Anda di halaman 1dari 47

Mahabharata 4 (Tamat)

Mahabharata 4 (Tamat)
Bhismaparwa
Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting MahaBharata karena kitab keenam ini
mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua
pasukan, pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum
Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua
pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri.
Iapun menjadi sedih karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna
teringat bagaimana mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang
berhadapan satu sama lain sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan.
Wejangannya ini disebut dengan nama Bhagawad Gita atau Gita Sang Bagawan, artinya
adalah nyanyian seorang suci.
Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa.
Bisma mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan
sendiri. Lalu ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada tempat tidur panahnya
(saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai
ia terjatuh tetapi tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.
Divisi pasukan dan persenjataan
Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi-bagi ke dalam
divisi (akshauhini). Setiap divisi berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
21.870 pasukan berkereta kuda
21.870 pasukan penunggang gajah
65.610 pasukan penunggang kuda
109.350 tentara biasa
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total
pasukan=1.530.900 orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan=2.405.700
orang. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang= 3.936.600 orang. Jumlah pasukan
yang terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan
gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India.
Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif,
contohya: panah; tombak; pedang; golok; kapak-perang; gada; dan sebagainya. Para ksatria
terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata
panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada
untuk bertarung.
Formasi militer
Dalam setiap perang di zaman MahaBharata, formasi militer adalah hal yang penting. Dengan
formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa
formasi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Formasi militer
tersebut sebagai berikut:
Krauncha Vyuha (formasi bangau)
Chakra Vyuha (formasi cakram / melingkar)
Kurma Vyuha (formasi kura-kura)
Makara Vyuha (formasi buaya)
Trisula Vyuha (formasi trisula)
Sarpa Vyuha (formasi ular)
Kamala atau Padma Vyuha (formasi teratai)
Aturan perang
Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat peraturan tentang
perlakuan yang etisDharmayuddhasebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai
berikut:
Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari
terbenam.
Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
Dua ksatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau
menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang.
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
Tidak boleh menyerang wanita.
Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang
memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
Bagaimanapun juga, para ksatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Kebanyakan peraturan tersebut dilanggar sesekali oleh kedua belah pihak.
Ringkasan isi Kitab Bhismaparwa
Janamejaya bertanya, Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka,
beserta para rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk
bertempur?
Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-
kejadian yang sedang berlangsung di medan perang Kurukshetra.
Suasana di medan perang, Kurukshetra
Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para
Raja terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja,
Bahlika, Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit,
Kuntibhoja, dan lain-lain turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran tersebut.
Bisma, Sang sesepuh Wangsa Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera putih, bersinar,
dan tampak seperti gunung putih. Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat
ekor kuda putih dan dikemudikan oleh Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.
Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur.
Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi.
Pandawa mengatur pasukannya membentuk formasi Vajra, formasi yang konon diciptakan
Dewa Indra. Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan
formasinya lebih menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama,
Bahlika, dan Kripa yang semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh
formasi, para Raja merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya. Yudistira
sempat gemetar dan cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun
setelah mendapat penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.
Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak
berbaris rapi. Para Raja dan ksatria gagah perkasa tampak siap untuk berperang. Duryodana
optimis melihat pasukan Korawa memiliki para ksatria tangguh yang setara dengan Bima dan
Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti Yuyudana, Wirata,
dan Drupada yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam
pertempuran. Ia juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu
Bisma, Karna, Kritawarma, Wikarna, Burisrawas, dan Kripa, ada di pihaknya. Selain itu Raja
agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi
dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh
Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup sangkala (terompet kerang) mereka
tanda pertempuran akan segera dimulai.
Turunnya Bhagawad Gita
Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang
menggemparkan seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik
dari pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna meminta Kresna yang menjadi kusir
keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna bisa melihat
siapa yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.
Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan
kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi
lemas setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin
mengundurkan diri dari medan pertempuran.
Arjuna berkata, Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di
hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota
badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering..Kita akan dikuasai dosa jika membunuh
penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dretarastra
dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan
bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna
mencoba untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan
wejangan-wejangan suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan
mana yang salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna, agar
segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan pertempuran. Selain itu,
Kresna memperlihatkan wujud semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna
sebenarnya.
Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gt,
yang berarti Nyanyian Tuhan. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi kitab
tersendiri dan sangat terkenal di kalangan umat Hindu, karena dianggap merupakan pokok-
pokok ajaran Hindu dan intisari ajaran Veda.

