AGEP
AGEP
Pendahuluan
Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) adalah bentuk reaksi efek samping
berat pada kulit dengan gambaran plak eritema dan multiple papulopustul tersebar yang
bersamaan dengan demam tinggi dan diikuti riwayat penggunaan obat. Baik demam dan
kemerahan dapat membaik dan sembuh sendiri setelah penghentian obat 1. Lebih dari 90%
kasus PEGA disebabkan oleh obat-obatan namun dapat juga disebabkan oleh penyebab lain
seperti infeksi (bakteri, virus dan jamur), pajanan merkuri, atau pengecatan 2,3,4.
Gambaran histopatologi PEGA ditandai dengan spongiform intrakorneal, subkorneal
dan/atau pustul intraepidermal, edema papillary dermal dan neutrofilik dan infiltrasi
perivascular eosinofilik5. PEGA dengan atipikal presentasi klinis menunjukkan gambaran
histopatologi tipikal PEGA dengan gambran klinis yang menyerupai Sindroma Steven
Johson/ Nekrolisis Epidermal Toksis atau (SJS/TEN) dan drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS)6.
Etiologi
Obat tipikal yang memicu terjadinya PEGA adalah antibiotik penisilin , makrolida dan
obat anti-epilepsi3,4. Selain itu, dilaporkan obat atipikal yang memicu PEGA adalah golongan
anti-hipertensi (atenolol7, nifedipidine dan diltiazem8-17), antijamur (terbinafine18-27 dan
itracozale28), antibiotik (minosiklin29, sulfapiridin30 dan klindamisin31-34), paracetamol35,
allopurinol36-40, antiinflamasi (kortikosteroid dan oxicam NSAID 41, hidroksicloroquin42,
deksametason43), icodextran (dialisat peritoneal)44-45, media radiokontras intravena42,46-48.
Selain obat yang memicu terjadinya PEGA, diaporkan beberapa kasus infeksi virus
juga memicu terjadinya PEGA yaitu enteroviridae 2,3,9,23,43,49-53 (coxsackie B454,
cytomegalovirus55, virus Epstein-Barr56 dan hepatitis B57). Infeksi lain yang berhubungan
dengan terjadinya PEGA adalah Chlamydia pneumoniae 58, cystic echinococcis pada hepar 59,
infeksi saluran kemih kronik oleh Escherichia coli 60 dan Mycoplasma pneumoniae2. Pada
kasus infeksi ini, obat-obatan yang diberikan untuk mengobati infeksinya yang
menyebabkan terjadinya PEGA41. Pada kasus PEGA yang disebabkan oleh obat-obatan untuk
mengobati infeksi ini, virus pemicu juga berperan mendasari respon imun Th1. Hal ini akan
memicu peningkatan sitokin inflamasi berikutnya seperti interleukin 8 (IL-8) dan granulocyte
macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) yang mengingatkan respon neutrofilik
terhadat pengobatan yang dicurigai61 .
2,3,4
6
7
8
18-27
28
29
30
31-34
35
36
37-38
39-40
41
42
43
44-45
46-48
49
50-53
54
55
56
57
58
59
60
61
onset cepat dan jarang terjadi yang ditandai dengan perkembangan banyak pustul
steril non folikuler diatas eritema edematosus. Lebih dari 90% kasus disebabkan oleh obat-
obatan dalam jumlah sedikit termasuk antibiotik, antijamur, calcium channel blockers dan
agen antimalaria1. Penyebab jarang lain
nya termasuk infeksi bakteri, virus dan parasit, gigitan laba-laba, pengobatan herbal
ayam..(lacquered chicken), merkuri 2-4. AGEP seringnya terjadi tiba-tiba, terjadi dalam 48 jam
dari konsumsi obat yang dicurigai. Secara klinis, AGEP ditandai dengan demam, neutrofilia
dan leukositosis. Sebagian besar kasus jinak dan dapat membaik secara spontan setelah
penghentian obat yang dicurigai5. Beberapa kasus dapat melibatkan multiorgan6.
Patogenesis
Patofisiologi
Patofisiologi AGEP belum dikemukakan secara lengkap tetapi melibatkan obat-
obatan yang spesifik sel T CD4+ dan CD8+. Variasi obat disebutkan mempengaruhi
perkembagnan AGEP, tetapi yang paling sering dilaporkan memicu termasuk agen
antiinfeksi (seperti betalaktam dan makrolids), obat anti malaria dan diltiazem 17. Setelah
aktivasi sel T, sel T spesifik obat bermigrasi ke kulit, menghasilkan apoptosis keratinosit dan
pembentukan vesikel epidermal20. Vesikel tidak berubah menjadi pustule steril karena
neutrofil ditarik ke area yang banyak pengeluaran interleukin (IL)-8 dan faktor stimulasi
koloni granulosit-makrofag (GM-CSF) dari sel CD4+ dan keratinosit 19. Pelepasan interferon-
gamma(IFN ) dari sel CD4+ juga merangsang sekresi IL-8 dari keratinosit terdekat 19. Sel
Th17 juga berperan pada patogenesi AGEP. Peningkatan sel Th17 di darah perifer dan
sitokin reseptif, IL-22 juga ditemukan pada pasien dengan AGEP. IL-17 dan IL-22 secara
sinergis merangsang produksi IL-8 dari keratinosit dan penarikan dan aktivasi neutofil 21.
Sedikit pasien dengan AGEP memiliki mutase gen IL36RN, yang mengkode agonis
reseptor IL-36 (IL-36Ra)20. Pada pasien ini , signal IL-36 menghasilkan hasil tidak terkontrol
dan menghasilkan peningkatan variasi sitokin pro-inflamasi, termasuk IL-6,IL-8,IL-, dan IL-
120. Peningkatan produksi sitokin ini yang mempengaruhi perkembangan AGEP 20. Mutasi
genetic IL36RN juga berhubungan dengan GPP17, yang menyebabkan AGEP dan GPP
memiliki jalur pathogenesis yang mirip yang menimbulkan fenotip klinis yang overlap.
Gambaran klinis AGEP secara garis besar dijabarkan dalam kriteria EuroSCAR, yang
merupakan pendekatan algotirma dalam membedakan AGEP dengan SCRAs dan erupsi
pustular lainnya. Secara klasis, AGEP menujukkan banyak pustule pin point non-follicular
yang tersebar pada dasar eritematosis, berawal dari daerah lipatan figure 217. Menyatunya
pustule dapat memberikan gambaran desquamasi luas yang menyerupai nikolsy sign
positif17. Pada kasus atipikal AGEP dapat disebut TEN-like atau DIHS-like AGEP overlap
syndrome karena penampakan hertogen AGEP17. Tampilan atipikal yang dapat dilihat
termasuk edema wajah, lesi purpurik, target-like lesions, dan deskuamasi meluas18.
Keterlibatan membrane mukosa dapat ditemukan pada 20% kasus tetapi hampil selalu
ringan tanpa squele yang berarti17.
Pengobatan
Langkah awal yang paling penting untuk mengobati AGEP adalah menghapuskan
agen yang dicuriga. Setelah penghentian obat, gejala secara tipikal akan membaik dalam
beberapa hari20,25. AGEP secara umum penyakit yang sembuh sendiri dengan prognosis yang
baik, walaupun nisa cukup berat yang membutuhkan hospitalisasi 49. Pada kondisi berat,
pengobatan suportif, pencegahan infeksi secara spesifik, penting ketika pustule menjadi
menyatu dan deskuamasi kulit yang luas. Selama fase pustule, lesi sebaiknya ditutup dengan
penutup antiseptik yang lembab20,50. Antibiotik seharusnya hanya diberikan jika dicurigai
adanya superinfeksi pustule. Pada pasien dengan pruritus dan inflamasi, kortikosteroid
topical penting20. Pada studi retrospektif besar, penulis mendemonstrasikan penggunaan
steroid potent berhubungan dengan berkurangnya durasi hospitalisasi 51. Pada kasus berat
atau kasus berulang, kortiokosteroid sistemik atau cyclosporine penting untuk
mempercepat pembersihan penyakit