarakat. Masyarakat

Jawa tetap berusaha untuk melestarikan walaupun ada beberapa bagian

dari pengetahuan yang sudah mulai hilang karena tidak dipraktekkan atau

terpengaruh oleh perkembangan zaman. Masyarakat berusaha untuk terus

menjaga tradisi dan pengetahuan mitologinya sampai saat ini.

2) Variasi dan konsistensi

Setiap orang-orang Jawa adalah ahli, dimana mereka memiliki

pemahaman yang berbeda-beda mengenai mitologi Jawa. Hal ini

menjadikan mitologi Jawa memiliki pemaknaan yang bervariasi pada

setiap orang atau setiap individu. Walaupun setiap individu Jawa

226
memiliki pemahaman yang berbeda-beda akan tetapi makna dan hakikat

dari pengetahuan itu tidak berubah/ konsisten.

3) Pitutur sebagai sumber informasi

Budaya pitutur pada masyarakat Jawa yang dituangkan dalam

dongeng, tembang, pepali, atau ngalamat banyak mengandung

pengetahuan ilmiah termasuk teknologi. Pengetahuan ini disampaikan

dari generasi ke generasi secara lisan yang terkadang disertai dengan

media perantara seperti wayang.

4) Kurang terdokumentasi

Pengetahuan indigenous bersifat lisan yang diturunkan dari

generasi ke generasi melalui pitutur kurang terdokumentasi dengan baik.

Untuk mitologi Jawa, beberapa pengetahuan memang ada yang ditulis

dalam dokumen seperti serat centhini, akan tetapi jumlahnya sangat

terbatas dan untuk mendapatkannyapun sudah sangat sulit. Informasi

yang diberikan di dalam dokumen Jawa lebih bersifat umum, cerita dan

filosofi dengan kajian nilai-nilai Jawa yang sangat kental. Sedangkan

untuk pengetahuan indigenous yang bersifat ilmiah tidak terdokumentasi,

tetapi terdapat di masyarakat dalam bentuk praktek langsung,

keterampilan hidup, dan kepercayaan.

5) Terbalut dengan budaya

Pengetahuan indigenous yang disampaikan melalui pitutur lebih

bersifat tradisi atau budaya, sehingga memerlukan penerjemahan terlebih

dahulu agar selaras dengan pengetahuan ilmiah. Terkadang perlu untuk

227
mencari sisi ilmiah dari mitologi Jawa yang menyatu dengan budaya dan

kepercayaan agar mudah dikorelasikan dan dilogikakan, sehingga mudah

untuk diintegrasikan dalam pembelajaran.

6) Keaksaraan dan simbol

Dokumen Jawa tertulis dalam aksara hanacaraka dengan bahasa

Jawa kuno, dan tulisan alfabeth dalam narasi Jawa yang membutuhkan

interpretasi berkali kali, pemaknaan aksara dan penerjemahan simbol-

simbol dalam aksara. Budaya pitutur, bercerita, atau wejangan lebih pada

merefleksikan makna hidup yang sebenarnya yang diungkapkan dalam

suatu simbol, lambang, kiasan. atau peribahasa Jawa yang menimbulkan

tantangan bagi peneliti untuk menterjemahkan dan mentransformasikan

ke dalam bahasa Indonesia.

Untuk aspek penilaian, penilaian sains normatif di sekolah dapat diukur

dengan menggunakan tes, penilaian kinerja, penilaian proses, Lembar Kerja

Siswa (LKS), dan lain-lain. Sedangkan penilaian pada pengetahuan

indigenous konteks mitologi Jawa, penilaian sulit dilakukan karena berupa

pengalaman hidup yang tujuannya adalah keselametan lan kasampurnan

(keselamatan dan kesempurnaan hidup).

228
Gambar 63. Aspek pembelajaran sains indigenous

Secara garis besar gambar 63 menunjukkan bahwa ada kesamaan

prinsip antara pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dengan

pembelajaran sains yang meliputi metode pembelajaran, sumber belajar,

media pembelajaran, dan aspek penilaian. Pada aspek metode pembelajaran,

kedua pengetahuan menggunakan contoh untuk memperjelas proses transfer

pengetahuan, pembelajaran diberikan mulai dari hal yang paling sederhana

sampai dengan yang kompleks. Selanjutnya pada aspek sumber belajar dan

media pembelajaran, kedua pengetahuan memiliki sumber belajar dan

menggunakan media pembelajaran dalam penyampaiannya baik media audio

maupun media visual. Aspek yang terakhir tentang penilaian juga

menunjukkan bahwa kedua pengetahuan sama-sama memiliki tujuan atau

target capaian.

229
Kurikulum 2013 mengacu pada pembelajaran sains dilakukan secara

terpadu dan utuh, sehingga setiap pengetahuan yang diajarkan,

pembelajarannya harus dilanjutkan sampai membuat siswa terampil dalam

menyajikan pengetahuan yang dikuasainya, dan bersikap sebagai mahluk

yang mensyukuri anugerah Tuhan dan alam semesta melalui pemanfaatan

secara bertanggung jawab. Pencapaian kompetensi dapat diawali dengan rasa

ingin tahu yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan dalam rangka mencari

penjelasan, penyelesaian yang paling sederhana, akurat dan konsisten

sehingga dapat memprediksi gejala-gejala alam (Aikenhead, 2006; Chiappetta

& Koballa, 2009; Lawson, 1995).

Pada dasarnya, siswa memasuki sekolah atau kelas tidak dengan kepala

kosong, akan tetapi membawa pengetahuan dan gaya belajar yang berbeda-

beda sebagai hasil interaksi dengan lingkungan keseharian di masyarakat.

Pembelajaran sains harus mampu melibatkan aspek sosial budaya yang

dimiliki oleh siswa (Brayboy & Castagno, 2008), sehingga mereka dapat

memperkecil ketimpangan atau celah yang terjadi antara pengetahuan yang

diperoleh di sekolah dengan pengetahuan di masyarakat (Regmi & Fleming,

2012). Konten pendidikan yang dipelajari tidak semata-mata berupa prestasi

besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini

dan berkelanjutan ke masa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan

harus memberikan dasar bagi keberlanjutan bangsa dan negara dengan segala

aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini.

230
Mempelajari pengetahuan indigenous adalah hal yang sangat penting

bagi masa depan siswa. Siswa dapat berpikir tentang penyokong kehidupan

dan melindungi hak dan kekayaan tradisi, alam, dan budaya mereka dari

eksploitasi yang berlebihan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan untuk

berbagai macam kepentingan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan.

Siswa harus memiliki pengetahuan yang seimbang antara informasi yang

diperoleh di masyarakat dengan di sekolah (Aikenhead, 2006; Chandra, 2014;

McKinley & Stewart, 2012). Mempelajari pengetahuan indigenous, akan

membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan menciptakan lingkungan

yang positif bagi siswa (Bang & Medin, 2010; Diwu & Ogunniyi, 2012).

Pembelajaran mengenai keberlanjutan sangat penting diajarkan kepada

siswa, untuk kehidupan generasi masa depan (Das Gupta, 2011; Magni, 2017;

McKinley & Stewart, 2012). Mengajarkan dan membelajarkan pengetahuan

indigenous ke pada siswa akan membuat siswa lebih menghargai pengetahuan

lokal yang dimiliki oleh nenek moyangnya, karena berkaitan langsung dengan

kehidupan sehari-hari mereka. Pengetahuan indigenous dapat memperkuat

identitas sosial (De Beer & Whitlock, 2009; Kasanda et al., 2005; Ng‟asike,

2011), dapat membantu mendorong pengelolaan sumber daya yang adil dan

mengajarkan siswa untuk bertanggung jawab terhadap alam, sikap peduli

tentang hak, budaya tradisional, dan kekayaan intelektual manusia (Das

Gupta, 2011; M. B. Ogunniyi, 1988). Siswa dapat berpikir dan mempelajari

keterampilan dan pengetahuan yang sesuai berdasarkan pengetahuan di

sekolah dan pengetahuan indigenous (Brayboy & Castagno, 2008; Chandra,

231
2014). Selain itu, pengetahuan indigenous memberi kesempatan pada siswa

untuk membangun dan mengembangkan semua keterampilan dasar umum

pemahaman ketika bekerja dan meningkatkan basis dari pengetahuan

indigenous (Botha, 2012; Brown, 2010) dan membantu siswa untuk

memenuhi dan mencapai kompetensi sains (Acton et al., 2017).

2. Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi dengan

pengetahuan sains di sekolah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

mendefinisikan kurikulum dalam tinjauan pedagogik sebagai rancangan

pendidikan yang memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan

potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai

dengan kemampuan diri agar memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat

dan bangsa. Adapun tujuan dari kurikulum adalah membangun sikap,

pengetahuan, dan keterampilan siswa yang meliputi aspek pengetahuan,

sosial dan budaya sebagai bagian dari pengalaman pendidikan siswa

(Stephens, 2000). Kurikulum di Indonesia saat ini menggunakan kurikulum

2013, dimana proses pendidikannya adalah mengembangkan potensi peserta

didik sehingga mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa.

Kurikulum 2013 juga menekankan bahwa melalui pendidikan, berbagai nilai

dan keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan

dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai

dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri.

