Fraktur Maksila Lefort
Fraktur Maksila Lefort
DISUSUN OLEH :
Nurwahida
160121120008
DOSEN PEMBIMBING :
Abstrak
Suatu trauma yang mengenai bagian tengah wajah, biasanya dapat menyebabkan jejas
atau fraktur pada maksila dan tulang-tulang di sekitarnya. Pola fraktur yang terjadi pada maksila
biasanya mengikuti area terlemah pada kompleks midfasial. Le Fort mengklasifikasi pola fraktur
pada maksila menjadi fraktur Le Fort tipe I, II, dan III, tergantung pada organ-organ yang
terlibat. Penanganan dan rehabilitasi pasien dengan trauma pada maksila meliputi pemahaman
terhadap jenis, evaluasi, dan perawatan bedah pada wajah.
Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggambarkan mengenai tipe-tipe
fraktur pada maksila, pemeriksaan, serta penanganannya agar diperoleh hasil pemulihan yang
optimal.
Kata kunci: Fraktur, Le Fort, trauma, reduksi, fiksasi.
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur maksila adalah suatu keadaan dimana hilangnya kontinuitas dari tulang maksila
dengan tulang pendukung disekitarnya ataupun dengan bagian –bagian dari tulang masksila itu
sendiri. Fraktur ini termasuk yang serius karena menyangkut struktur penting lainnya yang
berdekatan seperti rongga hidung, sinus maksilaris, rongga mata bahkan dapat melibatkan
kerusakan di otak baik secara primer maupun sekunder dari penyebaran infeksi. Fraktur yang
disebabkan trauma ini bisa terlokalisir atau muncul dalam kombinasi- kombinasi.1
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-sama
dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum dan mole. Pada
regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan
mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui
divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infra orbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk
juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Fraktur pada daerah ini mempunyai gambaran yang unik dibandingkan dengan injury
pada bagian tubuh yang lain seperti :
1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung.
2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam mengembalikan
perlekatan dan stabilisasi fraktur.
3. Terdapat suplai darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu dalam proses
penyembuhan yang cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI MAKSILA
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-sama
dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum dan mole. Pada
regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan
mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui
divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infraorbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk
juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk menahan tekanan
dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan mengusir tekanan infrasuperior
melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak dilengkapi dengan kemampuan menahan
tekanan dari lateral dan frontal. Struktur dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar
nasomaksilaris (medial), zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary (posterior). Pilar
nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari kaninus dan anterior maksila melalui
prossesus frontalis dari maksila dan naik ke cerukan lakrimal dan dinding medial orbita ke os
frontalis. Pilar zygomticomaxillary memanjang tulang alveolaris di atas molar I maksila melalui
korpus zygoma naik ke prossesus frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral
memberikan tahanan anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng
pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal dari midfasial.
Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior juga palatum durum.
Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital, memandang midfasial mudah untuk
kolaps dan mudah bergeser pada segmen sentral.3 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus
yang dibentuk oleh rima orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus.2
Gambar 2. Pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau nasomaksilari (V1), pilar lateral atau zigomatikomaksilari
(V2), dan pilar posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan tekanan kepada basis kranii. Pilar
horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1), rima infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum
(H3), memberikan dukungan struktural kepada fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung zygoma berfungsi
sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).3
II. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor predisposisi dan faktor
luar.
A. Faktor predisposisi:
Yang dimaksud dengan faktor predisposisi adalah faktor yang dapat menimbulkan fraktur
selain dari faktor utama. Seperti penyakit yang berupa infeksi periapikal, kista, tumor,
osteomielitis. Penyakit ini biasanya menyebabkan tulang menjadi rapuh ataupun melunak. Bila
resorbsi tulang meluas akibat penyebaran penyakit ini maka dapat terjadi patah tulang spontan
tanpa trauma.
B. Faktor utama
Faktor utama terjadinya fraktur pada tulang maksila adalah disebabkan oleh trauma baik
yang datang dari luar maupun dari dalam. Trauma dapat menyebabkan terjadinya fraktur secara
langsungt maupun tidak langsung.
1. Trauma langsung adalah apabila fraktur terjadi pada bagian yang terkena trauma.
2. Trauma tidak langsung adalah apabila fraktur terjadi pada tempat yang
jauh dari lokasi trauma.
