DOSEN PENGAMPU:
Dr. Ir. HUTWAN SYARIFUDDIN, MP
DAFTAR ISI
1
BAB I PENDAHULUAN
2
1.1 LATAR BELAKANG
2
1.2 TINJAUAN MASALAH
4
1.3 TUJUAN
5
1.4 MANFAAT
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
6
2.1. ANALISIS KEBIJAKAN...........................................................................
2.2. FAKTA, KARATERISTIK, STAKEHOLDER DAN ATURAN
HUKUM..................................................................................................
2.2.1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.................
2.2.2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang Ulasan terhadap isi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan hutan kota...........................
2.2.3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Penataan RuangTerbuka Hijau Kawasan Perkotaan Ulasan
1
terhadap isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
hutan kota................................................................................................
2.2.4 Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 06 Tahun 2009 Tentang
Hutan Kota Ulasan terhadap isi peraturan daerah, peraturan
pemerintah dan perundang- undangan Republik Indonesia yang
terkait dengan hutan kota........................................................................
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................
3.1 Ketersediaan Taman di Kota Jambi........................................................
3.2 Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk......................................................
3.3 Strategi Pengembangan Taman di Kota Jambi.......................................
3.4 Hasil Analisis SWOT................................................................................
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Perkembangan pembangunan hutan kota sangat ditentukan oleh
kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam fungsi regulasi Peraturan Daerah
Kota Jambi dan PEMDA merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam
penyediaan dan penetapan tujuan dan fungsi hutan kota. Berikut disampaikan
Evaluasi yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan
dan pengelolaan hutan kota.
Bahwa perkembangan dan pertumbuhan kota disertai alih fungsi lahan
yang sangat pesat, serta pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan
tidak terkendali, telah menimbulkan kerusakan linglungan dan menyebabkan
terjadi perubahan iklim dan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
lingkungan serta mengantisipasi dampak negatif dari perubahan iklim, maka
perlu di bangun hutan kota untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan
ekosistem perkotaan.
4
Dalam perencanaan pembangunan hutan kota berdasarkan Peraturan
Daerah Kota Jambi Nomor 06 Tahun 2009, persentase luas bangunan sipil
teknis untuk masing-masing tipe hutan kota diatur sebagai berikut :
a. Tipe kawasan pemukiman maksimal 10%
b. Tipe kawasan industri maksimal 2,5%
c. Tipe rekreasi maksimal 15%
d. Tipe pelestarian plasma nitfah maksimal 5%
e. Tipe perlindungan maksimal 2,5%
f. Tipe pengamanan maksimal 2%
1.2 Tinjauan Masalah
Tinjauan masalah dalam penulisan ini antara lain :
1. Sejauh mana implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, di wilayah Provinsi
Jambi.
2. Permasalahan apa yang terjadi di lapangan dan bagaimana solusi yang
dapat diberikan.
5
3. Bagaimana hasil evaluasi kebijakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, di wilayah
Provinsi Jambi.menggunakan analisis SWOT.
1.3 Tujuan
Tujuan dilakukannya pembahasan kebijakan pelaksanaan
pengangkutan batubara dalam Provinsi Jambi :
1. Mengetahui atau memberikan informasi mengenai implementasi kebijakan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 63 Tahun 2002 tentang
Hutan Kota, di wilayah Provinsi Jambi.
2. Mengetahui permasalahan yang terjadi di lapangan dan memberikan solusi
terhadap hal tersebut.
3. Mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, di wilayah Provinsi
Jambi.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat penulisan paper yang berjudul kebijakan pelaksanaan
pengangkutan batubara dalam Provinsi Jambi ini adalah :
1. Dapat melakukan pengkajian terhadap pelaksanaan kebijakan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, di
wilayah Provinsi Jambi.