232
Secara terperinci pembelajaran yang dilakukan di sekolah dituangkan

dalam silabus. Silabus disusun sebagai acuan dalam merancang pembelajaran

yang meliputi rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan

pengembangan penilaian hasil pembelajaran. Silabus mata pelajaran sains

yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017

menuliskan bahwa

”silabus ini bersifat fleksibel, kontekstual, dan memberikan kesempatan


kepada guru untuk mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran
dengan mengakomodasi kearifan lokal”

Cuplikan di atas menunjukkan bahwa materi-materi sains yang berkaitan

dengan kearifan lokal dapat diajarkan di sekolah. Guru diberi kesempatan

untuk mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan

kearifan lokal masyarakat. Menurut Acton et al (2017) dan Magni (2017)

pengetahuan indigenous memiliki wawasan berharga dan terkait erat dengan

keberlanjutan global melalui hubungan yang efisien dan spiritual dengan

alam. Seorang pendidik dapat menerapkan banyak wawasan dan pengetahuan

lokal tradisional ke dalam praktek pembelajaran di kelas (Aikenhead &

Ogawa, 2007).

Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa sangat

mungkin dilakukan dengan pertimbangan dari hasil penelitian para pakar dan

analisis kompetensi pada domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Kesemuanya itu dijadikan dasar untuk membentuk suatu pola pengintegrasian

secara umum yang peneliti namakan sebagai cara pengintegrasian FCSI.

233
Metode pengintegrasian FCSI adalah hasil analisa data dan refleksi

selama melakukan penelitian. Cara pengintegrasian pengetahuan indigenous

dan pengetahuan sains di sekolah pada metode FCSI terdiri atas empat

tahapan yang tidak terpisahkan dan saling berurutan, yaitu fragmented

(dipisahkan), connected (dihubungkan), sequenced (disejajarkan) dan

integrated (diintegrasikan). Hal ini dikarenakan pengetahuan indigenous

konteks mitologi Jawa sangat unik dan kompleks sehingga membutuhkan

kehati-hatian dalam menganalisis dan mengintegrasikannya. Metode

pengintegrasian FCSI dalam penelitian ini menghasilkan sains indigenous

yang merupakan kumpulan pengetahuan yang unik yang dapat menjembatani

antara pengetahuan sains di sekolah dengan pengetahuan di masyarakat Jawa.

Sains indigenous yang dihasilkan terdiri atas dua aspek yaitu aspek

kompetensi sains dan aspek pembelajaran. Aspek kompetensi sains meliputi

sikap, pengetahuan dan keterampilan, dan aspek kompetensi pembelajaran

meliputi metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan

penilaian. Kedua aspek dalam sains indigenous adalah dasar untuk

mengajarkan pengetahuan indigenous di masyarakat ke dalam kurikulum

sains di sekolah.

Sebagai tahapan lanjutan dari pengintegrasian kedua pengetahuan,

maka peneliti juga berusaha untuk menawarkan suatu cara mengenalkan dan

mengajarkan sains indigenous dengan mengambil sasaran guru yang

bekerjasama dengan masyarakat indigenous Jawa, yang peneliti sebut sebagai

234
Komunitas Belajar Indigenous (KBI). KBI peneliti adopsi dari berbagai hasil

penelitian mengenai learning community, antara lain:

1) Fernandez (2002): kolaborasi antar guru dapat membantu

mengembangkan kembali keprofesionalannya dengan saling berbagi

pengalaman dan pengetahuan guru.

2) Little (2002): adanya komunitas belajar meningkatkan kemampuan

instruksional atau pengajaran guru dan keberhasilan reformasi sekolah

3) Rock & Wilson (2005): melalui kolaborasi dalam lesson study, guru

bekerja lebih fokus untuk keberlanjutan dan perbaikan pembelajaran,

lebih percaya diri, menjadi lebih ahli dalam bidang kependidikan,

sehingga meningkatkan kualitas pengajaran.

4) Cerbin & Kopp (2006): kolaborasi antar guru membangun

kemampuan pedagogik guru dan meningkatkan keterampilan

mengajar

5) Lewis, Perry, & Murata (2006): kolaborasi dalam lesson study

meningkatkan kemampuan dan keunggulan guru secara kolektif

6) McLaughlin & Talbert (2006); Vescio, Ross, & Adams (2008):

komunitas belajar membuat guru menjadi lebih aktif, inovatif, kreatif,

dan bersedia untuk selalu berlatih sehingga selalu siap dalam

mengajar.

7) Goddard, Goddard, & Tschannen-Moran (2007): kolaborasi yang

dilakukan guru dalam lesson study dapat meningkatkan prestasi dan

keberhasilan siswa dalam belajar

235
8) Dobie & Anderson (2015); Stoll & Louis (2007): komunitas belajar

yang profesional dapat mengembangkan kemampuan sosial guru dan

kerja intelektual

9) Lieberman (2009): komunitas guru yang profesional meruntuhkan rasa

individualisme, dan kenyamanan serta mengembangkan keterampilan,

pengetahuan, kepercayaan dan menanamkan kembali filososfi

pembelajaran dan pengajaran pada guru

10) Gutierez (2016); Lim, Lee, Saito, & Syed Haron (2011); Popp &

Goldman (2016): komunitas belajar profesional dapat meningkatkan

kemampuan guru tentang subject matter (materi), kemampuan

mengajar, kemampuan mengamati siswa dalam belajar, hubungan

antar kolega, menguatkan motivasi dan kemampuan diri, serta

meningkatkan kualitas dalam menyusun rencana pembelajaran

11) Hargreaves & Fullan (2012); Hargreaves (2013): komunitas

indigenous belajar dapat mengembangkan human capital (modal

individu, modal sosial, dan modal putusan)

12) Dudley (2013): kolaborasi guru melalui lesson study dapat

meningkatkan kemampuan dan keterampilan pedagogik guru

13) Liu (2013): komunitas indigenous belajar membuat guru bekerja

dalam lingkup yang lebih luas, berinteraksi dengan guru lain yang

memiliki identitas yang berbeda-beda selama berkomunikasi

236
14) Cajkler, Wood, Norton, & Pedder (2014): kolaborasi guru dapat

meningkatkan kualitas dan kesempatan siswa dalam belajar,

menciptakan rasa kekeluargaan yang kuat dalam komunitas

Berdasarkan uraian teori di atas tampak kolaborasi antar guru

memegang peranan yang penting dalam peningkatan kualitas dan

keprofesional guru yang akan berdampak terhadap kualitas dari pembelajaran

dan siswa. Komunitas Belajar indigenous (KBI) adalah komunitas guru-guru

yang mempunyai keahlian sama atau berbeda dan memiliki tujuan yang sama,

yaitu peduli untuk terus melestarikan pengetahuan indigenous di masyarakat

Jawa dengan mengintegrasikannya dalam pembelajaran di sekolah

berdasarkan keahlian dan bidangnya masing-masing. Komunitas ini dapat

menjadi wadah untuk mengubah pola pikir atau mindset guru mengenai

pengetahuan lokal tradisional di masyarakat Jawa adalah penting dan bersifat

ilmiah.

Guru-guru dalam komunitas belajar ini bertemu secara periodik untuk

membahas dan mendiskusikan isu-isu mengenai sains indigenous baik secara

formal maupun informal dengan melibatkan pakar indigenous di masyarakat.

Hal ini bertujuan agar terjalin komunikasi dan hubungan yang baik antara

sekolah dengan masyarakat, hubungan saling menguntungkan, menghargai

dan saling peduli terhadap keberlanjutan pengetahuan lokal tradisional

khususnya di masyarakat Jawa. KBI dapat menjadi wadah bagi guru-guru

untuk bekerja dalam lingkup yang lebih luas, berinteraksi dengan guru lain

dan masyarakat lokal sehingga dapat menciptakan rasa kekeluargaan dan

237
sosial yang kuat dalam komunitas. Melalui komunitas belajar maka proses-

proses ilmiah dan penggunaan metode pendidikan akan lebih berkembang dan

berguna bagi guru dan komunitas sehingga pengetahuan yang pelajari lebih

kuat, stabil, kontektual, dan bermakna (Lederman, Lederman, & Antink,

2013).

KBI dalam proses penerapannya terdiri atas delapan tahapan yang

meliputi mengidentifikasi topik sains indigenous, memilih topik sains

indigenous, menganalisis topik terpilih, mengimplementasikan/ mengajarkan

topik di kelas, melakukan refleksi terhadap penerapan sains indigenous,

mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran di kelas, mengembangkan

kemungkinan penelitian lanjutan, dan membagi hasil kajian dengan

komunitas indigenous. Ke delapan tahapan dalam KBI selanjutnya peneliti

istilahkan dengan siklus 8M KBI.

Adanya siklus 8M KBI yang ditawarkan dalam penelitian ini

diharapkan dapat membantu guru-guru untuk lebih memahami pengetahuan

tradisional dan menjaga keberlanjutannya dengan mengajarkan kepada siswa,

sebagai calon generasi penerus. Melalui komunitas indigenous belajar, guru-

guru diharapkan dapat memberikan dan mengajarkan pengetahuan,

keterampilan dan sikap secara masksimal. Guru bisa memberikan contoh

langsung mengenai bagaimana peran pendidikan melalui komunitasnya dalam

melibatkan aspek sosial budaya dalam pembelajaran (Brayboy & Castagno,

2008).

238
Selain berdasarkan kajian dari penelitian-penelitian terdahulu,

pembentukan KBI juga disesuaikan dengan kondisi pendidikan di Indonesia.

KBI ini bisa berupa komunitas guru di sekolah, Musyawarah Guru Mata

Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kinerja Guru (KKG) yang sudah ada dan

memiliki payung hukum. Menurut Direktorat Profesi Pendidikan Departemen

Pendidikan Nasional Republik Indonesia tahun 2008 KKG dan MGMP

memiliki peran penting dalam mendukung pengembangan profesional guru

dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Berikut adalah tujuan dari KKG

dan MGMP sebagai dasar pembentukan KBI menurut Direktorat Profesi

Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia tahun 2008:

1. Memperluas wawasan dan pengetahuan guru dalam berbagai hal,

khususnya penguasaan substansi materi pembelajaran, penyusunan

silabus, penyusunan bahan-bahan pembelajaran, strategi

pembelajaran, metode pembelajaran, memaksimalkan pemakaian

sarana/prasarana belajar, memanfaatkan sumber belajar, dsb.