Note: Klik ini untuk membaca Bhagavad Gita

Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah
mendapat wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat
busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita. Pasukan
kedua pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk, memukul tambur
dan genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan
pembantaian besar-besaran tersebut.
Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya,
meletakkan senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke
arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para Pandawa
mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam membisu, hanya
terus melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena
mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka
siap siaga dengan senjata lengkap dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira.
Yudistira berjalan melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia
menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.
Yudistira berkata, Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak
terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan
paduka dalam hal ini, dan kami pun memohon doa restu paduka.
Bisma menjawab, Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan
berlangsung ini engkau tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan
Bharata, agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan
kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran
ini? Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan!
Atas restuku itu pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat
menjadi budak kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini
benar-benar terjadi, O putera bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah
mengikat diriku
Setelah Yudistira mendapat doa restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa,
dan Salya. Semuanya memberikan doa restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan
mendoakan agar kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat doa restu dari
mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.
Yuyutsu memihak Pandawa
Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling
berhadapan, Yudistira berseru, Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah yang
kupilih menjadi sekutu kami!
Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa
terdengar jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa,
Yuyutsu berseru, Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi
kemenangan paduka sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila
paduka raja berkenan menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!
Dengan gembira, Yudistira berseru, Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur
menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vsudewa (Kresna) maupun
kami lima bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa,
berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya anda
sendirilah yang menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan
pelaksanaan upacara persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan gagah,
terimalah kami yang juga telah menerima dirimu itu! Duryodana yang kejam dan
berpengertian cutak itu segera akan menemui ajalnya!
Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan
bergabung dengan para Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan
kembali baju zirahnya, kemudian berperang.
Pertempuran dimulai. Pihak Korawa dipimpin oleh Bisma, selama Bisma memimpin, karna
tidak menolak berada di bawah perintah Bhisma. Kedua belah pihak maju dengan senjata
lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju
menyerang para ksatria Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya.
Abimanyu melihat hal tersebut dan menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri
mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya. Namun usaha para ksatria Pandawa di
hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putera Raja Wirata, Uttara dan
Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Saudara Utara yang bernama Sweta
berusaha keras menyerang Salya. Salya terdesak namun berhasil diselamatkan oleh
Kretawarma. Rukmarata putra Salya mencoba melindungi ayahnya. Namun ia segera
tumbang tak sadarkan diri terkena senjata Sweta. Sementara itu menurut versi Kakawin
Bharatayuddha, Rukmarata tidak sekadar pingsan tetapi tewas di tangan Sweta. Utara
dikisahkan tewas di tangan Salya. Namun beberapa dalang mengisahkan pembunuh Utara
adalah Bisma. Kekalahan di hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri
Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Hari ke-2, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama.
Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa
berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan
Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah
pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah
menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara
itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali.
Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun
serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu
dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda
melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat
kekalahan.
Hari ke-3, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang
dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana
melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu
para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan
Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan
penyerangannya kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang tak mampu
menandingi kekuatan Arjuna. Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk
menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan
Arjuna, masih bertarung dengan setengah hati. Duryodana memarahi Bisma yang masih
segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana membuat hati Bisma tersinggung,
kemudian ia mengubah perasaanya.
Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat
dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk
melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, Aku
sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri, lalu ia
mengambil chakra-nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya kepada
Kresna dengan pasrah. Ia merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari
mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki Kresna.
Pada langkah yang kesepuluh, Kresna berhenti.
Arjuna berkata, O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami
berlindung. Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba,
bahwa hamba tidak akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik
Dewa Indra, atas perintah paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!
Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas. Kemarahannya mereda, namun masih tetap
memegang senjata chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan
membinasakan banyak pasukan Korawa.
Hari ke-4, merupakan hari dimana Bima menunjukkan kegagahannya. Bisma memerintahkan
pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang.
Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting
tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana
mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah
menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja
miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima
menyerang para ksatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia
dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat
marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan
Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu,
Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.
Hari ke-5, Malam hari menjelang pertandingan Duryodana datang ke tenda Bhisma dan
bertanya mengapa setiap hari kekalahan demi kekalahan yang pihak mereka peroleh. Bisma
menjawab bahwa Ia telah melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan, menasehati dan
juga berperang untuk kejayaan Hastinapura, Sekarang belum terlambat untuk mencari
menawarkan perdamaian dan di muka bumi ini tidak ada yang mungkin menang melawan
Pandawa dibawah perlindungan Sang Narayana sendiri.
Keesokan harinya pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga
membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna
di sampingnya. Melihat Srikandi, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu,
Setyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran
dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas dan kemudian Setyaki
kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi
Setyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh
ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.Pertumpahan darah yang sulit
dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran berlangsung.
Hari ke-6, merupakan hari yang hebat. Pandawa menggunakan formasi Makara (Ikan)
sedangkan pihak korawa menggunakan fomasi Burung Bangau. Drona berhasil membunuh
banyak prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak
pecah.
Hari ke-7, tidak berubah, semua berperang sebaik-baiknya, Aswatama menghajar Srikandi
namun tidak sampai terbunuh, dan banyak lagi yang terjadi, para ksatria hanya terluka tidak
ada yang meninggal kecuali para prajurit banyak yang tewas hari ini.
Hari ke-8, Korawa memakai Formasi Kura-kura sedangkan Pandawa memakai formasi 3
gigi. Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera ArjunaIrawanterbunuh oleh
para Korawa. Gatotkaca mengamuk Duryodana juga demikian takut keselamatan Duryodana
terancam semua veteran2 kurawa mengeroyok Gatotkaca, Takut keselamatan Gatotkaca
terancam, pasukan pandawa melindungi Gatotkaca. Hari ini 16 Saudara Duryodana terbunuh.
Hari ke-9, Bisma menyerang pasukan Pandawa. Banyak laskar yang tercerai berai karena
serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma, pendekar tua nan
sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar berlari ke arah Bisma. Arjuna
dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit, namun Arjuna bertarung dengan setengah hati
sementara Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali lagi Kresna
menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia meloncat
turun dari kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak, bergerak
berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik Bisma.
Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia jika gugur di
tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna
untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, O Kesawa (Kresna), janganlah
paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah
mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka
melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua
penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan
membunuh kakek yang terhormat itu!
Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan
kemarahan ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali
pertarungannya sampai berakhirnya hari itu.
Malam harinya, Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma dan ia menyambut mereka
dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan
Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab:
ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah
membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka
yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang
kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang
takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang
wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu
menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang
mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung
Bisma juga mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus
menempatkan seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta
Arjuna, karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam
peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan
berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman
kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna
masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut.
Hari ke-10, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di garis depan. Srikandi menyerang
Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia tidak mau
menyerang Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari
Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma.
Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari
keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan panah yang
menancap di tubuhnya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua
belah pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma yang berbaring tidak
menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk
memberikannya bantal, Duryodana memberikan Bantal yang sangat indah namun tidak mau
ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga
anak panah di bawah kepala Bisma sebagai bantal. Bisma merestui tindakan Arjuna. Namun
Bisma tidak gugur seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri Ia
memilih hari kematian ketika garis balik matahari berada di utara.
Srikandi adalah salah satu puteri Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan
Panchala, Srikandi/ikhain, bentuk feminimnya adalah ikhain. Secara harfiah, kata
ikhandin atau ikhandini berarti memiliki rumbai-rumbai atau yang memiliki jambul. Ia
seorang wanita, yang merupakan penitisan Dewi Amba yang merasa tersia-siakan hidupnya
oleh Bisma merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan
untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba
bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam
perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya.
Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh
seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang
sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah
kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan
karena ia tidak ingin menyerang seorang wanita, ia menjatuhkan senjatanya. Maka dari itu,
hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada
Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh
Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Versi Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan
Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya,
Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari
bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan
senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang
kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang
putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab
keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang
Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi
Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara
Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai
kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati
terbunuh oleh Bisma.
________________________________________
Dronaparwa
Kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa di Hari ke-11,
setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna dan sejak di hari ke-11, Karna mulai berperang
sehingga segera membangkitkan semangat para Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana
memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru bagi
sebagian besar sekutu Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para sekutu
Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Drona atau Dronacharya adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli
mengembangkan seni pertempuran, termasuk dewstra. Arjuna adalah murid yang
disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan
dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama.
Drona dilahirkan dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putera dari
pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata
dehra-dron, guci tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan di dalam
rahim, namun di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).
Bharadwaja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri.
Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai
nafsu, menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air
mani tersebut ditampung dalam sebuah pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut
Drona lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwaja tanpa
pernah berada di dalam rahim. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan,
namun belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala
bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam
masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona
pada saat menjadi Raja Panchala.
Drona menikahi Krepi, adik Krepa, guru di keraton Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki
putera bernama Aswatama.
Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para
brahmana, Drona mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama telah
memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan
hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu
peperangan kepada Drona.
Demi keperluan istri dan puteranya, Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji
yang diberikan oleh Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi,
karena mabuk oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai
temannya) dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah.
Drupada memberi penjelasan yang panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah
kenapa ia tidak mau mengakui Drona. Drupada berkata, Persahabatan, adalah mungkin jika
hanya terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama. Dia berkata bahwa sebagai
anak-anak, adalah hal yang mungkin bagi dirinya untuk berteman dengan Drona, karena pada
masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona berada dalam
kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Tetapi ia
berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah
selayaknya para brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada menasihati
Drona supaya tidak memikirkan masalah itu lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri.
Drona pergi membisu, namun di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.
Drona pergi ke Hastinapura dengan harapan dapat membuka sekolah seni militer bagi para
pangeran muda dengan memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat
banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia
bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung,
menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana cara
mengambilnya kembali.
Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang
sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola
tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama
Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan
mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau
pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan
begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola
tersebut dengan tali.
Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra
Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada
bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu
kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan
kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka.
Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh, ia
kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan
mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kota,
dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah
bimbingannya.
Satu diantara yang terhebat dan terkemuka adalah Ekalawya, yang merupakan seorang
pangeran muda dari suku Nishadha, mereka adalah kaum pemburu. Ekalawya datang mencari
Drona karena minta diajari. Drona menolak mengajarinya. Ekalawya kemudian memasuki
hutan, dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian kemampuan luarbiasanya sehingga setara
bahkan melebihi Arjuna.
Ekalawya secara harfiah berarti ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata
pelajaran. Ekalawya Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke
Hastina ingin berguru kepada Bagawan Drona. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu
panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada
Drona. Namun niatnya ditolak, Ini dikarenakan Drona melihat kemampuannya yang bisa
menandingi Arjuna, padahal keinginan dan janji Drona adalah menjadikan Arjuna sebagai
satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya. Ini menggambarkan sisi negatif
dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada murid-muridnya, dimana
Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya.
Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia
kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta
memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang
guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit yang gagah
dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai
daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah hutan saat ia sedang berlatih
sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak
panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para
Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain
Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid
dari Guru Drona.
Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi
menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh
Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang
terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya.
Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah
atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu
sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta
Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima
kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia
memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari
kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia
akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang guru dan
menunjukkan Guru-bhakti. Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang
akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari Sang Guru. Drona lebih
mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan
tetap yang terbaik.
Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad Bhagawatam. Ekalawya bertempur untuk Raja
Jarasanda dalam peperangan melawan Sri Kresna dan Balarama, dan terbunuh dalam
pertempuran oleh pasukan Yadawa.
Versi Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan
dikenal pula dengan nama Palgunadi) adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya
mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, puteri
hapsari (bidadari) Warsiki.
Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu
perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai
cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya.
Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.
Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya
mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan
hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan
ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan
kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan
belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi
Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan
Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang
menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri
Kresna
Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan
kanannya dipotong oleh patung Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena
cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan
membalas kematiannya pada Resi Drona.
Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya
menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala
Resi Drona hingga menemui ajalnya.
Karna yang ingin belajar di bawah bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bahwa Karna
tidak berasal dari kasta kesatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kepada Parasurama
dengan menyamar sebagai brahmana.
Saat para Korawa dan Pandawa menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka
menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup.
Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk
menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa
angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona
mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan
kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan upacara untuk memohon
anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi
Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, yang kelak diperang Bharatayuddha akan membunuh
Drona dan Dropadi yang menikahi Pandawa.
Versi Jawa
Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi
kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam
berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya
menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris
bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang
Kumbayana, putera Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia
mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau
adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi
Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan
memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan
Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan
Prabu Drupada.
Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh
seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan
berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka
sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa
nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak
melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu
kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.
Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui
sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik
menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah Patih di Hastinapura,
saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang.
Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana
yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden
Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah.
Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan
ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan MahaBharata yang berjudul
Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-
anak keturunan Bharata (Pandawa dan Korawa).
Dalam perang Bharatayuddha, Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat
menentukan formasi perang.
Hari Ke-11, Duryodana mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa.
Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Dalam kitab ini
diceritakan bahwa Drona ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana
senang. Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah,
sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona
membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira
hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat
hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana
Duryodana. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira.
Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas
oleh para ksatria Pandawa seperti Bima dan Satyaki.
Hari Ke-12, Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan
Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta Susharma bersama
dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk
membunuh Arjuna atau sebaliknya, mati di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada
hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga
gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan
memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
Untuk menghancurkan mereka, Duryodana mencoba memanggil Bhagadatta, Raja
Pragjyotisha. Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja jahat yang dibunuh oleh
Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan mammoth, gajah yang
berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya. Bhagadatta merupakan ksatria terkuat
di antara seluruh pasukan penunggang gajah di dunia. Bhagadatta mencoba menyerang
Arjuna dengan ribuan gajahnya. Pertempuran terjadi dengan sangat sengit. Pada hari kedua
belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susharma gugur di
tangan Arjuna.
Hari ke-13, pihak Korawa mengeluarkan tantangan dengan mengeluarkan formasi perang
melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut
karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh
karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun
mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan
tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara
keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam
formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan
mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi
tersebut.
Abimanyu adalah putera Arjuna dari istrinya yang bernama Subadra. Abimanyu terdiri dari
dua kata abhi (berani) dan manyu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhimanyu
secara harfiah berarti ia yang memiliki sifat tak kenal takut atau yang bersifat
kepahlawanan.
Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan
tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari
Arjuna. MahaBharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan
Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara
mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur
maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari
formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih
oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di
bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja
Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat
pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa
pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya. Ditetapkan bahwa
Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam pertempuran besar di Kurukshetra Ia
baru berusia enam belas tahun dan merupakan kesatria termuda dari pihak Pandawa.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu
merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan
ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana
dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap
ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi
tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi,
namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar
mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal
sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Di dalam formasi tersebut, Abimanyu bertarung sendirian. Ia dikepung oleh para ksatria
Korawa dan terdesak, sementara ksatria-ksatria Pandawa yang ingin menyelamatkan
Abimanyu dihadang oleh Jayadrata.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera
Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh,
Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang
Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna
menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan
kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk
bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan
perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan
sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-
keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara
menghancurkan kepalanya dengan gada.
Arjuna terkejut dan pingsan setelah mendengar kematian Abimanyu. Atas penjelasan para
ksatria Pandawa, Abimanyu dikurung dalam formasi Cakrawyuha dan dibunuh dengan
serangan serentak. Beberapa ksatria ingin membantu dan menyelamatkan Abimanyu, namun
dihadang oleh Jayadrata. Mendengar hal itu,
Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna terkejut dan Pingsan, Ia sangat sedih dan sakit
hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki
formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan
membunuh Jayadrata pada keesokan harinya sebelum matahari tenggelam. Apabila tidak
berhasil maka ia akan membakar diri.
Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh
Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa
puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan
perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam
pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit dari ibu bernama Uttara, lahir setelah kematiannya, dan
menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan
melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang
terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia
yang masih sangat muda.
Versi Jawa
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang
menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina.
Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan,
Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra
Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa,
Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu:
Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni,
Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa
dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam
kandungan ia telah mendapat Wahyu Hidayat, yang mamp membuatnya mengerti dalam
segala hal. Setelah dewasa ia mendapat Wahyu Cakraningrat, suatu wahyu yang dapat
menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang,
hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat
ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari
kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat
mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:
Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan
berputera Parikesit.
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya
mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan
menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca
menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna
dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka
tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi
perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi
mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap,
Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh
dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali).
Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu
merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum
punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika
perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti
Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak
membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura
(Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah
menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk
membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian
Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria
Banakeling.
Kutipan di bawah ini diambil dari Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran
terakhir Sang Abimanyu.
Sloka Terjemahan
Ngk Sang Dharmasut tgg mulati tingkahi glarira ntha Korawa, pan tan hana Sang
Wrkodara Dhanajaya wnanga rummpakang glar. Nghing Sang Prthasutbhimanyu
makusra rumusaka glar mah dwija, manggh wruh lingirng rusak mwang umasuk tuhu i
wijili rddha tan tama

Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan
Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna,
yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata
bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu
bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.

Smpun mangkana ighra shasa masuk marawaa ri glar mah dwija. Sang Prthtmaja
ra sra rumusuk sakksika linacaran panah, ira ngwyuha lilang tkap Sang Abhimanyu
tka ri kahanan Suyodhana. ang Hyang Droa Krppulih karaa Sang Kurupati malay
marnusi.

Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut
dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut
dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai
ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan,
sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.

da tan dwlwang i atru akti mangaran Krtasuta sawatk Wrhadbala. Mwang
Satyarawa ra mnta kna tan panguili pinanah linacaran. Lwan wra wiesha putra
Kuruntha mati malara kokalan panah. Kyti ng Korawa wanga Lakshmanakumra
ngaranika kaish Suyodhana.

Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan
keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum
dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang
berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga
Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.

Ngk ta krodha sakorawlana manah panahira lawan awa sarathi. Tan wktn tang awak
tangan suku gigir aa wadana linaksha kinrpan. Mangkin Prthasutajwalmurk anyakra
makapalaga punggling laras. Dhramk mangusir anggtm atn pjaha makiwuling
Suyodhana.

Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka
memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada,
dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia
memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan
ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh
dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.

Ri pati Sang Abhimanyu ring rangga. Tnyuh araras kadi waling tahas mas. Hanana
ngaraga klaning pajang lk. inaah alindi sahantimun ginintn.

Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat
bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-
cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.
Hari ke 14, Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik
perempuan Korawa bersaudara. Raja Sindhu Jayadrata memihak Duryodana dalam
perang di Kurukshetra. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu.
Jayadrata menghina Dropadi, istri para Pandawa, karena berusaha menculik dan
mengawininya. Setelah Arjuna memburu dan menangkapnya hidup-hidup, nyawanya
diselamatkan oleh Yudistira, dan ia dijadikan budak. Kemudian Bima mencukur rambutnya
sehingga Jayadrata botak. Karena dendam terhadap perlakuan tersebut, Jayadrata melakukan
tapa ke hadapan Siwa. Ia memohon kekuatan untuk menaklukkan Pandawa, namun Siwa
mengatakan bahwa itu hal yang mustahil namun ia menganugerahkan Jayadrata agar
mampu mengalahkan seluruh Pandawa bersaudara pada hari pertama kecuali Arjuna. Maka,
akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Jayadrata.
Atas kematian Abimanyu di hari ke 13, Arjuna akan berusaha membalas dendam dan
menepati sumpahnya untuk membunuh Jayadrata sebelum matahari terbenam apabila ia tidak
berhasil ia akan membakar diri.
Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan
prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau
Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir
terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan
kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah
matahari sudah tenggelam. Jayadrata menjadi lega. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira
hari sudah malam dan sesuai aturan, mereka segera menghentikan peperangan dan mulai
beranjak untuk kembali ke kubu masing-masing padahal saat itu, kereta Arjuna sudah dekat
dengan kereta Jayadrata.
Arjuna tertunduk lemas dan bersiap menunaikan sumpahnya sementara Jayadrata semakin
gembira dan pongahnya melihat itu semua. Tiba-tiba matahari muncul kembali. Ternyata hari
belum malam. Mereka semua terperanjat dan di saat itulah Kresna menyuruh Arjuna agar
menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat
busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari
sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk
membunuh Jayadrata.
Setelah perang berakhir, Arjuna bertarung dengan pasukan Sindhu ketika mereka menolak
untuk mengakui Yudistira sebagai Maharaja dunia. Ketika Dursala (satu-satunya anak
perempuan Korawa), istri Jayadrata, keluar untuk melindungi puteranya, yaitu raja muda
penerus tahta Sindhu, Arjuna menghentikan pertarungan.
Versi Jawa
Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi
asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya
dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya,
mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa
dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan
dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca.
Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang
cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di
sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara
perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri.
Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan setelah
itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata
adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Korawa. Ia mahir
mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka
gada bernama Kyai Glinggang.
Jayadrata nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata
kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin
memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu
Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk
menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya, Jayadrata.
Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Korawa, dan akhirnya diambil
menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai
Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya
Wirata dan Arya Surata.
Gatotkaca, arti harfiahnya memiliki kepala seperti kendi putra Bimasena atau Wrekodara
dari keluarga Pandawa. Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu gha(tt)am yang berarti buli-
buli atau kendi, dan utkacha yang berarti kepala. Nama ini diberikan kepadanya karena
sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi. Ibunya yang bernama
Hidimbi, seorang Gadis Mongol dari India Timur, ia dikisahkan memiliki kekuatan luar
biasa. Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini
lahir seorang putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama
gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. dikisahkan bagaimana Gatotkaca gugur dalam perang
di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang
saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di
pihak Pandawa.
Gatotkaca dikisahkan sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada
malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan
untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa
kembali ke perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit
Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang
sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca
menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan
putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa
terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Karna tampil dalam perang sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, perang tetap
terjadi sehingga melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah
saat menghadapi Gatotkaca, putera Bimasena. Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri
melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian
Dewa Indra. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya akan dipergunakannya
untuk membunuh Arjuna saja. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan
pusakanya menembus dada Gatotkaca. Sesuai perjanjian dengan Indra, pusaka Konta pun
musnah hanya dalam sekali penggunaan.
Para Pandawa, terutama Bimasena terkejut menyaksikan kekalahan Gatotkaca. Bimasena
berteriak menyuruh Gatotkaca memperbesar ukuran tubuhnya, sebagaimana lazimnya ilmu
yang dimiliki kaum rakshasa. Dalam keadaan sekarat, Gatotkaca melaksanakan perintah
ayahnya. Tubuhnya membesar sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa
ribuan prajurit Korawa.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia
gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat
dikatakan relatif aman.
Versi Jawa
Ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan
sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa
rakshasa. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa
menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan otot kawat tulang besi. Namanya
sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa
dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk
mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang
sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata
Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada
pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata
Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan
Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka
Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar
Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna
yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah
kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan
pemilik senjata Konta.
Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang
musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama
Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan
sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga.
Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung
Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah.
Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa.
Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan
gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna
kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum
raksasa.
Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping
Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang
sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka
tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan
membunuh Kalapracona.
Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi
Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama
Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia
menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra
Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu
Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan
Jayasumpena.
Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya
adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan
Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian
digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun
Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri
Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan,
Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal
di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta
bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan
Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca
bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh
keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan
kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.
Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih
Prabakiswa.
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda.
Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis
tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama
Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata,
di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan
Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi.
Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk
mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat
kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu
terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati
dikeroyok musuh.
Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun
Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan
rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala
Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu
tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa
pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu
dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna
menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun
hal itu melanggar peraturan perang.
Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim
Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang
ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu
Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu
Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama
Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun
menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa
kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan
Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah
Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari
kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih
bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar
Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya,
yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke
arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur
berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya,
pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang
berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.
Hari ke 15, Sebelum perang, Begawan Drona pernah berkata, Hal yang membuatku lemas
dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut
seseorang yang kuakui kejujurannya.
Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar
Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak
sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut
kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati.
Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh
seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima
berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati.
Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira
hanya berkata, Aswatama mati. Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata
kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya
ia berkata, naro va, kunjaro va entah gajah atau manusia). Gajah bernama Aswatama
itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada
Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang
Bharatayuddha.
Benarlah, setelah mendengar hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga
meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian
Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam.
Versi Jawa
Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putera Prabu
Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam
Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh
Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang
dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi
kesaktian dan kedigjayaan sang Resi.
________________________________________
Karnaparwa
Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa,
menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur,
Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. Dalam kitab ini
diceritakan bahwa Bima berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk
meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi
mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas.
Kemattian Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan
saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima.
Untuk mengimbangi Arjuna yang mempunyai Krisna sebagai kusir kereta maka Karna
meminta Salya bertindak sebagai kusir keretanya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta
Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna.
Versi Jawa
Menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon
Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa
ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.
Pertengkaran yang terjadi karena Salya selaku mertua Karna merasa diperlakukan dengan
kurang sopan. Namun Karna berhasil menghibur kemarahan mertuanya itu dengan
mengatakan bahwa derajat Salya justru disejajarkan dengan Kresna yang menjadi kusir
Arjuna. Adapun Kresna merupakan raja agung, titisan Batara Wisnu.
Hari ke-16, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun
tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian
bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain.
Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam
tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala
Arjuna.
Versi Jawa
Ketika Karna mengincer leher Arjuna menggunakan panah Badal Tulak, diam-diam Salya
memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah Badal
Tulak meleset hanya mengenai rambut Arjuna.
Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.
Hari ke-17, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur
dalam waktu yang cukup lama, akhirnya kutukan Parasurama menjadi kenyataan. Karna tiba-
tiba lupa terhadap semua ilmu yang diajarkan gurunya tersebut. Kutukan kedua terjadi pula.
Salah satu roda kereta Karna tiba-tiba terbenam ke dalam lumpur. Ia pun turun ke tanah untuk
mendorong keretanya itu Ia minta Salya membantunya tapi kusir keretanya itu menolak untuk
mendorong dan membantunya. Karna turun tangan sendiria untuk mengangkat kembali
keretanya yang terperosok.
Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati. Karena mematuhi etika peperangan,
Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Kresna
mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini merupakan satu-satunya
kesempatan. Karna meminta Arjuna menaati peraturan karena saat itu dirinya sedang berada
di bawah kereta, dan dalam keadaan tanpa senjata.
Kresna membantah kata-kata Karna. Menurutnya, Karna lebih sering berbuat curang daripada
Arjuna dalam peperangan, seperti misalnya saat ia ikut serta mengeroyok Abimanyu, ataupun
membunuh Gatotkaca pada malam hari. Kresna kembali mendesak Arjuna untuk bertindak
dengan cepat. Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang segera melesat memenggal leher
Karna. Kutukan ketiga menjadi kenyataan, Karna tewas dalam keadaan lengah tanpa
memegang senjata.
Versi Jawa
Setelah kematian Karna, keris pusakanya yang bernama Kaladite melesat sendiri menyerang
Arjuna. Arjuna menangkisnya menggunakan keris Kalanadah. Kedua pusaka itu pun musnah
bersamaan. Arjuna kemudian mendekati mayat Karna untuk memberikan penghormatan
terakhir. Surtikanti datang ke medan perang dengan diantar oleh Adirata. Melihat suaminya
tewas, Surtikanti melakukan bela pati dengan menikam dadanya sendiri menggunakan keris.
Melihat menantunya tewas bunuh diri, Adirata marah dan berteriak menantang Arjuna.
Bimasena muncul menghardik Adirata. Adirata ketakutan dan melarikan diri, namun ia
terjatuh dan meninggal dunia.
________________________________________
Salyaparwa
Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa,
menggantikan Karna yang telah gugur. di tangan Arjuna pada hari ke-17, Salya pun diangkat
sebagai panglima baru pihak Korawa. Salya hanya memimpin selama setengah hari, karena
pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Salya adalah kakak ipar Pandu yang
terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka.
Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas
terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata
bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha.
Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi
tombak menembus dada Salya.
Kematian Salya diuraikan pula dalam Kakawin Bharatayuddha. Ketika ia diangkat sebagai
panglima, Aswatama yang menjadi saksi kematian Karna mengajukan keberatan karena
Salya telah berkhianat, yaitu diam-diam membantu Arjuna. Namun, Duryodana justru
menuduh Aswatama bersikap lancang dan segera mengusirnya.
Salya maju perang menggunakan senjata Rudrarohastra. Muncul raksasa-raksasa kerdil
namun sangat ganas yang jika dilukai justru bertambah banyak. Kresna mengutus Nakula
supaya meminta dibunuh Salya saat itu juga. Nakula pun berangkat dan akhirnya tiba di
hadapan Salya. Tentu saja Salya tidak tega membunuh keponakannya tersebut. Ia sadar kalau
itu semua hanyalah siasat Kresna. Salya pun dengan jujur mengatakan, Rudrarohastra hanya
bisa ditaklukkan dengan jiwa yang suci.
Kresna pun meminta Yudistira yang terkenal berhati suci untuk maju menghadapi Salya.
Rudrarohastra berhasil dilumpuhkannya. Ia kemudian melepaskan pusaka Kalimahosaddha
ke arah Salya. Pusaka berupa kitab itu kemudian berubah menjadi tombak yang melesat
menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Rudrarohastra disebut dengan nama
Candabirawa. Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang
jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta.
Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu
pemilik asli ilmu tersebut. Bahkan, sejak itu Candabirawa justru berbalik mengabdi kepada
Yudistira. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam
dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Baik versi Bharatayuddha ataupun versi pewayangan Jawa mengisahkan setelah Salya tewas,
istrinya yaitu Setyawati datang menyusul ke medan pertempuran untuk melakukan bela pati.
Setyawati dan pembantunya yang bernama Sugandika kemudian bunuh diri menggunakan
keris.
Pada hari ke-18 ini juga Sangkuni bertempur melawan Sahadewa. Dengan mengandalkan
ilmu sihirnya, Sangkuni menciptakan banjir besar melanda dataran Kurukshetra. Sadewa
dengan susah payah akhirnya berhasil mangalahkan Sangkuni. Tokoh licik itu tewas terkena
pedang Sadewa. Menurut versi MahaBharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sangkuni
tewas di tangan Sahadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara
keduanya terjadi pada hari ke-18. Sangkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta
banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung. Dengan penuh
perjuangan, Sahadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sangkuni. Riwayat tokoh licik
itu pun berakhir.
Versi Jawa
Menurut Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157,
Sangkuni bukan mati di tangan Sahadewa, melainkan di tangan Bimasena, Pandawa nomor
dua. Sangkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima
kemudian memotong-motong tubuh Sangkuni menjadi beberapa bagian.
Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal
karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima merasa putus asa.
Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan
Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena Minyak
Tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan
Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu kebal Sangkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sangkuni
tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.
Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Korawa. Dalam keadaan
sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan
hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil
Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah
kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya
Banowati.
Akibat gigitan itu, Sangkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini
membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan
pamannya yaitu Sangkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk
membahagiakan para Korawa.
Diceritakan Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia
sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur
demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk
menghentikan peperangan.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa
didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Ia pun bersedia untuk menyerahkan
kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang.
Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Duryodana pun naik ke darat
siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus, sikap itu ditunjukan karena Ia tahu bahwa
Pandawa tidak akan mungkin secara bersama-sama mengeroyoknya.
Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan
cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13.
Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan
jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan
Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam
hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana
malu mendengarkan pembicaraan kakak dan adik ini. Ia menyadari nasi sudah menjadi bubur
dan sekarang saatnya untuk mengakhriri. Meskipun bersifat angkara murka namun ia juga
seorang pemberani.
Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki
kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut
ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya
sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Khasiat
mata sang Ibunda Gandari memanglah hebat tidak ada satupun badan dari Duryodana dapat
dilukai Bima. Bima walaupun bertenaga sangat kuat namun ia tidak kunjung dapat melukai
Duryodana, Bima mulai kehilangan kepercayaan diri dan kelelahan sementara Duryodana
justu semakin meningkat kepercayaan dirinya dan mulai berusaha untuk membunuh Bima.
Bima mulai mengalami banyak luka di sekujur tubuhnya, Ia semakin melemah sedangkan
hari mendekati senja. Kontras dengan Bima, justru Duryodana semakin bersemangat.
Baladewa hadir juga menyaksikan pertempuran itu sehingga tidak leluasa bagi Krisna untuk
memberikan petunjuk secara langsung kepada Bima. Satu kesalahan saja, akan membuat
Baladewa memihak Duryodana. Akhirnya Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya
(bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan
Dropadi). Atas petunjuk Kresna, Bima menjadi ingat perbuatan keji Duryodana terhadap
Droupadi dan mengingat sumpahnya kembali. Kemarahannya meningkat walaupun ia tidak
yakin mampu melukai Duryodana Ia langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana.
Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang
kesakitan, sebab itulah bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Keadaan
itu terjadi ketika Gandari meminta Duryodana telanjang dihadapannya, namun krisna waktu
itu mengejeknya tidak tahu tahu sopan santun karena menghadap ibunda dengan posisi
telanjang. Ia kemudian memakai penutup pinggang hingga ke paha.
Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan
mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah
memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam
pertempuran dengan senjata gada.
Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk
menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia
melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan
berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.
Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya
tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan
Kretawarma. Sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima
perang.
________________________________________
Sauptikaparwa
Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta
pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah
Aswatama, Krepa, dan Kritawarma.
Aswatama atau Ashwatthaman adalah putera Drona dengan Kripi, adik Krepa dari
Hastinapura. Sebagai putera tunggal, Drona sangat menyayanginya. Saat kecil keluarganya
hidup misikin, namun mengalami perubahan setelah Drona diterima sebagai guru di istana
Hastinapura. Ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa
dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah.
Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang bertahan
hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa
saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta terhadap lima putera Pandawa
namun lima putera Pandawa tidak terselamatkan nyawanya.
Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama
dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Untuk membangkitkan semangat pasukan
Korawa setelah dipukul mundur, ia memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat.
Mengetahui hal tersebut, Kresna membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil
diatasi. Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun berhasil
ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha
berakhir secara skakmat.
Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat
ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna dari kerajaan Panchala. Aswatama
yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara
brutal setelah perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama yang didasari
motif balas dendam berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa,
Ia menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, Aswatama membunuh seluruh pasukan
Panchala, Drestadyumna yang membunuh Drona, Srikandi serta kelima putera Pandawa atau
Pancawala (anak Pandawa dari Dropadi). Kemudian Aswatama sejenak menyesali
perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa.
Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia
bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata Brahmastra yang
sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil.
Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan
senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh agar kedua
kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya,
Aswatama tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain
untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para
wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna.
Setelah Aswatama mengarahkan Brahmastra menuju perut Utara yang sedang mengandung,
senjata itu berhasil membakar janin Utara, namun Kresna menghidupkannya lagi dan
mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 6.000 tahun
sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk
agar terus hidup sampai akhir zaman Kaliyuga. Karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa
memiliki rasa cinta ini menjadikan ia sebagai satu di antara tujuhChiranjiwin.
Legenda mengatakan bahwa Aswatama pergi mengembara ke daerah yang sekarang dikenal
sebagai semenanjung Arab. Ada juga legenda yang mengatakan bahwa Aswatama masih
mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin topan. Sebuah benteng kuno di dekat
Burhanpur, India, yang dikenal dengan Asirgarh memiliki kuil Siwa di puncaknya. Konon
setiap subuh, Aswatama mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar
merah. Masyarakat yang tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya namun
tidak pernah berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan menjadi buta atau
kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan Gir yang dipercaya
sebagai tempat Aswatama mengembara dan ia masih hidup.
Menurut legenda, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Mani) yang terletak di
dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau
rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga.
Versi Jawa
Aswatama adalah putra Bhagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi Kripi, puteri Prabu
Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal
mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya
menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama
berasal dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat perang
Bharatayuddha. Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura,
Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat
pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya,
Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena terkena siasat oleh para Pandawa. Mereka
berbohong bahwa Aswatama telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan Aswatama manusia,
melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti Gajah) namun terdengar
seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar
tersebut kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa kecewa
dengan sikap Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya sebagai penyebab
gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari perang Bharatayudha. Setelah
Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Hastinapura,
secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil
membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya), Pancawala (putera Puntadewa alias
Yudistira), Banowati (Janda Duryodana) dan Srikandi. Diceritakan bahwa akhirnya ia mati
oleh Bima, karena badannya hancur dipukul Gada Rujakpala.
Kritavarma adalah salah seorang kepala suku dari wangsa Yadawa, Ia disebut dalam
MahaBharata, Vishnu Purana, Bhagavata and the Harivamsa. Ia lahir di wangsa Andhaka
yang masih keluarga besar Wangsa Yadawa. Ia yang juga melakukan konspirasi terbunuhnya
Mertua Khrisna saat di episode Permata Syamantaka. Diperang ini ia memimpin pasukan
Yadawa disisi Kourawa dan membantu Aswathama membantai Prajurit Pancala dan lainnya.
Seteah perang besar Ia kembali ke kerajaannya dan kelak terbunuh oleh Satyaki ketika
musnahnya wangsa Yadawa di Mausala Parva.
________________________________________
Versi Jawa: Baratayuda
Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di
Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari
kisah MahaBharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin
berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja
Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.
Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan
judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.
Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847
hingga 30 Juli 1848.
Sebab Peperangan
Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi MahaBharata, perang Baratayuda merupakan
puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira)
melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.
Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah
ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan,
perang ini sudah ditetapkan akan terjadi.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-
sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga
negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan
kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari,
sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun
bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus
orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya
semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa.
Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi MahaBharata, antara lain usaha
pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta
melalui permainan dadu.
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman
pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar
sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para
Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat
perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.
Kitab Jitabsara
Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi
MahaBharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan
menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas
perintah Batara Guru, raja kahyangan.
Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri
kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria,
ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik
Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang
wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan
orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk
menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di
dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.
Aturan Peperangan
Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi
MahaBharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya
tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu
giliran untuk maju.
Sebagai contoh, apabila dalam versi MahaBharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat
pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali,
yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.
Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang
berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di
pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa
perhitungan cermat.
Pembagian babak
Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.
Babak 1: Seta Gugur
Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak 7: Karna Tanding
Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
Babak 9: Lahirnya Parikesit
Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang
tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah
masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.
Babak pertama
Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan
perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang
dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya
terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa.
Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di
pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan
pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung
Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti gunung samudra.
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang
pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang
menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke
Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan
berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud
membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun
panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang
pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian
mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah
pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa,
hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya
Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji
Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan
dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang
mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya
Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita
pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.
Babak Kedua
Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena)
sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi
pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama
yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).
Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata,
terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu
Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas
oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan
Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan
Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna.
Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan
pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian
mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit
wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan
kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah
Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.
Tawur demi kemenangan
Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang
berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban
(Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria
Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur
dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang
berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu
arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan
Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun
menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya
dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa.
Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha
Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak
Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama
Garuda yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.
Kutipan Terjemahan
Ri huwusir pinj d sang wr sir kabh, ksana rahin kamantyan mangkat sang Drupada
sut, tka marpatatingkah byhnung bhay bhisam, ngarani glarirwh kyti wr kagpati
Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja
putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama
barisannya yang berbahaya ialah Garuda yang masyur gagah berani
Drupada pinak tndas tan len Prtha sirpatuk, par Ratu sir prsta r Dharmtmaja pinuji,
hlari tngnik sang Drstadyumna sahbal, kiw pawan sut kas kocap Satyaki ri wugat
Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan
punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang
Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya
dan Satyaki pada ekornya
Ya t tiniru tkap Sang r Duryodhana pihadhan, Sakuni pinak tndas manggh lya sir
patuk, dwi ri kiwa ri tngn Sang Bhsma Drona panaling, Kuru pati Sir prstdyah
Dusana ri wugat Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala
dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta
Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor
Ri tlasir matingkah ngk gangg sutnumaso, rumusaki pakekesning byuh pndaw
pinanah, dinas gun tkap Sang Prthng laks mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhma
kasulayah Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka,
merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda
menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak
bergelimpangan
Karananik rusk syuh nor paks mapuliha, pir ta kunangtusnyang yodhgal mati pinanah,
Kurupati Krpa alya mwang Dusana akuni, padh malajngumungsir Bhsma Drona
pinak toh Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa
ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru Pendeta Kripa Raja Salya dan Sang
Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang
merupakan taruhan
Niyata laruta sakwhning yodh sakuru kula, ya tanangutusa sang r Bhsma Drona
sumuruda tuwi ptngi wlokning rnwa ngd lwu wulangun, wkasanawa tkapning rah
lumr madhmi leb Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa
Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur,
ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu
keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu
Ri marinika ptng tang rah lwir sgara mangbk, maka ltuha rawisning wrh mti
mapupuhan, gaja kuda karanganya hrng jrah pndanika kask, aracana makakawyang r
tan wdi mapulih Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang
merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai,
bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan
yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut
membalas dendam
Irika nasmu kpwan Sang Prthrddha kaparihain, lumihat i paranthkwh mting ratha
karunna, nya Sang Irawan anak Sang Prthws lawan Ulupuy, pjah alaga lawan Sang
rnggi rkshasa nipunna Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa,
setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah
terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran
melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung

Striparwa
Kitab Striparwa merupakan kitab kesebelas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah ratap tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan pula
Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya di medan perang, semuanya telah
dibunuh oleh Pandawa. Yudistira kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi
mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini,
Kunti menceritakan asal-usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.
________________________________________
Santiparwa
Kitab Santiparwa merupakan kitab kedua belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah berkumpulnya Dretarastra, Gandari, Pandawa, dan Kresna di
Kurukshetra. Mereka sangat menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah
hari tangisan.
Pada akhir pertempuran, Dretarastra menahan rasa duka dan kemarahannya atas kematian
seratus puteranya. Saat ia bertemu para Pandawa yang meminta restunya karena mereka
menjadi pewaris tahta, ia memeluk mereka satu persatu. Ketika tiba giliran Bima, pikiran
jahat merasuki Dretarastra dan rasa dendamnya muncul kepada Bima atas kematian putera-
puteranya, terutama Duryodana dan Dursasana. Kresna tahu bahwa meskipun Dretarastra
buta, ia memiliki kekuatan yang setara dengan seratus gajah. Maka dengan cepat Kresna
menggeser Bima dan menggantinya dengan sebuah patung menyerupai Bima. Pada saat itu
juga Dretarastra menghancurkan patung tersebut sampai menjadi debu. Akhirnya Bima
selamat dan Dretarastra mulai mengubah perasaannya serta memberikan anugerahnya kepada
Pandawa.
Versi jawa
Setelah Korawa tumpas dalam perang Baratayuda, pihak Pandawa datang ke Hastina untuk
mengambil hak mereka atas takhta negeri itu. Dretarastra memanggil Bimasena (Pandawa
nomor dua) untuk dipeluknya. Karena curiga, Kresna selaku penasihat Pandawa memberi
isyarat agar Bima menyerahkan benda lain sebagai ganti dirinya.
Bimasena pun menyodorkan pusakanya bernama Gada Rujakpolo untuk dipeluk Dretarastra.
Dengan penuh rasa dendam, Dretarastra pun memeluk gada tersebut sampai hancur
menggunakan ilmu Lebur Geni. Namun setelah mengetahui kalau dirinya tertipu, ia pun
menyesal dan minta maaf.
Kematian Dretarastra versi pewayangan tidak jauh berbeda dibanding versi aslinya. Ia
dikisahkan terbakar sewaktu bertapa bersama Gendari dan Kunti di tengah hutan.
Ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat, semua anak menantu Gandari telah
menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari
juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di
iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna
menghibur Gandari, dan berkara, Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada
suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?. Gandari menjawab,
Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak
terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat
dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat. Lalu Gandari berkata, Paduka ini
Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa
perlu melakukan pertempuran.
Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.
Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami
kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka
mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri
Krisna tersenyum dan menjawab, Semoga demikian. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin
menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu
harus diakui adanya
Yudistira menghadapi masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan
saudara sendiri. Kemudian Bhisma yang masih terbujur di atas panah memberikan wejangan
kepada Yudistira. Beliau membeberkan ajaran-ajaran Agama Hindu secara panjang lebar
kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan nasihat
tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh Yudistira.
________________________________________
Anusasanaparwa
Kitab Anusasanaparwa merupakan kitab ketiga belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah Yudistira yang menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk
menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan ajaran Agama Hindu dengan panjang lebar
kepadanya, termasuk ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur, pelajaran tentang
menunaikan kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma
yang sakti mangkat ke surga dengan tenang.
________________________________________
Aswamedhikaparwa
Kitab Aswamedhikaparwa merupakan kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah kelahiran Parikesit yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena
senjata sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan
kembali. Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan
upacara tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan di
belakangnya terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin oleh Arjuna. Mereka mengikuti kuda
tersebut kemanapun pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau
tunduk di bawah kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan
yang membangkang harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira. Pada
akhirnya, para Raja di daratan India mau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.
Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan
pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha,
sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira
menyelenggarakan Aswamedha Yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan
seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh
kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu
dengan Babruwahana, putera Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak
kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuh Arjuna. Ketika
Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari
negeri Naga, Arjuna hidup kembali.
________________________________________
Asramawasikaparwa
Kitab Asramawasikaparwa merupakan kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Setelah
pertempuran besar di Kurukshetra berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Indraprastha
sekaligus Hastinapura. Meskipun demikian, Yudistira tetap menunjukkan rasa hormatnya
kepada Dretarastra dengan menetapkan bahwa tahta Raja Hastinapura masih dipegang oleh
Dretarastra.
Akhirnya Dretarastra memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawai dan
mengembara di hutan sebagai pertapa bersama Gandari, Widura, Sanjaya, dan Kunti. Di
dalam hutan di Himalaya, mereka meninggal ditelan api karena hutan terbakar oleh api suci
yang dikeluarkan oleh Dretarastra.
Pandawa sempat mengunjungi pertapaan mereka di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada
datang ke hadapan para Pandawa, dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari,
Kunti bertapa terbakar oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung
menuju surga.
________________________________________
Mosalaparwa
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata.
Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum
di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga
menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga
atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-
olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan
oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa
banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan
senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda
yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani
Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu
dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka
berkata, Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya.
Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian
mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?. Para resi yang
tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, Orang ini adalah Sang Samba,
keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan
senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua! (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya.
Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk.
Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi
kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu
Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa
serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti
rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar
dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu
dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi
kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak
panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa
Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka
melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di
pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan
kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki
berkata, Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau
telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan
tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?. Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan
dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah
dan berkata, Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang
meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga.
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu
memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu
menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah
beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap
orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk
tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut
berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan
Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan,
bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan
menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan
kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang
dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan
senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata
tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan
disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti
misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang
mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia
mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan
Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga
berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan
kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri.
Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru,
untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru
disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk
memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah
hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna
menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang
yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga
berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para
Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang
menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan
meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian
diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah
pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia
kembali. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap
Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat
buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, Ah, akhirnya kutemukan juga
buruanku, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari
senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan
panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari
ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning
sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah
itu. Jara kemudian meminta maaf atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,
Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah
engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya.
Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat
dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan
hidupku.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa
keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di
antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon
pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju
Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa
dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya
di dalam peperangan, Istri2 Krisna sejumlah 16.100-an. Arjuna bersama para ksatria yang
tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-
anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra. Kemudian Arjuna
bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada
Arjuna, Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa
kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, Kresna wafat sekitar tahun
3100 SM. Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah
peperangan dalam MahaBharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89
tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan
pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa
Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama
dengan tahun 5108 semenjak Kaliyuga.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, tibalah mereka di negara 5 air dan rombongan Arjuna
dihadang oleh ribuan ksatria Abhira dari negara 5 Sungai yang mengetahui kedatangan
rombongan tersebut. Para ksatria abira tersebut meihat bahwa yang mengawal hanya Arjuna,
sedangkan ksatria wresni telah kehilangan energinya. Saat mereka berperang, kekuatan
Arjuna tidak berfungsi seperti biasanya da menjadi lenyap, busurnya tidak dapat di
rentangkan, panah2 saktinya tidak dapat dikeluarkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan
ksatria hebat tersebut.
Takdir kehancuran berjalan menurut aturannya, Para penyerang berhasil membawa kabur
sebagian besar para wanita. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya
beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Arjuna
menempatkan yang selamat bersama dengan sisa keturunan Kresna di kota yang baru,
merekalah yang meneruskan tradisi pemujaan terhadap Hari (Krisna); Rukmini dan 7 Istri
Kresna yang lainnya melakukan Sati (satya), membakar dirinya sendiri ke dalam api, dan
yang lainnya menjadi pertapa atau pendeta. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh
Bajra. Tepat Tujuh hari sesuai yang dikatakan Krisna, air lautan menyerbu dan membanjiri
Dwaraka sehingga tidak ada lagi jejak-jejak yang ditinggalkan.
Versi Buddhis, Sutta pitaka, Jataka no 454, Ghata Jataka, yang merupakan kisah kehidupan
sebelumnya dari Sang Buddha
Setelah 10 Saudara itu berhasil menaklukkan seluruh India, tiga ratus enam puluh ribukota
mereka bunuh para rajanya dengan senjata cakra dan Akhirnya mereka tinggal di Dvaravati.
Nama Ke Sepuluh bersaudara kandung itu adalah yang sulung Vsu-deva, yang kedua
Baladeva, ketiga Canda-deva, keempat Suriya-deva, kelima Aggi-deva, keenam Varua-
deva, ketujuh Ajjuna, kedelapan Pajjuna, kesembilan Ghata-paita, dan yang kesepuluh
Akura.
Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai dengan putra dan putri.
Setelah waktu yang lama berlalu, di saat ia memerintah kerajaannya, putra dari Sepuluh
Saudara tersebut berpikir: Katanya, Kahadpyana [Seorang Pertapa sakti] memiliki mata
dewa. Mari kita mengujinya.
Maka mereka mencari seorang pemuda dan memakaikan pakaian wanita kepadanya dengan
mengikat sebuah bantal di perutnya, membuatnya kelihatan seolah-olah seperti ia sedang
hamil. Kemudian mereka membawanya ke hadapan Kaha dan bertanya kepadanya, Tuan,
kapankah waktunya wanita ini melahirkan?
Petapa Itu mengetahui bahwa waktunya telah tiba bagi kehancuran Sepuluh Saudara tersebut;
kemudian dengan melihat batas waktu bagi kehidupannya sendiri, ia mengetahui bahwa ia
akan meninggal hari itu juga.
Kemudian ia berkata, Anak muda, apa hubungan pemuda ini dengan kalian? Jawab kami
terlebih dahulu, desak mereka.
Ia menjawab, Pemuda ini di hari ketujuh dari sekarang akan mengeluarkan sejenis kayu
akasia. Dengan itu, ia akan menghancurkan garis keturunan dari Vsudeva walaupun kalian
mengambil batang kayu itu dan membakarnya serta membuang abunya ke dalam sungai.
Ah, petapa gadungan! kata mereka, Seorang laki-laki tidak akan pernah dapat melahirkan
anak! dan mereka melakukan pekerjaan dengan tali dan benang tersebut, mereka
membunuhnya dengan segera.
Raja memanggil keempat pemuda tersebut dan menanyakan mengapa mereka membunuh
petapa itu. Ketika mereka mendengar semuanya, mereka menjadi ketakutan. Mereka
melakukan penjagaan terhadap pemuda tersebut. Dan di hari ketujuh ketika ia mengeluarkan
sejenis kayu akasia dari dalam perutnya, mereka membakarnya dan membuang abunya ke
dalam sungai. Abu itu terapung-apung di air sungai dan tersangkut di satu sisi dekat pintu
gerbang rahasia; dari sana muncullah tanaman eraka.
Suatu hari para raja tersebut mengusulkan agar mereka pergi bersenang-senang dan bermain-
main dengan air. Maka mereka datang ke pintu gerbang rahasia tersebut, sebelumnya mereka
telah menyuruh orang untuk membangun sebuah
paviliun yang megah. Di dalam paviliun ini mereka makan dan minum. Kemudian dengan
bercanda mereka mulai main tangan dan kaki, dan terbagi menjadi dua kelompok, yang
akhirnya menjadi perkelahian.
Salah satu dari mereka, yang tidak dapat menemukan benda yang lebih baik lagi untuk
dijadikan pemukul, mengambil sehelai daun dari tanaman eraka itu, yang sewaktu dicabut
langsung berubah menjadi batang kayu akasia di tangannya. Ia kemudian menggunakannya
untuk memukul banyak orang. Yang lainnya pun mengikuti tindakan yang satu ini, dan benda
itu sewaktu mereka mencabutnya tetap langsung berubah menjadi batang kayu akasia.
Dengan kayu itu, mereka saling memukul sampai akhirnya mereka terbunuh.
Di saat mereka ini sedang menghancurkan satu sama lain, hanya empat yang melarikan diri
dengan naik ke dalam kereta kudaVsudeva, Baladeva, adik perempuan mereka Putri
Ajan, dan pendeta kerajaan, yang lain semuanya hancur.
Keempat orang tersebut melarikan diri dengan kereta itu ke hutan Kamattik. Di sana
pegulat Muhika telah mengalami tumimbal lahir menjadi yakkha, seperti yang dimintanya.
Ketika mengetahui kedatangan Baladeva, ia menciptakan sebuah desa di tempat itu.
Kemudian dengan mengubah wujudnya menjadi seorang pegulat, ia berkeliaran di sekitar
sana dan melompat- lompat sambil meneriakkan, Siapa yang mau bertarung denganku? dan
membunyikan jari jemarinya.
Sewaktu Baladeva melihatnya, ia berkata, Saudaraku, saya akan mencoba satu pertarungan
dengan orang ini.
Vsudeva berusaha dengan segala daya upaya untuk mencegahnya melakukan hal itu, tetapi
ia tidak mendengarkannya, turun dari kereta dan mendekati pegulat itu sembari
membunyikan jari jemarinya juga. Pegulat itu langsung memiting kepalanya dan kemudian
melahapnya seperti memakan lobak. Vsudeva yang mengetahui bahwa ia telah mati,
langsung pergi dengan adik dan pendeta tersebut, sampai matahari terbit mereka tiba di
sebuah desa perbatasan.
Ia kemudian berbaring di semak-semak pepohonan, sementara ia menyuruh adik dan petapa
itu masuk ke dalam desa, mencari dan membawa makanan kepadanya. Seorang pemburu
(namanya adalah Jar, atau Usia Tua) melihat semak-semak itu bergoyang.
Kemungkinan besar itu adalah babi, pikirnya.
Ia melempar tombaknya dan itu menusuk kaki Vsudeva. Siapa yang telah melukaiku?
teriak Vsudeva.
Pemburu tersebut yang baru mengetahui bahwa ia telah melukai seseorang, langsung
berusaha untuk lari karena ketakutan. Raja yang mengetahui siapa pelakunya, bangkit dan
memanggil pemburu tersebut, Paman, kemarilah, jangan takut!
Ketika ia kembali. Anda siapa? tanya Vsudeva.
Namaku adalah Jra, Tuan. Raja berpikir, Ah, Luka yang disebabkan oleh Usia Tua akan
mengakibatkan kematian, demikian yang dikatakan pepatah kuno. Tidak diragukan lagi saya
akan meninggal hari ini.
Kemudian ia berkata, Jangan takut, Paman. Mari tutup lukaku ini.
Luka tersebut kemudian diikat dan ditutup olehnya dan raja membolehkan ia pergi. Rasa sakit
yang amat sangat mulai menyerang dirinya. Ia tidak bisa memakan makanan yang dibawakan
oleh kedua orang tersebut. Kemudian Vsudeva berkata kepada mereka: Hari ini saya akan
meninggal. Kalian adalah makhluk yang lembut dan tidak akan pernah dapat mempelajari
apapun untuk bertahan hidup; jadi belajar dariku tentang ilmu pengetahuan alam ini.
Setelah berkata demikian, ia mengajarkan ilmu pengetahuan alamnya kepada mereka dan
menyuruh mereka pergi. Kemudian ia pun menemui ajalnya. Demikianlah satu per satu dari
mereka meninggal, kecuali Putri Ajan.
________________________________________
Prasthanikaparwa
Kitab Prasthanikaparwa merupakan kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa.
Setelah Dinasti Yadu musnah, meninggalnya BalaRama dan Krishna serta tenggelamnya kota
Dwaraka Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa menceritakan semua yang terjadi.
Byasa menyatakan bahwa tugas-tugas mereka telah berjalan dengan baik. Semua ada
waktunya dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk menarik diri dari segalanya. Atas
nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk meninggalkan kehidupan
duniawi melakukan perjalanan spritual melepas jiwa dengan Yoga
Kitab ini menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang mengundurkan diri dari
pemerintahan dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Mereka menyerahkan tahta
kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha.
Para Pandawa beserta Dropadi kemudian menjalankan puasa, menyiapkan tekad, menghadap
ke timur melakukan Yoga, menutup semua Indera mencapai keheningnan kemudian dengan
jiwa mereka melakukan perjalanan suci. Mereka berjalan secara berurutan yang di pimpin
oleh Yudistira hingga terakhir Droupadi melesat melewati banyak negara, sungai dan Laut.
