Abstract
Violence in the name of religion often occurs. Yet when viewed in terms of religious
substance, it turns out all religions teach peace, harmony, and goodness. But in fact, why
there are acts of violence in the name of religion? Here is where the historical and
sociological roots are traced to the rise of violence in the name of religion. Indeed, within a
certain period and period, there is often religious violence as an implication of conflict of
interest among people who use religious legitimacy. So here is the importance of restoring
religious understanding to its original substance values. Apparently, relevant to the religious
life of Muslims in Indonesia is to continue to foster and develop Islamic moderation thoughts
that are balanced, fair, and mid. Here is the urgency of strengthening the thinking of
moderation of Islam in Indonesia as expected by the Ministry of Religious Affairs of the
Republic of Indonesia.
Abstrak
Kekerasan atas nama agama kerap terjadi. Padahal jika dilihat dari segi substansi agama,
ternyata semua agama mengajarkan kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan. Tetapi pada
kenyataannya, mengapa terjadi tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama? Di
sinilah perlu dilacak akar historis dan sosiologis munculnya kekerasan atas nama agama.
Memang dalam kurun dan periode tertentu, acapkali terjadi kekerasan yang bernuansa
agama sebagai implikasi terjadinya konflik kepentingan di antara masyarakat yang
menggunakan legitimasi agama. Maka di sinilah pentingnya mengembalikan pemahaman
agama pada nilai-nilai substansinya yang asli. Ternyata, yang relevan dengan kehidupan
keagamaan umat Islam di Indonesia yaitu terus membina dan mengembangkan pemikiran
moderasi Islam yang bersifat seimbang, adil, dan pertengahan. Di sinilah urgensi penguatan
pemikiran moderasi Islam dalam pendidikan agama di Madrasah sebagaimana diharapkan
oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Kata Kunci: Aliran Sempalan, Kekerasan Agama, Moderasi Islam, Liberal, Radikal.
39
Volume XII Nomor 32 Tatar Pasundan
Januari –April 2018 Jurnal Diklat Keagamaan
“Dewasa ini setidaknya umat Islam umat Islam ini semakin menjadi-jadi. Dari
menghadapi dua tantangan dalam mulai perselisihan antara menguburkan
menjalankan dakwahnya. Pertama, janazah Nabi saw atau mengangkat
kecendrungan sebahagian kalangan pemimpin sebagai pengganti Beliau
umat Islam untuk bersikap eksterim terlebih dahulu. Lalu bermunculan nabi-
dan ketat dalam memahami hukum- nabi palsu dan orang-orang yang menolak
hukum agama dan mencoba zakat. Puncaknya pada masa Khalifah
memaksakan cara tersebut di Sayyidina Ali bin Abi Thalib muncul
tengah masyarakat Muslim, bahkan kelompok yang berseberangan antara
dalam beberapa hal dengan Khawarij dan Syi‟ah. Khawarij keluar dari
menggunakan kekerasan. Kedua, barisan pasukan Sayyidina Ali karena
kecenderungan lainnya yang sama kecewa dan mereka berani mengkafirkan
eksterim dengan bersikap longgar kelompok di luarnya. Sedangkan Syi‟ah
dalam beragama dan tunduk pada tetap sangat loyal kepada Sayyidina Ali
perilaku dan pemikiran negatif bahkan cendrung mengkultuskannya.
yang berasal dari budaya dan Kemudian pada perkembangan
peradaban lain”. berikutnya, muncul paham-paham
Apapun alasannya, kedua keagamaan dari segi pemikiran. Misalnya
kecendrungan ini sama eksterimnya dan kelompok Qadariyah yang sangat
tidak menguntungkan bagi perkembangan mengagungkan kemampuan manusia, dan
dakwah Islam ke depan. Oleh karena itu, sebaliknya kelompok Jabbariyah yang
sebagai solusinya perlu digali kembali terbelenggu oleh takdir dari Allah dalam
wawasan moderasi Islam sebagai jalan kehidupannya. Selanjutnya diteruskan
tengah dalam upaya menampilkan wajah dengan paham Muktazilah yang sangat
Islam yang ramah. mendewakan akal pemikiran manusia.
Adanya paham eksterim Sebagaimana diungkapkan oleh M.