2. Memberi kesempatan kepada anggota kelompok kerja atau

musyawarah kerja untuk berbagi pengalaman serta saling memberikan

bantuan dan umpan balik.

3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta mengadopsi

pendekatan pembaharuan dalam pembelajaran yang lebih professional

bagi peserta kelompok kerja atau musyawarah kerja.

4. Memberdayakan dan membantu anggota kelompok kerja dalam

melaksanakan tugas-tugas pembelajaran di sekolah.

239
5. Mengubah budaya kerja anggota kelompok kerja atau musyawarah

kerja (meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan kinerja) dan

mengembangkan profesionalisme guru melalui kegiatan-kegiatan

pengembangan profesionalisme di tingkat KKG/MGMP.

6. Meningkatkan mutu proses pendidikan dan pembelajaran yang

tercermin dari peningkatan hasil belajar peserta didik.

7. Meningkatkan kompetensi guru melalui kegiatan-kegiatan di tingkat

KKG/MGMP.

Mengintegrasian pengetahuan indigenous sangat mungkin untuk

dilakukan oleh guru. Tugas guru adalah menyediakan dan mempersiapkan

suatu keadaan atau situasi yang mendukung bagi anak-anak untuk

mempelajari pengetahuan dan perilaku dilingkungan kesehariannya yang

sesuai untuk konteks yang berbeda (Santoro et al., 2013). Guru diharapkan

kreatif dalam mengembangkan materi, pengelolaan proses pembelajaran,

penilaian, penggunaan metode dan model pembelajaran dengan

menyesuaikan karakteristik, situasi dan kondisi masyarakat. tingkat

perkembangan dan kemampuan siswa. Guru harus mampu mendorong peserta

didik untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang

memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip-prinsip untuk dirinya

sendiri. Selain itu, guru juga harus mampu memfasilitasi peserta didik dalam

pembelajaran kolaboratif, sehingga mereka mampu bekerja sama untuk

menyelesaikan suatu tugas atau memecahkan masalah tanpa takut terjadi

kesalahan.

240
Sebagai contoh guru sains yang mengajar di wilayah mayoritas

masyarakat disekitarnya adalah para petani dan nelayan bisa memasukkan

materi yang berkaitan dengan pertanian dan perikanan. Guru bisa meminta

siswa untuk mencari informasi mengenai pengetahuan indigenous dari

keluarganya, orang tua, nenek, kakek, paman, bibi atau orang lain yang

dianggap memiliki kemampuan dan bertanggung jawab untuk mentransferkan

ilmu, keterampilan dan nilai-nilai dalam pengetahuan tersebut. Hal ini

bertujuan agar siswa mencari dan membangun pengetahuannya sendiri,

sehingga muncul kepedulian terhadap pengetahuan dan kebudayaan nenek

moyangnya. Pembelajaran bukan hanya masalah individu yang berdampak

pada individu itu sendiri, akan tetapi belajar adalah membuat interaksi antara

semua mahluk hidup baik secara pribadi maupun sosial.

Pengajaran yang melibatkan semua aspek dalam kehidupan siswa akan

menjembatani celah yang selama ini muncul antara pengetahuan sains di

sekolah dengan pengetahuan sains di masyarakat. Keyakinan dan kemampuan

kognisi sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang meliputi norma

budaya dan intelektual dari orang-orang yang membuat dan menggunakan

pengetahuan tersebut (Sterenberg, 2013). Oleh karena itu perlu untuk

membangn kemitraan sekolah-rumah yang kuat, membangun jaringan sosial

informal antara orang tua dan guru di luar konteks sekolah yang didasari oleh

hubungan kepercayaan yang terus dikembangkan.

Adapun pengintegrasian pengetahuan indigenous dalam pembelajaran

sains harus memperhatikan lima hal, yaitu:

241
1) ada keselarasan antara ide, desain, dan pelaksanaan kurikulum

2) mudah diajarkan atau mudah dikelola

3) mudah dipelajari oleh siswa

4) terukur pencapaiannya

5) bermakna untuk dipelajari sebagai bekal untuk kehidupan kelanjutan

pendidikan siswa.

Guru adalah faktor terpenting untuk mengajarkan sains indigenous

kepada siswa. Guru harus berubah terlebih dahulu. Hal ini sangat penting

untuk mengubah pola pikir guru tentang pentingnya pengetahuan indigenous

dan membangun pemahaman sains indigenous terlebih dahulu. Kenyataannya

adalah sebagian besar pemahaman guru tentang pegetahuan dan pedagogik

adalah hasil dari pendidikan sekolah umum yang berorientasi pada

pengetahuan barat (Western knowledge) (Santoro et al., 2013). Menurut Van

Der Heijden, Geldens, Beijaard, & Popeijus (2015), guru memiliki peran

yang sangat penting dalam keberhasilan pendidikan. Guru adalah agen

profesional perubahan dengan cara mempengaruhi, membuat pilihan dan

membuat keputusan dalam pekerjaannya yang akan berdampak pada

pendidikan (Bakkenes, Vermunt, & Wubbels, 2010; Eteläpelto,

Vähäsantanen, Hökkä, & Paloniemi, 2013). Pengajaran adalah suatu aktivitas

belajar dan praktek, dimana sangat diperlukan untuk mengubah pembelajaran

dari suatu yang sudah biasa menjadi proses yang lebih luar biasa (Russell,

1993).

242
Beberapa kendala yang mungkin akan dihadapi saat pembentukan

komunitas belajar indigenous (KBI) dan menerapkan 8M-KBI antara lain:

1) guru-guru terbiasa dengan pengetahuan Western dan pandangan sains

modern, mereka tidak terbiasa dengan pengetahuan indigenous,

sehingga perlu pendekatan khusus untuk mengubah pola pikir guru-

guru mengenai pentingnya pengetahuan indigenous untuk

kebelanjutan (sustainability)

2) pengetahua indigenous konteks mitologi Jawa terbaur dan

terintegrasi dengan kepercayaan di masyarakat sehingga butuh

perhatian lebih untuk menguraikan mana yang bersifat ilmiah mana

yang tidak bersifat ilmiah

3) sistem pendidikan di Indonesia yang bersifat top down dan berpusat

pada pemerintah dapat menjadi kendala tersendiri dimana sistem

pembelajaran di sekolah secara menyeluruh sudah diatur dalam

kurikulum terpusat

4) jumlah jam mengajar guru yang terlalu banyak akan sangat

memungkinkan pembentukan komunitas belajar indigenous hanya

akan berjalan sesaat, sehingga diperlukan komitmen yang tinggi

dari anggota-anggotanya

Oleh karena itulah, sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi kendala

tersebut diatas, maka hasil penelitian ini akan peneliti bukukan dalam bentuk

handbook pembelajaran sains indigenous. Buku pembelajaran sains

indigenous dapat dipergunakan sebagai sumber informasi awal bagi guru

243
sains di sekolah menengah untuk membantu membuka wawasan, mengubah

pola pikir dan paradigma mengenai pentingnya pengetahuan indigenous

dalam pembelajaran sains.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi yang memiliki beberapa

keterbatasan, antara lain:

1. Keterbatasan informan

Dalam melakukan penelitian, cukup sulit mencari informan yang sesuai

dengan kerangka penelitian. Hal ini dikarenakan beberapa informan sudah

berusia tua, dan kemampuan mengingatnya mulai berkurang. Penjelasan yang

diberikan kadang kurang fokus, lebih kepada cerita di masa lalu. Selain itu,

kesulitan lain dalam menggali informasi adalah anggapan bahwa pengetahuan

tersebut hanya sebatas kebiasaan yang diajarkan oleh nenek moyang, tidak

sesuai dengan zaman dan berasumsi bahwa generasi saat ini sudah modern

sehingga pengetahuan tradisional tersebut tidak perlu untuk diberikan atau

diajarkan.

2. Keterbatasan literature

Beberapa informasi secara teoritis memang terdapat dalam tulisan-

tulisan Jawa kuno. Beberapa naskah juga masih belum dialih aksarakan

menjadi huruf alfabet atau sudah dialih aksarakan tapi masih menggunakan

bahasa Jawa Kawi kuno. Hal ini menjadi kesulitasn bagi peneliti, dikarenakan

ketrebatasan kemampuan penelitia dalam membaca, sehingga meminta

244
petugas museum untuk menterjemahkan. Selain itu beberapa naskah yang

sudah dialih aksarakan juga masih dianggap rahasia.

3. Beberapa pengetahuan terkait dengan kepercayaan

Pengetahuan yang ada lebih terkait erat dengan adat istiadat,

kepercayaan, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk menterjemahkan

dan memilah-milah mana saja pengetahuan yang bersifat sains atau ilmiah.

Pengetahua bersifat holistik dan menyeluruh, sehingga dibutuhkan ketelitian

dan pemahaman yang berulang-ulang.

4. Variasi informasi.

Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa yang ada di museum

dan buku-buku Jawa lebih mengarah pada sejarah atau dongeng atau legenda,

sedangkan yang ada di masyarakat pengetahuan indigenous lebih ke pada

praktek, keterampilan dan kepercayaan.