III. EPIDEMIOLOGI
Penyebab utama dari fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%), perkelahian
(24%), jatuh (9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka tembakan (2%). Tanpa termasuk
fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40% dari seluruh kasus. Para ahli sepakat bahwa
distribusi frekuensi fraktur Le Fort yaitu tipe II > tipe I > tipe III, dimana Le Fort I mencapai 30
%, Le Fort II mencapai 42%, dan Le Fort III mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort. Kejadian
cedera bersamaan dengan trauma kepala (50%), cedera servikal (10%), cedera abdominal (15%),
cedera skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan fraktur midfasial.3
Klasifikasi fraktur maksila dapat dibedakan menurut jenis frakturnya dan lokasi dari fraktur
pada daerah tulang maksila itu sendiri.2
A. MENURUT JENISNYA.
Fraktur maksila dapat dibedakan atas jenis- jenis atau bentuk dari fraktur itu sendiri.yaitu:
1. Single fracture : Fraktur yang memiliki satu garis fraktur saja atau disebut juga fraktur
tunggal.
2. Multiple fracture : Fraktur yang melibatkan dua atau lebih garis fraktur pada tulang
yang sama dan masing-masingnya saling tidak berhubungan.
3. Simple fracture : Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka atau tidak berhubungan
dengan lingkungan luar, yaitu melalui mukosa, jaringan periodontal atau kulit (closed
fracture).
4. Compound fracture : Fraktur dengan luka terbuka yang melibatkan kulit, mukosa atau
jaringan periodontal untuk berhubungan dengan dunia luar (opened fracture).
5. Comminuted fracture : Fraktur yang menyebabkan tulang hancur atau splintered.
Tulang pada fraktur ini pecah menjadi fragmen-fragmen yang kecil.
6. Complicated fracture : Fraktur yang melibatkan jaringan lunak sekitarnya atau bagian
sekitarnya ikut menjadi rusak, dan fraktur ini dapat terbuka atau tertutup.
7. Impacted fracture : Fraktur yang menyebabkan fragmen tulang yang satu tertekan
masuk kesisi fragmen fraktur yang lainnya.
8. Incomplete fracture : Fraktur dimana tulang tidak patah sama sekali atau tidak putus,
terjadi pada tulang yang kalsifikasinya belum sempurna, seperti tulang anak-anak.
9. Displaced fracture : Fraktur yang mengalami perubahan letak dari garis frakturnya
sendiri
10. Distracted fracture : Fraktur yang mengalami dislokasi dari segment-segment fraktur
atau perubahan letak tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Fraktur pada maksila dapat terjadi salah satu dari jenis fraktur diatas tetapi juga bisa berupa
kombinasi dari bermacam – macam fraktur serta dapat melibatkan fraktur pada tulang lainnya
yang berdekatan dengan maksila.
B. MENURUT LOKASINYA
Sedangkan menurut lokasi terjadinya fraktur tersebut telah banyak klasifikasi dibuat olah
para ahli seperti:
1. Menurut THOMA tahun 1969
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu:
Fraktur prosesus alveolaris dan prosesus palatine
Fraktur horizontal ( Transverse maxillary fracture, Horizontal maxillary fracture,
Guerin Fracture, Le fort I fracture )
Fraktur trasversal yang menyangkut orbital, tulang zygoma dan tulang hidung.
( Transverse facial fracture , Craniofacial disjunction fracture )
Fraktur pyramidal yang menyangkut tulang-tulang hidung dan maxilla.
2. Menurut GUSTAV O. KRUGER. Tahun 1984
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu :
Fraktur Horizontal ( Le fort I )
Seluruh maksila terpisah dari dasar tengkorak, garis fraktur terdapat diatas
palatum tetapi dibawah perlekatan prosesus zygomaticus. Fraktur ini dapat terjadi
unilateral tetapi berbeda dengan fraktur prosesus alveolaris karena pada fraktur
alveolaris tidak disertai dengan perluasan kedaerah garis tengah palatum
Fraktur Pyramidal ( Le fort II )
Garis fraktur melalui aspek fasial maksila, meluas kebagian atas tulang hidung
dan tulang ethmoid biasanya sinus maksilaris ikut tersangkut, begitu juga tulang
zigoma dapat terlibat
Fraktur Tranversal (Le fort III)
Garis fraktur meliputi daerah mata, daerah tulang hidung dan tulang ethmoid terus
ke arcus zygomaticus, sehingga dinding samping tulang mata terpisah melalui
sutura zygomaticofrontalis
Fraktur Multiple
Merupakan kombinasi dari ketiga macam fraktur diatas.
