Anda di halaman 1dari 10

10 LAKON PEWAYANGAN

M. TAUFIK HIDAYATULLOH

XI.06

SMK NU 01 HASYIM ASY’ARI


TARUB - TEGAL
Tahun Pelajaran 2013/2014
1. Abimanyu
Abimanyu (Dewanagari: अभिमन्यु ; IAST: abhiman'yu) adalah seorang tokoh
dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Arjuna dan Subadra. Dalam
wiracarita Mahabharata, ditetapkan bahwa Abimanyulah yang akan meneruskan
Yudistira sebagai pewaris takhta. Riwayatnya dituturkan sebagai pahlawan yang
tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai salah satu
kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun.
Abimanyu menikah dengan Utara, putri Raja Wirata dan memiliki seorang putra
bernama Parikesit, yang lahir tak lama setelah ia gugur.

Arti nama
Abimanyu terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat).
Dalam bahasa Sanskerta, kata Abhiman'yu berarti "ia yang memiliki sifat tak
kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".

Riwayat
Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari
pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama
Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia
menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan
ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan
kemudian Subadra tertidur, maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu
bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya.
Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang kesatria
besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu
dengan Uttara, putri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa
dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang.
Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui
di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Sebagai cucu Dewa Indra, dewa senjata ajaib sekaligus dewa peperangan,
Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap
setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan kesatria-kesatria
besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena
keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayah, paman, dan
sekutunya.

2. Bima
Bima (Dewanagari: भीम; IAST: Bhīma) atau Bimasena (Dewanagari:
भीमसे न; IAST: Bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita
Mahabharata. Ia merupakan putra Kunti, dan dikenal sebagai tokoh Pandawa
yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh,[1] walaupun
sebenarnya berhati lembut. Di antara Pandawa, dia berada di urutan kedua dari
lima bersaudara. Saudara seayahnya ialah Hanoman, wanara terkenal dalam epos
Ramayana. Mahabharata menceritakan bahwa Bima gugur di pegunungan
bersama keempat saudaranya setelah Bharatayuddha berakhir. Cerita tersebut
dikisahkan dalam jilid ke-18 Mahabharata yang berjudul
Mahaprasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa-
basi, tak pernah bersikap mendua, serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah 'hebat', 'dahsyat',
'mengerikan'.[2] Nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam alih aksara bahasa
Sanskerta dieja vṛkodhara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke
kegemarannya makan.[3] Nama julukan yang lain adalah Bhīmasena yang berarti
panglima perang.

Kelahiran
Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa Pandu tidak dapat membuat
keturunan akibat kutukan dari seorang resi di hutan. Kunti (istri Pandu) berseru
kepada Bayu, sang dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah
Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima menjadi orang yang paling kuat dan penuh
dengan kasih sayang.

Bima dalam pewayangan Jawa


Sifat
Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta
menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak
pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan
bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan
duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia
bertemu dengan Dewaruci. Ia mahir bermain gada, serta memiliki berbagai
macam senjata, antara lain: Kuku Pancakenaka, Gada Rujakpala, Alugara,
Bargawa (kapak besar), dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya
antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuglindhu, Aji Bayubraja dan Aji
Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung
Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana,
ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa
anugerah dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng
Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan
Pupuk Pudak Jarot Asem.
Dalam pencarian jati dirinya, Bima sering diberi tugas oleh gurunya—yang
sesungguhnya dihasut oleh para Korawa untuk membunuh Bima—yang terasa
mustahil untuk dikerjakan, seperti mencari kayu gung susuhing angin dan air
banyu perwitasari, yang akhirnya membawa Bima bertemu dengan Dewaruci

