Anda di halaman 1dari 37

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kerangka Kualifikasi Nasional

Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi Tugas Matakuliah Filosofi Ilmu Sains dan Bioetika
yang dibina oleh Ibu Dr. Susriyati Mahanal, M. Pd pada hari Selasa, 24
September 2018

Oleh Kelompok 3
Fatma Rahmadhani 180341863056
M. Amien Rais 180341663060

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
SEPTEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah melim-
pahkan segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
(SNPT)”.
Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu
dalam penyelesaian makalah ini, baik yang berupa sumbangan pikiran,
bimbingan, ide dan motivasi yang sangat berarti, terutama ditujukan kepada:
1. Ibu Dr. Susriyati Mahanal, M. Pd., sebagai dosen pembina matakuliah
Pengembangan Desain Pembelajaran.
2. Rekan-rekan mahasiswa biologi yang telah memberikan bantuan, semangat
dan motivasi.
Segala bantuan yang diberikan kepada penulis semoga menjadi amal ibadah
dan diridhoi Allah SWT.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang luput
dari koreksi, sekalipun telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan
makalah ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terakhir penulis menyampaikan
harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Malang, September 2018

Penulis

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perguruan tinggi di indonesia terus mengalami perkembangan yang pesat.
Baik perguruan tinggi negeri maupun swasta dituntut untuk selalu bisa
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dikarenakan
perguruan tinggi memiliki fungsi yang sangat strategis dalam meningkatkan
kualitas sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana
dalam dunia pendidikan. Perguruan tinggi akan dituntut untuk selalu
melaksanakan perubahan menuju perbaikan yang lebih baik, lebih maju, mandiri,
dan berkualitas sesuai dengan tuntutan lingkungan global yang selalu mengalami
kemajuan dan berubah dengan sangat cepat. Penyelenggaran pendidikan
selayaknya mencermati kualitas pelayanan. Kegiatan pendidikan tidak hanya
diorientasikan pada hasil akhir proses pendidikan, melainkan juga melalui
pembuktian akuntabilitas yang baik meliputi jaminankualitas (quality assurance),
pengendalian kualitas (quality control), dan perbaikan kualitas (quality
improvement) (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 1998).
Kondisi persaingan yang semakin ketat dewasa ini menjadikan perguruan
tinggi terus memacu dirinya untuk beradaptasi dan berinovasi terhadap perubahan
lingkungan agar tetap survive dan eksis dalam perjalanan pengembangan jasa
pendidikan. Upaya yang harus dilakuakan perguruan tinggi adalah mengamati dan
mensiasati tren yang sedang terjadi di luar perguruan tinggi yaitu kemajuan
pesaing dan kebutuhan pelanggan calon mahasiswa. Kepuasan pelanggan adalah
perasaan pelanggan setelah membandingkan kinerja yang diharapkan dengan
dengan kinerja yang dirasakan atau diterirna oleh pelanggan (Kotler dan Keller,
2006). Mahasiswa yang puas terhadap kualitas jasa perguruan tingginya akan
tetap bertahan dan menjaga hubungan jangka panjang dengan almamaternya
(Wekke, 2018)
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi adalah
melakukan manajemen yang baik terhadap kurikulum yang digunakan. Dalam

2
mengelola kurikulum, perguruan tinggi memiliki perbedaan dengan pengelolaan
kurikulum yang ada pada sekolah dasar maupun sekolah menengah. Menurut
undang - undang Nomor 12 tahun 2012 pasal 35 ayat 2, kurikulum pada
pendidikan tinggi dikembangkan oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu
pada standar Nasional pendidikan tinggi untuk setiap program studi yang
mencangkup pengembangan kecerdasan intelektual, ahlak mulia, dan
keterampilan. Sebagai calon Magister Pendidikan yang nantinya dapat juga
mengajar pada perguruan tinggi sebagai dosen, penting untuk mengetahui
bagaimana sejarah kurikulum perguruan tinggi, manajemen perguruan tinggi, dan
standar yang digunakan dalam perguruan tinggi. Berdasarkan latar belakang diatas
maka perlunya disusun makalah yang berjudul : “Kurikulum Berbasis Kompetensi
dan KKNI, serta SNPT pada Peguruan Tinggi”
1.2 Rumusan Masalah :
a. Bagaimana Krikulum Berbasis Kompetensi yang ada pada perguruan
tinggi?
b. Bagaimana Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) pada
perguruan tinggi di Indonesia?
c. Bagaimana Standar Pendidikan Tinggi (SNTP) di Indonesia?
1.3 Tujuan :
a. Untuk mendeskripsikan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang ada pada
perguruan tinggi
b. Untuk Menjelaskan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
pada perguruan tinggi di Indonesia
c. Untuk mengetahui Standar Pendidikan Tinggi (SNTP) di Indonesia
1.4 Manfaat :
Bagi mahasiswa pascasarjana : dapat digunakan sebagai referensi dan
bahan bacaan untuk memahami bagaimana perancangan dan manajemen
kurikulum di perguruan tinggi

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendidikan Tinggi


A. Asas pengembangan pendidikan, berupa :
1. Empat pilar pendidikan:
 learning to know,
 learning to do (perubahan dari skill ke competent, dematerialisasi dari
pekerjaan dan the rise of service sector, serta bekerja di bidang ekonomi
informal)
 learning to live together, learning to live with others (discovering others
and working toward common objectives), dan
 learning to be;
2. Belajar sepanjang hayat (learning throughout life) sebagai wujud:
 imperative for democracy,
 pendidikan multidimesional,
 munculnya new times, fresh fields,
 pendidikan at the heart of society, dan
 kebutuhan sinergi dalam pendidikan.
B. Arah pengembangan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi :
1. Kesatuan pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi:
 pendidikan dasar sebagai ”pasport” untuk berkehidupan,
 pendidikan menengah (secondary education) sebagai persimpangan jalan
menentukan kehidupan, dan
 pendidikan tinggi dan pendidikan sepanjang hayat;
 Perguruan tinggi menjadi tempat pembelajaran dan suatu sumberdaya
pengetahuan;
 Peran pendidikan tinggi untuk menanggapi perubahan pasar kerja;
 Perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan dan pembelajaran terbuka
untuk semua; dan

4
 pendidikan untuk wahana kerjasama international.
C. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Pada dasarnya setiap satuan pendidikan memiliki sistem untuk
menghasilkan lulusan yang berkualitas. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia
memiliki empat tahapan pokok, yaitu: (1) masukan (input); (2) proses; (3)
keluaran (output); dan (4) dampak (outcome). Masukan yang berkualitas baik
memiliki beberapa indikator, tidak hanya nilai kelulusan yang baik, tetapi
terlebih penting adalah adanya sikap dan motivasi belajar yang memadai. Makin
dikenal perguruan tinggi yang ada makin baik kualitas masukannya. Proses
pembelajaran yang baik memiliki unsur yang baik dalam beberapa hal, yaitu:
1) organisasi perguruan tinggi yang sehat;
2) pengelolaan perguruan tinggi yang transparan dan akuntabel;
3) ketersediaan rancangan pembelajaran perguruan tinggi dalam bentuk
dokumen kurikulum yang jelas dan sesuai kebutuhan pasar kerja;
4) kemampuan dan keterampilan SDM akademik dan non akademik yang
andal dan profesional;
5) ketersediaan sarana-prasarana dan fasilitas belajar yang memadai.
Dengan memiliki kelima unsur pembelajaran tersebut, perguruan tinggi
akan dapat mengembangkan iklim akademik yang sehat serta mengarah pada
ketercapaian masyarakat akademik yang profesional. Pada perkembangannya,
ketercapaian iklim dan masyarakat akademik tersebut dijaminkan secara
internal oleh perguruan tinggi masing-masing. Namun, proses penjaminan
kualitas secara internal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kecil perguruan
tinggi saja. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, mensyaratkan bahwa perguruan tinggi harus melakukan proses
penjaminan mutu secara konsisten dan benar agar dapat menghasilkan lulusan
yang baik. Sistem perguruan tinggi sebagai sebuah proses dapat digambarkan
dalam skema dibawah ini.