3. Menurut ARCHER
Fraktur maksila cukup dibagi atas 2 golongan saja yaitu:
Fraktur dimana sebagian tulang maksila ataupun seluruh tulang maksila beserta
beberapa gigi terpisah dari badan tulang maksila ( Le fort I )
Fraktur dimana seluruh tulang maksila bagian atas terpisah dari tulang – tulang
dasar tengkorak sebagai suatu unit tunggal atau multiple.
4. Menurut LE FORT :
Fraktur Le fort adalah fraktur bilateral horizontal dari rahang atas dan dibagi menjadi 3
jenis Le fort fraktur.
Le fort I ( Fraktur Guerin, Transverse maxillary fracture, Floating maxilla,
Horizon maxillary fracture )
Garis fraktur melintang melalui bagian atas dari prosesus alveolaris, melibatkan
sebagian dari dinding sinus maksilaris, palatum dan bagian bawah dari prosesus
pterygoideus dan tulang sphenoid
Le fort II ( Pyramidal fracture )
Garis fraktur melalui tulang lakrimal, bagian bawah mata, melalui dasar mata
berjalan terus kebagian bawah sesuai dengan dinding lateral dari maksila melalui
pterygoid plate terus ke fossa pterygomaxilla. Berbentuk kerucut makanya disebut
fraktur pyramid.
Le fort III ( Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction )
Garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maksilo frontal dan nasofrontal.
Garis fraktur terus ketulang ethmoid dan sphenoid, pada fraktur ini maksila hanya
terikat oleh jaringan lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.
5. Menurut KILLEY.
Pembagian fraktur rahang atas ini berdasarkan lokasinya menjadi 5 macam.
Klas I : Fraktur pada kompleks zygomaticus
Klas II : Fraktur pada kompleks nasalis
Klas III : Fraktur Le Fort I
Klas IV : Fraktur Le Fort II
Klas V : Fraktur Le Fort III
6. Menurut IVY dan CURTIS:
Fraktur maksila hanya mengenai prosesus alveolaris.
Fraktur pada muka mulai diatas akar gigi sampai palatum durum ( unilateral )
Fraktur terjadi horizontal dan bilateral yaitu diatas palatum dan dibawah orbita.
Extensive comminuted fraktur, suatu fraktur yang terjadi dibagian atas maksila
disertai dengan fraktur pada tulang nasalis dan tulang-tulang lain disekitarnya.
7. Menurut CLARK:
Fraktur pada prosesus alveolaris maksila
Punch type fracture disebabkan karena tembakan sehingga terjadi luka pada
tulang yang bergerigi terjadi pada satu atau lebih tulang yang tipis.
Fraktur dimana setengah bagian dari tulang maksila dipisahkan dari cranium
Seluruh tulang maksilla dipisahkan dari karnium disebut juga Floating Maksila
karena maksila seperti terapung terlepas dari cranium.
Pada fraktur seperti ini dapat berupa ;
1. Transverse fracture
2. Pyramidal fracture
3. Transverse facial fracture.
8. Menurut ERICH dan AUSTIN :
Horizon fraktur, garis fraktur melintas secara horizontal pada kedua antrum dan
cavum nasalis.
Pyramidal fraktur, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan hidung
Transverse facial fracture, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan bagian
atas cavum nasalis.
9. Menurut MEAD :
Membagi fraktur maksila berdasarkan lokasinya menjadi 3 macam:
Partial fracture, yaitu fraktur dengan beberapa gigi pada tiap fragmen tulangnya
Complete fracture.
Partial or complete fracture pada kasus yang edentulous.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya
fraktur maksila dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur pada prosesus alveolaris.
Yaitu fraktu yang terjadi pada tulang maksila yang meliputi daerah alveolranya saja tanpa
melibatkan tulang pendukung yang lain dan tanpa diikuti terputusnya hubungan tulang
maksila dengan tulang nasal atau basis cranial.
