NPM : 1702060006
REVIEW JURNAL
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup berpikir dan selalu berusaha
untukmengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja apa adanya sesuatu itu, selalu
ingintahu apa yang ada dibalik yang dilihat dan diamati. Segala sesuatu yang dilihatnya,
dialaminya,dan gejala yang terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan dianalisis atau
dikaji. Ada tigahal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu keheranan, kesangsian, dan
kesadaran atasketerbatasan. Berfilsafat kerap kali didorong untuk mengetahui apa yang telah
tahu dan apa yangbelum tahu, berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan
pernah diketahui dalamkemestaan yang seakan tak terbatas.Filsafat memiliki peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya adatiga peran utama yang dimiliki yaitu
sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing. Pendidikanadalah upaya mengembangkan
potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensicipta, rasa, maupun karsanya,
agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalamperjalanan hidupnya. Sedangkan
pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmulain. Pendidikan
lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu,ilmu pendidikan
juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikanberada bersama dengan
filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri denganpembentukan manusia. Filsafat
diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahamikedudukan manusia, pengembangan
manusia, dan peningkatan hidup manusia.Dasar pendidikanadalah cita-cita kemanusiaan
universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalamkeseimbangan, kesatuan. organis,
harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.Filsafat pendidikan adalah filsafat
yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
b. Ringkasan Jurnal
Sumber : http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/5313
2.2 Pendahuluan
Imanuel Kant (1724-1802) menuliskan kalimat mutiara pada batu nisan makamnya, yang
diartikan :
“Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia.” Menurut Kant
kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada moralnya.
Francis Bacon seorang Empirisme Inggris mengagungkan semboyan “Knowledge is power”.
Kepercayaan dan memujaan akal yang berlebihan masih terus berlangsung sampai sekarang.
Namun ada pertanyaan yang mendasar sehubungan dengan hal ini, apakah benar yang menjadi
keunggulan manusia itu adalah akalnya, sehingga aspek-aspek manusia yang lain tidak perlu
dihiraukan? Bagaimana dengan dampak negatif dari ilmu pengetahuan.
Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia” dari kata “philos” artinya cinta
dan “Sophia” artinya pengetahuan yang bijaksana. Kemunculan filsafat pada abad ke 5SM
merupakan pendobrakan terhadap dominasi jaman mitos atas klaim kebenaran. Pada masa ini
akal mulai digunakan dalam upaya mencari kebenaran, sebagai sarana mencari kebenaran,
sebagai sumber kebenaran. Sejarah pemikiran memasuki jaman baru yaitu jaman Logos. Filsafat
dikatakan sebagai mother of science.
Filsafat mempunyai dua pengertian: Pertama filsafat sebagai produk: mengandung arti
filsafat sebagai jenis ilmu pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang merupakan hasil
proses berfilsafat. Kedua filsafat sebagai suatu proses, dalam hal ini filsafat diartikan sebagai
bentuk aktivitas berfilsafat sebagai proses pemecahan masalah dengan menggunakan cara dan
metode tertentu.
Tidak semua kegiatan berpikir adalah suatu aktivitas berfilsafat. Kegiatan berpikir secara
kefilsafatan ilmu memiliki ciri-ciri: Kritis Radikal-Konseptual-Koheren-Rasional-Spekulatif-
Sistematis-Komprehensif-Bebas-Universal.
Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-buruk.Etika
membicarakan tentang pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan-tindakan baik buruk, susila
tidak susila dalam hubungan antar manusia.
Ada perbedaan antara etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau
perbuatan yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik buruk.
Sedangkan etika adalah adalah pengkajian secara mendalam tentang sistem nilai yang ada, Jadi
etika sebagai suatu ilmu adalah cabang dari filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang
berlaku. Moral itu adalah ajaran system nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana adanya,
tetapi etika adalah kajian tentang moral yang bersifat kritis dan rasional.
Moral berkaitan dengan penilaian baik-buruk mengenai hal-hal yang mendasar yang
berhubungan dengan nilai kemanusiaan, sedang etika/etiket berkaitan dengan sikap dalam
pergaulan, sopan santun, tolok ukur penilaiannya adalah pantas-tidak pantas. Di samping itu ada
istilah lain yang berkaitan dengan moral, yaitu norma. Norma adalah nilai yang menjadi milik
bersama dalam suatu masyarakat yang telah tertanam dalam emosi yang mendalam sebagai suatu
kesepakatan bersama.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini adalah masyarakat hanya
takut pada norma hukum yang mempuyai sangsi yang jelas dan tegas yang pelaksanaannya
berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral yang pelaksanaan-nya berdasarkan
kesadaran sebagai manusia, tidak ada sangsi yang nyata mulai ditinggalkan. Esensi pembeda
antara manusia dan makhluk lain adalah pada aspek moralnya. Pada morallah manusia
menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral seharusnya menjadi landasan
tingkah laku manusia debgan segala kesadarannya.