5
Gambar 1. Sistem Pendidikan Tinggi
Setelah melalui proses pembelajaran yang baik, diharapkan akan
dihasilkan lulusan perguruan tinggi yang berkualitas. Indikator menilai
keberhasilan lulusan perguruan tinggi adalah:
1) indeks prestasi kumulatif (IPK);
2) lama studi dan
3) predikat kelulusan yang disandang.
Ketiga indikator di atas tidak cukup untuk mrnilai sebuah perguruan
tinggi. Perguruan tinggi yang baik adalah perguruan tinggi yang lulusannya
dapat terserap di pasar kerja. Semakin banyak lulusan yang terserap dunia
kerja, semakin besar kepercayaan masyarakat pada kualitas perguruan tinggi
tersebut yang akhirnya bermuara lagi pada peningkatan kualitas dan kuantitas
pendaftar. Proses ini kemudian akan berputar menyerupai siklus dan saling
mempengaruhi.
2.2 Sejarah kurikulum perguruan tinggi di Indonesia
2.2.1 Kurikulum Berbasis Isi (KBI) 1994-2000
Pada awalnya, kurikulum yang digunakan dalam pendidikan tinggi di
indonesia adalah Kurikulum Berbasis Isi (KBI)yang berlandaskan keputusan
Mendikbud No. 056/U/1994. Cara yang lazim dilakukan dalam menyusun

6
kurikulum di pendidikan tinggi pada masa KBI adalah dengan melakukan analisis
SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) dan studi lacak (tracer study).
Dari hasil analisis aspek tersebut ditentukan tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan inilah yang kemudian dijabarkan dalam mata kuliah yang disusun tiap
semester berdasarkan urutan kemampuan atau logika keilmuannya. Langkah
selanjutnya adalah menjabarkan setiap mata kuliah ke dalam bahan ajar.
Fokus penyusunan kurikulum semacam itu adalah penguasaan sejumlah
pengetahuan dan cara penerapan keilmuan (knowhow/skills). Oleh karena itu,
susunan mata kuliah dalam kurikulum sangat erat hubungannya dengan
logika keimuan dari suatu program studi. Dengan penguasaan keilmuan
diharapkan lulusan dapat menerapkannya di bidang kerja yang sesuai dengan
bidang keilmuannya.
Keputusan Mendikbud No. 56/U/1994 didasarkan pada masalah
internalpendidikan tinggi di Indonesia saat itu, yaitu belum adanya tatanan yang
jelas dalam pengembangan perguruan tinggi. Untuk menata sistem pendidikan
tinggi saat itu, disusun Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka
Panjang (KPPTJP) yang berisi tiga program yaitu : penataan lembaga, penataan
program studi, dan penataan arah dan tujuan pendidikan. Pendidikan tinggi dibagi
dalam dua jalur yaitu jalur akademik dan jalur professional. Hal ini tentu
didasarkan pada prediksi dan asumsi tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh
lulusan perguruan tinggi untuk mampu menyelesaikan masalah-masalah yang
diperkirakan akan dihadapinya. Di dalam Kepmendikbud No. 56/U/1994 ini
disebutkan kurikulum berdasarkan pada tujuan untuk menguasai isi ilmu
pengetahuan dan penerapannya (content based). Pada situasi global seperti saat
ini, dimana percepatan perubahan terjadi di segala sektor, maka akan sulit untuk
menahan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Pada masa
sebelum tahun 1999 (pre-millenium era) perubahan IPTEKS yang terjadi mungkin
tidak sedahsyat pasca-millenium. Maka bila program studi mengembangkan
kurikulumnya dengan isi (IPTEKS) sebagai basisnya, program studi tersebut akan
tertinggal oleh perkembangan IPTEKS itu sendiri, karena kurikulum disusun dan
dilaksanakan untuk jangka waktu ratarata 5 tahun (S1).

7
Dikarenakan adanya perubahan yang sangat cepat berdasarkan kajian
empat pilar pendidikan dari IBE-UNESCO dan perubahan pada tatanan
global yang menuntut adanya kemampuan tenaga kerja terdidik yang dapat
mengikuti perubahan tersebut, maka diperlukan perubahan kurikulum,
khususnya perubahan kemampuan lulusan pendidikan tinggi. Oleh karena itu
selanjutnya KBI mulai diganti dengan KBK pada tahun 2000 (Santoso, 2012)

Gambar 2 : Perkembangan kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia. Sumber :


(Sugiharto, 2015)

2.2.2 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2000-2012


Konsep kurikulum yang tercantum dalam Kepmendiknas no 232/U/2000 dan no
045/U/2002 berbeda latar belakangnya, yaitu lebih banyak didorong oleh
masalahglobal atau eksternal,terutama yang telah diuraikan dalam laporan
UNESCO diatas. Hal tersebut menimbulkan keadaan seperti : (a) persaingan di
dunia global, yang berakibat juga terhadap persaingan perguruan tinggi di dalam
negeri maupun di luar negeri, sehingga perguruan tinggi dituntut untuk
menghasilkan lulusan yang dapat bersaing dalam dunia global; (b) adanya
perubahan orientasi pendidikan tinggi yang tidak lagi hanya menghasilkan

8
manusia cerdas berilmu tetapi juga yang mampu menerapkan keilmuannya dalam
kehidupan di masyarakatnya (kompeten dan relevan), yang lebih berbudaya; dan
(c) Juga adanya perubahan kebutuhan di dunia kerja yang terwujud dalam
perubahan persyaratan dalam menerima tenaga kerja, yaitu adanya persyaratan
softskills yang dominan disamping hardskillsnya (Tresna, 2008)
Keadaan yang telah disebutkan di atas menyebabkan kurikulum yang
dikonsepkan lebih didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai/
dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi
yang dibutuhkan oleh masyarakat pemangku kepentingan/ stakeholders
(competence based curriculum). Disamping itu perubahan ini juga didorong
adanya perubahan otonomi perguruan tinggiyang dijamin dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, yang memberi kelonggaran terhadap perguruan
tinggi untuk menentukan dan mengembangkan kurikulumnya sendiri. Peran
DIKTI jugaberubah yaitu hanya memfasilitasi, memberdayakan, dan mendorong
perguruan tinggi untuk mencapai tujuannya, jadi tidak lagi berperan sebagai
penentu atau regulator seperti masa-masa sebelumnya. Disini secara konseptual
dipisahkan antara pengembangan kelembagaan dan pengembangan kurikulum/isi
pendidikannya. Sehingga perguruan tinggi lebih bisa mengembangkan dirinya
sesuai dengan kemampuan dan tujuan yang ingin dicapai. Jadi sangat
dimungkinkan perubahan kurikulum disebabkan juga oleh adanya perubahan
rencana strategis perguruan tinggi yang termuat dalam visi dan misinya.
Perubahan yang terjadi antara KBI ke KBK dapat dilihat pada tabel di bawah ini