2. Vertical fracture
yaitu fraktur pada rahang atas yang meliputi palatum durum, sedangkan garis
fraktur sendiri berjalan vertikal atau disebut juga fraktur Unilateral.
3. Fraktur Le Fort I
Fraktur ini disebut juga Fraktur Guerin, Low Level Fracture, Tranverse Maksila Frakture,
Horizontal Frakture, Floating Maksila. Dapat terlihat arah frontal dari maksila yang
melibatkan struktur maksila dari plat pterygoid, nasal dan zygomatik. Tipe ini dapat
melibatkan maksila secara tersendiri dan terpisah dari struktur lain dengan diikuti
terputusnya sutura palatina atau fragment maksila.1
Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas level gigi. Fraktur
yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis, berjalan sepanjang dinding antral
lateral, belakang tuberositas maksilaris, dan melewati pteriogoid junction. Septum nasal
dapat terjadi fraktur, dan kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot
pterigoid eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan inferior.
Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik.2
4. Fraktur Le Fort II
Fraktur piramidal/subzigomatik yang menyebabkan terpisahnya wajah tengah
pusat dari kompleks orbitozigomatikus.3
Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level tulang nasal.
Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang lakrimalis, dan melewati
garis infraorbita pada area sutura zigomatikomaksilaris.2
.Gambar 4. Fraktur Le Fort II. 1
B. Breathing (Pernafasan)
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin menggangu ventilasi.
C. Circulation (Sirkulasi)
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal dihentikan
dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak
jaringan dan menyebabkan iskemia.
D. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami hilang kesadaran. Kesemua pasien
ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang singkat, harus diperiksa secara keseluruhan
dengan Skala Koma Glagow (GCS) dan dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.
Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)
Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi cedera kepala.6
E. Exposure environmental control
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka harus dipakaikan selimut hangat,
ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.
Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas yang baik serta ventilasi
yang adekuat. Tanda klinis, termasuk respirasi, nadi, dan tekanan darah sebaiknya diperiksa dan
dicatat. Selama pemeriksaan awal, masalah lain yang dapat mengancam kehidupan, seperti
perdarahan eksesif, sebaiknya diperiksa. Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya
dilakukan sesegera mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan evaluasi spina
servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang dapat menyebabkan fraktur pada tulang wajah
biasanya tersalurkan ke spina servikalis. Leher harus diimobilisasi sementara hingga jejas pada
leher dikatakan baik.1
Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan setelah didapat evaluasi
menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi pasien. Bagaimanapun, beberapa perawatan awal
seringkali penting untuk kestabilan pasien. Seringkali, fraktur pada tulang wajah yang berat
dapat mengurangi kemampuan pasien dalam menjaga jalan nafas.1
Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah tapi juga jaringan lunak,
seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat berhubungan dengan jejas seperti fraktur laring.
Pada beberapa kasus, perlu dilakukan trakheostomi untuk memberikan jalan nafas yang adekuat.
Pada pasien trauma dengan obstruksi jalan nafas atas komplit, krikotirotomi merupakan cara
paling cepat untuk mengakses trakea.1
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya
harus dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey diatas adalah dalam bentuk
berurutan sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam prakteknya hal-hal diatas
sering dilakukan berbarengan.7
2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis
a. Pemeriksaan Riwayat Penyakit
Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin. Riwayat ini sebaiknya
diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan kesadaran atau status nerologi, informasi harus
diperoleh dari anggota lain yang mendampingi. Lima pertanyaan penting yang sebaiknya
dipertimbangkan:
1. Bagaimana kejadiannya terjadi?
2. Kapan kejadiannya terjadi?
3. Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak, pertimbangan
logistik?
4. Apakah terjadi penurunan kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk nyeri, perubahan
sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?
Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan imunisasi tetanus
terdahulu, kondisi medis, dll.1
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit, karena biasanya
mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia
merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber
terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi atau
pekerja pada unit gawat darurat. Tanggal, waktu, tempat kejadian dan peristiwa khusus dicatat.