Ketika norma moral (moralitas) tidak ditakuti/dihargai maka masyarakat akan kacau.
Norma moral muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia. Norma moral
lebih besar pengaruhnya dari pada norma sopan santun, bahkan dengan norma hukum yang
merupakan produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah orang mengambil sikap dan
menilai norma lain.
Secara umum yang membedakan manusia dengan binatang adalah pada akalnya. Akal
mempunyai dua aspek dalam penggunaannya jika digunakan secara benar akan meningkatkan
taraf kemanusiaaannya, tetapi jika digunakan secara tidak benar akan menurunkan derajat
manusia menjadi binatang bahkan lebih rendah dari binatang.
Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin lebih didasarkan pada pertimbangan
biologi. Akan lebih baik jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan pertimbangan
humanis-filosofis.
Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini akan menggambarkan sebagai manusia
baik yang terdiri dari unsur: benda mati+hidup (berkembang)+nafsu+akal+moral. Kekuatan
moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga kehidupan manusia menjadi
lebih bermakna.
Moral dan etika hanya dikenakan pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia yang
mempunyai kesadaran (kesadaran dalam hal ini berarti psikologis-filosofis). Penilaian hanya
ditujukan bagi manusia yang mempunyai akal dan sudah mempunyai kesadaran.
Alasan dasar dan rasional mengapa manusia harus menggunakan moral/etika sebagai
landasan segala tindakannya adalah karena dia berakal dan mempunyai kesadaran.
Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang lapar, di depannya ada makanan yang biasa
dimakannya, tanpa banyak pertimbangan dia tentu akan segera menyantapnya. Berbeda dengan
manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan lezat ia tidak akan langsung
menyantapnya. Moral mutlak berlaku bagi manusia dalam hidup bersama. Manusia adalah
makhluk yang berbudaya.
Ilmu pengetahuan dalam bahasa Inggris science, bahasa latin scientia berarti
mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu
pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada
beberapa syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu
pengetahuan memiliki beberapa syarat: berobjek , bermetode, sistematis, dan universal. Adapun
ilmu pengetahuan memilki beberapa sifat: terbuka, milik umum, objektif, dan relatif.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terdapat masalah mendasar yang sampai
sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu masalah apakah ilmu itu benar nilai atan tidak. Ada
dua sikap dasar, pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu bebas
nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan
adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi
rasa ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles
yang kemudian dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam.
Kedua kubu yang bertentangan mempunyai asumsi yang berbeda. Jalan keluar dari
kemelut ini adalah sintesis keduanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of
justification dan context of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian ilmiah
terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah sedangkan Context of discovery adalah
konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan.
Tradisi kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum mapan sebagaimana tradisi di dunia
Barat. Bangsa Indonesia mempunyai sistem nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang
kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah
adalah suatu imperative Ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya sendiri
memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam proses penemuannya dan
penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku
di masyarakat. Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan harkat
kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
Ilmu yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai humanitas, nilai
integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nila keadilan sosial.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia tidak hanya
semata-mata mengakui dan menghargai kemampuan rasionalitas manusia semata tetapi juga
menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai karena
aktifitas akalnya saja tetapi juga aspek-aspek lain yang irrasional. Sila kemanusiaan yang adil
dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada fungsi
semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector tertentu. Sila Persatuan
Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan walaupun bersifat universal harus juga
mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional bangsa
Indonesia. Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan
tidak boleh hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar
di bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu pertimbangan yang
representatif untuk harus mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak.
Ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan dibawah
suatu lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan, maka harus ada nilai-
nilai yang menjadi ruh yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi ilmuwan,
sehingga ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap
ilmuwan. Ada beberapa sikap ilmiah yaitu, kejujuran dan kebenaran, tanggung jawab, setia,
sikap ingin tahu, sikap kritis, sikap independen/mandiri, sikap terbuka, sikap rela menghargai
karya& pendapat orang lain, dan sikap menjangkau kedepan.
3.1 Analisis kritis dan Solusi
Analisis kritis
Jurnal ini lebih membahas pada etika yaitu filsafat moral yang kaitannya dengan bangsa
Indonesia. Ada ilmuwan yang memberikan statement tentang kekuatan dari akal, mereka
memuja dan mempercayai akal secara berlebihan. Mereka beranggapan bahwa akar adalah
segala-galanya. Tapi saya setuju dengan pendapat atau statement dari Imanuel Kant yang
mengatakan bahwa “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia”.
Artinya, moral merupakan hal penting, hal utama yang ada pada manusia yang perlu untuk
diperhatikan.
Akal merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Namun moralitas
merupakan hal penting juga yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan
adanya moralitas, maka kita dapat menemukan hakekat sebenarnya dari kemanusiaan. Untuk apa
kita memiliki pengetahuan yang banyak namun perilaku kita tidak mencerminka manusia
bermoral. Itu berarti kita sama saja dengan binatang, apabila dalam melakukan sesuatu hal tanpa
disertai moral.
Orang-orang hanya mementingkan dan takut kepada norma hukum, bukan kepada norma
moral yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia. Orang-orang sudah tidak lagi
mementingkan tentang moral.
Solusi
Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan memperhatikan, mempelajari,
mengajarkan serta selalu mengingatkan bahwa moral merupakan hal penting yang harus tetap
dijaga meskipun terjadi perubahan ke zaman yang lebih modern.
KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat eratantara filsafat, etika dan ilmu. Ilmu yangbergerak otonom
tidak boleh meninggalkanlandasan filosofisnya. Landasan filosofis inimenjadikan ilmu masih
tetap pada hakekat
keilmuannya. Ilmu sebabagi bidang yangotonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan
nilai-nilai etika terutama dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satucabang dalam filsafat
akan memberikan arahan (guiedence) bagi gerak ilmu,sehingga membawa kemanfaatan bagi
manusia.
1.B
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum selalu menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan.
Keadilan yang menjadi salah satu dari tujuan hukum seharusnya dapat di praktekan dalam upaya
membangun masyarakat, bukan mengadili masyarat dalam pembangunan dengan dalih bahwa
kita adalah negara hukum. Peranan hukum dalam membangun masyarakat, berarti juga bahwa
kedaulatan hukum berada di tangan rakyat sebagaimana pengertian kedaulatan rayat dalam
berdemokrasi. Meskipun dalam penerapan serta penegakannya antar demokrasi dan hukum
berbeda.
Sebagai negara hukum, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam
pembangunan Indonesia. Pembangunan yang dimaksudkan tentunya tidak pada fisik semata
yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan kualitas segenap rakyat
Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang bersifat proyeksi jauh kedepan.
Pada zaman reformasi sekarang ini, hukum di tuntut menjadi panglima bagi kemajuan bangsa,
seiring dengan kemajuan demokrasi kita. Namun, dewasa ini hukum cenderung terpasung oleh
demokrasi itu sendiri. Demokrasi seharusnya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum
(Nomokrasi) dalam perjalananya membangun bangsa ini. Berdemokrasi dalam membangun
bangsa haruslah di landasi dengan kedaulatan hukum yang merupakan cita-cita dari demokrasi
itu sendiri. Sehingga barulah kita dapat membangun bangsa ini dari segala sektor, dan kemudian
apa yang di sebut dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita. Jadi peranan hukum dalam pembaharuan dan pembangunan
masyarakat adalah hal yang sangat penting sebagai negara hukum.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan hukun sebagai pembaharuan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum tentunya tidak
dapat dipisahkan dalam pembangunan masyarakat kearah yang lebih baik. Maka dari itulah,
hukum di harapkan mampu mengarahkan atau merekayasa kemana arah peradaban yang hendak
di tuju oleh negara. Tidak semata-mata tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi atau
keinginan masyarakat tanpa ada kontrol dari negara. Seiring dengan perkembangan zaman,
kajian-kajian kritis tentang hukum nasional kitapun terus berkembang. Dan filsafat hukum
menjadi salah satu objek kajian filosofis tentang hukum.
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi,
secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Pythagoras, salah satu murid Plato,
memahami sophia sebagai “pengetahuan hasil kontemplasi” untuk membedakannya dari
keterampilan praktis hasil pelatihan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlet.
Dengan demikian, dalam belajar filsafat kita berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dan
bukan pengetahuan dalam arti keterampilan praktis.
Filsafat hukum bukan sesuatu yang sulit untuk di pahami, sebagaimana kita memahami atau
merenungkan tentang pengertian filsafat. Menurut Prof. Dr. D.H.M Meuwissen guru besar
Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum adalah filsafat. Oleh karena itu, ia merenungkan
semua masalah fundamental dan masalah yang termarginalkan yang berkaitan dengan gejala
hukum. Sedangkan menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H. (2000: 48) memberikan definisi
filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar
dari hukum. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Dikemukakan dalam ilmu ini
tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Dari pengertian filsafat hukum di atas, jelaslah bahwa filsafat hukum bukanlah sesuatu hal yang
sulit untuk di lakukan. Kita di tuntut hanya untuk merenungkan persoalan-persoalan fundamental
atau merginal dalam kehidupan sosial yang menimbulkan gejala hukum. Maka ketika kita telah
melakukan perenungan tersebut seketika itu juga kita telah dapat di katakan sedang berfilsafat
hukum.
Setelah memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum tentulah dapat di
katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan
masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering). Tentang bagaimana mewujudkan Social
Engineering (Rekayasa Sosial), telah di kemukakan oleh Recoe Pond (1870-1964).
Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun masyarakat.
Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di lindungi, yakni
kepentingan umum (Public Interest), kepentingan sosial (Social Interest), dan kepentingan
masyarakat (Privat Interst).
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi solusi bagi
pembangunan dan pembaharuan masyarakat Indonesia saat ini. Hukum yang Identik dengan
kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat, baik secara umum
maupun pribadi. Kondisi hukum di Indonesia saat ini amatlah memprihatinkan, permasalahan
hukum timbul dari sudut pandang manapun. Di lihat dari sudut pandang Teori dan Politik
Hukum, produk hukum kita cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang
sering kali di terpa isu hukum yakni konflik norma, kekaburan norma dan kekosongan norma,
membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat. Belum lagi
di lihat dari segi penerapan serta penegakannya yang amburadul, dalam hal penegakan dan
penerapan hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan terwujudnya tujuan hukum yakni kepastian
hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi alat untuk mencidrai
tujuan hukum itu sendiri. Sehingga kedaulatan hukum di pertaruhkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini.
Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah yang diambil dalam social
engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan
pemecahannya, yaitu :
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal; social
engineering itu hendak terapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk,
seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sector
mana yang dipilih;
3. Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup berperan
sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran ini oleh sejumlah
ahli hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam filsafat hukum, yaitu
Mahzab Filsafat Hukum Unpad.
Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan praktis, yakni
dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga melihat, urgensi
penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model berpikir Pound ini, lebih-lebih
dirasakan oleh Negara-negara berkembang daripada Negara-negara maju. Hal itu tidak lain
karena mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum semapan di Negara-negara maju.
Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan
keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan dianggap
dan bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah
yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan saran berupa
peraturan hukum yang berbentuk tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan
hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang lain dalam masyarakat
sebenarnya, Konsep Mochtar ini tidak hanya dipengaruhi oleh Sociological Jurisprudence, tetapi
juga oleh Pragmatic Legal Realism.
Lebih jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) berpendapat bahwa pengertian sarana lebih luas dari pada
alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaruan
hukum lebih menonjol, misalnya jika dibanding dengan Amerika Serikat, yang menempatkan
yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada tempat lebih penting, konsep hukum
sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dari penerapan legisme
sebagaimana pernah dirasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang
menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu, dan apabila
hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima resmi sebagai
landasan kebijakan hukum nasional.
Mochtar (1976:10), kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas bahwa walaupun
secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan perundang-undangan
(reschts politik) sekarang ini diterangkan menurut istilah atau konsepsi-konsepsi atau teori masa
kini yang berkembang di Eropa dan di Amerika Serikat, namun pada hakekatnya konsepsi
tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan
dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan bangsa kita.
Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1994:232-233), Mochtar tidak
terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat pribumi harus dilestarikan
seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial. Kebijakan anti-
acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa-apa, sedangkan introduksi hukum Barat
dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya berdampak kecil untuk proses
modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar mengusulkan agar
pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tergesa-gesa dan terlalu pagi
membuat keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, ataukah
untuk secara a priori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional.
Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional, Mochtar
menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk menentukan bidang
hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan berkembang sendiri.
Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang tidak netral, pembangunannya diupayakan
sedekat mungkin berhubungan dengan budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk
bidang hukum lain, seperti kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum
perundang-undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral seperti komunikasi, pelayaran,
pos dan telekomunikasi model yang telah dikembangkan dalam system hukum asing pun dapat
saja ditiru.
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar tentang kodifikasi dan unifikasi
hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas secara selektif pada hukum yang
tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat (setidak-tidaknya untuk
sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional
bertahun-tahun lamanya.Ide law as a iool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara
selektif untuk mengfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan
tak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide
seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, karena ide untuk
mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan netral yang juga hukum ekonomi, tanpa
melupakan tentu saja hukum tatanegara manakala sempat diselesaikan dengan hasil baik akan
sangat diharapkan dapat dengan cepat membantu penyiapan salah satu infrastruktur politik dan
ekonomi.
Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua ahli hukum
sependapat dengan perkembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan hukum baru
atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan internasional, dengan maksud
untuk memperoleh sarana yang berdayaguna membangun infrastruktur politik dan ekonomi
nasional dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang tidak netral atau
belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju berpendapat, upaya demikian terlalu
menyimpang dari tradisi.
Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada kontinuitas
perkembangan hukum dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional). Golongan kedua adalah
mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari hukum rakyat
yang ada, yaitu hukum adat. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya berjudul Indonesian
Law Commentary and Teaaching Materials (1985) dan The Struggle or National Law in
Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh Pengacara di Jakarta,seperti
Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari
gerakan yang telah berumur tua, sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya yang mampu
bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut adalah (almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe.
Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya disadari sepenuhnya
oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa pembinaan hukum nasional secara
menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (problem areas), yaitu: 1) Inventarisasi dan
kepustakaan hukum, 2) Media dan personil (unsure manusia), dan 3) perkembangan hukum
nasional. Kelompok masalah ketiga, perkembangan hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua
masalah, yaitu 1) Masalah pemilihan bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan 2)
Masalah penggunaan model-model asing.
Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan berbagai ukuran (kriterium), yaitu :
1) Ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), 2) feasibility, dalam hal ini bidang hukum
yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan, dan sosiologis, akan
ditangguhkan pengembangannya, 3) Perubahan yang pokok (fundamental change), yang
maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan) di sini diperlukan karena
pertimbangan-pertimbangan politis,ekonomis dan/atau sosial. Menurut Mochtar (1975:13),
perubahan hukum demikian sering diadakan oleh Negara-negara bekas jajahan dengan
pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Bidang hukum yang biasanya dipilih
adalah hukum agraria, perburuhan, hukum-hukum mengenai pertambangan dan industri. Di
mana ada keinginan untuk menarik penanaman modal asing maka akan ada tarikan antara
keinginan demikian dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar (fundamental change)
dalam perundang-undangan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang menempatkan
pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah.
Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum) asing. Walaupun ada kalanya
menguntungkan untuk menggunakan model-model hukum asing, namun seperti disinggung di
muka, Mochtar menyadari bahwa penggunaan model-model tersebut dapat mengalami
hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah pemakaian menggunakan wujud semua
(adoption) atau dalam bentuk yang sudah diubah (adoption).
Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti yang telah dipaparkan, konsep
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat merupakan konsep pembangunan (atau
pembinaan) hukum yang paling tepat dan relevan sampai saat ini. Masalahnya terletak pada
seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-bidang hukum
yang dianggap netral) telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya. Ada
tiga catatan yang dapat diberikan sebagai pelengkap.Pertama, harus disadari bahwa
bagaimanapun hukum merupakan suatu system, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, pengembangan satu bidang hukum juga akan
berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan perundang-
undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan masalah hukum pertanahan,
yang di Indonesia belum dapat disebutkan sebagai bidang yang netral.Kedua, penetapan tujuan
hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali menyebabkan dampak negatif yang
perlu diperhitungkan. Sebagai contoh, pembentukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sesungguhnya dapat dilihat dalam konteks ini. Produk
hukum tersebut dapat dikatakan sebagai wujud social engineering untuk mengarahkan
masyarakat Indonesia dari kebiasaan tidak disiplin berlalu lintas menjadi berdisiplin. Kendati
demikian, kondisi yang ideal seperti yang diharapkan oleh undang-undang tersebut rupanya
terlalu jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk mengikuti
instrument hukum itu. Akibatnya, stabilitas social (bahkan politik) terganggu. Sebagai
pemecahannya, diberikan beberapa konsensi kepada masyarakat dengan menerapkan isi undang-
undang itu secara bertahap, yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan akan terjadi.
Itulah sebabnya, saran Mochtar Kusumaatmadja untuk melakukan penelitian secara mendalam
terlebih dahulu sebelum membentuk peraturan perundang-undangan yang baru, merupakan
langkah yang sangat baik. Hal ini juga merupakan salah satu langkah penting mengikuti jalan
pikiran social engineering, seperti diungkapkan Satjipto Rahardjo. Tanpa ada penelitian yang
jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti apa living law yang ada, dan bagaimana
perencanaan itu harus dibuat secara akurat.
Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan hukum tertulis
karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini memerlukan peranan
aparat penegak hukum yang professional, untuk memberi jiwa pada kalimat-kalimat tertulis
dalam peraturan perundang-undangan. Aparat hukum, khususnya hakim, harus mampu menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-
Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan
kemudian menggunakan nilai-nilai yang baik dalam rangka menerjemahkan ketentuan hukum
yang berlaku.
Sebagai negara hukum, hukum hendaknya di lihat sebagai satu kesatuan sistem yang
terintergritas dan saling berhubungan. Meskipun pengertian negara hukum dalam UUD 1945
sangat subyektif. Bila dalam berbangsa pembuatan hukum cenderung lebih dominan dari pada
penegakan hukum, maka hukum akan mengalami ketimpangan dalam membangun masyarakat
dan negara.
Hukum sebagai satu kesatuan sistem, maka di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen
kaidah, elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang di
tentukan oleh norma/aturan. Ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup:
3) Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai kegiatan
penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan orang;
Prof. Jimly menjelaskan bahwa keseluruhan dari kegiatan diatas di jalankan melalui tiga fungsi
kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam keseluruhan komponen, elemen,
hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup
pengertian sistem hukum yang harus di kembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia
berdasarkan UUD 1945.