(radikalisme) dalam Islam sebenarnya Ridwan Lubis (2009) dalam makalahnya,
bukan hal baru. Fenomena ini sudah terjadi bahwa:
pada awal perkembangan Islam, terutama “Muktazilah adalah pengembangan
sepeninggalnya Rasulullah saw. Memang dari paham Qadariyah yang lebih
pada masa Nabi saw juga riaknya sudah membangun logika dari dimensi
ada. Akan tetapi dengan cepat dan akurat insaniyah (kemanusiaan)
dapat diselesaikan mengingat figur utama berdasarkan ayat al-Qur‟an.
Rasulullah saw yang sangat sentral. Konsep ini didasarkan bahwa
Misalnya perselisihan mengenai manusia wajib meninggalkan al-
penyelesaian tawanan Perang Badar antara fasad (kerusakan) dan memilih al-
Sahabat Abu Bakar dan Umar bin shalah (keberesan) dan selanjutnya
Khaththab. Kalau menurut Abu Bakar manusia wajib memilih al-ashlah
boleh menerima tebusan untuk (terberes) apabila dihadapkan
pembebasan tawanan perang, sedangkan dengan al-shalah”.
Umar bin Khaththab berpendapat semua Adanya paham-paham yang
tawanan perang itu harus dibunuh karenan cenderung eksterim ini kemudian ditengahi
akan menjadi ancaman yang oleh paham Asy‟ariyah dan Maturidiyah
membahayakan ke depannya. Perselisihan yang mencoba memadukan dua kutub
ini dapat ditengahi oleh Rasulullah saw pemikiran dengan aliran Sunninya.
berdasarkan wahyu yang turun berkenaan Sebagaimana ditegaskan oleh M. Ridwan
dengan persoalan tersebut dengan Lubis (2009):
mengambil pendapat Umar bin Khaththab. “Kerangka pemikiran Sunni
Kemudian sepeninggalnya berpijak pada dimensi Ilahiyyah
Rasulullah saw gejala perselisihan di tubuh (Ketuhanan) tanpa menafikan
40
Tatar Pasundan Volume XII Nomor 32
Jurnal Diklat Keagamaan Januari- April 2018
potensi manusia, oleh karena itu radikal. Karena itu, pengajaran pemikiran
Sunni bercita-cita melaksanakan moderasi Islam alangkah baiknya dapat
prinsip moderasi (al-tawassuth), diperkenalkan sejak di Madrasah.
seimbang (al-tawazun) dan
keteguhan pendirian (al-i’tidal)”. MELACAK PEMIKIRAN
Pada perkembangan berikutnya, MODERASI ISLAM
ternyata kelompok tengah yang diwakili Moderasi adalah jalan pertengahan,
Asy‟ariyah dan Maturudiyah yang dan ini sesuai dengan inti ajaran Islam
beraliran Sunni yang mampu bertahan dan yang sesuai dengan fitrah manusia. Oleh
terus berkembang. Kalau kelompok- karena itu, umat Islam disebut ummatan
kelompok eksterim sejalan dengan washathan, umat yang serasi dan
perjalanan waktu mereka redup dan ada seimbang, karena mampu memadukan dua
beberapa yang menghilang dengan kutub agama terdahulu, yaitu Yahudi yang
sendirinya. Kecuali pada waktu-waktu terlalu membumi dan Nashrani yang
tertentu ketika terjadi kegalauan di tubuh terlalu melangit. Hal ini terbukti dengan
umat Islam akibat kesenjangan ekonomi adanya perpindahan arah kiblat yang
dan ketediakadilan misalnya, maka paham- asalnya menghadap Masjidilaqsha yang
paham eksterim tersebut bisa muncul ada di Palestina berpindah menjadi
kembali. Misalnya belakangan ini di menghadap Masjidilharam yang ada di
kalangan umat Islam Indonesia muncul Mekkah. Ini membuktikan kemandirian
paham radikal dan liberal yang dan kemurnian ajaran Islam yang dibawa
menghebohkan. Tetapi seiring dengan oleh Nabi Muhammad saw yang tidak
perjalanan waktu dan keseimbangan terpengaruh oleh agama terdahulu yang
keadaan, paham-paham tersebut mulai mengagungkan Masjidilaqsha. Dengan
redup dan surut. Tetap yang mengakar dan tegas hal ini diungkapkan oleh al-Qur‟an
menyebar di kalangan umat Islam adalah dalam surat al-Baqarah [2] ayat 143:
paham pertengahan, yakni moderasi Islam Artinya: “Dan demikian (pula)
yang seimbang. Oleh karena itu wawasan Kami telah menjadikan kamu (umat
moderasi Islam ini perlu terus digali dan Islam), umat yang adil dan pilihan
dikembangkan untuk menjaga keutuhan agar kamu menjadi saksi atas
umat Islam dan menampilkan ajaran Islam (perbuatan) manusia dan agar
sebagai rahmat bagi semesta alam. Rasul (Muhammad) menjadi saksi
Pemikiran moderasi Islam ini atas (perbuatan) kamu”.