Ketika melewati di sebuah Hutan, muncul jiwa seekor anjing yang ikut berjalan mengikuti
bersama mereka.
Sampailah mereka di laut dengan air berwarna merah. Kemudian mereka dihadang oleh
Dewa yang sangat besar, yaitu Agni pemilik 7 Api. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa
beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab
tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat
hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni
lenyap dari hadapannya dan para Pandawa menghadap selatan hingga mencapai pesisir utara
laut asin berbelok ke Barat daya melihat kota Dwaraka yang telah ditutupi lautan, berbelok ke
Utara mereka melanjutkan perjalanan, menjalankan Yoga mengelilingi seluruh Bumi
Mereka melanjutkan ke utara menuju Himavat, sebuah gunung yang sangat besar, melewati
Himawat melewati Gurun pasir dan mereka melihat MahaMeru (Sumeru), Droupadi terlepas
mengalami kegagalan berYoga dan jatuh ke Bumi. Dengan memegang Droupadi Bima
bertanya kepada Yudistira, Kita berlima masih kuat untuk berjalan, lalu mengapa Drupadi
dapat Drupadi Jatuh? Mengapa Ia tidak bisa melnjutkan perjalanan dengan kita?. Yudistira
menjawab, Bima, wanita yang benar-benar suci harusnya tertarik hanya kepada suaminya
saja. Ia tidak boleh tertarik pada orang lain. Drupadi mempunyai Lima orang Suami.
Seharusnya membagi cintanya kepada suami-suaminya. Kalau ia benarlah sayang kepada
semua suaminya, saya yakin ia tidak akan terjatuh demikian. Ia lebih tertarik kepada arjuna,
itu sebabnya ia terjatuh. Arjuna memang sangat terkenal di masyarakat dan sangat menarik.
Drupadi sering berpikir, Aku ini suami Arjuna padahal ia sebenarnya istri pandawa lima.
Meninggalkan Droupadi, mereka berjalan kembali. Kemudian Sahadewa jatuh, Bima
bertanya kepada Yudistira mengapa Ia bisah jatuh, Yudistira menjawab, Ia membanggakan
kebijakan dirinya tidak ada orang yang dapat menandingi dirinya, untuk itulah ia gagal dalam
perjalanan ini
Kemudian diperjalanan Nakula terjatuh ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira,
Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang
menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?. Yudistira yang bijaksana menjawab,
Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun
ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak
mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya dapat berjalan hingga sampai di sini.
Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan
mereka.
Kemudian Arjuna Jatuh, Bima bertanya, mengapa Arjuna yang selalu berbicara benar
bahkan berolok-olok-pun tidak Ia lakukan namun tak dapat melanjutkan perjalanan bersama
kita? Yudistira menjawab, Ia pernah mengucapkan akan membasmi seluruh lawan hanya
dalam satu hari namun tidak dapat dilakukannya Bukan itu yang membuatnya terjatuh namun
Bangga akan tindakannya dan meremehkan orang lainnya
Kemudian Bima Jatuh, dan Ia bertanya mengapa ia sampai terjatuh. Yudistira menjawab
bahwa Ia makan banyak untuk meningkatkan kekuatan, bukan itu yang membuatnya jatuh,
namun tidak memperhatikan kebutuhan orang lainnya saat makan itu yang membuatnya jatuh
Yudistira dengan ditemani seekor Anjing melanjutkan perjalanannya. Kemudian Dewa Indra
(Sakra), sang pemilik ribuan mata yang membuat langit dipenuhi guruh menghampiri
Yudistira dengan kendaraannya mengajaknya untuk naik bersamanya. Yudistira menolak
meninggalkan semua Saudaranya untuk mencapai Surga. Sakra kemudian berkata, Engkau
memang harus ditemani saudaramu di Surga, mereka telah sampai duluan daripadamu.
Mereka telah sampai disana tanpa jasad mereka, namun engkau dapat mencapainya bersama
dengan jasadmu ini .
Yudistira kemudian bertanya, Bagaimana dengan Anjing ini, Ia telah menemaniku dalam
perjalanan ini? Indra menyatakan agar meninggalkan di sana, namun Yudistira tidak mau
meninggalkan Anjing itu demi mendapatkan Surga. Indra mengatakan bahwa Surga adalah
bagi mereka yang berpahala dan bukankah Yudistira telah meninggal adik2 dan Istrinya di
tengah perjalanan jadi mengapa harus bersikukuh hendak membawa anjing itu dan tidak
meninggalkannya. Yudistira menjawab bahwa mereka ditinggalkan karena terjatuh dan Ia
tidak dapat membawanya serta, namun anjing ini masih hidup dan bersamaku mencapai
tempat ini, itulah mengapa Ia tidak mau meninggalkannya.
Kemudian Anjing itu berubah bentuk menjadi Dewa Dharma yang merasa puas dengan
ucapan Yudistira, kemudian mereka bersama Indra dan diiringi semua Dewa-dewa menuju
Surga.
Versi Jawa
kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam
Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka
mementaskan versi MahaBharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
________________________________________
Swargarohanaparwa
Kitab Swargarohanaparwa merupakan kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab
ini menceritakan akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Sesampainya di
surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya melainkan mendapati
bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat kecuali Karna ada di sana. Sang Dewa
mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena mereka telah melakukan dharma
mereka sebagai Kstaria yaitu berperang dan gugur dalam peperangan di Kurukshetra. Lantas
Yudistira menanyakan dimana tempat para ksatria-ksatria lainnya yang berada di pihak
mereka yang juga melakukan Dharmanya dan gugur di peperangan Kurukshetra. Ia pun
menyatakan bahwa Ia ingin segera bertemu mereka.
Dewa kemudian menemani Yudistira menemui mereka. Ia melalui jalan yang buruk, bau,
berdarah, bernanah banyak mayat dan banyak yang mengalami siksaan dirajam, ditusuk2 di
rebus dalam air yang mendidih yang di iringi oleh teriakan2 kesakitan karena sengsaraan
yang dialami sehingga tidak dapat lagi dikenali ragamnya. Karena ingin tahu siapa saja
mereka-mereka itu dan mengapa ada disitu ia bertanya, Siapa kalian dan mengapa ada di
sini?. Mereka menjawab dari berbagai tempat, Saya Karna! Saya Bhimasena! Saya
Arjuna! Saya Nakula! Saya Sahadeva! Saya Dhrishtadyumna! Saya Draupadi! Kami
anak-anak Draupadi!
Mendengar itu, Yudistira bertanya dalam hatinya, Inikah akhir takdir? Apa dosa yang
dilakukan oleh mereka sehingga pantas mendapatkan ini. Apa prilaku yang dilakukan oleh
anak2 Dhristarasta dengan semua dosa yang dilakukan namun justru mendapatkan surga,
padahal semua jiwa-jiwa lurus ini melakukan semua tugasnya, mematuhi kebenaran dan apa
yang dikatakan Veda, melakukan prilaku Ksatria, berperilaku benar, melakukan kurban,
memberikan dana pada para Brahmana. Apakah aku ini sedang bermimpi atau tidak? Apakah
aku sedang tersadar atau tidak? Apakah aku mengalami ilusi mental akibat kekacauan
pikiran?. Kemudian ia berkata kepada Dewa yang menemaninya, Kembalilah ke tempatmu,
aku akan menetap disini tidak di sana
belum ada sebentaran Yudistira di sana, Datanglah para Dewa dengan segala
kegemerlapannya dan mengubah tempat itu dari tempat yang penuh dengan siksaan itu tiba-
tiba berubah tidak ada lagi menjadi gemerlap bersinar dan dipenuhi dengan kebahagian
kegemerlapan pula. Indra kemudian berkata pada Yudistira, Kemarilah, Hai manusianya
manusia, ilusi ini berakhir sudah, engkau berhasil melewatinya, dengarlah, bahwa kebaikan
dan kejahatan itu melimpah. Ia yang akan menikmati surga akan mengalami buah nerakanya
terlebih dahulu dan sebaliknya sebaliknya Ia yang akan ditempatkan di Neraka menikmati
buah Surganya terlebih dahulu. Itu pula yang terjadi padamu Oh Yudistira, sebagai hukuman
ketiak engkau juga ikut menipu Drona mengatakan bahwa anaknya meninggal di
pertempuran Kurukshetra sebagai konsekuensi dari tipuan itu engkau pun diperlihatkan
keadaan neraka atas kerabatmu dan surga atas lawan2mu di bumi, penderitaan itu telah kau
lalui walaupun sebentar saja sebagai balasan atas tipuan yang engkau lakukan. Bima, arjuna
dan yang lainnya mengalami keadaan yang diterima akibat perbuatan mereka dan telah
dibersihkan pula dosa-dosanya dan telah berada di Surga saat ini.
Ternyata itu juga merupakan test dari Dewa Dharma kepaa Yudistira, yaitu ketika di danau
dan diberikan beberapa pertanyaan oleh Yaksa dan diminta untuk menghidupkan salah satu
dari 4 saudara2nya dan Ia berhasil menjawab pertanyaa2 Yaksa dan meminta agar Nakula
yang di hidupkan, Kemudian yang kedua saat bersama Anjing menuju surga dan yang ketiga
ketika lebih memilih neraka dari pada Surga dan tidak meninggalkan saudara2nya yang
mengalami siksaan.
Kemudian para Dewa, leluhur, Brahmana mandi bersama mensucikan diri di sungai yang ada
di surga yaitu Gangga dan menuju surga melihat semua pahlawan2 suci disana, diantarannya
Govinda (krishna) dengan rupa Brahmanya, karna dengan gemerlap sinar Dewa Surya, Bima
bersanding bersama Vayu, Nakula sadewa denan Aswin dengan segala kegemerlapannya,
Droupadi dengan kegemerlapannya, anak-anaknya yang merupakan penjelmaan Gandharva
kembali kewujudnya dengan kegermerlapannya, Dhritarashtra, raja para Gandharvas,
Satyaki, anak Subadra bersama Soma, Pandu, bersatu dengan Kunti dan Madri, Bhishma
ditengah-tengan para Wasu, Drona dan semua yang berperang telah menerima jasanya
Janamejaya (anak dari Parikesit) yang diceritakan kisah MahaBharata ini bertanya,
Bhishma, Drona, Dhritarashtra, Drupada, Uttara, anak2 Duryodhana, Sakuni, anak-anak
Karna, Jayadratha, Ghatotkaca and semua yang belum disebut berapa lama mereka ada di
Surga?
Vaishampayana berkata, Bhishma mencapai status Vasu, Drona kembali ke Brihaspati,
Kritavarma kembali ke Maruts. Pradyumna kembali ke Sanatkumara. Dhritarashtra, Gandari
kembali kepenguasa harta. Pandu, Kunti dan Madri di kediaman Indra. Wirata, Drupada, Raja
Dhrishtaketu, Nishatha, Akrura, Samva, Bhanukampa, Viduratha, Bhurishrava, Sala king
Bhuri, Kansa, Ugrasena, Vasudeva (ayah Krishna), Uttara, Sankha kembali menjadi dewas.
Anak Soma, Varchas yang menjadi Abhimanyu kembali pada Soma. Karna kembali ke
Surya. Shakuni kembali ke Dwapara, Dhrishtadyumna kembali ke Agni. Anak-anak
Dhritarashtra yang semuanya Rakshasa memperoleh Surga. Yudhishthira kembali ke Dewa
Dharma, Baladewa kembali ke Ananta (Naga) kembali ke bawah Bumi menjaga Bumi.
Krishna merupakan percikan dari Narayana yang Abadi kembali pada Narayana. 16,000
istrinya nanti pada saatnya kembali ke Saraswati menjadi para bidadari. Ghatotkaca dan
lainnya yang berasal dari Yakshas, Indra, varuna, Kuwera.
Sauti berkata Kisah ini merupakan Sejarah yang kemudian dinamakan MahaBharata. Vyasa
membuat kompilasi kisah ini sebanyak 3.000.000 di letakan di lingkungan para Deva, 1/2nya
dilingkungan para Leluhur, di lingkungan para Yaksha 1.400.000 kompilasi, 1.000.000 di
lingkungan para manusia. Narada menceritakan MahaBharata pada para Dewa, Asita-Devala
kepada para Leluhur, Suka kepada para Rakshasa, Yaksha, Dan Vaishampayana kepada para
manusia.
Mereka yang mendengar dan membawakan kisah ini menerima ganjaran Surga selama
21.000 tahun Dewa lamanya (Jutaan tahun manusia)

Anda mungkin juga menyukai