5. Pergeseran pemikiran di masyarakat

Beberapa narasumber menyatakan bahwa mempelajari mitologi Jawa

seperti mempelajari metafisik atau hal–hal ghaib yang disebut klenik. Hal ini

menimbulkan stigma bahwa mitologi Jawa tidak perlu dipelajari atau

diturunkan karena bisa bertentangan dengan agama khususnya agama islam

yang dapat menimbulkan atau memunculkan sifat syirik atau kafir.

245
BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa sangat relevan untuk

diajarkan dalam pembelajaran sains di sekolah. Hal ini dikarenakan pengetahuan

ini sudah memenuhi berbagai aspek dalam pembelajaran sains, yaitu aspek standar

kompetensi lulusan, aspek kompetensi, materi yang diajarkan juga termuat dalam

kompetensi dasar yang memungkinkan untuk diajarkan serta sesuai dengan

metode mengajar sains. Berdasarkan analisis relevansi kesesuaian standar

kompetensi lulusan, pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa sangat

relevan dengan aspek sikap, keterampilan dan pengetahuan yang faktual,

prosedural, konseptual, dan metakognisi. Ditinjau dari analisis kompetensi sains,

terdapat irisan atau kesamaan antara sains normatif di sekolah dengan

pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa. Kesamaan ini menjadi dasar

untuk mengajarkan sains indigenous dalam pembelajaran sains di sekolah. Sains

indigenous yang mungkin diajarkan dalam pembelajaran antara lain kerja, mahluk

hidup dan proses kehidupan, energi dan perubahannya, bumi dan antariksa, dan

lingkungan. Selain itu, silabus sains juga memberi peluang dan kesempatan untuk

mengajarkan dan membelajarkan pengetahuan lokal dalam pembelajaran di

sekolah.

Pengintegrasian pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dengan

pengetahuan sains normatif di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan

metode pengintegrasia FCSI. Metode FCSI terdiri atas empat tahapan yaitu

246
fragmented (dipisahkan), connected (dihubungkan), sequenced (disejajarkan), dan

integrated (diintegrasikan). Keempat tahapan dalam metode FCSI tidak dapat

dipisahkan, saling berurutan dan berkaitan satu dengan yang lain. Sains

indigenous yang sudah diperoleh sebagai hasil pengintegrasian kedua

pengetahuan belum dapat diajarkan secara langsung oleh guru. Hal ini

dikarenakan sains indigenous berisi konsep dan garis besar pengetahuan atau

materi. Oleh karena itu perlu suatu cara pengintegrasian sains indigenous lanjutan

yang diistilahkan dengan siklus 8M KBI. Adapun tahapan dalam siklus 8M KBI

meliputi: 1). Mengidentifikasi sains indigenous, 2). Memilih salah satu topik sains

indigenous, 3). Menganalisis topik, 4). mengimplementasikan topik terpilih di

kelas, 5). Melakukan refleksi, 6). Melakukan evaluasi, 7). Mengembangkan

penelitian lanjutan, dan 8). Membagi hasil kajian kepada masyarakat indigenous.

Ke delapan langkah atau tahapan yang dilakukan melalui KBI tidak terpisah atau

sendiri-sendiri, akan tetapi dilaksanakan secara bertahap, berurutan dan

berkesinambungan.

B. Implikasi

Penelitian ini memberikan informasi dan analisis kajian mengenai relevansi

atau kelayakan pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa untuk diajarkan

dan dipelajari di sekolah. Sains indigenous merupakan konsep pengetahuan yang

unik terdiri atas aspek kompetensi dan aspek pembelajaran yang mampu

menjembatani celah yang terjadi antara pengetahuan di sekolah dengan

pengetahuan di masyarakat Jawa. Penelitian ini diharapkan dapat memberi

247
gambaran bahwa pengetahuan tradisional di masyarakat Jawa bukan hanya mitos

tetapi bersifat ilmiah dan sesuai dengan pengetahuan di sekolah saat ini. Siswa

perlu mempelajari pengetahuan lokal tradisional mereka untuk keberlanjutan

budaya dan identitas diri mereka dan masyarakat Jawa.

Kekayaan pengetahuan indigenous konteks mitologi Jawa dapat memberi

informasi yang baik bagi peserta didik untuk mengenal masyarakatnya secara

lebih mendalam dan lebih ilmiah atau saintifik. Kontribusi dari guru yang benar-

benar memahami sains indigenous akan membangun dan menguatkan

pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sehingga dapat menjembatani

pengetahuan di sekolah dengan pengetahuan yang ada di masyarakat yang ditemui

dalam keseharian mereka. Selain itu, hal ini akan membuat siswa menyadari

tentang relevansi dari sains dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan

membangun kepedulian, keberlajutan dan kelestarian pengetahuan lokal

tradisional di masyarakat Jawa.

Kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat membuka pikiran dan

wawasan dari para peneliti pendidikan dan para pendidik terutama guru untuk

lebih mengkaji dan mempelajari pengetahuan lokal tradisional untuk diajarkan

kepada siswa, sehingga tidak terjadi elienasi dan anggapan pengetahuan lokal

adalah kuno dan tidak ilmiah. Selain itu para peneliti kearifan lokal juga dapat

berkecimpung untuk mengembangkan kajian-kajian mengenai pengetahuan

tradisional dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan.

Pengintegrasian pengetahuan indigenous dalam pembelajaran sains di

sekolah dapat membuka pemikiran bahwa pengetahuan itu tidak terpisah.

248
Pengetahuan indigenous terintegrasi, saling berkaitan satu dengan yang lain

termasuk budaya, adat istiadat, kepercayaan dengan tujuan untuk mencapai

pendidikan nasional yang berkelanjutan dan menyeluruh. Hal ini berarti bahwa

mempelajari pengetahuan indigenous berarti juga mempelajari pengetahuan secara

utuh tidak terpisah, mempertimbangkan semua faktor yang ada di masyarakat

untuk kebelanjutan.

C. Saran

Saran dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mengembangkan dan

keberlanjutan dari penelitian indigenous konteks mitologi Jawa. Adapun saran

dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagi guru sains sebaiknya melibatkan orang-orang indigenous dalam

pembelajaran dan pengajaran sains. Pengetahuan yang dimiliki oleh para

tokoh adat Jawa atau tokoh indigenous Jawa ini akan luntur dan hilang

apabila tidak ada kepedulian dari guru sebagai orang yang paling

berperan dalam pendidikan. Salah satu cara adalah melibatkat orang

indigenous melalui MGMP.

2. Dalam pengembangan penelitian indigenous yang lebih lanjut sebaiknya

melibatkan para pemangku kebijakan untuk mendapatkan dukungan

secara formal dalam penelitian indigenous. Kebijakan yang diambil oleh

pemangku kebijakan ini sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan

lokal kedepannya sehingga pengetahuan dan kebudayaan lokal

tradisional tetap terlestarikan.

249
3. Perlu penelitian lanjut mengenai pengetahuan-pengetahuan indigenous

lain, seperti pawukon. Pawukon ini adalah ilmu yang menurut peneliti

sangat ilmiah. Karena keterbatasan peneliti, maka penelitian ini tidak

peneliti lakukan karena lebih merujuk pada bidang matematika

4. Perlu penerapan konsep komunitas belajar indigenous yang melibatkan

guru, peneliti indigenous dan tokoh masyarakat yang sudah peneliti

usulkan ke dalam pembelajaran di kelas agar terjadi perbaikan dan

penyempurnaan terhadap hasil penelitian ini.

5. Perlu membentuk suatu lembaga khusus yang mampu membawahi dan


menaungi penelitian-penelitian mengenai pengetahuan indigenous dan
pendidikan indigenous.

250
DAFTAR PUSTAKA

Abah, J., Mashebe, P., & Denuga, D. D. (2015). Prospect of Integrating African
Indigenous Knowledge Systems into the Teaching of Sciences in Africa.
American Journal of Educational Research, 3(6), 668–673.
https://doi.org/10.12691/EDUCATION-3-6-1

Abd-El-Khalick, F., & Lederman, N. G. (2000). Improving science teachers‟


conceptions of nature of science: a critical review of the literature.
International Journal of Science Education, 22(7), 665–701.
https://doi.org/10.1080/09500690050044044

Acton, R., Salter, P., Lenoy, M., & Stevenson, R. (2017). Conversations on
cultural sustainability: stimuli for embedding Indigenous knowledges and
ways of being into curriculum. Higher Education Research & Development,
36(7), 1311–1325. https://doi.org/10.1080/07294360.2017.1325852

Agrawal, A. (1995). Dismantling the Divide Between Indigenous and Scientific


Knowledge. Development and Change, 26(3), 413–439.
https://doi.org/10.1111/j.1467-7660.1995.tb00560.x

Ahimsa, H. S. (2012). Baik dan buruk dalam budaya Jawa: sketsa tafsir nilai-nilai
budaya Jawa (Good and Bad in Javanese Culture: Sketches of Javanese
Cultural Values). Petrawidya, 13(3).