9
Tabel 1 : Perubahan konsep kurikulum antara KBI dan KBK. Sumber :
Tresna (2008)
2.3 Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
2.3.1Memahami Kepmendiknas No.232/U/2000 Dan No 045/U/2002\
Kepmendiknas No. 232/U/2000 memang terdapat hal–hal yang belum
seluruhnya jelas dan karena tidak ada petunjuk teknis yang menyertainya,
menjadikan perguruan tinggi sulit untuk melaksanakannya. Hal ini terungkap
dalam kajian yang dilakukan olehTim Kelompok Kerja Inventarisasi dan Evaluasi
Implementasi Kurikulum DIKTI di Perguruan Tinggi tahun 2003 yang mensurvai
perguruan tinggi yang telah merekonstruksi dan mengimplementasikan
kurikulumnya sesuai dengan isi Kepmen tersebut.
Berdasarkan studi yang telah dilaksanakan tersebut diperoleh data bahwa
pemahaman terhadap isi Kepmen tersebut masih berbeda-beda dan kesiapan untuk
melakukan perubahan kurikulum di perguruan tinggi juga berbeda. Berdasarkan
kajian tersebut dikeluarkanlah Kepmendiknas no 045/U/2002yang dimaksudkan
untuk memperjelas dan melengkapi Kepmendiknas 232/U/2000 agar bisa
dilaksanakan dengan tepat. Untuk memahami konsep kurikulum berbasis
kompetensi ini harus dipahami kedua Kepmen tersebut secara utuh. Kedua
Kepmen tersebut sebetulnya saling melengkapi, namun pada satu bagian Kepmen
tersebut mengandung makna yang berbeda, yaitu bahwa dalam Kepmendiknas
No. 232/U/2000 disebutkan bahwa kurikulum terdiri atas Kurikulum Inti dan

10
kurikulum Institusional yang terdiri atas kelompok-kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK), Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan
(MKK), Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB), Mata Kuliah Perilaku Berkarya
(MPB), serta Mata Kuliah Berkehidupan Bersama (MBB). Konsep ini adalah
runtutan pemikiran yang berusaha mensepadankan antara konsep UNESCO
dengan persyaratan kerja hasil survai yang dijadikan referensi oleh DIKTI,
kedalam pola lama yaitu adanya pengelompokan mata kuliah seperti tergambar
pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 : Penyepadanan antara konsep UNESCO dengan persyaratan kerj


hasil survai yang dijadikan referensi oleh DIKTI.
Akan tetapi, pada SK Mendiknas No. 045/U/2002, pengelompokkan mata
kuliah tersebut diluruskan maknanya agar penyusunan kurikulum tidak terfokus
pada usaha pengelompokan mata kuliah tetapi lebih kearah pencapaian
kompetensi yang mengandung elemen-elemen kompetensi sebagai berikut: (a)
landasan kepribadian; (b) penguasaan ilmu dan keterampilan; (c) kemampuan
berkarya; (d) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian
berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; (e) pemahaman kaidah
berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
Dengan demikian pengelompokan mata kuliah menjadi tidak berperan lagi karena
tidak terkait langsung dengan pencapaian kompetensi lulusan. Bisa terjadi satu

11
mata kuliah dibangun untuk mencapai satu atau lebih kompetensi (learning todo,
learning to know, learning tobe, learning to live together) , dan sebaliknya satu
kompetensi dapat dicapai lewat lebih dari satu mata kuliah, sehingga
pengelompokan mata kuliah menjadi sulit dilakukan atau dapat dikatakan tidak
bisa dilakukan, kecuali dipaksakan. Jadi pencapaian kompetensilah yang menjadi
tujuan/sasaran kurikulum, sedang pengelompokan mata kuliah bukan sasaran
perubahan kurikulum. Kurikulum intimenurut Kepmendiknas no.045/U/2002,
merupakan penciri dari kompetensi utama, bersifat dasar untuk mencapai
kompetensi lulusan, merupakan acuan baku minimal mutu penyelenggaraan
program studi, dan ditetapkan oleh kalangan perguruan tinggi (program studi
sejenis) bersama masyarakat profesi dan pengguna lulusan. Jadi Kompetensi
utama ini merupakan penciri suatu lulusan program studi tertentu, dan ini bisa
disepakati dengan mengambil beban dari keseluruhan beban studi sebesar 40% –
80%. Sementara itu kurikulum institusional didalamnya terumuskan kompetensi
pendukung dan kompetensi lainnya, yang bersifat khusus dan gayut dengan
kompetensi utama suatu program studi dan ditetapkan oleh institusi
penyelenggara program studi. Kompetensi pendukung dapat bergerak antara 20%
- 40% dari keseluruhan beban studi. Sementara itu kompetensi lainnya equivalen
dengan beban studi sebesar 0%-30% dari keseluruhan.
2.3.2Tahapan Penyusunan Kurikulum
Langkah awal yang harus dilakukan dalam menyusun kurikulum adalah
dengan melakukan analisis SWOT dan Tracer Study serta Labor Market Signals,
seperti tergambar dalam skema proses penyusunan kurikulum dibawah ini

12
Gambar 3 : Skema penyusunan kurikulum perguruan tinggi
Penyusunan kurikulum yang sering dilakukan setelah didapat hasil dari
analisis hal-hal tersebut adalah menentukan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan
inilah yang kemudian segera dijabarkan dalam mata kuliah yang kemudian
dilengkapi dengan bahan ajarnya (silabus) untuk setiap mata kuliah. Sejumlah
mata kuliah ini disusun kedalam semester-semester. Penyusunan mata kuliah
kedalam semester biasanya didasarkan pada struktur atau logika urutan sebuah
IPTEKS dipelajari, berdasarkan urutan tingkat kerumitan dan kesulitan ilmu yang
dipelajari. Kurikulum semacam ini yang sering disebut kurikulum berbasis isi
(content based curriculum). Dalam hal ini jarang dipertimbangkan apakah
lulusannya nanti relevan dengan kebutuhan masyarakat pemangku kepentingan
(stakeholders) atau tidak. Alternatif penyusunan kurikulum yang berbasis pada
kompetensi yang diusulkan, dimulai dengan langkah-langkah berikut : (1)
penyusunan profil lulusan, yaitu peran dan fungsi yang diharapkan dapat
dijalankan olehlulusan nantinya di masyarakat; (2) penetapan kompetensi lulusan
berdasarkan profil lulusan yang telah diancangkan tadi; (3) Penentuan Bahan
Kajian yang terkait dengan bidang IPTEKS program studi; (4) Penetapan
kedalaman dan keluasan kajian (sks) yang dilakukan dengan menganalisis
hubungan antara kompetensi dan bahan kajian yang diperlukan; (5) Merangkai
berbagai bahan kajian tersebut kedalam mata kuliah; (6) Menyusun struktur
kurikulum dengan cara mendistribusikan mata kuliah tersebut dalam semester; (7)
Mengembangkan Rancangan Pembelajaran; dan secara simultan (8) memilih
metode pembelajaran yang tepat untuk mencapai kompetensinya.
2.3.3 Pembelajaran Dalam Kbk
Proses pembelajaran yang banyak dipraktekkan sekarang ini sebagian
besar berbentuk penyampaian secara tatap muka (lecturing), searah. Pada saat
mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, mahasiswa akan kesulitan untuk
mengikuti atau menangkap makna esensi materi pembelajaran, sehingga
kegiatannya sebatas membuat catatan yang kebenarannya diragukan. Pola proses
pembelajaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini efektifitasnya rendah, dan
tidak dapat menumbuhkembangkan proses partisipasi aktif dalam pembelajaran.