idealnya sudah mulai diperkenalkan
kepada anak-anak sejak belajar di Dengan demikian, moderasi sama
Madrasah. Karena pelajaran-pelajaran pengertiannya dengan al-washatiyyah –
agama yang diajarkan di Madrasah sebagaimana diungkapkan dalam ayat di
merupakan dasar pengetahuan agama yang atas. Menurut Ibnu Faris, sebagaimana
dapat dikembangkan pada proses dikutip oleh Muchlis M. Hanafi (2009),
pembelajaran berikutnya. Bagaimana kalau “Al-washatiyyah berasal dari kata wasath
pelajaran agama yang diajarkan di yang memiliki makna adil, baik, tengah
Madrasah itu cenderung radikal atau dan seimbang. Bagian tengah dari kedua
liberal? Maka ini akan berpengaruh pada ujung sesuatu dalam bahasa Arab disebut
pengkajian-pengkajian ilmu-ilmu wasath. Kata ini mengandung makna baik
keagamaan pada masa berikutnya. Karena seperti dalam ungkapan hadits, „Sebaik-
ada hasil pengamatan, bahwa pelaku- baik urusan adalah awsathuha (yang
pelaku yang terbukti sebagai teroris pertengahan)‟, karena yang berada di
misalnya, ternyata ketika di masa tengah akan terlindungi dari cela atau aib
sekolahnya sudah mulai terpapar dengan yang biasanya mengenai bagian ujung atau
pengajaran-pengajaran yang berpotensi pinggir”.
41
Volume XII Nomor 32 Tatar Pasundan
Januari –April 2018 Jurnal Diklat Keagamaan
42
Tatar Pasundan Volume XII Nomor 32
Jurnal Diklat Keagamaan Januari- April 2018
hak kebebasan yang harus selalu diimbangi 2. Memahami fiqh prioritas (fiqh al-
dengan kewajiban. Kecerdasan dalam awlawiyyat); di dalam Islam perintah
menyeimbangkan antara hak dan dan larangan ditentukan bertingkat-
kewajiban akan sangat menentukan tingkat. Misalnya perintah ada yang
terwujudnya keseimbangan dalam Islam. bersifat wajib, anjuran dan pilihan;
Kedua, adanya keseimbangan antara begitu pula larangan ada yang haram
kehidupan dunawi dan ukhrawi, serta dan makruh. Maka yang tingkatannya
material dan spiritual”. Sehingga berada di bawah tidak bisa
peradaban dan kemajuan yang dicapai oleh mengalahkan yang posisinya di atas.
umat Islam tidak semu dan patamorgana, Misalnya mengulang-ngulang ibadah
tetapi hakiki dan benar-benar sesuai haji hukumnya sunnah, sementara
dengan yang diharapkan, yakni membantu saudara Muslim yang
mewujudkan kebaikan di dunia dan di kesusahan adalah keharusan apabila
akhirat serta dijauhkan dari malapetaka ingin memcapai kesempurnaan iman.
dan siksaan neraka. 3. Memahami sunnatullah dalam
Sedangkan Muchlis M. Hanafi penciptaan; bahwa penciptaan alam
(2009) merinci ciri sikap moderat dalam semesta ini bersifat gradual atau
beragama, terutama dalam memahami dan penahapan, begitu pula dalam
mengamalkan teks-teks keagamaan, menentukan hukum agama tidak dapat
setidaknya ada 6 ciri sebagai berikut: sekaligus. Misalnya langit dan bumi
1. Memahami realitas (fiqh al-waqi’); ini diciptakan oleh Allah dalam enam
didasarkan pada kenyataan bahwa masa, padahal sangat mungkin bagi
dinamika kehidupan manusia selalu Allah menciptakannya sekejap mata.