Aikenhead, G. S. (1997). Toward a First Nations cross-cultural science and


technology curriculum. Science Education, 81(2), 217–238.
https://doi.org/10.1002/(SICI)1098-237X(199704)81:2<217::AID-
SCE6>3.0.CO;2-I

Aikenhead, G. S. (2006). Science education for everyday life : evidence-based


practice. New York: Teachers College Press. Retrieved from
https://www.tcpress.com/science-education-for-everyday-life-
9780807746349

Aikenhead, G. S., & Jegede, O. J. (1999). Cross-cultural science education: A


cognitive explanation of a cultural phenomenon. Journal of Research in
Science Teaching, 36(3), 269–287. https://doi.org/10.1002/(SICI)1098-
2736(199903)36:3<269::AID-TEA3>3.0.CO;2-T

Aikenhead, G. S., & Ogawa, M. (2007). Indigenous knowledge and science


revisited. Cultural Studies of Science Education, 2(3), 539–620.
https://doi.org/10.1007/s11422-007-9067-8
251
Alessa, L., Kliskey, A., Beaujean, G., & Gosz, J. (2016). The role of Indigenous
science and local knowledge in integrated observing systems: moving toward
adaptive capacity indices and early warning systems. Sustainability Science,
11, 91–102. https://doi.org/10.1007/s11625-015-0295-7

Alessa, L., Kliskey, A., Gamble, J., Fidel, M., Beaujean, G., & Gosz, J. (2016).
The role of Indigenous science and local knowledge in integrated observing
systems: moving toward adaptive capacity indices and early warning
systems. Sustainability Science, 11(1), 91–102.
https://doi.org/10.1007/s11625-015-0295-7

Anderson, L. E. (1994). A new look at an old construct: Cross-cultural adaptation.


International Journal of Intercultural Relations, 18(3), 293–328.
https://doi.org/10.1016/0147-1767(94)90035-3

Anderson, L. W., Krathwohl, D. R., Airasian, P. W., Cruikshank, K. A., Mayer, R.


E., Pintrich, P. R., … Wittrock, M. C. (2000). A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives, Abridged Edition (1 edition). New York: Pearson.

Anderson, Lorin W, & Krathwohl, D. R. (2017). Pembelajaran, Pengajaran, dan


Asesmen (II). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Atwater, M. M., & Riley, J. P. (1993). Multicultural science education:


Perspectives, definitions, and research agenda. Science Education, 77(6),
661–668. https://doi.org/10.1002/sce.3730770609

Badrudin, A. (2014). Cermin Besar Yang Menggambarkan Peradaban Satu


Bangsa (The Great Mirror That Describes One Nation‟s Civilization).
Adabiyyat, XIII(2), 229–252.

Bakkenes, I., Vermunt, J. D., & Wubbels, T. (2010). Teacher learning in the
context of educational innovation: Learning activities and learning outcomes
of experienced teachers. Learning and Instruction, 20(6), 533–548.
https://doi.org/10.1016/J.LEARNINSTRUC.2009.09.001

Bang, M., & Medin, D. (2010). Cultural processes in science education:


Supporting the navigation of multiple epistemologies. Science Education,
94(6), 1008–1026. https://doi.org/10.1002/sce.20392

Baquete, A. M., Grayson, D., & Mutimucuio, I. V. (2016). An Exploration of


Indigenous Knowledge Related to Physics Concepts Held by Senior Citizens
in Chókwé, Mozambique. International Journal of Science Education, 38(1),
1–16. https://doi.org/10.1080/09500693.2015.1115137

Battiste, M. (2002). Indigenous Knowledge And Pedagogy In First Nations


Education A Literature Review With Recommendations. Ottawa. Retrieved

252
from
https://www.afn.ca/uploads/files/education/24._2002_oct_marie_battiste_ind
igenousknowledgeandpedagogy_lit_review_for_min_working_group.pdf

Belleau, S. N., Ross, M. J., Otero, V. K., Rebello, N. S., Engelhardt, P. V., &
Singh, C. (2012). Implementation of physics and everyday thinking in a high
school classroom: Concepts and argumentation. In AIP Conference
Proceedings (Vol. 1413, pp. 127–130). American Institute of Physics.
https://doi.org/10.1063/1.3680010

Berg, E. Van den. (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga:


Universitas Kristen Satya Wacana.

Botha, L. R. (2012). Using expansive learning to include indigenous knowledge.


International Journal of Inclusive Education, 16(1), 57–70.
https://doi.org/10.1080/13603110903560093

Bratasiswara, H. (2000). Bauwarna: Adat tata cara Jawa (2 ( N-Z)). Jakarta:


Yayasan Suryasumirat.

Brayboy, B. M. J., & Castagno, A. E. (2008). How might Native science inform
“informal science learning”? Cultural Studies of Science Education, 3(3),
731–750. https://doi.org/10.1007/s11422-008-9125-x

Brown, L. (2010). Nurturing Relationships Within a Space Created by


“Indigenous Ways of Knowing”: a Case Study. The Australian Journal of
Indigenous Education, 39(S1), 15–22.
https://doi.org/10.1375/S1326011100001095

Budhisantoso, S. (1992). Pendidikan Indonesia Berakar pada Kebudayaan


Nasional. In Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II
Medan. Medan.

Cajete, G. (2000). Native science : natural laws of interdependence. New Mexico:


Clear Light Publishers.

Cajkler, W., Wood, P., Norton, J., & Pedder, D. (2014). Lesson study as a vehicle
for collaborative teacher learning in a secondary school. Professional
Development in Education, 40(4), 511–529.
https://doi.org/10.1080/19415257.2013.866975

Calderon, J. L. (2011). How-To Data Collection Series: The Evolution of the


Focused Discussion Group--From Non-Participant to One of the Crew.
Qualitative Report, 16(1), 308–311. Retrieved from
http://login.ezproxy.library.ualberta.ca/login?url=http://search.ebscohost.com
/login.aspx?direct=true&db=eric&AN=EJ914051&site=eds-live&scope=site

Campbell, T. (1997). Technology, Multimedia, and Qualitative Research in

253
Education. Journal of Research on Computing in Education, 30(2), 122–132.
https://doi.org/10.1080/08886504.1997.10782219

Cerbin, W., & Kopp, B. (2006). Lesson Study as a Model for Building
Pedagogical Knowledge and Improving Teaching. International Journal of
Teaching and Learning in Higher Education, 18(3), 250–257.

Chandra, D. V. (2014). Re-examining the importance of indigenous perspectives


in the Western environmental education for sustainability: “from tribal to
mainstream education.” Journal of Teacher Education for Sustainability,
16(1), 117–127. https://doi.org/10.2478/jtes-2014-0007

Chiappetta, E. L., & Koballa, T. R. (2009). Science Instruction in the Middle and
Secondary Schools: Developing Fundamental Knowledge and Skills (7
edition). Boston, Mass: Pearson.

Ciptoprawiro, A. (2000). Filsafat Jawa (kedua). Jakarta: Balai Pustaka.

Costa, V. B. (1995). When science is “another world”: Relationship. Science


Education, 79(3), 313–333.

Coştu, B. (2008). Learning Science through the PDEODE Teaching Strategy:


Helping Students Make Sense of Everyday Situations. Eurasia Journal of
Mathematics, Science and Technology Education, 4(1), 3–9.
https://doi.org/10.12973/ejmste/75300

Creswell, J. W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and


Evaluating Quantitative and Qualitative Research (4th ed.). Boston: Pearson
Education, Inc.

Cronje, A., de Beer, J., & Ankiewicz, P. (2015). The development and use of an
instrument to investigate science teachers‟ views on indigenous knowledge.
African Journal of Research in Mathematics, Science and Technology
Education, 19(3), 319–332. https://doi.org/10.1080/10288457.2015.1108567

Dahncke, H., Behrendt, H., & Reiska, P. (2001). A Comparison of STS-teaching


and Traditional Physics Lessons - On the Correlation of Physics Knowledge
and Taking Action. In Research in Science Education - Past, Present, and
Future (pp. 77–82). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
https://doi.org/10.1007/0-306-47639-8_8

Daldjoeni, N. (1983). Tanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa (Proyek Jav).


Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Daldjoeni, N., & Hidayat, B. (1987). Astronomical Aspects of “Pranotomongso”


of The 19th Century Central Java. International Astronomical Union
Colloquium, 91, 249–252. https://doi.org/10.1017/S0252921100106128

254
Das Gupta, A. (2011). Does Indigenous Knowledge have anything to deal with
Sustainable Development? Antrocom Online Journal of Anthropology, 7(1),
57–64. Retrieved from
http://www.antrocom.net/upload/sub/antrocom/070111/05-Antrocom.pdf

De Beer, J., & Whitlock, E. (2009). Indigenous Knowledge in the Life Sciences
Classroom: Put on Your de Bono Hats! The American Biology Teacher,
71(4), 209–216. https://doi.org/10.1662/005.071.0407

Diwu, C. T., & Ogunniyi, M. B. (2012). Dialogical argumentation instruction as a


catalytic agent for the integration of school science with Indigenous
Knowledge Systems. African Journal of Research in Mathematics, Science
and Technology Education, 16(3), 333–347.
https://doi.org/10.1080/10288457.2012.10740749

Dobie, T. E., & Anderson, E. R. (2015). Interaction in teacher communities: Three


forms teachers use to express contrasting ideas in video clubs. Teaching and
Teacher Education, 47, 230–240.
https://doi.org/10.1016/J.TATE.2015.01.003

Doyodipuro, H. (2016). Horoskop Jawa. Semarang: Efftar Offset.

Dudley, P. (2013). Teacher learning in Lesson Study: What interaction-level


discourse analysis revealed about how teachers utilised imagination, tacit
knowledge of teaching and fresh evidence of pupils learning, to develop
practice knowledge and so enhance their pupils‟ learning. Teaching and
Teacher Education, 34(34), 107–121.
https://doi.org/10.1016/j.tate.2013.04.006

Endraswara, S. (2006). falsafah Hidup Jawa (The Philosophy of Javanese).


Tangerang: Cakrawala.

Ermine, W. (1995). Aboriginal Epistemology. In First Nations Education in


Canada: The circle unfolds (pp. 102–112). Vancouver, BC: UBC Press.