3. Arjuna
Arjuna (Dewanagari: अर्जुन; IAST: Arjuna) adalah nama seorang tokoh
protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai anggota Pandawa
yang berparas menawan dan berhati lemah lembut. Dalam Mahabharata
diriwayatkan bahwa ia merupakan putra Prabu Pandu, raja di Hastinapura dengan
Kunti atau Perta, putri Prabu Surasena, raja Wangsa Yadawa di Mathura.
Mahabharata mendeskripsikan Arjuna sebagai teman dekat Kresna, yang disebut
dalam kitab Purana sebagai awatara (penjelmaan) Dewa Wisnu. Hubungan antara
Arjuna dan Kresna sangat erat, sehingga Arjuna meminta kesediaannya sebagai
penasihat sekaligus kusir kereta Arjuna saat perang antara Pandawa dan Korawa
berkecamuk (Bharatayuddha). Dialog antara Kresna dan Arjuna sebelum perang
Bharatayuddha berlangsung terangkum dalam suatu kitab tersendiri yang disebut
Bhagawadgita, yang secara garis besar berisi wejangan suci yang disampaikan
oleh Kresna karena Arjuna mengalami keragu-raguan untuk menunaikan
kewajibannya sebagai seorang kesatria di medan perang.

Kelahiran
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Prabu Pandu tidak bisa melanjutkan
keturunan karena dikutuk oleh seorang resi. Kunti—istri pertamanya—menerima
anugerah dari Resi Durwasa sehingga mampu memanggil dewa sesuai dengan
keinginannya, dan juga dapat memperoleh anugerah dari dewa yang dipanggilnya.
Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut untuk memanggil Dewa Yama
(Dharmaraja; Yamadipati), Bayu (Maruta), dan Indra (Sakra) yang kemudian
memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra,
pemimpin para Dewa. Ia lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang
disebut Satsringa pada hari saat bintang Utara Phalguna tampak di zenith.

Nama lain dan julukan


Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna memiliki banyak nama
lain dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki
banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga
(pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit
trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka
menolong) "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat
menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti
dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan
musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.

4. Yudhistira
Yudistira (Dewanagari: यु धिष्ठिर; IAST: Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa,
adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan
seorang raja yang memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putra
Pandu. Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar prabu dan memiliki
julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan
Amarta.

Kelahiran
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata
bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu
setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu
terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud
sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu
bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan,
Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di
hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri
dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang
menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu.
Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan
menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan
mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama
itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung
Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan.
Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.

5. Nakula
Nakula (Dewanagari: नकुल; IAST: Nakula), adalah seorang tokoh protagonis
dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putra Madri, kakak ipar Kunti. Ia
adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putra Dewa Aswin, dewa tabib
kembar. Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok
parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di
dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang
dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab
Mahaprasthanikaparwa.

Riwayat
Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan
istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang
sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu
mengawasi sifat jahil kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang
terasa serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.
Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa
(Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari
sebuah danau. Ketika sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira
untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali,
Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk hidup kembali. Ini karena Nakula
merupakan putra Madri, dan Yudistira—yang merupakan putra Kunti—ingin
bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih Bima atau Arjuna,
maka tidak ada lagi putra Madri yang akan melanjutkan keturunan.
Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata,
Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran "Grantika".
Nakula turut serta dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan
perang besar tersebut.
Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri
Astadasaparwa Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan
ketika para Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya,
Dropadi tewas dan disusul oleh saudara kembar Nakula yang bernama Sadewa.
Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira perihal
alasan kematian Nakula. Yudistira menjawab bahwa Nakula sangat rajin dan
senang menjalankan perintah kita. Namun Nakula sangat membanggakan
ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut,
ia hanya hidup sampai di tempat itu. Setelah mendengar penjelasan Yudistira,
maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan
jenazah Nakula di sana, tanpa upacara pembakaran yang layak, namun arwah
Nakula mencapai kedamaian.