Apabila cedera disebabkan oleh kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau sebagai
penumpang, apakah korban memakai sabuk pengaman? Apakah pasien merupakan korban tindak
kejahatan dengan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko tinggi,
alergi dan tanggal imunisasi tetanus juga dicatat. Adanya tanda-tanda kecanduan alkohol dan
obat-obatan, dicatat karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi
mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi
umum.6
b. Pemeriksaan Klinis
Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan dikuatkan dengan pemeriksaan
radiologis. Sejumlah faktor bisa membuat pemeriksaan klinis menjadi sulit, termasuk kehadiran
edema fasial, epistaksis, maksila yang tumpang tindih atau bahkan pasien yang tidak sadar atau
tidak kooperatif.3
1. Pemeriksaan Ekstraoral
Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik yang terorganisir dan
berkelanjutan. Wajah dan kranii harus diinspeksi secara hati-hati terhadap kemungkinan trauma
termasuk laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun hematom dan kemungkinan cacat pada
kontur. Area ekimosis harus dievaluasi secara hati-hati.
Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi dan depresi tulang yang jelas.
Asimetri area wajah perlu dicatat, dan cairan yang keluar baik dari hidung maupun telinga
diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga terbukti bukan itu. Jika diduga terdapat cairan
serebrospinal, hidung maupun telinga sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat
menyebabkan infeksi retrograde yang menyebabkan meningitis.2
Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya diskontinuitas tulang. Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan secara bimanual dan disiplin. Pertama kita lakukan pemeriksaan rima
orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima lateral dan infraorbitalis, dimana apabila
terdapat edema yang cukup besar dapat membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung
zigomatikus dipalpasi lalu ke tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan pemeriksaan maksila
dan mandibula.
Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila, sendiri ataupun kombinasi
dengan zygoma atau os nasal. Untuk menilai mobiliti pada maksila, kepala pasien harus
distabilkan dengan menggunakan satu tangan menekan dahi. Dengan menggunakan jempol dan
jari telunjuk dari tangan yang lain, memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat
adanya mobiliti pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya dipalpasi untuk melihat adanya gap
pada dahi, rima orbita, nasal atau zygoma.1
Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung zigoma maupun zigoma
yang terdisposisi ke lateral, yang dapat mengobstruksi pergerakan prosesus koronoid ke depan.
Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk. Terdapatnya krepitasi dan pergeseran dinding
antral lateral dan zigoma dapat mudah didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan
dan kualitas gigi perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap metode perawatan.2
Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran umum pada fraktur
maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau perdarahan retrofaringeal. Pasien sebaiknya ditanya
mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang merupakan indikasi terdapatnya drainase
cairan serebrospinal.
Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya oedem wajah
dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar. Keadaan ini disebut sebagai
deformitas dish face atau pan face. Terjadi haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang
timbul parestesi daerah pipi karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada
sulcus bukalis rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang zygoma. Segmen
maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan menyebabkan kontak prematur gigi molar
dan open bite anterior.7
2. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas alveolar ridge
dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada maksila dapat memberikan
informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris, dinding sinus maksilaris anterior, dan
dinding zigomatikomaksilaris.
Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari lingkar orbita
dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi bola mata, serta jarak
intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III berhubungan dengan adanya cedera pada
zygomatikus. Perubahan penglihatan menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata,
masalah pada retina ataupun masalah neurologic lainnya. Gangguan pada pergerakan
ekstraokular atau enopthalmos menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita.
Peningkatan jarak interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris atau
tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis . Dalam hal kerusakan
yang parah pada mata dan tulang orbita dapat dikonsultasikan kepada opthalmologis.
Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi permeriksaan
dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau displacement. Gangguan pada
oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan
jika terjadi maka akan diikuti oleh sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras
bergesekan satu sama lain. Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat
dari trismus atau sakit.7
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial yang kuat
menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi klas III,
kontak prematur pada molar dan anterior open bite.3
Gambar 9. Pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi difiksasi dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan
untuk menilai adanya mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal untuk menilai mobiliti pada os
nasal.1
`
Gambar 10. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila dimanipulasi
untuk memeriksa adanya pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal (A), maka terdapat adanya
Le Fort II atau III. Jika gerakan terdeteksi juga pada zigoma (B), maka terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi
adanya gerakan pada daerah tersebut namun maksila mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.5
Gambar 11. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar
dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan fraktur Le Fort II dan III
dilakukan dengan cara satu tangan memegang puncak hidung sementara tangan lain memanipulasi maksila.