Eteläpelto, A., Vähäsantanen, K., Hökkä, P., & Paloniemi, S. (2013). What is
agency? Conceptualizing professional agency at work. Educational Research
Review, 10, 45–65. https://doi.org/10.1016/J.EDUREV.2013.05.001

Fernandez, C. (2002). Learning from Japanese Approaches to Professional


Development: The Case of Lesson Study. Journal of Teacher Education,
53(5). https://doi.org/10.1177/002248702237394

Fidiyani, R., & Kamal, U. (2012). Penjabaran Hukum Alam Menurut Pikiran
Orang Jawa Berdasarkan Pranata Mangsa. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3).
https://doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.117

Fogarty, R. (2009). How to Integrate the Curricula (Third). California: Corwin A

255
SAGE Company.

Gauld, C. F., & Hukins, A. A. (1980). Scientific Attitudes: a Review. Studies in


Science Education, 7(1), 129–161.
https://doi.org/10.1080/03057268008559877

Gay, G., & Howard, T. C. (2000). Multicultural teacher education for the 21st
century. The Teacher Educator, 36(1), 1–16.
https://doi.org/10.1080/08878730009555246

Gess-Newsome, J. (2002). The Use and Impact of Explicit Instruction about the
Nature of Science and Science Inquiry in an Elementary Science Methods
Course. Science and Education, 11(1), 55–67.
https://doi.org/10.1023/A:1013054823482

Glasson, G. E., Mhango, N., Phiri, A., & Lanier, M. (2010). Sustainability Science
Education in Africa: Negotiating indigenous ways of living with nature in the
third space. International Journal of Science Education, 32(1), 125–141.
https://doi.org/10.1080/09500690902981269

Goddard, Y. L., Goddard, R. D., & Tschannen-Moran, M. (2007). A Theoretical


and Empirical Investigation of Teacher Collaboration for School
Improvement and Student Achievement in Public Elementary Schools.
Teachers College Record, 109(4), 877–896. Retrieved from
https://education.illinoisstate.edu/downloads/casei/collaboration_studentachi
evement.pdf

Golafshani, N. (2003). Understanding Reliability and Validity in Qualitative


Research. The Qualitative Report, 8(4), 597–606.

Gutek, G. L. (1974). Philosophical Alternatives in Education. Colombus, Ohio:


Charles E. Merrill Publishing Company.

Gutierez, S. B. (2016). Building a classroom-based professional learning


community through lesson study: insights from elementary school science
teachers. Professional Development in Education, 42(5), 801–817.
https://doi.org/10.1080/19415257.2015.1119709

Hargreaves, A., & Fullan, M. (2012). Professional capital : transforming teaching


in every school. New York: Teachers College Press.

Hargreaves, E. (2013). Assessment for learning and Teacher Learning


Communities: UK teachers‟ experiences. Teaching Education, 24(3), 327–
344. https://doi.org/10.1080/10476210.2012.713931

Hart, M. A. (2010). Indigenous Worldviews, Knowledge, and Research: The


Development of an Indigenous Research Paradigm. Journal of Indigenous
Voices in Social Work, 1(1), 2151–2349. Retrieved from

256
http://www.hawaii.edu/sswork/jivsw

Hermanu. (2013). Pawukon 3000 (1st ed.). Yogyakarta: Bentara Budaya.

Hersapandi, Dana, I. W., Sudjinah, & Hadiprayitno, K. (2005). Suran: Antara


kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. (S. Dema, Ed.). Yogyakarta: Pustaka
Marwa.

Herusatoto, B. (2012). Mitologi Jawa (The Javanese Mythology). Depok: Oncor


Semesta Ilmu.

Hewson, M. G., & Ogunniyi, M. B. (2011). Argumentation-teaching as a method


to introduce indigenous knowledge into science classrooms: opportunities
and challenges. Cultural Studies of Science Education, 6(3), 679–692.
https://doi.org/10.1007/s11422-010-9303-5

Hodson, D. (1993). In search of a rationale for multicultural science education.


Science Education, 77(6), 685–711. https://doi.org/10.1002/sce.3730770611

Hoepfl, M. C. (1997). Choosing Qualitative Research : A Primer for Technology


Education Researchers. Journal of Technology Education, 9(1), 47–63.

Horsthemke, K. (2004). ‟Indigenous knowledge‟-Conceptions and


misconceptions. Journal of Education, 32, 31–48. Retrieved from
https://core.ac.uk/download/pdf/95372393.pdf

Howe, A. C. (2002). Engaging children in science (3rd ed.). New Jersey: Prentice
Hall.

Jacob, W. J., Cheng, S. Y., & Porter, M. K. (2015). Global Review of Indigenous
Education: Issues of Identity, Culture, and Language. In W. J. Jacob, S. Y.
Cheng, & M. K. Porter (Eds.), Indigenous Education (pp. 1–35). Springer
Netherlands.

Jay. (2016, December). Pendidikan Fisika Belum Membumi. Kedaulatan Rakyat,


p. 10.

Jegede, O. J., & Aikenhead, G. S. (1999). Transcending Cultural Borders:


Implications for Science Teaching. Journal for Science & Technology
Education, 17(1), 45–66.

Johnson, R. B., & Christensen, L. B. (2013). Educational research: Quantitative,


qualitative, and mixed approaches (5 edition). Thousand Oaks, Calif: SAGE
Publications, Inc.

Kartodirdjo, S. (1982). Pemikiran dan perkembangan historiografi Indonesia


(Thought and Development of Indonesian Historiography). Jakarta: PT
Gramedia.

257
Kasanda, C., Lubben, F., Gaoseb, N., Kandjeo‐Marenga, U., Kapenda, H., &
Campbell, B. (2005). The Role of Everyday Contexts in Learner‐centred
Teaching: The practice in Namibian secondary schools. International
Journal of Science Education, 27(15), 1805–1823.
https://doi.org/10.1080/09500690500277854

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Model Silabus Mata Pelajaran


Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) (Model of
Junior High School Syllabus/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs). Jakarta,
Indonesia.

Khupe, C. (2014). Indigenous Knowledge and School Science: Possibilities for


Integration. University of the Witwatersrand, Johannesburg.

Kimberlin, C. L., & Winterstein, A. G. (2008). Validity and reliability of


measurement instruments used in research. American Journal of Health-
System Pharmacy: AJHP: Official Journal of the American Society of
Health-System Pharmacists, 65(23), 2276–2284.
https://doi.org/10.2146/ajhp070364

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa (2nd ed.). Jakarta: Balai Pustaka.

Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom‟s Taxonomy: An Overview.


Theory Into Practice, 41(4), 212–218.
https://doi.org/10.1207/s15430421tip4104_2

Kuhn, D. (1992). Thinking as Argument. Harvard Educational Review, 62(2),


155–179. https://doi.org/10.17763/haer.62.2.9r424r0113t670l1

Lawson, A. E. (1995). Science teaching and the development of thinking.


California: Wadsworth Publishing Co Inc.

le Grange, L. (2004). „Multicultural‟ science in South Africa‟s National


Curriculum Statement. Africa Education Review, 1(2), 204–219.
https://doi.org/10.1080/18146620408566280

Lederman, N. G., Lederman, J. S., & Antink, A. (2013). Nature of Science and
Scientific Inquiry as Contexts for the Learning of Science and Achievement
of Scientific Literacy. Science and Technology (IJEMST) International
Journal of Education in Mathematics, 1(3), 138–147. Retrieved from
www.ijemst.com

Lewis, C., Perry, R., & Murata, A. (2006). How should research contribute to
instructional improvement? The case of lesson study. Educational
Researcher, 35(3), 3–14. https://doi.org/10.3102/0013189X035003003

Lieberman, J. (2009). Reinventing teacher professional norms and identities: the


role of lesson study and learning communities. Professional Development in

258
Education, 35(1), 83–99. https://doi.org/10.1080/13674580802264688

Lim, C., Lee, C., Saito, E., & Syed Haron, S. (2011). Taking stock of Lesson
Study as a platform for teacher development in Singapore. Asia-Pacific
Journal of Teacher Education, 39(4), 353–365.
https://doi.org/10.1080/1359866X.2011.614683

Little, J. W. (2002). Locating learning in teachers‟ communities of practice:


opening up problems of analysis in records of everyday work. Teaching and
Teacher Education, 18(8), 917–946. https://doi.org/10.1016/S0742-
051X(02)00052-5

Liu, Y. (2013). The social organisation of talk-in-interaction at work in a language


teacher professional community. Learning, Culture and Social Interaction,
2(3), 195–207. https://doi.org/10.1016/J.LCSI.2013.06.001

Louis, R. P. (2007). Can You Hear us Now? Voices from the Margin: Using
Indigenous Methodologies in Geographic Research. Geographical Research,
45(2), 130–139. https://doi.org/10.1111/j.1745-5871.2007.00443.x

Maclean, K., Robinson, C. J., & Natcher, D. C. (2015). Consensus Building or


Constructive Conflict? Aboriginal Discursive Strategies to Enhance
Participation in Natural Resource Management in Australia and Canada.
Society & Natural Resources, 28(2), 197–211.
https://doi.org/10.1080/08941920.2014.928396

Magni, G. (2017). Indigenous knowledge and implications for the sustainable


development agenda. European Journal of Education, 52(4), 437–447.
https://doi.org/10.1111/ejed.12238

Mapara, J. (2009). Indigenous Knowledge Systems in Zimbabwe: Juxtaposing


Postcolonial Theory. The Journal of Pan African Studies, 3(1), 139–155.
Retrieved from http://www.jpanafrican.org/docs/vol3no1/3.1 Indigenous
Knowledge Systems in Zimbabwe.pdf

Marshman, E. (2015). Improving the Quantum Mechanics Content Knowledge


and Pedagogical Content Knowledge of Physics Graduate Students.
University of Pittsburgh.