13
Keadaan ini terjadi sebagai akibat elemen-elemen terbentuknya proses
partisipasi yang berupa, (i) dorongan untuk memperoleh harapan (effort), (ii)
kemampuan mengikuti proses pembelajaran, dan (iii) peluang untuk
mengungkapkan materi pembelajaran yang diperolehnya di dunia
nyata/masyarakat tidak ada atau sangat terbatas. Intensitas pembelajaran
mahasiswa umumnya meningkat (tetapi tetap tidak efektif), terjadi pada saat-saat
akhir mendekati ujian. Akibatnya mutu materi dan proses pembelajaran sangat
sulit untuk diases. Dosen menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil
pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Perbaikan pola
pembelajaran ini telah banyak dilakukan dengan kombinasi lecturing, tanya-
jawab, dan pemberian tugas, yang kesemuanya dilakukan berdasarkan
”pengalaman mengajar” dosen yang bersangkutan dan bersifat trial error. Luaran
proses pembelajaran tetap tidak dapat diases, serta memerlukan waktu lama
pelaksanaan perbaikannya. Pola pembelajaran di perguruan tinggi yang
berlangsung saat sekarang perlu dikaji untuk dapat dipetakan pola keragamannya.
Oleh karenanya perlu dilakukan perubahan dalam proses dan materi pembelajaran
di perguruan tinggi tidak lagi berbentuk Teacher-Centered Content Oriented
(TCCO), tetapi diganti dengan menggunakan prinsip Student-Centered
Learning(SCL) yang disesuaikan dengan keadaan perguruan tingginya.
2.3.4 Perubahan dari TCL (TCCO) ke arah SCL
Pola pembelajaran yang terpusat pada dosen seperti yang dipraktekkan
pada saat ini kurang memadai untuk mencapai tujuan pendidikan berbasis
kompetensi. Berbagai alasan yang dapat dikemukakan antara lain adalah: (i)
perkembangan IPTEK dan Seni yang sangat pesat dengan berbagai kemudahan
untuk mengaksesnya merupakan materi pembelajaran yang sulit dapat dipenuhi
oleh seorang dosen, (ii) perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung
sangat cepat memerlukan materi dan proses pembelajaran yang lebih fleksibel,
(iii) kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipatif dalam proses
pembelajaran di perguruan tinggi. Oleh karena itu pembelajaran ke depan
didorong menjadi berpusat pada mahasiswa (SCL) dengan memfokuskan pada
tercapainya kompetensi yang diharapkan. Hal ini berarti mahasiswa harus

14
didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri, kemudian berupaya
keras mencapai kompetensi yang diinginkan. Ketiga alasan pergeseran
pembelajaran yang diuraikan diatasmerupakan alasan diluar esensi proses
pembelajaran itu sendiri. Bila ditinjau esensinya, pergeseran pembelajaran adalah
pergeseran paradigma, yaitu paradigma dalam cara kita memandang pengetahuan,
paradigma belajardan pembelajaranitu sendiri. Paradigma lama memandang
pengetahuan sebagai sesuatu yang sudah jadi, yang tinggal dipindahkan keorang
lain/mahasiswa dengan istilah transfer of knowledge. Paradigma baru,
pengetahuan adalah sebuah hasil konstruksi atau bentukan dari orang yang
belajar. Sehingga belajar adalah sebuah proses mencari dan membentuk/
mengkonstruksi pengetahuan, jadi bersifat aktif, dan spesifik caranya. Sedangkan
dengan paradigma lama belajar adalah menerima pengetahuan, pasif, karena
pengetahuan yang telah dianggap jadi tadi tinggal dipindahkan ke mahasiswa dari
dosen, akibatnya bentuknya berupa penyampaian materi (ceramah). Dosen
sebagai pemilik dan pemberi pengetahuan, mahasiswa sebagai penerima
pengetahuan, kegiatan ini sering dinamakan pengajaran. Dengan pola ini
perencanaan pengajarannya (GPPP dan SAP) lebih banyak mendeskripsikan
kegiatan yang harus dilakukan oleh pengajar, sedang bagi mahasiswa perencanaan
tersebut lebih banyak bersifat instruksi yang harus dijalankan. Konsekuensi
paradigma baru adalah dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator dengan
menyediakan beberapa strategi belajar yang memungkinkan mahasiswa (bersama
dosen) memilih, menemukan dan menyusun pengetahuan serta cara
mengembangkan ketrampilannya (method of inquiry and discovery). Dengan
paradigma inilah proses pembelajaran (learning process) dilakukan.

15
Gambar 4 : Ilustrasi perbedaan TCL dan SCL
2.3.5 Model-Model Pembelajaran Dalam Kbk
Terdapat beragam metode pembelajaran untuk SCL, di antaranya adalah:
(1) Small Group Discussion; (2) Role-Play & Simulation; (3) Case Study;(4)
Discovery Learning (DL); (5) Self-Directed Learning (SDL); (6) Cooperative
Learning (CL); (7) Collaborative Learning (CbL); (8)Contextual Instruction (CI);
(9) Project Based Learning (PjBL); dan (10) Problem Based Learning and Inquiry
(PBL).Selain kesepuluh model tersebut, masih banyak model pembelajaran lain
yang belum dapat disebutkan satu persatu, bahkan setiap pendidik/dosen dapat
pula mengembangkan model pembelajarannya sendiri.

2.4 KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia)


2.4.1 Pengertian KKNI
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) merupakan kerangka
penjenjangan kualifikasi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan sektor pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan jabatan kerja di
berbagai sektor. KKNI merupakan sistem yang berdiri sendiri dan merupakan
jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk SDM nasional

16
berkualitas (Qualified Person) dan bersertifikat (Certified Person) melalui skema
pendidikan formal, non formal, in formal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja.
KKNI sebagai perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan
sistem pendidikan dan pelatihan serta program peningkatan SDM secara nasional
(DIKTI, 2014).
Jenjang kualifikasi adalah tingkat capaian pembelajaran yang disepakati
secara nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan atau pelatihan
yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman
kerja. Penjenjangan kualifikasi sebagaimana yang dimaksud untuk memfasilitasi
pendidikan seseorang yang mempunyai pengalaman kerja atau memiliki capaian
pembelajaran dari pendidikan nonformal atau pendidikan informal untuk :
1. Menempuh pendidikan formal ke jenjang /tingkat yang lebih tinggi
dan/atau;
2. Mendapatkan pengakuan kualifikasi lulusan jenis pendidikan tertentu dari
perguruan tinggi

2.4.2 Peran KKNI


KKNI memiliki peran penting dalam sistem pendidikan dan pelatihan, kita
mengalami kendala yang cukup serius dalam membangun sistem pendidikan dan
pelatihan yang efektif. Peran penting KKNI bagi kemajuan sistem pendidikan dan
pelatihan dapat dilihat dari berbagai faktor:
1. Pemberian Pengakuan Nasional secara Konsisten terhadap “outcomes”
pendidikan dan pelatihan. Beragamnya kualifikasi yang berkembang
diberbagai sektor saat ini sangat sulit untuk menetapkan dan mendapatkan
pengakuan nasional. Untuk itu diperlukan acuan yang dirumuskan dan
ditetapkan bersama oleh semua pihak terkait dalam bentuk KKNI.
2. Struktur dan hubungan antar kualifikasi. Tanpa KKNI, sangat sulit untuk
merumuskan struktur dan hubungan antarkualifikasi, terutama untuk
mengakomodir kepentingan setiap sektor.
3. Integrasi dan korelasi anatara jenjang karier dan jenjang kualifikasi.
Hingga saat ini kita belum mempunyai satu sistem yang efektif untuk

17
dijadikan acuan secara nasional mengenai integrasi dan korelasi antara
jenjang karier tenaga kerja dengan kualifikasi yang dimiliki.
4. Penyediaan wadah yang mampu memberi fleksibilitas terhadap
beragamnya kebutuhan pendidikan dan pelatihan. Keragaman kebutuhan
pendidikan dan pelatihan memerlukan wadah yang memberi fleksibilitas,
sehingga pembinaan SDM secara nasional tetap terpola dengan baik.
Misalnya kebebasan untuk keluar dan masuk kedalam sistem pendidikan
dan pelatihantanpa dirugikan (free entry and off).
5. Memberi arah yang jelas kepada setiap individu untuk mengembangkan
kompetensinya baik dalam bidang pendidikan maupun pelatihan. KKNI
akan memudahkan setiap individu menetapkan pilihan secara dini untuk
memilih jalur pengembangan kompetensi, dan juga memberi peluang
untuk melakukan perpindahan jalur dari jalur pelatihan ke jalur pendidikan
atau bekerja dan sebaliknya.
6. Mendorong optimalisasi peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan.
Apabila pihak terkait dapat membangun komitmen yang tinggi untuk
merumuskan KKNI kemudian, secara konsekuen dan konsisten dijadikan
acuan dalam pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, maka
diharapkan pendayagunaan sumber daya akan lebih optimal.
7. Mendorong tercapainya pengakuan nasional dan internasional terhadap
setiap kualifikasi yang dikembangkan di Indonesia. Tersedianya KKNI
yang efektif, dapat dijadikan acuan untuk melakukan adaptasi dan adopsi
terhadap standard-standar pendidikan dan pelatihan internasional. Pada
gilirannya diharapkan, outcome pendidikan dan pelatihan di Indonesia
mendapat pengakuan internasional (DIKTI, 2014).