2. Dapat melakukan pendekatan dari permasalahan yang terjadi.
3. Dapat menganalisis dan mengevalusi pelaksanaan kebijakan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, di
wilayah Provinsi Jambi.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Dalam Undang-Undang 41/1999, bahwa pengaturan hutan kota
sifatnya hanya sebatas himbauan dan tidak mewajibkan pemerintah kota untuk
melakukan pembangunan dan pengembangan hutan kota. Pengaturan yang
tidak tegas ini berimplikasi pada keseriusan pemerintah kota untuk membangun
hutan kota. Kecenderungan saat ini bahwa pembangunan hutan kota bukan
merupakan kebutuhan yang mendesak karena pemerintah kota berprinsip
bahwa daya dukung perkotaan masih mampu mengatasi permasalahan
lingkungan. Kecendrungan hutan kota dinilai belum terlalu mendesak
dibandingkan pembangunan lainnya yang bersifat pelayanan publik dan
menyentuh masyarakat banyak.
Untuk itu sangat rasional apabila dilakukan revisi terhadap Undang-
Undang 41/1999 tentang Kehutanan khususnya aspek-aspek yang mengatur
tentang hutan dalam penyeimbang lingkungan. Pengaturan ini penting
dilakukan karena apabila tidak ada ketegasan maka arahan pembangunan
hutan kota bukan meupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan
segera. Kondisi lain yang memperkuat perlu di lakukan revisi terhadap Undang-
Undang 41/1999 karena Undang-Undang tersebut sudah tidak sejalan dengan
perkembangan kondisi hutan dan kehutanan Indonesia khususnya yang terkait
dengan pentingnya fungsi pengaturan hutan untuk tujuan perbaikan lingkungan
hidup di kawasan Perkotaan.
8
pembinaan dan pengawasan, (4) peran serta masyarakat, (5) pembiayaan, (6)
sanksi, (7) ketentuan peralihan dan (8) ketentuan penutup.
Dalam peraturan ini pengertian hutan kota yang megadopi pengertian
hutan pada Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa
pengertian hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-
pohon yang kompak dan rapat didalam wilayah perkotaan baik pada tanah
Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat
yang berwenang.
Proses penyelenggaraan hutan kota meliputi penunjukan,
pembangunan, penetapan dan pengelolaan dilaksanakan oleh Walikota dan
Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Lokasi hutan
kota merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan, dimana lokasi
yang ditunjuk sebagai hutan kota dapat berada pada tanah negara atau tanah
hak. Terhadap tanah hak yang ditunjuk sebagai lokasi hutan kota diberikan
kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan yang berlaku.
Penunjukan lokasi hutan kota didasarkan pada pertimbangan luas wilayah,
jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota. Luas hutan kota
dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 hektar dan presentase
luas hutan kota paling sedikit 10 % dari wilayah perkotaan atau disesuaikan
dengan kondisi setempat.
Rencana pembangunan hutan kota disusun berdasarkan kajian dari
aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial dan budaya masyarakat setempat.
Rencana pembangunan hutan kota memuat rencana teknis tentang tipe dan
bentuk hutan kota. Tipe hutan kota meliputi : tipe kawasan permukiman,
kawasan industry, rekreasi, pelestarian plasma nutfah, perlindungan dan tipe
pengamanan. Sementara itu bentuk hutan kota yang akan dibangun harus
menyesuaikan karakteristik lahan. Bentuk hutan kota tersebut dapat berbentuk
jalur, mengelompok atau menyebar. Untuk melaksanakan pembangunan hutan
kota, tahapan kegiatan yang dapat dilakukan yaitu : penataan areal,
penanaman, pemeliharaan dan pembangunan sipil teknis.
Pengelolaan hutan kota dilakukan sesuai dengan tipe dan bentuk hutan
kota agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota.
9
Pengelolaan hutan kota meliputi tahapan : penyusunan rencana pengelolaan,
pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan, pemanfaatan dan pemantauan
dan evaluasi. Pengelolaan hutan kota yang berada di tanah Negara
dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan atau masyarakat. Pengelolaan hutan
kota yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan hutan kota, maka pengelola
diwajibkan untuk menyusun rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan yang meliputi : penetapan tujuan pengelolaan,
penetapan program jangka pendek dan jangka panjang, penetapan kegiatan
dan kelembagaan dan penetapan sistem monitoring dan evaluasi.