Mashoko, D. (2014). Indigenous Knowledge for Plant Medicine: Inclusion into


school science Teaching and Learning in Zimbabwe. International Journal of
English and Education, 3(3), 2278–4012. Retrieved from
http://ijee.org/yahoo_site_admin/assets/docs/48.18211414.pdf

McInnes, B. D. (2017). Preparing teachers as allies in Indigenous education:


benefits of an American Indian content and pedagogy course. Teaching
Education, 28(2), 145–161. https://doi.org/10.1080/10476210.2016.1224831

259
McKinley, E., & Stewart, G. (2012). Out of Place: Indigenous Knowledge in the
Science Curriculum. In Second International Handbook of Science
Education, Vol. 24. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-9041-7

McLaughlin, M. W., & Talbert, J. E. (2006). Building school-based teacher


learning communities : professional strategies to improve student
achievement. Teachers College Press.

McNeely, C. L. (1995). Prescribing National Education Policies: The Role of


International Organizations. Comparative Education Review, 39(4), 483–
507. https://doi.org/10.2307/1189148

Miller, B. G., & Roehrig, G. (2018). Indigenous cultural contexts for STEM
experiences: snow snakes‟ impact on students and the community. Cultural
Studies of Science Education, 13(1), 31–58. https://doi.org/10.1007/s11422-
016-9738-4

Mkabela, Q. (2005). The Qualitative Report Using the Afrocentric Method in


Researching Indigenous African Culture Using the Afrocentric Method in
Researching Indigenous African Culture. The Qualitative Report, 10(1).
Retrieved from http://nsuworks.nova.edu/tqr

Morgan, S., & Golding, B. (2010). Crossing Over: Collaborative and Cross-
Cultural Teaching of Indigenous Education in a Higher Education Context.
The Australian Journal of Indigenous Education, 39(S1), 8–14.
https://doi.org/10.1375/S1326011100001083

Mothwa, M. M. (2014). Teachers’ experiences of incorporating indigenous


knowledge in the life sciences classroom | UJContent Vital Repository
6.4.HF1. University of Johannesburg. Retrieved from
https://ujcontent.uj.ac.za/vital/access/manager/Repository/uj:8067;jsessionid
=CDDB96B1F3D80DC2193040BB2A2E472F?exact=sm_contributor%3A%
22De+Beer%2C+J.J.J.%2C+Dr.+%3B+Ramnarain%2C+U.%2C+Dr.%22

Moyo, P. V., & Kizito, R. (2014). Prospects and Challenges of using the
Argumentation Instructional Method to Indigenise School Science Teaching.
African Journal of Research in Mathematics, Science and Technology
Education, 18(2), 113–124. https://doi.org/10.1080/10288457.2014.912831

Naidoo, P. D., & Vithal, R. (2014). Teacher Approaches to Introducing


Indigenous Knowledge in School Science Classrooms. African Journal of
Research in Mathematics, Science and Technology Education, 18(3), 253–
263. https://doi.org/10.1080/10288457.2014.956407

Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative


Approaches. Relevance of social research (Seventh, Vol. 8). London:
Pearson Education Limited. https://doi.org/10.2307/3211488

260
Ng‟asike, J. T. (2011). Turkana Children‟s Rights to Education and Indigenous
Knowledge in Science Teaching in Kenya. Retrieved from http://ir-
library.ku.ac.ke/handle/123456789/9530

Ngara, C. (2007). African Ways of Knowing and Pedagogy Revisited. Journal of


Contemporary Issues in Education, 2(2), 7–20.

Ninnes, P. (2000). Representations of indigenous knowledges in secondary school


science textbooks in Australia and Canada. International Journal of Science
Education, 22(6), 603–617. https://doi.org/10.1080/095006900289697

Ogunniyi, M. B. (1988). Adapting western science to traditional African culture.


International Journal of Science Education, 10(1), 1–9.
https://doi.org/10.1080/0950069880100101

Ogunniyi, M. B. (2006). Effects of a discursive course on two science teachers‟


perceptions of the nature of science. African Journal of Research in
Mathematics, Science and Technology Education, 10(1), 93–102.
https://doi.org/10.1080/10288457.2006.10740597

Ogunniyi, M. B. (2007). Teachers‟ Stances and Practical Arguments Regarding a


Science‐Indigenous Knowledge Curriculum: Part 1. International Journal of
Science Education, 29(8), 963–986.
https://doi.org/10.1080/09500690600931020

Ogunniyi, M. B, & Hewson, M. G. (2008). Effect of an Argumentation-Based


Course on Teachers‟ Disposition towards a Science-Indigenous Knowledge
Curriculum. International Journal of Environmental & Science Education,
3(4), 159–177.

Ogunniyi, M. B, & Ogawa, M. (2008). The prospects and challenges of training


South African and Japanese educators to enact and indigenized science
curriculum. South African Journal of Higher Education, 22(1), 175–190.
https://doi.org/10.4314/sajhe.v22i1.25780

Ogunniyi, Meshach B. (2011). The context of training teachers to implement a


socially relevant science education in Africa. African Journal of Research in
Mathematics, Science and Technology Education, 15(1), 98–121. Retrieved
from https://journals.co.za/content/saarmste/15/1/EJC92758

Onwu, G., & Mosimege, M. (2004). Indigenous knowledge systems and science
and technology education: A dialogue. African Journal of Research in
Mathematics, Science and Technology Education, 8(1), 1–12.
https://doi.org/10.1080/10288457.2004.10740556

Onwu, G., & Mosimege, M. (2013). Indigenous knowledge systems and science
and technology education: A dialogue.

261
https://doi.org/10.1080/10288457.2004.10740556

Osborne, J. (2007). Science Education for the Twenty First Century. Eurasia
Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 3(3), 173–184.
https://doi.org/10.12973/ejmste/75396

Osborne, J., Erduran, S., & Simon, S. (2004). Enhancing the quality of
argumentation in school science. Journal of Research in Science Teaching,
41(10), 994–1020. https://doi.org/10.1002/tea.20035

Padmasusastra. (1898). Bauwarna. Retrieved March 18, 2019, from


https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/adat-dan-tradisi/588-bauwarna-
padmasusastra-1898-205-jilid-11-ha?k=ngalamat

Padmosoekotjo. (1953). Ngengrengan Kasusastran Jawa (Jilid 1). Retrieved


March 17, 2019, from https://www.sastra.org/bahasa-dan-
budaya/pengetahuan-bahasa/2750-ngengrengan-kasusastran-jawa-
padmosoekotjo-1953-56-1180-jilid-1-hlm-069-150?k=ilok

Peursen, V. (1976). Strategi Kebudayaan (Cultural Strategy). Yogyakarta:


Yayasan Kanisius.

Pole, C., & Morrison, M. (2003). Ethnography for education. England: Open
University Press.

Popp, J. S., & Goldman, S. R. (2016). Knowledge building in teacher professional


learning communities: Focus of meeting matters. Teaching and Teacher
Education, 59, 347–359. https://doi.org/10.1016/J.TATE.2016.06.007

Porsanger, J. (2004). An Essay about Indigenous Methodology. Nordlit, 8(1),


105–120. Retrieved from
http://septentrio.uit.no/index.php/nordlit/article/view/1910

Prasetyo, Z. K. (2001). Kapita selekta pembelajaran fisika. Jakarta: Pusat


Penerbitan Universitas Terbuka.

Prasetyo, Z. K. (2016). Implimentasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran


Sains untuk Generasi emas Indonesia yang Taqwa, Mandiri, dan Cendekia.
In Seminar Nasional Pendidikan IPA VIII (pp. 34–41). Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.

Radloff, J. (2016). On teaching the nature of science: perspectives and resources.


Cultural Studies of Science Education, 11(2), 527–538.
https://doi.org/10.1007/s11422-015-9711-7

Raffles, T. S. (1817). The History of Java. London: Oxford: University Press.


Retrieved from http://www.gutenberg.org/files/49843/49843-h/49843-h.htm

262
Regmi, J., & Fleming, M. (2012). Indigenous knowledge and science in a
globalized age. Cultural Studies of Science Education, 7(2), 479–484.
https://doi.org/10.1007/s11422-012-9389-z

Retnowati, A., Anantasari, E., Marfai, M. A., & Dittmann, A. (2014).


Environmental Ethics in Local Knowledge Responding to Climate Change:
An Understanding of Seasonal Traditional Calendar PranotoMongso and its
Phenology in Karst Area of GunungKidul, Yogyakarta, Indonesia. Procedia
Environmental Sciences, 20, 785–794.
https://doi.org/10.1016/j.proenv.2014.03.095

Rich, N. (2012). Introduction: why link Indigenous ways of knowing with the
teaching of environmental studies and sciences? Journal of Environmental
Studies and Sciences, 2(4), 308–316. https://doi.org/10.1007/s13412-012-
0098-4

Rock, T., & Wilson, C. (2005). Improving teaching through lesson study. Teacher
Education Quarterly, (1999), 77–92. https://doi.org/Article

Rupa, I. W., Ariani, N. L., & Sugianto, I. B. (2014). Kajian Astronomi Tradisional
(Palelintangan) Di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Denpasar: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai
Pelestarian Nilai Budaya Bali.