2.4.3 Tujuan KKNI


Sebagai perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia dalam sistem
pendidikan nasional,sistem pelatihan kerja nasional serta sistem pengakuan
kompetensi nasional, KKNI dimaksudkan sebagai pedoman untuk:

18
1. Menetapkan kualifikasi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan formal, nonformal, informal, pelatihan atau pengalaman kerja;
2. menetapkan skema pengakuan kualifikasi capaian pembelajaran yang
diperolehmelalui pendidikan formal, nonformal, informal, pelatihan atau
pengalaman kerja;
3. menyetarakan kualifikasi antara capaian pembelajaran yang diperoleh
melalui pendidikan formal, nonformal, informal, pelatihan atau
pengalaman kerja;
4. mengembangkan metode dan sistem pengakuan kualifikasi sumberdaya
manusia manusia dari negara lain yang akan bekerja di Indonesia.
2.4.4 Tujuan Umum:
1. Meningkatkan komitmen pemerintah dan masyarakat untuk menghasilkan
sumberdayamanusia Indonesia yang bermutu dan berdaya saing
internasional;
2. Mendorong peningkatan mutu dan aksesibilitas sumberdaya manusia
Indonesia ke pasarkerja nasional dan internasional;
3. Membangun proses pengakuan yang akuntabel dan transparan terhadap
capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal,
nonformal, informal, pelatihanatau pengalaman kerja yang diakui oleh
dunia kerja secara nasional dan/atau internasional
4. Meningkatkan kontribusi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan formal, nonformal, informal, pelatihan atau pengalaman kerja
dalam pertumbuhan ekonomi nasional;
5. Mendorong perpindahan pelajar, mahasiswa, dan tenaga kerja antara
negara berbasis kesetaraan kualifikasi.
2.4.5 Tujuan Khusus:
1. Memperoleh korelasi positif antara mutu luaran, capaian pembelajaran dan
proses pendidikan di perguruan tinggi;
2. Mendorong penyesuaian capaian pembelajaran dan penyetaraan mutu
lulusan pendidikan tinggi pada tingkat kualifikasi yang sama;

19
3. Menjadi pedoman pokok bagi perguruan tinggi dalam mengembangkan
mekanisme pengakuan terhadap hasil pembelajaran lampau (recognition of
prior learning) atau kekayaan pengalaman yang dimiliki seseorang;
4. Menjadi jembatan saling pengertian antara perguruan tinggi dan pengguna
lulusan sehingga secara berkelanjutan membangun kapasitas dan
meningkatkan daya saing bangsa terutama dalam sektor sumberdaya
manusia;
5. Memberi panduan bagi pengguna lulusan untuk melakukan penyesuaian
kemampuan atau kulaifikasi dalam mengembangkan program‐program
belajar sepanjang hayat (life long learning programs);
6. Menjamin terjadinya peningkatan aksesibilitas sumberdaya manusia
Indonesia ke pasarkerja nasional dan internasional;
7. Memperoleh pengakuan negara‐negara lain baik secara bilateral, regional
maupun internasional tanpa meninggalkan ciri dan kepribadian bangsa
Indonesia;
8. Memfasilitasi pengembangan mekanisme mobilitas akademik untuk
meningkatkan (DIKTI, 2010)

2.4.6 Landasan KKNI


KKNI menganut strategi kesetaraan kualifikasi seseorang yang diperoleh
dari dunia pendidikan formal, nonformal, dan informal, bahkan dari pengalaman
bekerja. Hal ini sejalan dengan upaya implementasi Pasal 4 ayat (2) UU
SISDIKNAS tentang pendidikan dengan Sistem Terbuka: yaitu pendidikan yang
diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan tempat dan waktu penyelesaian
program lintas satuan atau jalur pendidikan (multi entry‐multiexit system). Peserta
didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program‐program pendidikan
pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan
melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh.
KKNI mengakui kualifikasi pemegang ijasah yang akan bekerja maupun
melanjutkan pendidikan di luar negeri, pertukaran pakar dan mahasiswa lintas
negara. Sebaliknya KKNI juga memberikan pengakuan kualifikasi yangsesuai

20
bagi pemegang ijasah dari luar negeri yang akan bekerja, melanjutkan studi atau
riset di Indonesia.
KKNI mengakui kesetaraan kualifikasi capaian pembelajaran berbagai
bidang keilmuan pada tingkat pendidikan tinggi, baik yang berada pada jalur
pendidikan akademik, vokasi, profesi, serta melalui pengembangan karir yang
terjadi di strata kerja, industri atau asosiasi profesi. Hal ini merefleksikan sasaran
yang diharapkan oleh UU SISDIKNAS Pasal 12 ayat (1) huruf e dan huruf f,
dimana setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak (e) untuk pindah
ke program pendidikan pada jalur dansatuan pendidikan lain yang setara; dan (f)
menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing‐masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan (DIKTI, 2010).
2.4.7 Jenjang & Penyetaraan KKNI
KKNI menyediakan sembilan jenjang kualifikasi, dimulai dari Kualifikasi
jenjang 1 sebagai kualifikasi terendah dan kualifikasi jenjang 9 sebagai kualifikasi
tertinggi. Penetapan jenjang 1 sampai 9 dilakukan melalui pemetaan komprehensif
kondisi ketenagakerjaan di Indonesia ditinjau dari sisi penghasil (supply push)
maupun pengguna (demand pull) tenaga kerja. Diskripsi setiap jenjang kualifikasi
juga disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi negara secara menyeluruh,
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, perkembangan
sektor-sektor pendukung perekonomian dan kesejahteraan rakyat seperti
perindustrian, pertanian, kesehatan, hukum, dan lain-lain, serta aspek-aspek
pembangun jati diri bangsa yang tercermin dalam Bhineka Tunggal Ika, yaitu
komitmen untuk tetap mengakui keragaman agama, suku, budaya, bahasa dan seni
sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
Penjenjangan kualifikasi pada KKNI dengan jenjang sembilan sebagai
jenjang tertinggi tidak serta-merta berarti bahwa jenjang tertinggi KKNI tersebut
lebih tinggi dari jenjang kualifikasiyang berlaku di Eropa (8 jenjang) dan
Hongkong (7 jenjang) atau sebaliknya lebih rendah dari jenjang kualifikasi yang
berlaku di Selandia Baru (10 jenjang). Hal ini lebih tepat dimaknai bahwa jenis
kualifikasi pada KKNI dirancang untuk memungkinkan setiap jenjang