berubah dan berkembang tiada batas, Demikian pula penciptaan manusia,
sementara teks-teks keagamaan hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
terbatas. Kenyataan ini menuntut para dilakukan secara bertahap. Demikian
ulama untuk menggali hukum-hukum pula dalam penerapan ajaran Islam
Islam guna merespons perkembangan dalam kehidupan. Misalnya pada tahap
zaman yang demikian cepat. Oleh pertama ketika periode Mekkah dakwah
karena itu, misalnya, dapat dipahami Islam sangat menekankan aspek Tauhid
apabila ada fatwa ulama yang bersifat dan keimanan, kemudian secara
kontekstual dengan mengemukakan bertahap turun ketentuan-ketentuan
pandangan, bahwa di negara-negara syariat. Dalam penentuan syariat pun
minoritas Muslim boleh seorang wanita dilakukan secara bertahap, seperti
yang masuk Islam untuk pentahapan pelarangan minum khamer
mempertahankan perkawinannya dan judi. Oleh karena itu dirasa kurang
sementara suaminya tetap dalam agama tepat misalnya kehendak sekelompok
semula, seperti yang difatwakan oleh umat Islam yang menghendaki
Majelis Fatwa dan Riset Eropa. Atau pendirian negara Islam di Indonesia
seperti fatwa ulama Indonesia yang dengan menghalalkan cara-cara
mengharamkan golput untuk kekerasan dan ancaman. Keinginan
mendorong proses demokratisasi di seperti ini di negara Muslim, termasuk
Indonesia dengan memilih pemimpin di Indonesia, justru merugikan dakwah
yang berkualitas; atau fatwa haramnya Islam, sebab pemerintah negara-negara
rokok bagi kalangan tertentu dan di itu bisa saja menghadapinya secara
tempat tertentu, untuk melindungi anak- represif.
anak dan kaum perempuan yang 4. Memberikan kemudahan kepada orang
memiliki resiko tinggi dari bahaya lain dalam beragama; memberikan
merokok. kemudahan adalah metode al-Qur‟an
dan metode yang ditetapkan oleh
43
Volume XII Nomor 32 Tatar Pasundan
Januari –April 2018 Jurnal Diklat Keagamaan
44
Tatar Pasundan Volume XII Nomor 32
Jurnal Diklat Keagamaan Januari- April 2018
yang diajarkan di Madrasah sesuai dengan nama surat dalam Alquran, yakni Surat
tingkatannya. Ali-„Imran (keluarga Imran), karena
Sebenarnya secara umum ajaran keluarga ini sudah menunaikan janjinya
agama Islam itu dibagi ke dalam tiga untuk mengajari putrinya (Maryam)
kategori, yaitu akidah, syariah, dan akhlak. dengan pendidikan agama di bawah asuhan
Akidah yang berhubungan dengan Nabi Zakaria as. Sehingga kelak dari
keyakinan dan keimanan yang wanita suci Maryam ini lahirlah seorang
terefleksikan dalam rukun iman yang rasul, yakni Nabi Isa as. Alquran juga
enam. Sedangkan syariah berhubungan mengabadikan keluarga Luqman al-Hakim
dengan syariat ibadah yang ketentuan yang bukan nabi dan rasul menjadi Surat
pelaksanaannya sudah ditentukan seperti Luqman. Karena ia telah berhasil mendidik
yang terefleksikan dalam rukun Islam yang anaknya dan meletakkan dasar-dasar
lima. Atau yang berhubungan dengan pengajaran agama dalam keluarga untuk
aspek sosial kemasyarakat yang disebut mempersiapkan generasi-generasi yang
dengan muamalah yang secara umum shaleh.