Jelaslah bahwa, ketiga fungsi lembaga kekuasaan tersebut diatas harus berperan aktif dan
bertanggung jawab dalam menjadikaan hukum sebagai alat pembangunan serta pembaharuan
masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, budaya hukum yang baik harus tumbuh dan
berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga negara hukum yang tertuang dalam
UUD 1945 dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Namun, lain lagi dengan apa yang di kemukakan oleh Von Savigny yang mengatakan bahwa “
hukum berubah jika masyarakatnya berubah”. Teori ini sepintas terkesan membiarkan hukum
tumbuh dan berkembang secara alami di tengah kehidupan masyarakat. Namun, sebenarnya
implisit di dalamnya bahwa hukum itu di pengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luarnya termasuk
oleh sub sistem politiknya.
Teori hukum merupakan landasan teoristis dalam proses pembuatan hukum. Kajian teori hukum
lebih pada hukum sebagai proses, bukan hukum sebagai produk. Proses yang di maksudkan, bisa
saja proses pembuatan hukum yang ideal, dan proses penegakan hukum yang ideal. Pada proses
pembuatan hukum nasional kita, teori hukum di interpretasikan kedalam politik hukum kita
yang mengandung rechts idea tentang keadilan serta perlindungan terhadap segenap rakyat
Indonesia.
Sebagai bangsa yang multi etnik, pembentukan serta penegakan hukum nasional kita tentulah
tidak mudah untuk di lakukan. Banyak faktor yang harus di pertimbangkan agar hukum dapat di
terima oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan lain-lain.
Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah pruduk hukum
yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan masyarakat.
Dalam pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang harus terpenuhi,
yakni:
3. Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif. Artinya, hukum haruslah dapat di pahami
dalam bahasa yang dapat dipahami dalam interaksi antar warga negara dengan negara
(penguasa);
4. Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam aturan harus
dapat mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.
Produk hukum yang responsiflah yang dapat di jadikan sarana untuk membangun masyarakat.
Namun, dalam prakteknya produk hukum kita jauh dari produk hukum yang responsif.
Kebanyakan produk hukum Indonesia bersifat represif. Banyak Undang-Undang yang di bentuk
berpihak pada kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya. Contohnya UU
tentang Partai Politik, UU Ormas, dan lain-lain.
Pembentukan hukum yang responsif tidaklah mudah untuk di lakukan di tengah keberagaman
karakter masyarakat Indonesia. Namun, Indonesia harus tetap optimis dalam hal menjadikan
hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Dengan ideologi Pancasila,
dan amanat konstitusi UUD 1945 seharusnya Indonesia telah dapat menjadikan hukum sebagai
sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Namun, dalam prakteknya hukum kembali
tunduk dengan penguasaan atas kepentingan politik penguasa.
Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses penegakan hukum.
Kalau, melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini, Indonesia belum pantas di katakan
sebagai negara yang berdaulat dalam hukum. Dalam hal penegakan hukum, bangsa ini selalu
mengalami persoalan diskriminatif terhadap keadilan yang merupakan tujuan hukum.
Seharusnya proses penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam hal mencapai tujuan
hukum, yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban.
Dalam penegakan hukum Friedman dalam teorinya “ Three Elements Of Legal System”
mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang sangat menentukan dalam penegakan hukum, yakni :
1. Legal Structure (Pranata Hukum)
2. Legal Subtance (Subtansi Hukum)
3. Legal Culture (Budaya Hukum)
Ketiga elemen yang di maksudkan oleh Friedman adalah saling ketergantungan dalam hal agar
hukum dapat di tegakkan. Budaya hukum yang baik, subtansi hukum atau produk hukum yang
baik, serta pranata hukum yang baik menjadi syarat agar hukum dapat di tegakkan dengan
baik.Banyaknya sistem hukum yang menjadi sumber pembentukan hukum di Indonesia
membuktikan bahwa Indonesia kaya dengan khasanah ilmu hukum. Namun, kesemua sistem
yang ada haruslah dapat di terapkan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pengertian negara hukum dalam UUD 1945 kita
terkesan sangat subyektif.
Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala macam
bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya. Bila dibenturkan dengan
kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di ciptakan sederajat dengan manusia yang
lainnya. Yang membedakan manusia yang satu di hadapan Tuhannya adalah amalan selama
perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan pada saat kelahirannya di muka bumi. Ketika
kelahiran manusia di muka bumi, mereka memiliki kesamaan status, yakni fitrah. Sebagai
makhluk yang sederajat, manusia juga memiliki hak dan kewajiban yang sama antara manusia
satu dengan yang lainnya. Seiring dengan perjalan waktu, manusia tumbuh dan berkembang
sebagai makhluk sosial. Di katakan sebagai makhluk sosial tentulah bukan sebagai makhluk
individualistik. Namun , persolan persamaan derajat tetap berlaku dalam interaksi sosialnya
sebagai makhluk sosial. Dalam hal manusia hidup di tengah komunitas sosial, ini menunjukkan
bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah berbaur dalam sebuah komunitas sosial,
persoalan persamaan derajat yang awalnya sangat individualistik ketika manusia itu lahir (fitrah).
Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial yang selalu dalam interaksi sosial dalam
komunitasnya, persoalan persamaan derajat dalam kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah
harus di maknai sebagai hak untuk saling menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut dengan
Hak Azasi Manusia.
Dalam komunitas sosial, manusia secara individual tetap ingin menjaga hak
kesederajatannya dalam menggapai tujuan hidup dengan manusia lainnya. Namun, dalam
prakteknya manusia tetap saja tidak bisa mewujudkan apa yang di inginkan dalam hidupnya
secara individualistik. Akhirnya, munculah struktur sosial yang membutuhkan kekuasaan untuk
mengatur interaksi sosial manusia.
Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan dalam bentuk
organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter, ataupun
legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya.
Namun, menurut Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, S.H “kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi
tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan menusia, karena
mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu,
kekuasaan yang berdasarkan pada ketida legitimasi tersebut akan menjadi kekuatan yang obsolut,
karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang
berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam hal menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan
yang didirikan berdasarkan ketiga legtimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan
yang otoriter”.
Menurut Prof. Jimly, konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Namun, dengan ketentuan
bahwa demokrasi harus benar-benar dapat menjadi wadah kedaulatan rakyat secara utuh.Tidak
hanya sekedar berdemokrasi dalam politik, tapi lebih dari itu, berdaulat dalam hukum sebagai
suatu kesatuan sistem negara hukum . Sehingga, barulah bisa menjadikan hukum sebagai sarana
untuk pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya
berada tangan rakyat. Demokrasi hendaknya dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum,
hukum sebagai panglima bagi rakyat. Karena berdemokrasi adalah wadah untuk menampung
aktivitas dari interaksi sosial, dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa
yang akan menjadi pengurus dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sangat di sayangkan,
dewasa ini hukum tidak di beri ruang untuk dapat mengatur interaksi sosial di atas norma-norma
yang ada. Sehingga, demokrasi terkesan berjalan sendiri tanpa arah. Yang jelas, dalam rangka
pembanguan dan pembaharuan masyarakat. Dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah
adalah hukum, bukan manusia. Maka dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi
konstitusi. Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi dari konsep negara hukum, sekaligus
merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial
tertinggi. Jadi, jelaslah bahwa antara demokrasi dan kedaulatan hukum (Nomokrasi) tidak dapat
di pisahkan. Apa lagi sebagai negara hukum, hukum tentunya di harapkan dapat menjadi sarana
untuk kemajuan demokrasi. Karena demokrasi merupakan salah satu wadah bagi hukum untuk
dapat berperan sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita saat ini tidak
sedang berada pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan filosofis dan teoritis.
Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, dengan kemajemukan etnis, suku, dan ras yang
kita miliki, kedudukan hukum kita lebih di tunjukkan oleh suatu sistem hukum yang terintegrasi
dan saling berhubungan dalam sebuah hirraki sebagai negara hukum.
Dalam prakteknya sebagai negara hukum, Indonesia terkesan lebih serius dalam
pembentukan hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh banyaknya
sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia. Bangsa kita mengalami
kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang benar-benar dapat melindungi
segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh kemajemukan budaya yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan hukum yang responsif serta aspiratif
selalu menemukan kendala, baik dalam pembentukannya ataupu dalam penegakannya.Bangsa
Indonesia memerlukan perhatian khusus dalam hal penegakan hukum dari produk hukum yang
telah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman dalam teorinya Three Elements Of
Legal System bahwa dalam penegakan hukum hendaknya kita memiliki budaya, suntansi, serta
pranata hukum yang baik. Namun, dalam prakteknya di Indonesia ini tentulah tidak mudah untuk
di laksanan secara utuh. Menurut Prof.
Johni Najwan bila pranata hukum kita sudah baik, maka penegakan hukum kita sudah
bisa berjalan dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi hukum yang kurang
mendukung. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan moral para penegak hukum dalam
menegakan hukum, terutama dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan
pembangunan masyarakat.Dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembaharuan dan
pembangunan masyarakat. Hukum di harapkan dapat melindungi segenap kepentingan
rakyatnya. Baik kepentingan umum, sosial, dan pribadi warga negaranya. Begitu juga dalam
pembentukan hukumnya, hendaknya produk hukum yang responsif benar-benar dapat di
wujudkan dalam satu sistem negara hukum kita.
1.c
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan makna
dari filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar
dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar
itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif.
Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut
pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata
hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-
bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai
fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan
menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa
“ilmu hukum” atau “jurisprudence” juga mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak
berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-nama untuk satu
bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh
penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan
ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang
baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan
disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi
dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam
menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya
atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir,
fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak
karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil
pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara
diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara pembuat
Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu membelokkan makna
peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah “mafia peradilan”. Produk
hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum jatuh. Manusia lepas dari
jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas secara sistematik sehingga perkara
tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya lenyap tertimbun
masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat
memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak
menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi
yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi,
karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas
dengan tujuan tertentu. Hukum hanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal
politik sulit ditemukan arahnya. Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis
partai yang mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan dan target
yang dikehendaki.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk membangun kondisi
hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum
secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan
yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal
dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan
hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari ilustrasi latar belakang di atas
penulis tertarik megambil judul makalah mengenai hakekat, pengertian hukum sebagai obyek
telaah filsafat hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering
mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat
diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin
mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika
mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga
berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir
dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi
mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala
pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan
menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum.
Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in
abstracto.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”,
dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku
subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia
yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan
kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar,
dan sah.
Perlu diketahui bahwa pengertian hukum yang akan dikemukakan berangkat dari
pemahaman akan makna dari filsafat hukum. Hubungannya dengan filsafat hukum, maka
tentunya perlu adanya pengetahuan awal mengenai filsafat itu sendiri dan sudah banyak
pengertian tentang filsafat tersebut menurut para filsuf yang memberikan persepsinya mengenai
filsafat, diantaranya :
a. Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
b. Aristoteles, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
c. Al Farabi, filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang
sebenarnya.
d. Descartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan
antropologi.
Olehnya itu untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus
mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa
hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia
agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah
sub dari cabang filsafat manusia. yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku.
Dengan demikian, hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu
definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari
Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die
juristen eine Definition zu ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang
dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-
ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang
dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang
menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam
suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus
berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang
menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang
sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin
keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. Selanjutnya O. Notohamidjojo (1975)
berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara,
yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam
masyarakat. Definisi-definisi tersebut menggambarkan betapa luas sesungguhnya hukum itu.
Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Pumadi Purbaearaka dan Soerjono Soekanto (1986)
dengan menyebut sembilan arti hukum. Menurut mereka hukum dapat diartikan sebagai: (1) ilmu
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun seeara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
(2) disiplin, yaitu suatu sistem ajaran kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi; (3) norma,
yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata
hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma- norma hukum yang berlaku pada suatu waktu
dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan
kalangan yang berhubungan dengan penegakan hukum (Iawenforcement officer); (6) keputusan
penguasa, yaitu hasil proses diskresi; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindaktanduk atau perikelakuan
"teratur", yaitu perikelakuan yang diulangulang dengan eara yang sama yang bertujuan untuk
meneapai kedamaian; dan (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konscpsikonsepsi abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan hukum seeara memuaskan, kita harus
dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu
pekerjaan yang tidak mudah! Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak
pengertian, tetapi seeara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung
nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu berarti
hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan
demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu.
Di luar norma hukum terdapat norma-norma lain. Purbaearaka dan Soekanto (1989)
menyebutkan ada empat norma, yaitu (I) kepereayaan; (2) kesusilaan; (3) sopan santun; dan (4)
hukum. Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya belum dapat mernberikan
perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma yang keempat, yaitu norma hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya adalah: (1) masih ban yak kepentingan-
kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan
dari ketiga norma sosial tersebut; (2) kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat
perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut belum eukup terlindungi, karena dalam hat terjadi
pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum eukup memuaskan.
Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan
secara langsung didunia ini. Demikian pula jika norma kesusilaan dilanggar, hanya akan
menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan
diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman. Perlindungan yang
diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma
yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan
dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum itu dapat
dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi oleh penguasa.
Di sini terlihat betapa erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu. Kekuasaan yang dimiliki
itupun terbatas sifatnya sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya
jangkau yang terbatas. Kendati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma-norma hukum
yang berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh sebagian ahli
hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini timbul hubungan yang erat
antara hukum kodrat dengan hukum positif. Dari sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul
Seholten ada beberapa ciri-ciri hukum, sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990:
79-90) yaitu:
1. Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan
hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber hukum.
2. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalamrealisasinya. Menurut Prof.
Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan perpaduan sikap
dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut.
3. Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara
wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
5. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan.
Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang dikenal
dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat penggolongan atas
kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum
tentunya mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-
pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”,
merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu,
filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap
bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali.
Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
B. Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian hukum
sebagai obyek telaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat
membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar.
Utamanya kepada para penegak hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar
tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian
mereka mampu menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara
keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Soeyono Koesoemo Sisworo, “Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum”, Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25 UNISSULA, “Dengan semangat Sultan
Agung Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, suatu perjuangan yang
tidak pernah tuntas”.