21
kualifikasinya bersesuaian dengan kebutuhan bersama antara penghasil dan
pengguna lulusan, kultur pendidikan/pelatihan/kursus di Indonesia saat ini dan
gelar lulusan setiap jalur pendidikan yang berlaku di Indonesia.
Di dalam pengembangannya, jenjang-jenjang kualifikasi pada KKNI
merupakan jembatan untuk menyetarakan capaian pembelajaran yang diperoleh
melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dengan kompetensi kerja
yang dicapai di dunia kerja, melalui pelatihan berbasis kompetensi (Competence
Based Training = CBT) atau program peningkatan jenjang karir. Secara skematik
pencapaian setiap jenjang atau peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi pada
KKNI dapat dilakukan melalui empat tapak jalan (pathways) atau kombinasi dari
keempatnya. Tapak jalan tersebut seperti diilustrasikan pada Gambar-1 terdiri dari
tapak jalan melalui pendidikan formal, pengembangan profesi, peningkatan karir
di industri, dunia kerja atau melalui akumulasi pengalaman individual.
Dengan pendekatan tersebut maka KKNI dapat dijadikan rujukan oleh 4
(empat) pemangku kepentingan yang menggunakan pendekatan masing-masing
dalam peningkatan jenjang kualifikasi. Misalnya, sektor pendidikan formal dapat
menggunakan KKNI sebagai rujukan dalam merencanakan sistem pembelajaran
perguruan tinggi di Indonesia sehingga dapat dengan tepat memposisikan
kemampuan lulusannya pada salah satu jenjang kualifikasi KKNI dan
memperkirakan kesetaraannya dengan jenjang karir di dunia kerja. Dari sisi lain,
pengguna lulusan, asosiasi industri atau dunia kerja secara umum juga dapat
merujuk KKNI untuk memperkirakan kualifikasi yang dimiliki oleh pencari kerja
dan memposisikannya pada jenjang karir serta memberikan remunerasi yang
sesuai. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh penjenjangan keprofesian di
ranah asosiasi profesi. Pemangku kepentingan dari kelompok masyarakat luas
juga diakui memiliki jenjang kualifikasi tertentu dalam KKNI karena memiliki
pengalaman otodidak yang memenuhi atau sesuai dengan deskripsi kualifikasi
pada jenjang tertentu.
Konsep dasar KKNI tersebut mengandung makna kesetaraan dan
pengakuan yang disepakati bersama antar pemangku kepentingan. Oleh karena itu
KKNI harus dilengkapi dengan mekanisme dan aturan-aturan yang diperlukan

22
untuk mewujudkan kesetaraan dan adanya saling pengakuan. Dalam ranah
pendidikan, dunia kerja dan keprofesian, mekanisme dan aturan-aturan tersebut
mungkin telah ada dan disusun dengan baik, akan tetapi untuk ranah masyarakat
luas hal ini memerlukan panataan yang komprehensif dengan memperhatikan
unsur-unsur mutu, akuntabilitas dan integritas.

Gambar 5: Penjenjangan KKNI melalui 4 jejak jalan (pathways) serta kombinasi


ke empatnya

Secara konseptual, setiap jenjang kualifikasi dalam KKNI disusun oleh enam
parameter utama yaitu (a) Ilmu pengetahuan (science), (b) pengetahuan
(knowledge), (c) pengetahuan prakatis (know-how), (d) keterampilan (skill), (e)
afeksi (affection) dan (f) kompetensi (competency) 2 . Ke-enam parameter yang
terkandung dalam masing-masing jenjang disusun dalam bentuk deskripsi yang
disebut Deskriptor Kualifikasi. Dengan demikian ke-9 jenjang kualifikasi
dalamKKNI memuat deskriptor-deskriptor yang menjelaskan kemampuan di
bidang kerja, lingkup kerja berdasarkan pengetahuan yang dikuasai dan
kemampuan manjerial (Tresna, 2008)

2.4.8 Unsur-Unsur KKNI


Unsur-unsur KKNI terwujud dalam deskriptor KKNI terdiri dari unsur-
unsur keilmuan (science), pengetahuan (knowledge), keahlian (know-how), dan
keterampilan (skill).

23
 Ilmu pengetahuan (science): Ilmu pengetahuan merupakan suatu sistem
berbasis metodologi ilmiah untuk membangun pengetahuan melalui hasil
penelitian di dalam suatu bidang pengetahuan.
 Pengetahuan (knowledge): Pengetahuan merupakan penguasaan teori dan
keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang keahlian tertentu atau
pemahaman tentang fakta atau informasi yang diperoleh melalui
pengalaman.
 Keahlian atau pengetahuan praktis (know-how): Keahlian merupakan teori
dan keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang keahlian tertentu atau
pemahaman tentang metodologi dan keterampilan teknis yang diperoleh
seserang melalui pengalaman atau pendidikan untuk keperluan tertentu.
 Keterampilan (skill). Keterampilan merupakan kemampuan psikomotor
yang dicapai melalui pelatihan yang terstruktur yang dilandasi oleh
pengetahuan atau pemahaman yang dimiliki oleh seseorang untuk
menghasilkan suatu produk atau unjuk kerja.
 Afeksi. Afeksi merupakan sikap seseorang terhadap aspek-aspek di sekitar
kehidupan baik ditumbuhkan melalui proses pembelajaran atau dibina
melalui lingkungan keluarga dan masyarakat.
 Kompetensi. Kompetensi merupakan akumulasi kemampuan seseorang
dalam melaksanakan suatu kerja yang terukur melalui assessment yang
terstruktur mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu
pada bidang kerjanya.
 Capaian pembelajaran. Capaian pembelajaran merupakan internalisasi dan
akumulasi ilmu pengetahuan, pengetahuan, keterampilan, afeksi, dan
kompetensi yang dicapai melalui proses pendidikan yang terstruktur dan
mencakup suatu bidang atau melalui pengalaman (DIKTI, 2010).
Pada setiap jenjang kualifikasi memiliki kandungan ilmu pengetahuan,
pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang berbeda-beda.Semakin tinggi
jenjang kualifikasi seseorang, maka semakin tinggi penguasaan
keilmuanya.Semakin rendah jenjang kualifikasi seseorang, maka menekankan
pada keterampilannya.

24
2.4.9 Implementasi KKNI di Perguruan Tinggi
Pada dasarnya setiap satuan pendidikan memiliki sistem untuk
menghasilkan lulusan yang berkualitas. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia
memiliki empat tahapan pokok, yaitu (1) masukan (input); (2) proses; (3) keluaran
(output); dan (4) capaian (outcome). Setelah mendaftarkan diri dan resmi menjadi
mahasiswa, tahapan selanjutnya adalah menjalani proses pembelajaran. Proses
pembelajaran yang baik memiliki unsur yang baik dalam beberapa hal, yaitu: (1)
organisasi perguruan tinggi yang sehat; (2) pengelolaan perguruan tinggi yang
transparan dan akuntabel; (3) ketersediaan rancangan pembelajaran perguruan
tinggi dalam bentuk dokumen kurikulum yang jelas dan sesuai kebutuhan pasar
kerja; (4) kemampuan dan keterampilan SDM akademik dan nonakademik yang
andal dan profesional; (5) ketersediaan sarana-prasarana dan fasilitas belajar yang
memadai. Dengan memiliki kelima unsur pembelajaran tersebut, perguruan tinggi
akan dapat mengembangkan iklim akademik yang sehat serta mengarah pada
ketercapaian masyarakat akademik yang professional (Mursid, 2014).
KKNI Program Sarjana (S1) dan Diploma IV berada pada Jenjang 6. Pada
Pasal 9 Perpres tersebut dinyatakan bahwa Penerapan KKNI pada setiap sektor
atau bidang profesi ditetapkan oleh kementerian atau lembaga yang membidangi
sektor atau bidang profesi yang bersangkutan sesuai dengan kewenangannya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73
Tahun 2013 (Permendikbud No.73/2013) tentang Penerapan KKNI Bidang
Pendidikan Tinggi Pasal 10 ayat (4) menyatakan bahwa: Dalam menerapkan
KKNI bidang pendidikan tinggi, perguruan tinggi mempunyai tugas dan fungsi:
a. Setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembelajaran
minimal mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan
jenjang.
b. Setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan
mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang
pendidikan tinggi sesuai dengan kebijakan, regulasi, dan panduan tentang
penyusunan kurikulum program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b.