Pergerakan pada sutura nasofrontal menunjukkan kemungkinan terdapatnya fraktur Le Fort II atau III.4
Gambar 13. Water’s view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen fraktur bentuk
Piramid. Tampak fraktur pada hidung, os.lakrimal, dinding orbita media, dasar orbita, maksilla anterior, lempeng
pteriogoid.8
Gambar 14. Foto water’s lateral menunjukkan fraktur Le Fort II
Namun, dikarenakan kesulitan untuk menginterpretasi foto polos midfasial, teknik yang
lebih memuaskan biasanya digunakan. Biasanya menggunakan CT (Computed Tomography)
scan atau rekonstruksi 3-D.4
Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik radiologi
tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya edema dan kehadiran benda
asing yang sering terlewat pada foto konvensional.
B. Prinsip perawatan
Untuk mencapai hal ini maka prinsip bedah hendaknya mengikuti aturan berikut ini
Prinsip perawatan fraktur maksila:
1. Debridement yaitu membersihkan sisi fraktur meticulous.
2. Reduction yaitu mensejajarkan ujung tulang yang patah.
3. Fixation yaitu menstabilkan fraktur tulang, setelah selesai prosedur diatas, baru-baru ini
digunakan mini plat tulang dan scrub ( rigid internal fixation ).
4. Imobilisasi yaitu pengikatan Fraktur pada bagian sendi, dicapainya dengan wiring sendi
secara bersamaan selama 4-6 minggu dengan penyebaran yang luas menggunakan fixasi
interna yang kuat, bagaimanapun prosedur ini sangat cepat dalam membantu
penyembuhan.
5. Rehabilitasion yaitu mengistirahatkan total dari region yang terkena trauma seperti
perlekatan kembali secara prostetik dari gigi geligi yang hilang akibat trauma dan injury.
C. Metode perawatan
Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun metode tertutup
tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur maksila yang meliputi le fort I,
II, III atau yang diikuti kelainan oklusi harus dilakukan dengan metode terbuka.9,2,6
1. Reduksi tertutup ( close red )
Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali bagian tulang yang
fraktur seperti pada frakmen fraktur ini bergerak, biasanya gigi geligi yang terdapat pada sekmen
fraktur mengalami kegoyahan . Pada kasus ini dibutuhkan tekanan berulang (digital) untuk
mereduksi tulang yang patah.
Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan kiri palatum pada
sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction forceps atau Hayton-Williams
forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi palatum tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung
maksila dan mandibula. Gigi yang goyah diikat dengan kawat (wiring) kearch bar maksila,
sedangkan gigi yang terdapat pada segment yang tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi
intermaksila. Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi
dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan diet lunak
selama fiksasi.
Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:
Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan gambaran
perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen frakturnya terletak pada variable
yang stabil dari tekanan otot-otot mastikasi.( Undisplasment fracture )
Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara radiology
memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis fraktur kemudian menjadi
stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union tulang pada fraktur ini dapat menjadi
penghubung yang baik.
Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak adanya
rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara merupakan kontra
indikasi.
2 Reduksi terbuka (open red)
Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang komplek. Dengan
metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang sempurna dan fiksasi yang kuat dan rigid.
Metode ini dimulai dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.
2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi
3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.
4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.
5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya.
6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan dijahit
7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)
8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang cukup.
Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:
Apabila metode tertutup gagal dilakukan
Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala komplikasinya seperti
open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.
Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .
Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.
Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk reduksi dan stabilitas
segment fraktur.
Fraktur yang membutuhkan bone graft.
B. Fiksasi Internal
Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur horizontal yang
sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.
Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau 0,2 inchi, 0,45
atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di tulang bagian superior. Bagian
yang paling sering digunakan adalah Apertura piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur
zygomatikus, Prosesus zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita. kemudian
kawat menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian dihubungkan (diikatkan) pada arch
bar yang telah dipasang pada gigi-geligi rahang atas (terhadap maksila) disebut fiksasi
kraniomaksila. Sedangkan pada ikatan atau perlekatan kawat terhadap mandibula disebut fiksasi
kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila
(Transosseous wiring fixation). Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka
fiksasi kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila, karena
perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi komponen maksila yang
mengalami fraktur.
C. Fiksasi eksternal
1. Pesawat Cranio-Maxilla.
Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat lain yang
dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang pada kepala yang
berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan tulang cranial. Alat ini ada
beberapa macam yang biasa digunakan yaitu:
Plaster of Paris head cap.