Pemeliharaan hutan kota diarahkan dalam rangka menjaga dan
optimalisasi fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang tumbuh,
diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh. Sementara itu
perlindungan dan pengamanan hutan kota dilaksanakan dengan tujuan untuk
menjaga keberadaan hutan kota dalam kondisi tetap berfungsi secara optimal.
Upaya perlindungan dan pengamanan hutan kota meliputi : pencegahan dan
penanggulangan kerusakan hutan, pencurian flora dan fauna, kebakaran hutan
dan pengendalian hama penyakit.
Untuk itu agar hutan kota dapat berfungsi secara optimal maka setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau
penurunan fungsi hutan kota. Selain itu setiap orang juga dilarang untuk
melakukan kegiatan yang mengarah pada kerusakan hutan kota antara lain :
(1) membakar hutan kota, (2) merambah hutan kota, (3) menebang, memotong,
mengambil dan memusnakan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari
pejabat yang berwenang, (4) membuang benda-benda yang dapat
mengakibatkan kebakaran atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan
kota, dan (5) mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara
tidak sah.
Disamping sebagai fungsi ekologi, hutan kota juga dapat dimanfaatkan
untuk keperluan : (a) pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga, (b)
10
penelitian dan pengembangan, (c) pendidikan, (d) pelestarian plasma nutfah
dan atau (e) budidaya hasil hutan bukan kayu.
Pada prinsipnya pemanfaatan hutan kota dapat dilakukan sepanjang
tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagai fungsi ekologi. Dalam hal
pembinaan dan pengawasan maka secara hirarki, menteri kehutanan
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang
dilaksanakan oleh gubernur. Menteri kehutanan dapat melimpahkan pembinaan
atas penyelenggaraan hutan kota di Kab/Kota kepada Gubernur selaku wakil
pemerintah di daerah. Pembinaan pemerintah meliputi : pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan dan supervise. Disamping itu juga pemerintah
melakukan pembinaan hutan kota yang dikelola oleh masyarakat.
Mengingat keberhasilan pembangunan hutan kota bukan hanya
ditentukan oleh pemerintah saja melainkan merupakan kerjasama antara
pemerintah dengan masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan
peran serta masyarakat melalui kegiatan : (a) pendidikan dan pelatihan, (b)
penyuluhan, (c) bantuan teknis dan insentif. Peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan hutan kota dapoat berbentuk : (a) penyediaan lahan untuk
penyelenggaraan hutan kota, (b) penyandang dana dalam rangka
penyelenggaraan hutan kota; (c) pemberian masukan dalam penentuan lokasi
hutan kota, (d) pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi
dalam masalah penyelenggaraan hutan kota, (e) kerjasama dalam penelitian
dan pengembangan, (f) pemberian informasi, saran, pertimbangan atau
pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota, (g) pemanfaatan hutan kota
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (h) bantuan
pelaksanaan pembangunan, (i) bantuan keahlian dalam penyelenggaraan
hutan kota, (j) bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan
pengelolaan, (k) menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.
Dalam hal pembiayaan, pembangunan hutan kota menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan atau sumber dana lainnya yang sah.
11
2.2.3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Ulasan terhadap isi peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan hutan kota
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengatur tentang penataan ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang
udara, termasuk ruang didalam bumi maupun sebagai sumberdaya. Dan
merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan ruang.
Adapun tujuan dari penerbitan Undang-Undang 26/ 2007 adalah agar upaya
pengelolaan tata ruang dapat berjalan secara bijaksana, berdaya guna dan
berhasil guna untuk keberlajutan sumberdaya demi terwujudnya kesejahteraan
umum dan keadilan sosial.
Undang-Undang 26/ 2007 tentang Penataan Ruang secara material
terdiri dari 13 Bab dan 80 Pasal. Salah satu yang menarik dari Undang-Undang
ini adalah asas yang dicantumkannya, yaitu (a) keterpaduan, (b) keserasian,
keselarasan dan kesimbangan, (c) keberlanjutan dan (d) keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan, (e) keterbukaan, (f) kebersamaan dan kemitraan, (g)
perlindungan kepentingan umum, (h) kepastian hukum dan keadilan dan (i)
akuntabilitas.