25
c. Setiap program studi wajib mengembangkan sistem penjaminan mutu
internal untuk memastikan terpenuhinya capaian pembelajaran program
studi.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka secara eksplisit program studi
memiliki kewajiban merumuskan capaian pembelajaran (learning outcomes)
dalam kurikulum, melaksanakan kurikulum, dan secara berkesinambungan
melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum sesuai dengan jenjang program studi.
Perubahan kurikulum juga berarti perubahan proses pembelajaran. Artinya, proses
pembelajarannya tidak hanya merupakan suatu proses alih pengetahuan (transfer
of knowledge), tetapi juga merupakan suatu proses pembekalan yang berupa
metode inquiri/penggalian (method of inquiry) seseorang yang berkompeten
dalam berkarya di masyarakat.
Jelas tampak bahwa perubahan kurikulum berbasis pada penguasaan ilmu
pengetahuan dan keterampilan (KBI) menurut SK Mendikbud No. 056/U/1994,
menjadi KBK (SK Mendiknas No. 232/U/2000) mempunyai beberapa harapan
keunggulan, yaitu: ”keluaran hasil pendidikan (outcomes) yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia usaha/industry, dan kebutuhan profesi.
Dengan pengertian bahwa keluaran merupakan kemampuan mengintegrasikan
keahlian intelektual, knowledge dan afektif dalam sebuah perilaku secara utuh.”
Kurikulum program studi disusun oleh Komunitas Akademik atau Dewan
Dosen yang ada di program studi mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi
sesuai dengan kebijakan, regulasi, dan panduan tentang penyusunan kurikulum
program studi sebagaimana yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Oleh karena itu, program studi jenjang S1 (Sarjana) perlu memahami
capaian pembelajaran (learning ourcomes) sesuai dengan jenjang yang telah
ditetapkan dalam KKNI yakni jenjang 6. Selain itu, universitas perlu menyusun
panduan pengembangan kurikulum pada tingkat universitas sebagai pedoman bagi
program studi dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan bidang keilmuan
program studi. Dalam merumuskan kurikulum, program studi perlu membentuk
Tim Pengembang Kurikulum tingkat prodi yang bertujuan untuk mengevaluasi
dan mengembangkan kurikulum Program Studi berbasis KKNI. Hasil yang

26
diharapkan dari Tim kerja ini adalah terbentuknya dokumen kurikulum program
studi. Pelaksanaan KKNI di perguruan tinggi melalui 9 tahapan yaitu:
1. Penetapan Profil Lulusan
Profil lulusan adalah peran yang dapat dilakukan oleh lulusan dibidang
keahlian atau bidang kerja tertentu setelah menyelesaikan program studi.
2. Perumusan Capaian Pembelajaran (learning outcome)
3. Pengkajian Elemen Kompetensi
4. Penentuan Bahan Kajian
Bahan kajian adalah suatu bangunan ilmu, teknologi, ataupun seni yang
menunjukkan ciri dari rumpun atau cabang ilmu tertentu, atau bidang
kajian yang merupakan inti keilmuan suatu program studi. Bahan kajian
dapat pula merupakan pengetahuan/bidang kajian yang akan
dikembangkan yang dibutuhkan bagi masyarakat atau pemangku
kepentingan pada masa yang akan datang.
5. Pembentukan Mata Kuliah
Penetapan kedalaman, kerincian, keluasan bahan kajian, dan tingkat
penguasaanya, minimal harus mencakup “pengetahuan atau keilmuan yang
harus dikuasai” dari deskripsi capaian pembelajaran program studi yang
sesuai dengan level KKNI dan telah disepakati oleh forum program studi
sejenis. Dengan menganalisis hubungan antara rumusan kompetensi
lulusan dan bahan kajian, dapat dibentuk mata kuliah beserta perkiraan
besarnya beban atau alokasi waktu (sks).
6. Penentuan Bobot sks
7. Penyusunan Program Semester
8. Penentuan Kegiatan Pembelajaran
9. Penentuan Sistem Asesmen/Penilaian.
(DIKTI, 2010).

2.4.10 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)


Menanggapi berbagai permasalahan dan tantangan ke depan yang akan
dihadapi oleh Indonesia di sektor pendidikan dan ketenagakerjaan tesebut maka

27
pada akhir Tahun 2009 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi KEMENDIKBUD,
melalui kegiatan yang dikembangkan di dalam lingkungan Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan (BELMAWA), mengambil inisiatif yang
sejalan dengan gagasan Direktorat Bina Instruktur dan Tenaga Kepelatihan,
KEMENNAKERTRANS untuk mengembangkan kerangka kualifikasi di tingkat
nasional yang kemudian diberi nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
atau disingkat dengan KKNI. Selama periode pengembangan konsep-konsep
dasar KKNI tersebut, pihak-pihak di dalam lingkungan KEMENDIKBUD dan
KEMENNAKERTRANS serta pihak pihak lain yang terkait seperti misalnya
asosiasi industri, asosiasi profesi, badan atau lembaga sertifikasi profesi, institusi
pendidikan dan pelatihan tingkat menengah dan tinggi, badan atau lembaga
akreditasi, telah diikutsertakan secara intensif untuk menjamin terciptanya suatu
landasan pengembangan KKNI yang handal dan komprehensif. KKNI diatur
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012. (KKNI, 2015)
Sejarah perkembangan KKNI dapat dilihat pada tabel skema di bawah ini

Gambar 6: Perkembangan KKNI dari masa ke masa


KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait
dengan sistem pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional dan sistem
penilaian kesetaraan nasional, yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan

28
sumberdaya manusia dari capaian pembelajaran, yang dimiliki setiap insan
pekerja Indonesia dalam menciptakan hasil karya serta kontribusi yang bermutu di
bidang pekerjaannya masing-masing.
Prinsip dasar yang dikembangkan dalam KKNI adalah menilai unjuk kerja
seseorang dalam aspek-aspek keilmuan, keahlian dan keterampilan sesuai dengan
capaian pembelajaran(learning outcomes) yang diperoleh melalui proses
pendidikan, pelatihan atau pengalaman yang telah dilampauinya, yang setara
dengan deskriptor kualifikasi untuk suatu jenjang tertentu. Terkait dengan proses
pendidikan, capaian pembelajaran merupakan hasil akhir atau akumulasi proses
peningkatan keilmuan, keahlian dan keterampilan seseorang yang diperoleh
melalui pendidikan formal, informal atau nonformal. Dalam arti yang lebih luas,
capaian pembelajaran juga diartikan sebagai hasil akhir dari suatu proses
peningkatan kompetensi atau karir seseorang selama bekerja. Pinsip dasar ini
sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh negara-negara lain dalam
mengembangkan kerangka kualifikasi masing-masing.
Pada proses penyusunan konsep-konsep KKNI, studi banding juga telah
dilakukan ke berbagai negara untuk dapat mengembangkan KKNI yang sebanding
dengan kerangka kualifikasi negaranegara lain. Kesepadanan antara KKNI dengan
kerangka kualifikasi negara-negara lain sangat diperlukan agar KKNI dapat
dipahami dan diakui sebagai sebuah sistem kualifikasi yang handal dan
terpercaya. Selanjutnya, dengan adanya pengakuan dan kepercayaan terhadap
KKNI maka kerjasama atau program penyetaraan kualifikasi ketenagakerjaan
antara Indonesia dengan negara-negara lain akan lebih mudah diwujudkan.
Indonesia menganut unified system atau sistem terpadu. Capaian
pembelajaran untuk jenis pendidikan akademik, vokasi maupun profesi untuk
jenjang kualifikasi yang sama atau setara, bahkan dapat disetarakan dengan hasil
pendidikan nonformal atau informal, mendapat perhatian dalam KKNI. Oleh
karena itu, KKNI di Indonesia disusun sebagai satu kesatuan kerangka kualifikasi
untuk seluruh sektor pendidikan, pelatihan, dan ketenagakerjaan.
Sebagai sebuah kebijakan yang memiliki implikasi luas di masyarakat,
KKNI harus dikembangkan dengan teliti, disertai dengan tahapan-tahapan yang

