Makalah
Disusun Oleh :
Risa simahate
18010710512
Sunita aj
18010710516
JURUSAN TARBIYAH
2020
Kata pengantar
Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Teori Pembelajaran Neurosains ini dengan baik. Kami menyadari bahwa terdapat
banyak kekurangan yang terdapat pada Makalah ini sebagai akibat dari
keterbatasan dari pengetahuan kami. Sehubungan dengan hal tersebut,kami akan
selalu membuka diri untuk menerima segala kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak. Semoga Makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan
bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu
prinsip pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar.
Bermain merupakan kegiatan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak. Dengan bermain anak dapat
mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi
dengan baik. Pada dasarnya anak-anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi dan
menari, baik dilakukan sendiri maupun berkelompok. Bermain adalah kegiatan
untuk bersenang-senang yang terjadi secara alamiah. Anak tidak merasa terpaksa
untuk bermain, tetapi mereka akan memperoleh kesenangan, kanikmatan,
informasi, pengetahuan, imajinasi, dan motivasi bersosialisasi Bermain memiliki
fungsi yang sangat luas, seperti untuk anak, untuk guru, orang tua dan fungsi
lainnya.bagi anak. Dengan bermain dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial,
emosi, kognitif, daya cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan,
melepaskan ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan
perkembangan lainnya.
Konsep belajar dan bermain pada pendidikan anak usia dini (PAUD),
kelompok bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), dan Tempat Penitipan Anak
(TPA) telah dilaksanakan dengan baik. Guru dan orang tua telah memahami fungsi
bermain untuk perkembangan anak. Bermain memiliki fungsi yang sangat luas,
seperti untuk anak, untuk guru, orang tua dan fungsi lainnya.bagi anak. Dengan
bermain dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta
(kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan ketegangan, dan
terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan lainnya. Fungsi bermain
bagi guru dan orangtua adalah agar guru dan orangtua dapat memahami karakter
anak, jalan pikiran anak, dapat intervensi, kolaborasi dan berkomunikasi dengan
ank. Fungsi lainnya adal
ah rekreasi, penyaluran energi, persiapan untuk hidup dan mekanisme
integrasi (penyatuan) dengan alam sekitar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh bermain terhadap perkembangan anak?”.
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengkaji manfaat bermain dalam
proses perkembangan anak baik secara afektif, kognitif, psikomotor, sosial, emosi,
dan motorik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam berbagai literatur tentang anak terbatas pada usia atau umur. Ada
beberapa pendapat mengenai siapa yang disebut sebagai anak, yaitu Huck dkk
(dalam Martuti, 2009:2) menyatakan bahwa yang dikategorikan sebagai anak
adalah anak-anak usia 1 hingga kurang lebih 12 tahun. Tahapan usia anak itu sendiri
dibedakan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: (1) Sebelum sekolah/masa
pertumbuhan (usia 1-2 tahun), (2) Prasekolah dan taman kanak-kanak (usia 3-5
tahun), (3) Masa awal sekolah (usia 6-7 tahun), (4) Elementer tengah (usia 8-9
tahun), (5) Elementer akhir (usia 10-12 tahun). Sedangkan menurut Piaget ( dalam
Robert V. Kail, 2010:171) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam empat
tahapan dan tiap tahapan memiliki karekteristik berbeda. Keempat perkembangan
intelektual itu adalah:
1) Tahap sensori-motor (usia 0-2 tahun)
2) Tahap praoperasional (usia 2-6 tahun)
3) Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun)
4) Tahap operasional formal (usia 11-12 tahun ke atas)
Dalam batasan yang diberikan oleh The National Assosiation for The Education of
Young Children (NAEYC) dikatakan bahwa anak usia dini (early childhood) adalah
anak yang sejak dilahirkan sampai berusia delapan tahun (Bredekamp 1992:1)
Dengan pengertian ini NAEYC mengembangkan berbagai program yang sesuai
dengan tahap perkembangan anak sejak seorang anak itu dilahirkan sampai berusia
delapan tahun. Sebelum program tersebut dirancang, NAEYC terlebih dahulu
menerangkan berbagai praktek kegiatan yang tidak sesuai dengan tahap
perkembangan anak meskipun kegiatan tersebut sudah lama dilakukan di berbagai
negara yang ada di dunia. Dalam psikologi perkembangan dan berdasarkan riset
neurology, anak usia dini dikatakan sebagai anak yang berumur 0-8 tahun (Dedi
Supriadi 2003:1). Pertumbuhan dan perkembangannya diperhatikan dengan cara
memberi perlakuan yang baik berupa pendidikan usia prasekolah atau pendidikan
sekolah di kelas-kelas awal Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang sejak dilahirkan
sampai berusia dua enam tahun tahun (0-6 tahun) yang sedang mengalami proses
tumbuh dan berkembang baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum
jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan
bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal (Maimunah Hasan,
2012:15). Menurut Ermawan Susanto (2014:2), pendidikan anak usia dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan usia dini yaitu
pendidikan yang ditujukan bagi anak sejak usia lahir hingga usia 6 tahun.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini
yaitu suatu jenjang pendidikan guna merangsang pertumbuhan dan perkembangan
anak pada usia 0-6 tahun.
