Kata tripama sendiri berasal dari gabungan kata tri ‘tiga’ dan umpama ‘perumpamaan’, merujuk pada tiga
tokoh dalam dunia pewayangan yaitu Patih Suwanda dari Maespati, Kumbakarna dari megeri Alengka
dan Adipati Basukarna dari Awangga. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi
pada negaranya, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga.
Sikap ketiga tokoh itu juga menggambarkan berbagai macam nilai yang ada di dalam Etika Jawa sehingga
patut menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kumbakarna adalah pejuang tanpa pamrih, tidak untuk kepentingan derajat, pangkat, jabatan, dan
kedudukannya. Perjuangannya dilandasi kecintaan kepada tanah air. Berperang tidak untuk menang, tetapi
merupakan wujud pengabdian terakhir bagi nusa dan bangsanya. Ia berjuang tidak untuk mengabdi kepada
raja karena ia tidak sependapat dengan perbuatan rajanya. Kumbakarna memilih gugur sebagai pahlawan,
tidak mau melihat bencana yang menimpa tanah airnya Ia rela mengorbankan hidupnya demi bangsa dan
negaranya.
3. Adipati Karna
Adipati Karna Basusena putra Dewi Kunthi dengan Dewa Suryasangat cakap berolah senjata. Ia diangkat
sebagai saudara oleh Duryudana dan dinobatkan sebagai senapati ‘panglima perang’ Hastinapura. Ia merasa
telah diberi kemuliaan, kekayaan, dan kehormatan. Maka, kewajiban prajurit sejati adalah bertempur di medan
laga walau Ia menyadari tidak akan menang berperang melawan saudaranya, Arjuna. Walaupun demikian
tekadnya betul-betul telah bulat menjalankan darma dan karmanya.
Mangkunagara IV menyadari bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki kelemahan masing-masing yang menurut
pandangan umum masyarakat Jawa harus dihindari. Sumantri yang berani menantang/melawan rajanya
ketika hendak mempersembahkan putri boyongan. Kumbakarna yang berwujud raksasa yang tentunya
wataknya diwarnai oleh sifat-sifat amarah, aluamah, dan supiah yang merupakan sifat kurang baik bagi
seseorang. Karna Basusena yang berani menentang ibunya dan sampai hati menghadapi adiknya di medan
peperangan adalah satu sikap angkuh dan sombong di hadapan masyarakat Jawa. Namun seperti diketahui,
bahwa sifat baik dan buruk itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri setiap orang yang tidak dapat
dipisahkan dari eksistensi manusia dalam kehidupannya. Apalagi kelemahan-kelemahan ketiga tokoh tadi
telah ditebus dengan darma baktinya, yaitu nuhoni trah utama pada diri Sumantri, nuhoni kesatriyane hing tekad
labuh negari pada Kumbakarna, dan ciptanira harsa males sih pada Karna Basusena, sehingga ketiganya
pantas dijadikan sebagai teladan suatu sikap keprajuritan.