Berdasarkan asas yang dimunculkan tersebut, dapat dikatakan bahwa
telah ada kesadaran untuk memasukan prinsip-prinsip demokrasi. Undang-
Undang penataan ruang ini mengatur tentang hak dan kewajiban, perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian; tentang rencana tata ruang, serta wewenang
dan pembinaan. Penataan ruang, baik wilayah tingkat nasional, tingkat provinsi
ataupun tingkat kabupaten/kotamadya dilakukan secara terpadu (intergrated)
dan tidak dipisah-pisahkan. Untuk wilayah yang meliputi lebih dari satu
kawasan propinsi, penyusunannya dikoordinasikan oleh Menteri untuk
kemudian dipadukan kedalam rencana tata ruang wilayah provinsi yang
bersangkutan, dan untuk kawasan yang melebihi satu kawasan daerah
kabupaten dilakukan oleh Gubernur. Penataan ruang tingkat provinsi dan
kabupaten/kotamadya disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang
12
lautan dan udara sampai batas tertentu. Pelaksanaan penataan ruang
dilaksanakan dalam kerangka otonomi daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam Undang-Undang ini secara tegas tidak mengatur tentang hutan
kota tetapi mengatur Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai bagian dari Tata
Ruang Wilayah Kota. Dalam panataan ruang khususnya dalam perencanaan
tata ruang wilayah kota maka perencanaan tata ruang meliputi : (a) rencana
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; (b) rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka non hijau; dan (c) rencana penyediaan dan
pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum,
kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan
pusat pertumbuhan wilayah.
Dalam hal ruang terbuka hijau, terdiri dari ruang terbuka hijau public
dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada kota paling
sedikit 30 % dari luas wilayah dan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah
kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.
Yang dimaksud Ruang Terbuka Hijau dalam Undang-Undang ini
merupakan ruang terbuka hijau yang dikelola oleh pemerintah daerah kota yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang
terbuka hijau publik, antara lain, adalah hutan kota, taman kota, taman
pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, danau dan pantai.
Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun dan
halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
13
menurunnya daya dukung lahan dalam menopang kehidupan masyarakat
diperkotaan. Dan merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
khususnya dalam penataan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan. Dan
mengatur jenis Ruang Terbuka Hijau meliputi : taman kota, taman wisata alam,
taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan pemukiman, taman
lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota,
hutan lindung, bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar
alam, kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga,
lapangan upacara, parker terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah
tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ
dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan
pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zona) lapangan
udara dan taman atap (roof garden).
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) meliputi
kegiatan peencanaan, pemanfaatan dan pengamanan. Dalam hal perencanaan
RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang
wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Luas ideal RTHKP minimal 20 % dari luas
kawasan perkotaan yang mencakup RTHKP public dan privat. Perencanaan
pembangunan RTHKP memuat jenis, lokasi, luas, target pencapaian luas,
kebutuhan biaya, target waktu pelaksanaan dan desain teknis, untuk itu
perencanaan pembangunan perlu melibatkan para pelaku pembangunan.
Perencanaan pembanguann RTHKP ini lebih lanjut ditetapkan dengan
Peraturan Daerah kabupaten/kota. Selanjutnya perencanaan pembangunan
RTHKP dituangkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) dan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Pemanfaatan RTHKP mencakup kegiatan pembangunan baru,
pemeliharaan dan pengamanan. Dalam pemanfaatan RTHKP publik dikelola
oleh pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku pembanguann dan tidak
dapat dialihfungsikan. Pemanfaatan RTHKP dapat dikerjasamakan dengan
pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah. Pemanfaatan RTHKP privat
14
dikelola oleh perseorangan atau lembaga badan hukum sesuai peraturan
perundang-undangan. Dalam pemanfaatan RTHKP diperkaya dengan
memasukan berbagai kearifan local dalam penataan ruang dan kontruksi
bangunan taman yang mencerminkan budaya setempat.