6. Sadewa
Sadewa (Dewanagari: सहदे व; IAST: Sahadéva) adalah salah satu tokoh utama
dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan anggota Pandawa yang paling
muda, yang memiliki saudara kembar bernama Nakula. Meskipun kembar, Nakula
dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan daripada Sadewa, sedangkan
Sadewa lebih pandai daripada kembarannya. Dalam hal perbintangan atau
astronomi, kepandaian Sadewa jauh di atas murid-murid Drona yang lain. Selain
itu, ia juga pandai dalam hal beternak sapi. Maka ketika para Pandawa menjalani
hukuman menyamar selama setahun di Kerajaan Matsya akibat kalah bermain
dadu melawan Korawa, Sadewa pun memilih peran sebagai seorang gembala sapi
bernama Tantripala.
Meskipun Sadewa merupakan Pandawa yang paling muda, namun ia dianggap
sebagai yang terbijak di antara mereka. Yudistira bahkan pernah berkata bahwa
Sadewa lebih bijak daripada Wrehaspati, guru para dewa. Sadewa merupakan ahli
perbintangan yang ulung dan mampu meramalkan kejadian yang akan datang.
Namun ia pernah dikutuk apabila sampai membeberkan rahasia takdir, maka
kepalanya akan terbelah menjadi dua.

Pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Sadewa dikisahkan lahir di dalam istana Kerajaan
Hastina, bukan di dalam hutan. Kelahirannya bersamaan dengan peristiwa perang
antara Pandu melawan Tremboko, raja raksasa dari Kerajaan Pringgadani. Dalam
perang tersebut keduanya tewas. Madrim ibu Sadewa melakukan bela pati dengan
cara terjun ke dalam api pancaka. Versi lain menyebutkan, Sadewa sejak lahir
sudah kehilangan ibunya, karena Madrim meninggal dunia setelah melahirkan
dirinya dan Nakula. Sewaktu kecil, Sadewa memiliki nama panggilan Tangsen.
Setelah para Pandawa membangun Kerajaan Amarta, Sadewa mendapatkan
Kasatrian Baweratalun sebagai tempat tinggalnya.
Istri Sadewa versi pewayangan hanya seorang, yaitu Perdapa putri Resi
Tambrapetra. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak bernama Niken Sayekti
dan Bambang Sabekti. Masing-masing menikah dengan anak-anak Nakula yang
bernama Pramusinta dan Pramuwati. Versi lain menyebutkan Sadewa memiliki
anak perempuan bernama Rayungwulan, yang baru muncul jauh setelah perang
Baratayuda berakhir, atau tepatnya pada saat Parikesit cucu Arjuna dilantik
menjadi raja Kerajaan Hastina. Rayungwulan ini menikah dengan putra Nakula
yang bernama Widapaksa.
7. Srikandi
Srikandi (Dewanagari: शिकण्ढी; IAST: Śikhaṇḍī) adalah salah satu putri Raja
Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam
kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Putri
Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata diceritakan
bahwa ia lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh
sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi
pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan Jawa
dikisahkan bahwa ia menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat
jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.

Riwayat
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba. Kisah
mengenai Amba dimuat dalam Mahabharata jilid pertama, yaitu Adiparwa.
Bisma—pangeran dari Kerajaan Kuru—memboyong Amba dari suatu sayembara
di Kerajaan Kasi, tanpa mengetahui bahwa Amba sudah memilih Salwa sebagai
calon suaminya. Karena Bisma tidak ingin Amba menikah secara terpaksa, maka
ia memulangkan Amba agar dapat menikah dengan Salwa. Salwa yang merasa
harga dirinya terinjak tidak mau menikahi Amba. Amba pun kembali ke kediaman
Bisma agar dinikahi, namun Bisma menolaknya karena bersumpah untuk hidup
membujang selamanya. Karena merasa terhina, Amba memutuskan untuk berdoa
kepada para dewa agar memperoleh cara untuk membunuh Bisma.
Menurut Mahabharata yang ditulis ulang C. Rajagopalachari, Dewa Subramanya
memberikannya puspamala dan bersabda bahwa orang yang bersedia memakainya
akan menjadi pembunuh Bisma. Amba pun mencari orang yang bersedia
memakainya, namun tidak ada yang berani meskipun ada jaminan keberhasilan
dari sang dewa. Setelah ditolak berbagai kesatria, akhirnya Amba tiba di istana
Raja Drupada, dan mendapatkan hasil yang sama. Dengan putus asa, Amba
melemparkan puspamala tersebut ke atas gerbang istana dan tidak ada yang berani
menyentuhnya. Setelah itu Amba pergi dan berdoa dengan keinginan untuk
menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya
Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Saat Srikandi masih muda, ia mendapati sebuah puspamala tergantung di atas
gerbang istananya. Ia pun mengalungkan puspamala tersebut di lehernya. Drupada
takut bahwa Srikandi akan menjadi musuh Bisma sehingga ia mengusir Srikandi
agar kemarahan Bisma tidak berdampak pada kerajaannya. Di tengah hutan,
Srikandi berdoa dan berganti jenis kelamin menjadi laki-laki. [2] Menurut versi lain,
ia kabur dari Panchala, lalu bertemu seorang yaksa yang kemudian menukar jenis
kelaminnya kepada Srikandi. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan
kembali kepada yaksa.