landasan sudah ditentukan dalam agama Di sinilah pentingnya pendidikan
sebagai panduan, seperti aspek ekonomi, penguatan pemikiran noderasi Islanm di
politik, budaya, dan yang lainnya. Dalam lingkungan lembaga pendidikan agama
pengajaran aspek-aspek agama ini tentu dan keagamaan (Madrasah). Sehingga
harus berdasarkan referensi yang jelas dan substansi ajaran Islam yang damai, santun,
diajarkan sesuai dengan karakteristik dan harmonis benar-benar dapat
ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin, diwujudkan dalam kehidupan. Berdasarkan
menjadi rahmat bagi semesta alam sebagai petunjuk Alquran, ada beberapa upaya
wujud dari moderasi Islam. yang bisa dilakukan dalam rangka
Oleh karena itu, Islam sebagai pendidikan penguatan pemikiran moderasi
agama yang sempurna sangat Islam pada lembaga pendidikan, yaitu:
memperhatikan pembinaan dan pendidikan Pertama, memberikan dorongan
agama. Lembaga pendidikan sebagai dan nasihat yang baik kepada anak.
kawah candra di muka dalam Sehingga mereka senantiasa mendapatkan
mempersiapkan generasi-generasi terbaik motivasi untuk berbuat baik dan segera
bangsa. Sementara agama menjadi fondasi kembali pada jalan yang benar sesuai
dan bekal utama bagi generasi muda dalam dengan tuntunan agama apabila melakukan
mengarungi kehidupan yang penuh kesalahan. Sebagaimana nasihat-nasihat
dinamika. Ternyata sejarah telah Luqman yang diberikan kepada anak-
membuktikan, bahwa generasi-generasi anaknya (lihat QS. Liqman [31]:12-19).
yang berhasil dan tangguh adalah mereka Kedua, membimbing melakukan
yang berasal dari keluarga dan lingkungan pembiasaan-pembiasaan pengamalan
pendidikan yang dari sejak dini agama di lingkungan keluarga. Misalnya
menanamkan pendidikan agama pada membiasakan selalu berdoa, mengucapkan
anak-anaknya. salam, mencium tangan orangtua,
Alquran sebagai kitab suci umat melaksanakan shalat di awal waktu,
Islam banyak menceritakan tentang kisah- berbuat baik kepada saudara dan tetangga,
kisah sukses keluarga yang mampu serta pembiasaan-pembiasaan sikap dan
mendidik anak-anaknya sehingga menjadi perbuatan baik lainnya yang diajarkan
generasi-generasi yang tangguh, unggul, agama.
dan shaleh. Seperti kisah Nabi Ibrahim as Ketiga, menerapkan reward and
yang sukses membina keluarganya punishment; yaitu hukuman dan
sehingga anak keturunannya semuanya penghargaan yang sesuai dengan tahap
diangkat menjadi nabi dan rasul. Alquran perkembangan jiwa anak. Sehingga anak
pun mengabadikan keluarga Imran menjadi selalu terdorong untuk melakukan
45
Volume XII Nomor 32 Tatar Pasundan
Januari –April 2018 Jurnal Diklat Keagamaan
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Rudy Harisyah, (2010) Studi Berbasis Surat Kabar Tentang Pola Konflik Keagamaan,
Jurnal Penamas Vol. XXII No. 2 Th. 2009, Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama, Jakarta.
Al-Bahy, Muhammad, (1997) Islam Agama Dakwah Bukan Revolusi, (Terj. M. Toha Anwar),
Kalam Mulia, Jakarta.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, (2006) Tafsir Al-Maraghi, Daar Al-Fikr, Bairut.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, (1976) Shafwatut Tafaasir, Daar Al-Fikr, Bairut.
Arifin, Isep Zainal, (2009) Bimbingan Penyuluhan Islam, Grafindo Persada, Jakarta.
Depag RI, (1997) Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an,
Jakarta.
Ma‟arif, Syamsul, (2010) Nalar Anarkisme Agama-Agama: Antara Doktrin dan Realitas,
Jurnal Harmoni Vol. IX No. 36, Oktober-Desember 2010, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Jakarta.
46
Tatar Pasundan Volume XII Nomor 32
Jurnal Diklat Keagamaan Januari- April 2018
Sumbulah, Umi, (2010) Islam Radikal dan Pluralisme Agama, Badan Litbang dan Diklat,
Jakarta.
Taher, Tarmizi, (2007) Berislam Secara Moderat, Jakarta: Grafindo.
47