Dalam hal pengendalian, lingkup pengendalian RTHKP meliputi : target
pencapaian luas minimal, fungsi dan manfaat, luas dan lokasi, kesesuaian
spesifikasi konstruksi dengan desain teknis. Pengendalian RTHKP dilakukan
melalui perijinan, pemantauan, pelaporan dan penertiban, dimana penebangan
pohon diareal RTHKP publik dibatasi secara ketat dan harus seizin kepala
daerah. Penataan RTHKP melibatkan peran serta masyarakat, swasta,
lembaga/badan hukum dan atau perseorangan. Peran serta masyarakat dimulai
sejak pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian. Peranserta dapat dilakukan dalam proses pengambilan
keputusan mengenai penataan RTHKP, kerjasama dalam pengelolaan,
kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan maupun tenaga fisik untuk
pelaksanaan pekerjaan.
Dalam hal pelaporan, pembinaan dan pengawasan, Bupati/Walikota
melaporkan kegiatan penataan RTHKP kepada Gubernur dan selanjutnya
dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri paling sedikit 1(satu) tahun sekali dan
sewaktu-waktu apabila diperlukan. Secara berjenjang Bupati/Walikota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTHKP, Gubernur
mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTHKP
Kabupaten/Kota.
Dalam rangka meningkatkan kinerja penataan RTHKP, gubernur dapat
memberikan insentif kepada pemerintah kabupaten/kota yang berhasil dalam
penataan RTHKP. Bupati/walikota dapat memberikan insentif kepada
penyelenggara RTHKP privat yang berhasil meningkatkan kualitas dan
kuantitas sesuai dengan tujuan RTHKP.
Untuk pembangunan, pendanaan penataan RTHKP provinsi bersumber
dari APBD provinsi, partisipasi swadaya masyarakat dan atau swasta serta
pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat. Untuk penataan RTHKP
Kab/Kota, pendanaan bersumber dari APBD kabupaten/kota, partisipasi
15
swadaya masyarakat dan atau swasta serta sumber pendanaan lainnya yang
sah dan tidak mengikat.
16
luas hutan kota paling sedikit 10 % dari wilayah perkotaan atau disesuaikan
dengan kondisi setempat.
Pembangunan hutan kota dilakukan berdasarkan penunjukan lokasi
dan luas hutan kota, dimana pembangunannya dilaksanakan oleh Pemerintah
Kota Jambi. Pembangunan hutan kota meliputi kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan. Perencanaan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Perkotaan. Rencana pembangunan hutan kota disusun
berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial dan budaya
masyarakat setempat. Rencana pembangunan hutan kota memuat rencana
teknis tentang tipe dan bentuk hutan kota. Tipe hutan kota meliputi : tipe
kawasan permukiman maksimal 10%, kawasan industry maksimal 2,5%, tipe
rekreasi 15%, tipe pelestarian plasma nutfah maksimal 5%, tipe perlindungan
maksimal 2,5% dan tipe pengamanan maksimal 2%. Sementara itu bentuk
hutan kota yang akan dibangun harus menyesuaikan karakteristik lahan.
Bentuk hutan kota terdiri atas : a, jalur, b. Mengelompok, c. menyebar. Untuk
Pelaksanaan dan tata cara pembangunan hutan kota, dilaksanakan melalui
tahapan kegiatan: a, penataan areal, b, penanaman, c, pemeliharaan dan d,
pembangunan sipil teknis. Instansi pelaksana pembangunan hutan kota adalah
Dinas Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan. Dan ketentuan lebih
lanjut diatur dengan Peraturan Walikota Jambi.
17
penetapan program jangka pendek dan jangka panjang, c. penetapan kegiatan
dan kelembagaan dan d. penetapan sistem monitoring dan evaluasi.
Pemeliharaan hutan kota dilaksanakan dalam rangka menjaga dan
mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang
tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh.
Pemanfaatan hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. Wisata alam,
b. Rekreasi, c. Olah raga, d. Penelitian dan pengembangan, e. Pendidikan, f.
Pelestarian plasma nutfah dan atau, g. Vudidaya hasil hutan bukan kayu,
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota.
Sementara itu perlindungan dan pengamanan hutan kota bertujuan
untuk menjaga keberadaan dan kondisi hutan kota agar tetap berfungsi secara
optimal. Upaya perlindungan dan pengamanan hutan kota dilakukan melalui
upaya : a. pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan, b. Pencegahan
dan penangulangan pencurian fauna dan flora, c. Pencegahan dan
penanggulangan kebakaran dan, d. Pengendalian dan penanggulangan hama
penyakit.
Untuk itu agar hutan kota dapat berfungsi secara optimal maka setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau
penurunan fungsi hutan kota. Selain itu setiap orang juga dilarang : (a)
membakar hutan kota, (b) Menebang, memotong, mengambil dan
memusnahkan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari pejabat yang
berwenang, (c) Membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran
atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota, (d) Mengerjakan,
menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah. Disamping
sebagai fungsi ekologi, hutan kota juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan :
(a) pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga, (b) penelitian dan
pengembangan, (c) pendidikan, (d) pelestarian plasma nutfah dan atau (e)
budidaya hasil hutan bukan kayu.
Pada prinsipnya pemanfaatan hutan kota dapat dilakukan sepanjang
tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagai fungsi ekologi. Dalam hal
pembinaan dan pengawasan pemerintah meliputi : pemberian pedoman,
18
bimbingan, pelatihan, arahan dan supervise. Disamping itu juga pemerintah
melakukan pembinaan hutan kota yang dikelola oleh masyarakat.
Mengingat keberhasilan pembangunan hutan kota bukan hanya
ditentukan oleh pemerintah saja melainkan merupakan kerjasama antara
pemerintah dengan masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan
peran serta masyarakat melalui kegiatan : (a) pendidikan dan pelatihan, (b)
penyuluhan, (c) bantuan teknis dan insentif. Peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan hutan kota dapoat berbentuk : (a) penyediaan lahan untuk
penyelenggaraan hutan kota, (b) penyandang dana dalam rangka
penyelenggaraan hutan kota; (c) pemberian masukan dalam penentuan lokasi
hutan kota, (d) pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi
dalam masalah penyelenggaraan hutan kota, (e) kerjasama dalam penelitian
dan pengembangan, (f) pemberian informasi, saran, pertimbangan atau
pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota, (g) pemanfaatan hutan kota
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (h) bantuan
pelaksanaan pembangunan, (i) bantuan keahlian dalam penyelenggaraan
hutan kota, (j) bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan
pengelolaan, (k) menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.
Dalam hal pembiayaan, pembangunan hutan kota Jambi menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah Kota Jambi melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kota Jambi (APBD) dan atau sumber dana lainnya yang
sah. Pemantauan dan evaluasi dimaksud untuk meningkatkan kinerja pengelola
melalui penilaian kegiatan pengelolaan secara menyeluruh, hasilnya sebagai
bahan penyempurnaan terhadap pengelolaan hutan kota dan dilakukan secara
periodik diatur dengan Peraturan Walikota Jambi
19
20
BAB III
PEMBAHASAN
21
tempat parkir, plaza (arena serbaguna), toilet, gazebo, papan informasi,
instalasi listrik, dan jaringan drainase (Wibowo & Ritonga, 2016).
Analisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Luas
Wilayah Data diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda), Dinas Lingkungan Hidup (DLHD) dan Dinas Perumahan dan
Kawasan Permukiman (DPKP) Kota Jambi. Penelitian dilakukan dengan cara
analisis deskriptif, perhitungan matematik sederhana dengan menghitung
kebutuhan taman berdasarkan luas Kota Jambi yang sudah direncanakan
dalam RTRW Kota Jambi Tahun 2013-2033, dengan luas eksisting 17.553 Ha.
Ruang terbuka hijau minimal 30%, terdiri dari 20% ruang terbuka hijau Publik
dan 10% ruang terbuka hijau privat.
Analisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Jumlah
Penduduk Untuk mendapatkan data jumlah penduduk, diperoleh data dari
Biro Pusat Statistik (BPS) Kota Jambi. Untuk menentukan luas ruang
terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan
antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas ruang terbuka
hijau perkapita, sesuai peraturan yang berlaku. Kebutuhan ruang terbuka
hijau per penduduk, ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 05/PRT/M/2008 (9-10) tentang pedoman penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan.
22
dapat digunakan, dalam penentuan strategi kebutuhan dan ketersediaan taman
di Kota Jambi. Selain itu informasi lain yang mendukung diantaranya kondisi
umum wilayah, kondisi umum taman dan informasi taman lainnya. Analisis
SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities) namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan
ancaman (Threats).
23
Pemaparan strategi pengembangan taman sebagai ruang terbuka
hijau yang diperoleh dari matriks SWOT, sebagai berikut.
1. Meningkatkan luas taman publik dalam memenuhi fungsi intrinsik dan
ekstrensik, yang dapat dimanfaatkan masyarakat secara luas dan
bersama-sama Sebagai penyumbang udara segar dan bersih, vegetasi
pada taman juga berfungsi sebagai sirkulasi udara (paru-paru kota),
pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami
dapat berlangsung lancar. Selain itu, perubahan pola pikir dan
meningkatnya kesadaran masyarakat dalam meyakini, bahwa taman
merupakan kebutuhan masyarakat perkotaan yang dapat dijadikan
sebagi ruang publik, tempat berkumpul dan bersosialisasi, berolahraga
dan rekreasi yang mudah aksesbilitasnya dan murah (gratis).
2. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya taman sebagai bagian
ruang terbuka hijau, serta pemanfaatan dan penggunaan teknologi tepat
guna Tugas utama dari organisasi perangkat daerah (OPD) dalam hal ini
Dinas Lingkungan Hidup, adalah mensosialisasikan secara intens dan
memfasilitasi ketersediaan taman secara merata diseluruh wilayah
Kelurahan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun
2013 tentang rencana tata ruang wilayah pasal 47 ayat 3 huruf a yang
menyatakan, bahwa ruang terbuka hijau taman sebesar kurang lebih
875,90 Ha di seluruh wilayah Kelurahan. Artinya, Pemerintahan
Daerah Kota Jambi berkewajiban menyediakan taman seluas
875,90 Ha atau 4,99% diseluruh wilayah Kota Jambi. Upaya yang
dilakukan dapat berupa kampanye dan penyebaran informasi secara luas
kepada masyarakat, misalnya membuka Website sebagai media
informasi (P2KH, 32-33). Selain itu kunjungan langsung ke
lingkungan masyarakat juga dapat membawa dampak positif bagi peran
serta masyarakat, bekerjasama dengan dunia pendidikan baik atas inisiatif
organisasi perangkat daerah (OPD) maupun undangan dari perguruan
tinggi, sekolah dasar sampai menengah atas, memberi materi ke
sekolah-sekolah, mengadakan seminar, workshop, pameran dan lomba
24
karya tulis/ilmiah yang dilakukan secara rutin.Selain itu pemanfaatan
dan penerapan teknologi tepat guna merupakan upaya lain yang
dapat dilakukan, seperti green wall, Verticulture (menanam tanaman
secara vertikal), green roof, roof garden dan menghijaukan bahan yang
diperkeras, seperti menanam rumput pada areal olahraga, parkir dan
gedung.
3. Meningkatkan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta/badan
usaha lainnya dalam perencanaan dan pelaksanaan serta
mensosialisasikan ketersediaan fungsi taman bagi kehidupan dan
lingkungan Swasta merupakan pelaku pembangunan penting dalam
pemanfaatan ruang perkotaan dan ruang terbuka hijau. Terutama
karena kemampuan kewirausahaan yang mereka miliki. Peran swasta
yang diharapkan dalam pemanfaatan ruang perkotaan sama seperti
yang diharapkan dari masyarakat. Hal-hal yang dapat dilakukan pihak
perusahaan/swasta untuk menambah luas taman, yaitu kewajiban pihak
swasta yang akan membangun lokasi usaha (mall, plaza, dan
sebagainya) dengan areal yang luas perlu menyertakan konsep
pembangunan ruang terbuka hijau, bekerjasama dengan pemerintah
dan masyarakat dalam membangun serta pemeliharaan, memfasilitasi
proses pembelajaran kerjasama pemerintah, swasta dan
masyarakat untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan
penyusunan ruang terbuka hijau perkotaan (pemberian pelatihan
pembangunan ruang terbuka hijau, proses diskusi dan seminar,
berperan aktif dalam diskusi dan proses pembentukan kebijakan
publik), mengupayakan bantuan pendanaan bagi masyarakat dalam
realisasi pelibatan dalam pemanfaatan dan pemeliharaan ruang
terbuka hijau dan menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah
ditetapkan dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa
terkecuali. (Permen PU No.5/PRT/M/2008: 61-62).
4. Meningkatkan luas dan mengkaji distribusi penataan taman yang tidak
merataMenurut rencana aksi kota hijau (RAKH, 2011 :10),
menambah luas taman dapat dilakukam melalui pembelian lahan,
25
untuk memperbanyak pembangunan taman lingkungan dan taman kota.
Seperti pembangunan lahan-lahan interaksi pada setiap RT, RW
yang membebaskan lahan milik masyarakat (200-500 m2) pada
kantong-kantong permukiman padat untuk dikembangkan menjadi
taman interaktif yang direncanakan 2 taman disetiap 267 Kelurahan.
Selain itu melalui program coorporate social responsibility (CSR), yaitu
suatu suatu program kepedulian, perhatian dan tanggung jawab
perusahaan/swasta terhadap lingkungan sekitarnya turut
mendukung penyediaan taman,baik berupa dana, pembebasan
lahan, pengadaan/ penyediaan bibit, sarana dan prasarana.
26
untuk mewujudkan lingkungan hidup perkotaan yang sehat, hijau,
nyaman dan berkelanjutan. Sasaran yang ingin dicapai
terwujudnya pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, penataan
kawasan sepadan sungai dan danau serta perluasan ruang terbuka hijau
(RTH). Dari strategi ini kebijakan yang ingin dicapai adalah menata,
mengelola dan memantapkan ruang kota dan lingkungan hidup,
meningkatkan dan memperluas ruang terbuka hijau (RTH).
Peningkatan kawasan resapan air dan kawasan hijau melalui
penyediaan Ruang Terbuka Hijau (Rencana Strategi Dinas Lingkungan
Hidup Kota Jambi, 2013-2018).
27
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Upaya yang dilakukan untuk memenuhi ketersediaan taman di Kota
Jambi, yaitu dengan menyediakan atau memfasilitasi pengadaan
taman mulai dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW),
tingkat kelurahan dan tingkat kecamatan.
2. Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain :
a) Meningkatkan luas taman publik dalam memenuhi fungsi
intrinsik dan ekstrensik
b) Meningkatkan kesadaran akan pentingnya taman, serta
pemanfaatan dan penggunaan teknologi tepat guna dan
perlunya melakukan inovasi
c) Meningkatkan partisipasi dan kerjasama dengan pihak
swasta/badan usaha lainnya dalam perencanaan dan
pelaksanaan, serta mensosialisasikan ketersediaan fungsi
taman bagi kehidupan dan lingkungan
d) Meningkatkan luas dan mengkaji distribusi penataan taman yang
tidak merata.
4.2. Saran
Beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pemerintah dalam membangun taman publik di Kota Jambi, yaitu:
1. Pemerintah Kota Jambi, seharusnya lebih serius lagi dalam
hal menyediakan taman, baik luas maupun distribusinya
termasuk sarana dan prasarana pendukung taman
2. Perlu disusun rencana pembangunan taman dalam jangka
pendek, seperti merencanakan target minimal luas taman
publik yang harus dibangun oleh pemerintah setiap tahun.
3. Meningkatkan peran swasta dan lembaga lainnya untuk
mendukung upaya pemerataan Kota Jambi dalam membangun
taman melalui program coorporate social responsibility (CSR).
4. Pemerintah Kota Jambi perlu memperkuat kajian-kajian
pendukung perencanaan dan mendorong terlaksananya (action)
strategi pengembangan ketersediaan dan kebutuhan taman
sebagai ruang terbuka hijau.
5. Bagi kecamatan dalam Kota Jambi yang belum menyediakan luas
taman sesuai kebutuhan, berdasarkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008, maka harus
menyediakan lokasi untuk taman kota.
28
DAFTAR PUSTAKA
29