8. Parikesit
Parikesit (Dewanagari: परीक्षित; IAST: parikṣita; parikṣit) atau Pariksita adalah
seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Kerajaan Kuru dan
cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.
Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit
meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu,
sesuai dengan kutukan Brahmana Srenggi yang merasa sakit hati karena Prabu
Parikesit telah mengalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan
Samiti.

Parikesit di Jawa
Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati
dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni
Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya
gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya.
Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari
Amarta ke Hastinapura.
Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu
Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura.
Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.
Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang
putera, yaitu:
1. Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.

Keturunan Raja Parikesit


Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya.
Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya
menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan
Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi
puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama
Aswamedhadatta.
Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin
Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.

9. Baladewa
Dalam mitologi Hindu, Baladewa (Dewanagari: बलदोव; IAST: Baladeva) atau
Balarama (Dewanagari: बलराम; IAST: Balarāma), disebut juga Balabhadra dan
Halayudha, adalah kakak Kresna, putra Basudewa dan Dewaki. Dalam filsafat
Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India Selatan, ia dipuja sebagai
awatara kesembilan (versi lain menyebut ketujuh) di antara sepuluh Awatara dan
termasuk salah satu dari 25 awatara dalam Purana. Menurut filsafat Waisnawa
dan beberapa pandangan umat Hindu, ia merupakan manifestasi dari Sesa, ular
suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu.
Baladewa dalam pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu
Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu
Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah.
Ia lahir kembar bersama adiknya, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi
Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi
Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa,
putra Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, seorang swarawati keraton Mandura.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya
bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan
Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia
memperoleh dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana.
Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru
kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara,
keduanya pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai
Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna
berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Sebenarnya Baladewa memihak Kurawa, maka dalam Kitab Jitabsara ketika
ditulis skenarionya oleh para dewa tentang Perang Baratayuda, Prabu Kresna tahu
bahwa para dewa merencanakan Baladewa akan ditandingkan dengan Raden
Anantareja dan Baladewa mati. Ketika melihat catatan itu Prabu Kresna ingin
menyelamatkan Prabu Baladewa dan Raden Anantareja agar tak ikut perang sebab
kedua orang itu dianggap Prabu Kresna tak punya urusan dalam perang
Baratayuda. Prabu Kresna menyamar menjadi kumbang lalu terbang dan
menendang tinta yang dipakai dewa untuk menulis, tinta tumpah dan menutupi
kertas yang ada tulisan Anantarejo kemudian kumbang jelmaan Prabu Kresna juga
menyambar pena yang dipakai tuk menulis dan pena tersebut jatuh. Akhirnya
dalam Kitab Jitabsara yaitu kitab skenario perang Baratayuda yang ditulis dewa
tak ada tulisan Raden Anantareja dan Prabu Baladewa. Maka sebelum perang
Baratayuda Prabu Kresna membujuk Anantareja supaya bunuh diri dengan cara
menjilat telapak kakinya sendiri, akhirnya Raden Anantareja mati sebagai
tawur/tumbal kemenangan Pandawa. Prabu Kresna juga punya siasat untuk
mengasingkan agar Prabu Baladewa tidak mendengar dan menyaksikan Perang
Baratayuda yaitu dengan meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan
Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi
perang Baratayuda, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara
gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti
Baratayuda terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu
terjadilah perang Baratayuda.
Ada yang mengatakan Baladewa sebagai titisan naga sementara yang lainnya
meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur
sangat panjang. Setelah selesai perang Baratayuda, Baladewa menjadi pamong
dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu
Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa
setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.
10. Subadra
Subadra (Dewanagari: सु भद्रा; IAST: Subhadrā) atau Sembadra (dalam tradisi
pewayangan Jawa) merupakan salah satu tokoh utama dalam wiracarita
Mahabharata. Ia merupakan putri Prabu Basudewa, raja di Kerajaan Surasena.
Ia terkenal dalam budaya pewayangan Jawa sebagai seorang putri anggun, lembut,
tenang, setia dan patuh pada suaminya. Ia merupakan sosok ideal priyayi putri
Jawa. Sewaktu kecil ia bernama Rara Ireng. Subadra mempunyai dua orang kakak
yaitu Kakrasana yang kemudian menjadi raja di Mathura dengan gelar Prabu
Baladewa dan Narayana yang kemudian menjadi raja di Dwaraka dengan gelar
Prabu Sri Batara Kresna. Subadra menikah dengan salah satu anggota Pandawa
yakni Arjuna. Subadra merupakan ibu Abimanyu yang kemudian menurunkan
Prabu Parikesit.