Kemampuan terhebat dari manusia dalam menyerap berbagai pelajaran
berlangsung ketika manusia masih berusia di bawah lima tahun. Di Indonesia, pada
umumnya seorang anak memulai mengikuti program pendidikan sejak menginjak
usia 2 tahun bahkan 4 tahun. Hal ini didukung oleh Gordon dan Jeanette (dalam
Martuti, 2009:17), bahwa penelitian membuktikan 50% kemampuan belajar
seseorang ditentukan pada empat tahun pertaman dan membentuk 30% yang
lainnya sebelum mencapai usia 8 tahun. Hasil studi di bidang neurologi
mengungkapkan bahwa ukuran otak anak pada usia 2 tahun telah mencapai 75%
dari ukuran otak ketika anak tersebut dewasa dan pada usia 5 tahun mencapai 90%
dari ukuran otak setelah ia dewasa, sehingga para psikologi menyebutkan masa ini
sebagai masa The golden age (Suyadi, 2014:3).
Pada usia 4-6 tahun, merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitive
untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka
adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siapa
merespons stumulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa
untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik,
kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral,
dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai
dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat optimal.
B. Hakekat Bermain
1. Pengertian Bermain
Setiap anak di dunia ini memiliki hak untuk bermain. Bermain juga adalah
kegiatan pokok anak. Dengan bermain anak mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman yang membantu perkembangannya untuk menyiapkan diri dalam
kehidupan selanjutnya. Para ahli pendidikan menganggap bahwa bermain sebagai
kegiatan yang memiliki nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media
untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Bermain
merupakan jembatan bagi anak dari belajar informal menjadi formal. Dengan
bermain, anak dapat melakukan kegiatan sehingga semua aspek perkembangan
dapat berkembang secara maksimal. Bermain bukan hanya menjadi kesenangan
saja, tetapi juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Menurut
Cony Semiawan (dalam Ismatul Khasanah dkk,2011:94) dalam kegiatan bermain,
seluruh tahapan perkembangan anak dapat berfungsi dan berkembang dengan baik
dan hasil dari perkembangan yang baik itu akan muncul dan terlihat pada saat si
anak menginjak masa remaja. Bermain, atau permainan sebagai aktivitas terkait
dengan keseluruhan diri anak, bukan hanya sebagian, namun melalui permainan
(pada saat anak bermain) anak akan terdorong mempraktekkan keterampilannya
yang mengarahkan perkembangan kognitif anak, perkembangan bahasa anak,
perkembangan psikomotorik, dan perkembangan fisik. Pengalaman bermain akan
mendorong anak untuk lebih kreatif. Mulai dari perkembangan emosi, kemudian
mengarah ke kreativitas bersosialisasi.
Menurut Moeslichatoen (dalam Simatupang, 2005), bermain merupakan
suatu aktivitas yang menyenangkan bagi semua orang. Bermain akan memuaskan
tuntutan perkembangan motorik, kognitif, bahasa, sosial, nilai- nilai dan sikap hidup.
Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang
ditimbulkannya, tanpa pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela
dan tidak ada unsur paksaan atau takanan dari luar atau kewajiban. Piaget
menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk
kesenangan fungsional. Menurut Bettelheim, kegiatan bermain adalah kegiatan yang
tidak memiliki peraturan kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan ada hasil akhir
yang dimaksudkan dalam realitas luar. (Hurlock, 1995; 320 dalam zulvia Trinova,
2012:210). Bermain diartikan sebagai suatu kegiatan atau tingkah laku yang
dilakukan anak secara sendirian atau berkelompok dengan menggunakan alat atau
untuk mencapai tujuan tertentu (Soegeng Santoso dalam Rani Yulianti, 2012: 7).
Dengan bermain anak-anak akan berusaha untuk memiliki keinginan dan mencapai
keinginannya. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat
ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan
bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-
hal baru. Bermain juga dikatakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi,
memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi yang lebih
mendominan pada belahan otak kiri anak usia dini (Anggani Sudono, 2000:5).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bermain adalah
kegiatan yang menyenangkan bagi anak tanpa paksaan guna mengembangkan
kemampuan fisik, kognitif, afektif, sosial emosional, moral, dan motorik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanna Miliar et al; Garvey; Rubin;
Fein; dan Vendenberg (dalam Rahardjo, 2007) mengungkapkan adanya beberapa
ciri kegiatan permainan, yaitu : a.) Dilakukan berdasarkan motivasi instrinstik,
maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri. b)
Perasaan dari orang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi
positif. c). Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktifitas
ke aktivitas lain. d). Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan
hasil akhirnya. e) Bebas memilih, cirri ini merupakan elemen yang sangat penting
bagi konsep bermain pada anak kecil f.) Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan
bermain mempunyai kerangka tertentu yang memisahkan dari kehidupan nyata
sehari-hari.
Bermain pada masa anak- anak mempunyai karakteristik tertentu yang
membedakannya dari permainan orang dewasa. Menurut Hurlock (1995: 322- 326)
karakteristik permainan pada masa anak- anak adalah sebagai berikut:
a) Bermain dipenguhi tradisi. Anak kecil menirukan permainan anak yang lebih besar,
yang menirukan dari generasi anak sebelumnya. Jadi dalam setiap kebudayaan, satu
generasi menurunkan bentuk permainan yang paling memuaskan kegenerasi
selanjutnya.
b) Bermain mengikuti pola yang dapat diramalkan. Sejak masa bayi hingga masa
pematangan, beberapa permainan tertentu populer pada suatu tingkat usia dan
tidak pada usia lain, tanpa mempersoalkan lingkungan, bangsa, status sosial
ekonomi dan jenis kelamin. Kegiatan bermain ini sangat populer secara universal
dan dapat dirmalkan sehingga merupakan hal yang lazim untuk membagi masa
tahun kanak-kanak kedalam tahapan yang lebih spesifik. Berbagai macam
permainan juga mengikuti pola yang dapat diramalkan. Misal, permainan balok kayu
dilaporkan melalui empat tahapan. Pertama, anak lebih banyak memegang,
menjelajah, membawa balok dan menumpuknya dalam bentuk tidak teratur; kedua,
membangun deretan dan menara; ketiga, mengambangakan teknik untuk
membangun rancanganyang lebih rumit; keempat, mendramatisir dan
menghasilkan bentuk yang sebenarnya.
c) Ragam kegiatan permainan menurun dengan bertambahnya usia. Ragam kegiatan
permainan yang dilakukan anak-anak secara bertahap berkurang dengan
bertambahnya usia. Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah alasan. Anak yang
lebih besar kurang memiliki waktu untuk bermain dan mereka ingin menghabiskan
waktunya dengan cara menimbulkan kesenangan terbesar. Dengan meningkatnya
lingkungan perhatian, mereka dapat memusatkan perhatiannya pada kegiatan
bermain yang lebih panjang ketimbang melompat dari satu permainan kepermainan
lain seperti yang dilakukan seperti usia yang lebih muda. Anak-anak
meninggalkannya dengan alasan karena telah bosan atau menganggapnya kekanak-
kanakan.
d) Bermain menjadi semakin sosial dengan meningkatnya usia. Dengan bertambahnya
jumlah hubungan sosial, kualitas permaianan anak-anak menjadi lebih sosial. Pada
saat anak-anak mencapai usia sekolah, kebanyakan mainan mereka adalah sosial,
seperti yang ada dalam kegiatan bermain kerja sama, tetapi hal ini dilakukan apabila
mereka telah memiliki kelompok dan bersamaan dengan itu, timbul kesempatan
untuk belajar berteman dengan cara sosial.
e) Jumlah teman bermain menurun dengan bertambahnya usia. Pada fase prasekolah,
anak menganggap semua anggota kelompok sebagai teman bermain, setelah
menjadi anggota gang, semua beruabah. Mereka ingin bermain dengan kelompok
kecilnya itu dimana anggotanya memiliki perhatian yang sama dan permianannya
menimbulkan kepuasan tertentu bagi mereka.
f) Bermain semakin lebih sesuai dengan jenis kelamin. Anak laki-laki tidak saja
menghindari teman bermain perempuan pada saat mereka masuk sekolah, tetapi
juga menjauhkan diri dari semua kegiatan bermain yang tidak sesuai dengan jenis
kelaminnya.
g) Permainan masa kanak-kanak berubah dari tidak formal menjadi formal.
Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Mereka bermain kapan saja
dan dengan mainan apa saja yang mereka sukai, tanpa memperhattikan tempat dan
waktu. Mereka tidak membutuhkan peralatan atau pakaian khusus untuk bermain.
Secara bertahap menjadi semakin formal.
h) Bermain secara fisik kurang aktif dengan bertambahnya usia. Perhatian anak dalam
permainan aktif mencapai titik rendahnya selama masa puber awal. Anak-anak
tidak saja menarik diri untuk bermain aktif, tetapi juga menghabiskan sedikit
waktunya untuk membaca, bermain dirumah atau menonton televisi. Kebanyakan
waktunya dihabiskan dengan melamun - suatu bentuk bermain yang tidak
membutuhkan tenaga banyak.
i) Bermain dapat diramalkan dari penyesuaian anak. Jenis permainan, variasi kegiatan
bermain, dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk bermain secara keseluruhan
merupakan petunjuk penyesuaian pribadi dan sosial anak.
j) Terdapat variasi yang jelas dalam permainan anak. Walau semua anak melalui
tahapan bermain yang serupa dan dapat diramalkan, tidak semua anak bermaian
dengan cara yang sama pada usia yang sama. Variasi permainan anak dapat
ditelusuri pada sejumlah faktor.
Kail, Robert V. (2010). Children and their development: fifth edition. USA: Pearson Prentice
Hall.