Woodards appliance.
Englands appliance.
Bisnoffs head band.
Crawford head frame.
Crawford bloom head appliance
Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;
a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan dengan
berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas seperti:
Wire splint
Cast metal splint
Band orthodontic
Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley sendiri.
b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini dimasukan kedalam
tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur melalui pipi lalu pin ini dihubungkan
kembali kealat head appliance.
c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh Erich, dimama
kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang sebelumnya pada rahang atas
( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu dihubungkan denga head appliance.
Pemakaian alat ini diindikasikan pada fraktur dengan tidak adanya perubahan tempat dari
rahang (fragmen) dan mandibula dapat bergerak untuk berbicara dan makan (makanan
lunak).
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan penyembuhannya
biasanya tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma, tetapi
potensi kemunculannya dapat diperkirakan selama evaluasi dan perawatan.
Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila antara lain:4
1. Parestesi n. infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis
Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi pada fraktur
maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan dengan ekstubasi, dengan
hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem berat jaringan lunak yang menghalangi
pernafasan melalui jalan nafas nasal. Pasien dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap
biasanya mengalami kesulitan pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas
nasofaringeal, dan pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan gangguan jalan
nafas. Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan terjadinya obstruksi
jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada hingga semua pembengkakan jaringan lunak hilang.4
Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang berkepanjangan.
Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid, sphenoid, frontal, dan maksila,
karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus atau ostia.4
Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika
memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan berlanjut,
jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong. Laserasi sebaiknya diperiksa ulang
sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan
tulang sebaiknya dilakukan reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri
utama harus segera ditangani, apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu
dilakukan arteriografi dan embolisasi. Aneurisma dan pseudoaneurisma merupakan komplikasi
trauma pada maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat fraktur maksila tersendiri.4
Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi yang
berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan dengan fraktur midfasial
dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita, seringkali dengan mekanisme
jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet dapat merupakan komplikasi reduksi pada
fraktur Le Fort III (atau fraktur yang melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi
atau tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya fragmen
tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak terdiagnosa atau ditangani
dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen zigoma) dapat menyebabkan
terjadinya enopthalmus dan diplopia.4
Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau alat fiksasi.
Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal, maloklusi) atau
pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur pembedahan kedua untuk
memperbaiki komplikasi tersebut.4
BAB IV
KESIMPULAN
Dari penjabaran tentang fraktur maksila secara umum tadi dapatlah diambil kesimpulan
bahwa:
1. Sebaiknya klinisi membuat diagnosa yang tepat dengan memperhatikan anamnesa,
pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan radiology demi tercapainya
perawatan yang tepat pula.
2. Perhatikan komplikasi yang menyertai fraktur maksila seperti Perdarahan yang hebat,
Kehilangan kesadaran, Obstruksi jalan nafas dan Kebocoran cerebrospinal renorrhoe.
3. Pengenalan tanda- tanda khas terjadinya fraktur Le fort I, II, III seperti: Elongasi
fasial, Dish face, Open bite klasik, Mobilitas seluruh rahang atas atau setengah wajah yang
menandakan lepasnya kontinuitas maksila dengan basis cranial.
4. Perawatan dilakukan sesegera mungkin untuk mensegah terjadinya komplikasi seperti
infekasi, malunion dan lain-lain.
5. Immobilisasi segmen fraktur merupakan aspek perting untuk mencegah terjadinya
kegagalan perlekatan (malunion ).
6. Perawatan dengan memakai metode tertutup atau terbuka disesuaikan denga indikasinya
masing-masing.
7. Perkembangan baru dengan memakai miniplate dan skrup untuk menghasilkan fiksasi dari
reduksi fragmen yang rigid dengan mengurangi waktu perawatan dan mempercepat
penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. James R. Hupp. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed. St. Louis:
Mosby.
2. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.
3. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker, Inc.
4. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed. Hamilton: BC
Decker Inc.
5. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas: Saunders.
6. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
7. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Oxford:
Blackwell-Science.
8. http://www.gla.ac.uk/ibls/US/cal/anatomy/trauma/maxillaclinfeat.htm
9. Pedlar, J and Frame J.W, 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg: Curchill
Livingstone.
10. Moe, K.S. 2009. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management.
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-treatment#a1135.