29
jelas dan mendorong keikutsertaan semua pihak yang berkepentingan dalam
mengambil keputusan sehingga hasil-hasil yang dicapai merupakan kesepakatan
bersama. Implementasi KKNI diharapkan dapat: (a) meningkatkan mutu
pendidikan dan pelatihan nasional; (b) meningkatkan pengakuan masyarakat
internasional terhadap hasil pendidikan dan pelatihan nasional; (c) meningkatkan
pengakuan terhadap hasil pendidikan nonformal dan informal oleh sistem
pendidikan formal; serta (d) meningkatkan kepercayaan para pemangku
kepentingan terhadap kualitas dan relevansi tenaga kerja yang dihasilkan oleh
sistem pendidikan dan pelatihan nasional.
2.5 SNPT (Standar Nasional Perguruan Tinggi)
2.5.1 Pengertian Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)
Standar Nasional Pendidikan Tinggi, adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.5.2 Tujuan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)
Standar Nasional Pendidikan Tinggi bertujuan untuk:
 Menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi yang berperan strategis
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan
pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan;
 menjamin agar pembelajaran pada program studi, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
mencapai mutu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Standar
Nasional Pendidikan Tinggi;
 mendorong agar perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu pembelajaran, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan
dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan.
2.5.3 Ruang Lingkup Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)
Standar Nasional Pendidikan Tinggi terdiri atas:
 Standar Nasional Pendidikan;

30
Standar Nasional Pendidikan, adalah kriteria minimal tentang
pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Standar Nasional Penelitian;
Standar Nasional Penelitian adalah kriteria minimal tentang sistem
penelitian pada perguruan tinggi yang berlaku di seluruh wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat.
Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat adalah kriteria minimal
tentang sistem pengabdian kepada masyarakat pada perguruan tinggi yang
berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masing – masing standar memiliki ketentuan standar sebagai berikut:
a. Standar Nasional Pendidikan
Terdapat 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang terdiri dari :
 Standar Kompetensi Lulusan
 Standar Isi
 Standar Proses
 Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
 Standar Sarana dan Prasarana
 Standar Pengelolaan
 Standar Pembiayaan Pendidikan
 Standar Penilaian Pendidikan
Fungsi dan Tujuan Standar Nasional pendidikan
1. Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
2. Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

31
3. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah,
dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global.
b. Standar Nasional Penelitian
Ruang lingkup Standar Nasional Penelitian terdiri atas:
 standar hasil penelitian;
 standar isi penelitian;
 standar proses penelitian;
 standar penilaian penelitian;
 standar peneliti;
 standar sarana dan prasarana penelitian;
 standar pengelolaan penelitian; dan
 standar pendanaan dan pembiayaan penelitian
c. Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat
Ruang lingkup Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat
terdiri atas:
 standar hasil pengabdian kepada masyarakat;
 standar isi pengabdian kepada masyarakat;
 standar proses pengabdian kepada masyarakat;
 standar penilaian pengabdian kepada masyarakat;
 standar pelaksana pengabdian kepada masyarakat;
 standar sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat;
 standar pengelolaan pengabdian kepada masyarakat; dan
 standar pendanaan dan pembiayaan pengabdian kepada masyarakat.
d. Ketentuan Peralihan
 Rumusan pengetahuan dan keterampilan khusus yang belum dikaji
dan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, perguruan
tinggi dapat menggunakan rumusan pengetahuan dan keterampilan
khusus yang disusun secara mandiri untuk proses penjaminan mutu
internal dan proses penjaminan mutu eksternal melalui akreditasi;

32
 Lahan perguruan tinggi yang digunakan melalui perjanjian sewa
menyewa wajib menyesuaikan paling lama 10 (sepuluh) tahun;
 Pengelolaan dan penyelenggaraan perguruan tinggi wajib
menyesuaikan dengan ketentuan peraturan menteri ini paling lambat 2
(dua) tahun;
 Peraturan Menteri yang terbit sebelum peraturan ini dinyatakan masih
berlaku selama tidak bertentangan dan belum diganti sesuai dengan
Peraturan Menteri ini (PERMENDIKBUD, 2014).

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Kurikulum Berbasis Kompetensi pada perguruan tinggi menekankan
pencapaian kompetensi, menyeimbangkan hard skill dan soft skill
mahasiswa agak setelah lulus dari perguruan tinggi dapat langsung terjun
di dunia kerja dan diterima masyarakat.
 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia diterapkan untuk menyetarakan,
dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan
kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan
kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor
pada kualifikasi skala internasional.

3.2 Saran
Untuk siapa saja yang membaca Makalah kami, agar lebih mendalami masing-
masing kekurangan dan kelebihan kurikulum berbasis kompetensi dan
kurikulum kualifikasi nasional Indonesia yang telah di terapkan di perguruan
tinggi.

34
DAFTAR RUJUKAN

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (1998). Akreditasi Program Studi


Jenjang Sarjana (S1) Hasil Penilaian Tahun 1996/1997.Direktorat Umum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

DIKTI. 2010. Buku Pedoman Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Edisi 1.


(Online), (http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/KKNI/Pedoman KKNI
Edisi1Juli2010.pdf), diakses pada 20 September 2018.

DIKTI. 2012. Buku KPT DITJEN DIKTI. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. (www.ftp.unej.ac.id/id/.../BUKU-KBK-KPT-2012-Cetak-maret-
2018.pdf).

DIKTI. 2014. Buku Panduan Kurikulum Dikti Pembelajaran. (Online),


(http://dosen.perbanas.id/wp-content/uploads/2018/09/Buku-Panduan-
Kurikulum-Dikti-Pembelajaran-2014.pdf), diakses pada 20 September
2018.

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. 2015. Direktorat Jendral Pembelajaran


dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia. Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi

Kotler, Philip., Kevin Lane Keller. 2006. Marketting Management12 th Edition.


USA : Parson Publisher

Mursid, S.P. 2014. Kurikulum Pendidikan Tinggi Sesuai KKNI. (Online),


(http://ujm.undiksha.ac.id/downloadfile/peraturan_presiden/2.%20Kurikul
um%20pendidikan%20tinggi%20sesuai%20kkni%202014-140813024715-
phpapp01.pdf), diakses pada 20 September 2018.

PERMENDIKBUD. 2014. Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (Online),


(www.unsika.ac.id/sites/default/files/SNDIKTI_Kopwil4.pdf), diakses
pada 20 September 2018.

Santoso, Djoko. 2012. Panduan Pengembangan dan Penyusunan Kurikulum


Pendidikan Tinggi. Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

35
Sub Direktorat KPS. 2008. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis
Konpetensi Pendidikan Tingggi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi.

Tresna, Dermawan. 2008. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis


Kompetensi Pendidikan Tinggi (Sebuah alternatif penyusunan
kurikulum). Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

Wekke, Suwardi., Sudarmanto., La Ode Almana. 2018. Tata Kelola Perguruan


Tinggi Berbasis Akreditasi. Sleman : Depublisher

36

Anda mungkin juga menyukai