Russell, T. (1993). Teachers‟ professional knowledge and the future of teacher


education. Journal of Education for Teaching, 19(4), 205–215.
https://doi.org/10.1080/0260747930190418

Sadler, T. D. (2009). Situated learning in science education: socio‐scientific issues


as contexts for practice. Studies in Science Education, 45(1), 1–42.
https://doi.org/10.1080/03057260802681839

Salīte, I., Drelinga, E., Iliško, D., Oļehnoviča, E., & Zariņa, S. (2016).
Sustainability from the Transdisciplinary Perspective: An Action Research
Strategy for Continuing Education Program Development. Journal of
Teacher Education for Sustainability, 18(2), 135–152.
https://doi.org/10.1515/jtes-2016-0020

Sanders, D. E. (1999). Indigenous peoples: issues of definition. International


Journal of Cultural Property, 8(1), 4–13.
https://doi.org/10.1017/S0940739199770591

Sandoval, W. A., & Millwood, K. A. (2007). What Can Argumentation Tell Us


About Epistemology? (pp. 71–88). Springer, Dordrecht.
https://doi.org/10.1007/978-1-4020-6670-2_4

Sandoval, W. A., & Reiser, B. J. (2004). Explanation-driven inquiry: Integrating

263
conceptual and epistemic scaffolds for scientific inquiry. Science Education,
88(3), 345–372. https://doi.org/10.1002/sce.10130

Santoro, N., Reid, J.-A., Crawford, L., & Simpson, L. (2013). Teaching
Indigenous Children: Listening To And Learning From Indigenous Teachers.
Australian Journal of Teacher Education, 36(10).
https://doi.org/10.14221/ajte.2011v36n10.2

Sastronaryatmo, M. (1986). Serat babad Ila-Ila 2. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Seale, C. (1999). The quality of qualitative research. Qualitative Inquiry, 5(4),


465–478.

Shizha, E. (2006). Legitimizing indigenous knowledge in Zimbabwe : A


theoretical analysis of postcolonial school knowledge and its colonial legacy.
Journal of Contemporary Issues in Education, 1(1), 20–35.

Shizha, E. (2008). Indigenous? What Indigenous Knowledge? Beliefs and


Attitudes of Rural Primary School Teachers Towards Indigenous Knowledge
in the Science Curriculum in Zimbabwe. The Australian Journal of
Indigenous Education, 37(01), 80–90.
https://doi.org/10.1017/S1326011100016124

Shizha, E. (2014). Rethinking Contemporary Sub-Saharan African School


Knowledge: Restoring the Indigenous African Cultures. International
Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education, 4(1). Retrieved from
http://infonomics-society.org/wp-content/uploads/ijcdse/published-
papers/special-issue-volume-4-2014/Rethinking-Contemporary-Sub-
Saharan-African-School-Knowledge.pdf

Shulman, L. S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching.


Educational Researcher, 15(2), 4–14. https://doi.org/10.2307/1175860

Silverman, D. (1993). Interpreting qualitative data. London: SAGE Publications,


Ltd.

Sindhunata. (2011). Pranata Mangsa (1st ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer


Gramedia.

Singh, R. R. (1991). Education for the twenty-first century: Asia-Pacific


perspectives; 1991. Bangkok: Unesco Principal Regional Office for Asia and
The Pacific. Retrieved from
http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000919/091965E.pdf

Sithole, M. (2016). Indigenous Physics and the Academy. In African Indigenous


Knowledge and the Sciences (pp. 93–105). Rotterdam: Sense Publishers.
https://doi.org/10.1007/978-94-6300-515-9_7

264
Smith, L. T. (2012). Decolonizing methodologies : research and indigenous
peoples (2nd ed.). London: Zed Books.

Snively, G., & Corsiglia, J. (2000). Discovering indigenous science: Implications


for science education. Science Education, 85(1), 6–34.
https://doi.org/10.1002/1098-237X(200101)85:1<6::AID-SCE3>3.0.CO;2-R

Stanley, W. B., & Brickhouse, N. W. (1994). Multiculturalism, universalism, and


science education. Science Education, 78(4), 387–398.
https://doi.org/10.1002/sce.3730780405

Stephens, S. (2000). Handbook for Culturally Responve Science Curriculum.


Fairbanks, Alaska: Alaska Native Knowledge Network.

Sterenberg, G. (2013). Considering Indigenous Knowledges and Mathematics


Curriculum. Canadian Journal of Science, Mathematics and Technology
Education, 13(1), 18–32. https://doi.org/10.1080/14926156.2013.758325

Stoll, L., & Louis, K. S. (2007). Chapter 1 : Professional Learning Communities :
Elaborating New Approaches | Queensland University of Technology. In
Professional learning communities: divergence, depth and dilemmas (pp. 1–
13). Maidenhead, England, New York: Open University Press.

Sudharta, T. rai, Dhermawan, I. G. O., & Winduwan, W. (2008). Kalende 301


(Tahun 1800 s/d 2100). Jakarta: Balai Pustaka.

Sulaksono, D. (2016). Filsafat Jawa (Javanese Philosophy). Surakarta: Yuma


Pressindo.

Suwarto. (2010). Dimensi Pengetahuan dan Dimensi Proses Kognitif dalam


Pendidikan (The Dimensions of Knowledge and Cognitive Process in
Education). Widyatama, 19(1), 76–91.

Suyata. (2002). Refleksi Terhadap Arah Kebijakan Reformasi Pendidikan. In


Model Sekolah Masa Depan bagi Masyarakat Negara sedang Berkembang
(pp. 1–4). Surakarta: Universitas Slamet Riyadi.

Suyata. (2011). Mengembangkan Ilmu Pendidikan Berwawasan Kebangsaan dan


Kearifan Lokal: Implikasi Perbaikan Mutu Sekolah. In Stadium General
Program Doktor Ilmu Pendidikan UNS (pp. 1–9). Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

Taylor, D. L., & Cameron, A. (2016). Valuing IKS in successive South African
Physical Sciences Curricula. African Journal of Research in Mathematics,
Science and Technology Education, 20(1), 35–44.
https://doi.org/10.1080/10288457.2016.1147800

van der Heijden, H. R. M. A., Geldens, J. J. M., Beijaard, D., & Popeijus, H. L.

265
(2015). Characteristics of teachers as change agents. Teachers and Teaching,
21(6), 681–699. https://doi.org/10.1080/13540602.2015.1044328

VanWyk, J.-A. (2002). South African journal of education. South African Journal
of Education (Vol. 22). Education Association of South Africa. Retrieved
from https://www.ajol.info/index.php/saje/article/view/24858

Vescio, V., Ross, D., & Adams, A. (2008). A review of research on the impact of
professional learning communities on teaching practice and student learning.
Teaching and Teacher Education, 24(1), 80–91.
https://doi.org/10.1016/J.TATE.2007.01.004

Warren, D. M., & Rajasekaran, B. (1993). Putting Local Knowledge to Good Use.
. . International Agricultural Development, 13(4), 8–10.

Waterman, S. J., & Harrison, I. D. (2017). Indigenous Peoples Knowledge


Community (IPKC): Self-Determination in Higher Education. Journal of
Student Affairs Research and Practice, 54(3), 316–328.
https://doi.org/10.1080/19496591.2017.1305391

Williamson, J., & Dalal, P. (2015). Indigenising the Curriculum or Negotiating the
Tensions at the Cultural Interface? Embedding Indigenous Perspectives and
Pedagogies in a University Curriculum. The Australian Journal of
Indigenous Education, 36(S1), 51–58.
https://doi.org/10.1017/S1326011100004701

Wilson, S. (2001). What is an Indigenous Research Methodology. Canadian


Journal of Native Education, 25(2), 175. Retrieved from
https://www.researchgate.net/profile/Shawn_Wilson2/publication/234754037
_What_Is_an_Indigenous_Research_Methodology/links/0a85e5320f48b8d0a
3000000/What-Is-an-Indigenous-Research-Methodology.pdf

Winarsa, P. (1911). Gugon Tuhon. Retrieved August 9, 2018, from


https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/adat-dan-tradisi/242-gugon-
tuhon-prawira-winarsa-1911-1222

Wisnubroto, S. (1995). Pengenalan Waktu Tradisional Pranata Mangsa Menurut


Jabaran Meteorologi dan Pemanfaatannya. Jurnal Agromet Indonesia, 11(1
& 2). Retrieved from
http://journal.ipb.ac.id/index.php/agromet/article/view/3639/2494

Wisnubroto, S. (1998). Sumbangan Pengenalan Waktu Tradisional “Pranata


Mangsa” pada Pengelolaan Hama Terpadu. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia, 4(1), 46–50. https://doi.org/10.22146/jpti.9881

Yulianto, S., Prasetyo, J., Dwi, K., & Bistok, H. &. (2017). Kearifan Lokal
&quot;Ngelmu Titen Pranatamangsa&quot; Sebagai Indikator Peramalan

266
Bencana Hidrometeorologi. In Bunga Rampai Komunikasi Indonesia (pp.
347–354). Yogyakarta. Retrieved from
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13386/10/BOOK_Sri
Yulianto JP%2C Kristoko DH%2C Bistok H_Kearifan Lokal.pdf

Yusrizal. (2008). Pengujian validitas konstruk dengan menggunakan analisis


faktor. Jurnal Tabularasa PPS Unimed, 5/1, 77–92.

Zaidan, A. R., Tasai, S. A., & Suyatno. S. (2002). Mitologi Jawa dalam puisi
Indonesia (Javanese mythology in Indonesian poetry) 1975-1990 (1st ed.).
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Zinyeka, G. (2013). Onwu and Mosimege on"Indigenous Knowledge Systems and


Science and Technology Education: A Dialogue” Some Remaining Issues.
Greener Journal of Educational Research, 3(9), 432–437.

Zinyeka, G., Onwu, G. O. M., & Braun, M. (2016). A truth-based epistemological


framework for supporting teachers in integrating indigenous knowledge into
science teaching. African Journal of Research in Mathematics, Science and
Technology Education, 20(3), 256–266.
https://doi.org/10.1080/18117295.2016.1239963

267

Anda mungkin juga menyukai