Riwayat
Subadra lahir sebagai putri bungsu pasangan Basudewa dan Rohini, istrinya yang
lain. Subadra dilahirkan setelah kedua kakaknya, yaitu Kresna dan Baladewa,
membebaskan Basudewa yang dikurung oleh Kamsa di penjara bawah tanah.
Kemudian Ugrasena, ayah Kamsa, diangkat menjadi raja di Mathura dan Subadra
hidup sebagai putri bangsawan di kerajaan tersebut bersama dengan keluarganya.
Saat Arjuna menjalani masa pembuangannya karena tanpa sengaja mengganggu
Yudistira yang sedang tidur dengan Dropadi, ia berkunjung ke Dwaraka, yaitu
kediaman sepupunya yang bernama Kresna, karena ibu Arjuna (Kunti) bersaudara
dengan ayah Kresna (Basudewa). Di sana Arjuna bertemu dengan Subadra dan
mengalami nuansa romantis bersamanya. Kresna pun mengetahui hal tersebut dan
berharap Arjuna menikahi Subadra, demi yang terbaik bagi Subadra. Pada saat itu
status Arjuna adalah suami yang memiliki tiga istri, yaitu Dropadi, Citrānggadā,
dan Ulupi. Maka pernikahannya dengan Subadra menjadikan Subadra sebagai
istrinya yang keempat.
Subadra dan Arjuna memiliki seorang putra, bernama Abimanyu. Saat Pandawa
kalah main dadu dengan Korawa, mereka harus menjalani masa pembuangan
selama dua belas tahun, ditambah masa penyamaran selama satu tahun. Subadra
dan Abimanyu tinggal di Dwaraka sementara Arjuna mengasingkan diri di hutan.
Pada masa-masa itu Abimanyu tumbuh menjadi pria yang gagah dan setara
dengan ayahnya.
Ketika perang besar di Kurukshetra berkecamuk, para pria terjun ke peperangan
sementara para wanita diam di rumah mereka. Abimanyu dan Arjuna turut serta
ke medan laga dan meninggalkan Subadra di Dwaraka. Pada waktu itu umur
Abimanyu 16 tahun. Saat pertempuran berakhir, hanya Arjuna yang selamat
sementara seluruh putranya yang turut berperang telah gugur, termasuk
Abimanyu. Sebelum gugur, Abimanyu sudah menikah dengan Utari dan memiliki
seorang putra bernama Parikesit. Parikesit kemudian menjadi raja Hastinapura
menggantikan Yudistira, pamannya. Subadra menjadi penasihat serta guru bagi
cucunya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai