Anda di halaman 1dari 38

FRAKTUR MAKSILA

(LE FORT I, II, III)

DISUSUN OLEH :

Nurwahida
160121120008

DOSEN PEMBIMBING :

Endang Syamsudin, drg., Sp.BM.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011
FRAKTUR MAKSILA (LE FORT I, II, III)

Abstrak

Suatu trauma yang mengenai bagian tengah wajah, biasanya dapat menyebabkan jejas
atau fraktur pada maksila dan tulang-tulang di sekitarnya. Pola fraktur yang terjadi pada maksila
biasanya mengikuti area terlemah pada kompleks midfasial. Le Fort mengklasifikasi pola fraktur
pada maksila menjadi fraktur Le Fort tipe I, II, dan III, tergantung pada organ-organ yang
terlibat. Penanganan dan rehabilitasi pasien dengan trauma pada maksila meliputi pemahaman
terhadap jenis, evaluasi, dan perawatan bedah pada wajah.
Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggambarkan mengenai tipe-tipe
fraktur pada maksila, pemeriksaan, serta penanganannya agar diperoleh hasil pemulihan yang
optimal.
Kata kunci: Fraktur, Le Fort, trauma, reduksi, fiksasi.
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur maksila adalah suatu keadaan dimana hilangnya kontinuitas dari tulang maksila
dengan tulang pendukung disekitarnya ataupun dengan bagian –bagian dari tulang masksila itu
sendiri. Fraktur ini termasuk yang serius karena menyangkut struktur penting lainnya yang
berdekatan seperti rongga hidung, sinus maksilaris, rongga mata bahkan dapat melibatkan
kerusakan di otak baik secara primer maupun sekunder dari penyebaran infeksi. Fraktur yang
disebabkan trauma ini bisa terlokalisir atau muncul dalam kombinasi- kombinasi.1
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-sama
dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum dan mole. Pada
regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan
mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui
divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infra orbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk
juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Fraktur pada daerah ini mempunyai gambaran yang unik dibandingkan dengan injury
pada bagian tubuh yang lain seperti :
1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung.
2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam mengembalikan
perlekatan dan stabilisasi fraktur.
3. Terdapat suplai darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu dalam proses
penyembuhan yang cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI MAKSILA

Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia menyediakan pondasi


kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan perlindungan kepada basis tengkorak dan
berperan sebagai jangkar kepada ligamen fasial dan perlekatan otot. Tulang midfasial terdiri dari
rangkaian penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang menutupi sinus.3

Gambar 1. Disartikulasi tulang midfasial menggambarkan anatomi maksila,zigoma,tulang nasal, dan


septum nasal.4

Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-sama
dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum dan mole. Pada
regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan
mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui
divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infraorbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk
juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk menahan tekanan
dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan mengusir tekanan infrasuperior
melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak dilengkapi dengan kemampuan menahan
tekanan dari lateral dan frontal. Struktur dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar
nasomaksilaris (medial), zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary (posterior). Pilar
nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari kaninus dan anterior maksila melalui
prossesus frontalis dari maksila dan naik ke cerukan lakrimal dan dinding medial orbita ke os
frontalis. Pilar zygomticomaxillary memanjang tulang alveolaris di atas molar I maksila melalui
korpus zygoma naik ke prossesus frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral
memberikan tahanan anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng
pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal dari midfasial.
Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior juga palatum durum.
Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital, memandang midfasial mudah untuk
kolaps dan mudah bergeser pada segmen sentral.3 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus
yang dibentuk oleh rima orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus.2

Gambar 2. Pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau nasomaksilari (V1), pilar lateral atau zigomatikomaksilari
(V2), dan pilar posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan tekanan kepada basis kranii. Pilar
horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1), rima infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum
(H3), memberikan dukungan struktural kepada fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung zygoma berfungsi
sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).3

Rekonstruksi defek struktur midfasial membutuhkan rekonstruksi dari pilar-pilar ini


untuk mengembalikan pola tahanan normal pretrauma dan parameter biomekanikal yang penting
untuk mempertahankan integritas struktur skeletal. Penebalan-penebalan tulang ini memberikan
tempat untuk aplikasi pelat fiksasi guna memastikan dukungan dan penyembuhan yang
maksimal.3

II. ETIOLOGI

Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor predisposisi dan faktor
luar.
A. Faktor predisposisi:
Yang dimaksud dengan faktor predisposisi adalah faktor yang dapat menimbulkan fraktur
selain dari faktor utama. Seperti penyakit yang berupa infeksi periapikal, kista, tumor,
osteomielitis. Penyakit ini biasanya menyebabkan tulang menjadi rapuh ataupun melunak. Bila
resorbsi tulang meluas akibat penyebaran penyakit ini maka dapat terjadi patah tulang spontan
tanpa trauma.

B. Faktor utama
Faktor utama terjadinya fraktur pada tulang maksila adalah disebabkan oleh trauma baik
yang datang dari luar maupun dari dalam. Trauma dapat menyebabkan terjadinya fraktur secara
langsungt maupun tidak langsung.
1. Trauma langsung adalah apabila fraktur terjadi pada bagian yang terkena trauma.
2. Trauma tidak langsung adalah apabila fraktur terjadi pada tempat yang
jauh dari lokasi trauma.

III. EPIDEMIOLOGI

Penyebab utama dari fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%), perkelahian
(24%), jatuh (9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka tembakan (2%). Tanpa termasuk
fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40% dari seluruh kasus. Para ahli sepakat bahwa
distribusi frekuensi fraktur Le Fort yaitu tipe II > tipe I > tipe III, dimana Le Fort I mencapai 30
%, Le Fort II mencapai 42%, dan Le Fort III mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort. Kejadian
cedera bersamaan dengan trauma kepala (50%), cedera servikal (10%), cedera abdominal (15%),
cedera skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan fraktur midfasial.3

IV. KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA

Klasifikasi fraktur maksila dapat dibedakan menurut jenis frakturnya dan lokasi dari fraktur
pada daerah tulang maksila itu sendiri.2

A. MENURUT JENISNYA.
Fraktur maksila dapat dibedakan atas jenis- jenis atau bentuk dari fraktur itu sendiri.yaitu:
1. Single fracture : Fraktur yang memiliki satu garis fraktur saja atau disebut juga fraktur
tunggal.
2. Multiple fracture : Fraktur yang melibatkan dua atau lebih garis fraktur pada tulang
yang sama dan masing-masingnya saling tidak berhubungan.
3. Simple fracture : Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka atau tidak berhubungan
dengan lingkungan luar, yaitu melalui mukosa, jaringan periodontal atau kulit (closed
fracture).
4. Compound fracture : Fraktur dengan luka terbuka yang melibatkan kulit, mukosa atau
jaringan periodontal untuk berhubungan dengan dunia luar (opened fracture).
5. Comminuted fracture : Fraktur yang menyebabkan tulang hancur atau splintered.
Tulang pada fraktur ini pecah menjadi fragmen-fragmen yang kecil.
6. Complicated fracture : Fraktur yang melibatkan jaringan lunak sekitarnya atau bagian
sekitarnya ikut menjadi rusak, dan fraktur ini dapat terbuka atau tertutup.
7. Impacted fracture : Fraktur yang menyebabkan fragmen tulang yang satu tertekan
masuk kesisi fragmen fraktur yang lainnya.
8. Incomplete fracture : Fraktur dimana tulang tidak patah sama sekali atau tidak putus,
terjadi pada tulang yang kalsifikasinya belum sempurna, seperti tulang anak-anak.
9. Displaced fracture : Fraktur yang mengalami perubahan letak dari garis frakturnya
sendiri
10. Distracted fracture : Fraktur yang mengalami dislokasi dari segment-segment fraktur
atau perubahan letak tanpa merusak jaringan sekitarnya.

Fraktur pada maksila dapat terjadi salah satu dari jenis fraktur diatas tetapi juga bisa berupa
kombinasi dari bermacam – macam fraktur serta dapat melibatkan fraktur pada tulang lainnya
yang berdekatan dengan maksila.

B. MENURUT LOKASINYA

Sedangkan menurut lokasi terjadinya fraktur tersebut telah banyak klasifikasi dibuat olah
para ahli seperti:
1. Menurut THOMA tahun 1969
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu:
 Fraktur prosesus alveolaris dan prosesus palatine
 Fraktur horizontal ( Transverse maxillary fracture, Horizontal maxillary fracture,
Guerin Fracture, Le fort I fracture )
 Fraktur trasversal yang menyangkut orbital, tulang zygoma dan tulang hidung.
( Transverse facial fracture , Craniofacial disjunction fracture )
 Fraktur pyramidal yang menyangkut tulang-tulang hidung dan maxilla.
2. Menurut GUSTAV O. KRUGER. Tahun 1984
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu :
 Fraktur Horizontal ( Le fort I )
Seluruh maksila terpisah dari dasar tengkorak, garis fraktur terdapat diatas
palatum tetapi dibawah perlekatan prosesus zygomaticus. Fraktur ini dapat terjadi
unilateral tetapi berbeda dengan fraktur prosesus alveolaris karena pada fraktur
alveolaris tidak disertai dengan perluasan kedaerah garis tengah palatum
 Fraktur Pyramidal ( Le fort II )
Garis fraktur melalui aspek fasial maksila, meluas kebagian atas tulang hidung
dan tulang ethmoid biasanya sinus maksilaris ikut tersangkut, begitu juga tulang
zigoma dapat terlibat
 Fraktur Tranversal (Le fort III)
Garis fraktur meliputi daerah mata, daerah tulang hidung dan tulang ethmoid terus
ke arcus zygomaticus, sehingga dinding samping tulang mata terpisah melalui
sutura zygomaticofrontalis
 Fraktur Multiple
Merupakan kombinasi dari ketiga macam fraktur diatas.
3. Menurut ARCHER
Fraktur maksila cukup dibagi atas 2 golongan saja yaitu:
 Fraktur dimana sebagian tulang maksila ataupun seluruh tulang maksila beserta
beberapa gigi terpisah dari badan tulang maksila ( Le fort I )
 Fraktur dimana seluruh tulang maksila bagian atas terpisah dari tulang – tulang
dasar tengkorak sebagai suatu unit tunggal atau multiple.
4. Menurut LE FORT :
Fraktur Le fort adalah fraktur bilateral horizontal dari rahang atas dan dibagi menjadi 3
jenis Le fort fraktur.
 Le fort I ( Fraktur Guerin, Transverse maxillary fracture, Floating maxilla,
Horizon maxillary fracture )
Garis fraktur melintang melalui bagian atas dari prosesus alveolaris, melibatkan
sebagian dari dinding sinus maksilaris, palatum dan bagian bawah dari prosesus
pterygoideus dan tulang sphenoid
 Le fort II ( Pyramidal fracture )
Garis fraktur melalui tulang lakrimal, bagian bawah mata, melalui dasar mata
berjalan terus kebagian bawah sesuai dengan dinding lateral dari maksila melalui
pterygoid plate terus ke fossa pterygomaxilla. Berbentuk kerucut makanya disebut
fraktur pyramid.
 Le fort III ( Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction )
Garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maksilo frontal dan nasofrontal.
Garis fraktur terus ketulang ethmoid dan sphenoid, pada fraktur ini maksila hanya
terikat oleh jaringan lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.

5. Menurut KILLEY.
Pembagian fraktur rahang atas ini berdasarkan lokasinya menjadi 5 macam.
 Klas I : Fraktur pada kompleks zygomaticus
 Klas II : Fraktur pada kompleks nasalis
 Klas III : Fraktur Le Fort I
 Klas IV : Fraktur Le Fort II
 Klas V : Fraktur Le Fort III
6. Menurut IVY dan CURTIS:
 Fraktur maksila hanya mengenai prosesus alveolaris.
 Fraktur pada muka mulai diatas akar gigi sampai palatum durum ( unilateral )
 Fraktur terjadi horizontal dan bilateral yaitu diatas palatum dan dibawah orbita.
 Extensive comminuted fraktur, suatu fraktur yang terjadi dibagian atas maksila
disertai dengan fraktur pada tulang nasalis dan tulang-tulang lain disekitarnya.
7. Menurut CLARK:
 Fraktur pada prosesus alveolaris maksila
 Punch type fracture disebabkan karena tembakan sehingga terjadi luka pada
tulang yang bergerigi terjadi pada satu atau lebih tulang yang tipis.
 Fraktur dimana setengah bagian dari tulang maksila dipisahkan dari cranium
 Seluruh tulang maksilla dipisahkan dari karnium disebut juga Floating Maksila
karena maksila seperti terapung terlepas dari cranium.
Pada fraktur seperti ini dapat berupa ;

1. Transverse fracture
2. Pyramidal fracture
3. Transverse facial fracture.
8. Menurut ERICH dan AUSTIN :
 Horizon fraktur, garis fraktur melintas secara horizontal pada kedua antrum dan
cavum nasalis.
 Pyramidal fraktur, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan hidung
 Transverse facial fracture, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan bagian
atas cavum nasalis.
9. Menurut MEAD :
Membagi fraktur maksila berdasarkan lokasinya menjadi 3 macam:
 Partial fracture, yaitu fraktur dengan beberapa gigi pada tiap fragmen tulangnya
 Complete fracture.
 Partial or complete fracture pada kasus yang edentulous.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya
fraktur maksila dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur pada prosesus alveolaris.
Yaitu fraktu yang terjadi pada tulang maksila yang meliputi daerah alveolranya saja tanpa
melibatkan tulang pendukung yang lain dan tanpa diikuti terputusnya hubungan tulang
maksila dengan tulang nasal atau basis cranial.
2. Vertical fracture
yaitu fraktur pada rahang atas yang meliputi palatum durum, sedangkan garis
fraktur sendiri berjalan vertikal atau disebut juga fraktur Unilateral.
3. Fraktur Le Fort I
Fraktur ini disebut juga Fraktur Guerin, Low Level Fracture, Tranverse Maksila Frakture,
Horizontal Frakture, Floating Maksila. Dapat terlihat arah frontal dari maksila yang
melibatkan struktur maksila dari plat pterygoid, nasal dan zygomatik. Tipe ini dapat
melibatkan maksila secara tersendiri dan terpisah dari struktur lain dengan diikuti
terputusnya sutura palatina atau fragment maksila.1
Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas level gigi. Fraktur
yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis, berjalan sepanjang dinding antral
lateral, belakang tuberositas maksilaris, dan melewati pteriogoid junction. Septum nasal
dapat terjadi fraktur, dan kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot
pterigoid eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan inferior.
Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik.2

Gambar 3. Fraktur le fort I. 1

4. Fraktur Le Fort II
Fraktur piramidal/subzigomatik yang menyebabkan terpisahnya wajah tengah
pusat dari kompleks orbitozigomatikus.3
Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level tulang nasal.
Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang lakrimalis, dan melewati
garis infraorbita pada area sutura zigomatikomaksilaris.2
.Gambar 4. Fraktur Le Fort II. 1

5. Fraktur Le Fort III


Fraktur pada daerah ini disebut juga supra zygomatic fraktur, dihasilkan oleh
suatu tekanan yang besar pada level superior yang dapat memisahkan naso orbital
eithmoid komplek, zygomaticus dan maksila dari basis cranial atau disebut juga
pamisahan craniofasial.1 Sedangkan menurut Le fort fraktur ini disebut juga Transverse
facial fracture, Craniofacial disjunction. Dimana garis fraktur melalui sutura zygomatiko
frontal, maxillo frontal dan nasofrontal. Garis fraktur terus ke tulang ethmoid dan
sphenoid. Pada fraktur ini maxilla hanya terikat oleh jaringan lunak terhadap tulang-
tulang dasar tengkorak.
Gambar 5. Fraktur Le Fort III.1

V. PEMERIKSAAN DAN GEJALA KLINIS


1. Pemeriksaan Awal / Primary Survey
Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali menentukan apakah
pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas pada kepala dan leher seringkali melibatkan
jalan nafas dan pembuluh utama; oleh karena itu resusitasi ABC harus dilakukan secara ketat
pada tahap awal pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan fraktur maksilofasial. Setiap
pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian pertama harus ditujukan langsung pada
evaluasi menyeluruh. Selama pemeriksaan awal, jejas yang membahayakan hidup dan kondisi
medis sistemik harus dievaluasi secara tepat. Pasien dengan jejas pada wajah sebaiknya
diperkirakan memiliki jejas lain yang berhubungan, tergantung dari insidensi trauma.5
A. Airway (Jalan Nafas)
Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing., fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway, harus
melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun
demikian penilaian ulang terhadap airway tetap harus dilakukan.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak bleh
melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis
didasarkan riwayat perlukaan. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal fraktur servikal harus
dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka untuk
kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai
kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing (Pernafasan)
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin menggangu ventilasi.
C. Circulation (Sirkulasi)
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal dihentikan
dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak
jaringan dan menyebabkan iskemia.
D. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami hilang kesadaran. Kesemua pasien
ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang singkat, harus diperiksa secara keseluruhan
dengan Skala Koma Glagow (GCS) dan dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.
Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)

1 Respon (-) Respon (-) Respon (-)

2 Terbuka karena rangsang Tidak dipahami Ekstensi


sakit

3 Terbuka bila diminta Tidak tepat Fleksi

4 Terbuka spontan Bingung Gerakan tidak spesifik

5 - Bercakap-cakap Menunjukkan tempat yg


sakit

6 - - Bisa melakukan perintah

Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi cedera kepala.6
E. Exposure environmental control
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka harus dipakaikan selimut hangat,
ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.
Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas yang baik serta ventilasi
yang adekuat. Tanda klinis, termasuk respirasi, nadi, dan tekanan darah sebaiknya diperiksa dan
dicatat. Selama pemeriksaan awal, masalah lain yang dapat mengancam kehidupan, seperti
perdarahan eksesif, sebaiknya diperiksa. Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya
dilakukan sesegera mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan evaluasi spina
servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang dapat menyebabkan fraktur pada tulang wajah
biasanya tersalurkan ke spina servikalis. Leher harus diimobilisasi sementara hingga jejas pada
leher dikatakan baik.1
Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan setelah didapat evaluasi
menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi pasien. Bagaimanapun, beberapa perawatan awal
seringkali penting untuk kestabilan pasien. Seringkali, fraktur pada tulang wajah yang berat
dapat mengurangi kemampuan pasien dalam menjaga jalan nafas.1
Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah tapi juga jaringan lunak,
seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat berhubungan dengan jejas seperti fraktur laring.
Pada beberapa kasus, perlu dilakukan trakheostomi untuk memberikan jalan nafas yang adekuat.
Pada pasien trauma dengan obstruksi jalan nafas atas komplit, krikotirotomi merupakan cara
paling cepat untuk mengakses trakea.1
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya
harus dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey diatas adalah dalam bentuk
berurutan sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam prakteknya hal-hal diatas
sering dilakukan berbarengan.7
2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis
a. Pemeriksaan Riwayat Penyakit
Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin. Riwayat ini sebaiknya
diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan kesadaran atau status nerologi, informasi harus
diperoleh dari anggota lain yang mendampingi. Lima pertanyaan penting yang sebaiknya
dipertimbangkan:
1. Bagaimana kejadiannya terjadi?
2. Kapan kejadiannya terjadi?
3. Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak, pertimbangan
logistik?
4. Apakah terjadi penurunan kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk nyeri, perubahan
sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?
Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan imunisasi tetanus
terdahulu, kondisi medis, dll.1
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit, karena biasanya
mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia
merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber
terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi atau
pekerja pada unit gawat darurat. Tanggal, waktu, tempat kejadian dan peristiwa khusus dicatat.
Apabila cedera disebabkan oleh kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau sebagai
penumpang, apakah korban memakai sabuk pengaman? Apakah pasien merupakan korban tindak
kejahatan dengan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko tinggi,
alergi dan tanggal imunisasi tetanus juga dicatat. Adanya tanda-tanda kecanduan alkohol dan
obat-obatan, dicatat karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi
mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi
umum.6
b. Pemeriksaan Klinis
Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan dikuatkan dengan pemeriksaan
radiologis. Sejumlah faktor bisa membuat pemeriksaan klinis menjadi sulit, termasuk kehadiran
edema fasial, epistaksis, maksila yang tumpang tindih atau bahkan pasien yang tidak sadar atau
tidak kooperatif.3
1. Pemeriksaan Ekstraoral
Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik yang terorganisir dan
berkelanjutan. Wajah dan kranii harus diinspeksi secara hati-hati terhadap kemungkinan trauma
termasuk laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun hematom dan kemungkinan cacat pada
kontur. Area ekimosis harus dievaluasi secara hati-hati.
Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi dan depresi tulang yang jelas.
Asimetri area wajah perlu dicatat, dan cairan yang keluar baik dari hidung maupun telinga
diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga terbukti bukan itu. Jika diduga terdapat cairan
serebrospinal, hidung maupun telinga sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat
menyebabkan infeksi retrograde yang menyebabkan meningitis.2
Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya diskontinuitas tulang. Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan secara bimanual dan disiplin. Pertama kita lakukan pemeriksaan rima
orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima lateral dan infraorbitalis, dimana apabila
terdapat edema yang cukup besar dapat membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung
zigomatikus dipalpasi lalu ke tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan pemeriksaan maksila
dan mandibula.
Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila, sendiri ataupun kombinasi
dengan zygoma atau os nasal. Untuk menilai mobiliti pada maksila, kepala pasien harus
distabilkan dengan menggunakan satu tangan menekan dahi. Dengan menggunakan jempol dan
jari telunjuk dari tangan yang lain, memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat
adanya mobiliti pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya dipalpasi untuk melihat adanya gap
pada dahi, rima orbita, nasal atau zygoma.1
Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung zigoma maupun zigoma
yang terdisposisi ke lateral, yang dapat mengobstruksi pergerakan prosesus koronoid ke depan.
Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk. Terdapatnya krepitasi dan pergeseran dinding
antral lateral dan zigoma dapat mudah didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan
dan kualitas gigi perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap metode perawatan.2
Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran umum pada fraktur
maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau perdarahan retrofaringeal. Pasien sebaiknya ditanya
mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang merupakan indikasi terdapatnya drainase
cairan serebrospinal.

Gambar 6. Ekimosis subkonjungtival


Gambar 7. Ekimosis sirkumorbital bilateral (racoon eyes).8

Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya oedem wajah
dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar. Keadaan ini disebut sebagai
deformitas dish face atau pan face. Terjadi haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang
timbul parestesi daerah pipi karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada
sulcus bukalis rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang zygoma. Segmen
maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan menyebabkan kontak prematur gigi molar
dan open bite anterior.7

Gambar 8. Openbite anterior.

2. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas alveolar ridge
dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada maksila dapat memberikan
informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris, dinding sinus maksilaris anterior, dan
dinding zigomatikomaksilaris.
Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari lingkar orbita
dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi bola mata, serta jarak
intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III berhubungan dengan adanya cedera pada
zygomatikus. Perubahan penglihatan menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata,
masalah pada retina ataupun masalah neurologic lainnya. Gangguan pada pergerakan
ekstraokular atau enopthalmos menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita.
Peningkatan jarak interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris atau
tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis . Dalam hal kerusakan
yang parah pada mata dan tulang orbita dapat dikonsultasikan kepada opthalmologis.
Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi permeriksaan
dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau displacement. Gangguan pada
oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan
jika terjadi maka akan diikuti oleh sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras
bergesekan satu sama lain. Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat
dari trismus atau sakit.7
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial yang kuat
menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi klas III,
kontak prematur pada molar dan anterior open bite.3

Gambar 9. Pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi difiksasi dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan
untuk menilai adanya mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal untuk menilai mobiliti pada os
nasal.1
`

Gambar 10. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila dimanipulasi
untuk memeriksa adanya pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal (A), maka terdapat adanya
Le Fort II atau III. Jika gerakan terdeteksi juga pada zigoma (B), maka terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi
adanya gerakan pada daerah tersebut namun maksila mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.5

Gambar 11. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar
dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan fraktur Le Fort II dan III
dilakukan dengan cara satu tangan memegang puncak hidung sementara tangan lain memanipulasi maksila.
Pergerakan pada sutura nasofrontal menunjukkan kemungkinan terdapatnya fraktur Le Fort II atau III.4

Perbedaan klinis fraktur maksila:


1. Le fort I
Manifestasi Klinis Le Fort I antara lain adalah:
 Seluruh rahang atas dapat digerakan dengan mudah.
 Kecuali apabila segmen fraktur mengalami impaksi kearah posterior.
 Terjadinya kontak premature dari gigi posterior karena tulang maksila turun dan
menimbulkan open bite yang klasik.
 Palpasi tulang alveolar pada jaringan pendukung akan terasa nyeri
 Dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen dan sering adanya gambaran sinus yang
berkabut serta gangguan kontinuitas yang bilateral dari dinding sinus maksila.6
2. Le fort II
Manifestasi klasik Le Fort II antara lain :
 Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan ecchymosis yang memberikan kesan
seperti raccoon sign (menyerupai kucing).
 Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan, kondisi ini muncul karena
perkembangan odema yang sangat cepat.
 Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite.
 Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima infra orbital atau daerah
sutura naso frontal. Cara pendeteksian ini dapat dengan mengandalkan genggaman pada
gigi anterior maksila dan menggerakannya arah anterior- posterior, sehingga frakmen
yang pecah dari lantai orbita atau dinding media bisa terlihat dan ikut bergerak.
 Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau pergeseran pada sutura
zygomaticomaksilaris serta terputusnya kontinuitas rima orbital inferior didekat sutura
tersebut.2,6
5. Le fort III
Manifestasi klinis Le Fort III antara lain :
 Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat sobeknya meninge (selaput otak)
 Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat bilateral karena terjadinya
perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan.
 Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora. Ada baiknya temuan ini
dikomfirmasikan dengan CT coronal dan sagital scan, hal ini berguna dalam rencana
perawatan dan pertolongan nyawa pasien.
 Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso orbita eithmoid, luka yang
dihasilkan pun berfariasi.
 Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan memperlihatkan pergerakan dari
seluruh bagian atas wajah. 2,6
Gambar 12. Gambaran Klinis Fraktur Le Fort III

VI. Pemeriksaan Radiologis


Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan pasien stabil,
pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan tambahan informasi tentang trauma
fasial. Evaluasi pada fraktur midfasial secara umum ditambahkan dengan gambaran radiografik,
minimal foto Water’s, scheidel anteroposterior, lateral dan foto submentovertex. Foto Towne’s
sangat bermanfaat dalam menggambarkan lengkung zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung
zigoma paling bagus digambarkan pada foto submentovertex. Foto Water’s memperlihatkan
antrum hampir jelas. Foto lateral skull berguna dalam menggambarkan kehadiran cairan pada
sinus paranasal dan udara intrakranial. Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat menggunakan
reverse Water’s (frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya jarak antara tulang wajah
ke film.2

Gambar 13. Water’s view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen fraktur bentuk
Piramid. Tampak fraktur pada hidung, os.lakrimal, dinding orbita media, dasar orbita, maksilla anterior, lempeng
pteriogoid.8
Gambar 14. Foto water’s lateral menunjukkan fraktur Le Fort II

Namun, dikarenakan kesulitan untuk menginterpretasi foto polos midfasial, teknik yang
lebih memuaskan biasanya digunakan. Biasanya menggunakan CT (Computed Tomography)
scan atau rekonstruksi 3-D.4
Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik radiologi
tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya edema dan kehadiran benda
asing yang sering terlewat pada foto konvensional.

Gambar 15. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II

Gambar 16. Gambaran 3D fraktur Le Fort II.


VII. PERAWATAN FRAKTUR
A. Tujuan perawatan
Apabila stuktur wajah terkena trauma yang menyebabkan fraktur maksila maka tujuan
utama perawatan meliputi:
1. Penyembuhan tulang yang cepat.
2. Pengembalian penglihatan yang normal dan sempurna.
3. Kembalinya fungsi hidung untuk bernafas dan penciuman.
4. Kembalinya ruang bicara yang sempurna.
5. Hasil yang baik secara estetik baik dari gigi dan wajah seperti yang diinginkan.
Selama perawatan diusahakan meminimalkan hal-hal yang merugikan pasien, seperti
pemberian nutrisi, mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien serta kerusakan yang
minimal jika memungkinkan.1

B. Prinsip perawatan
Untuk mencapai hal ini maka prinsip bedah hendaknya mengikuti aturan berikut ini
Prinsip perawatan fraktur maksila:
1. Debridement yaitu membersihkan sisi fraktur meticulous.
2. Reduction yaitu mensejajarkan ujung tulang yang patah.
3. Fixation yaitu menstabilkan fraktur tulang, setelah selesai prosedur diatas, baru-baru ini
digunakan mini plat tulang dan scrub ( rigid internal fixation ).
4. Imobilisasi yaitu pengikatan Fraktur pada bagian sendi, dicapainya dengan wiring sendi
secara bersamaan selama 4-6 minggu dengan penyebaran yang luas menggunakan fixasi
interna yang kuat, bagaimanapun prosedur ini sangat cepat dalam membantu
penyembuhan.
5. Rehabilitasion yaitu mengistirahatkan total dari region yang terkena trauma seperti
perlekatan kembali secara prostetik dari gigi geligi yang hilang akibat trauma dan injury.

C. Metode perawatan
Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun metode tertutup
tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur maksila yang meliputi le fort I,
II, III atau yang diikuti kelainan oklusi harus dilakukan dengan metode terbuka.9,2,6
1. Reduksi tertutup ( close red )
Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali bagian tulang yang
fraktur seperti pada frakmen fraktur ini bergerak, biasanya gigi geligi yang terdapat pada sekmen
fraktur mengalami kegoyahan . Pada kasus ini dibutuhkan tekanan berulang (digital) untuk
mereduksi tulang yang patah.
Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan kiri palatum pada
sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction forceps atau Hayton-Williams
forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi palatum tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung
maksila dan mandibula. Gigi yang goyah diikat dengan kawat (wiring) kearch bar maksila,
sedangkan gigi yang terdapat pada segment yang tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi
intermaksila. Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi
dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan diet lunak
selama fiksasi.
Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:
 Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan gambaran
perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen frakturnya terletak pada variable
yang stabil dari tekanan otot-otot mastikasi.( Undisplasment fracture )
 Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara radiology
memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis fraktur kemudian menjadi
stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union tulang pada fraktur ini dapat menjadi
penghubung yang baik.
 Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak adanya
rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara merupakan kontra
indikasi.
2 Reduksi terbuka (open red)
Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang komplek. Dengan
metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang sempurna dan fiksasi yang kuat dan rigid.
Metode ini dimulai dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.
2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi
3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.
4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.
5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya.
6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan dijahit
7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)
8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang cukup.
Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:
 Apabila metode tertutup gagal dilakukan
 Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala komplikasinya seperti
open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.
 Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .
 Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.
 Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk reduksi dan stabilitas
segment fraktur.
 Fraktur yang membutuhkan bone graft.

Mikroplate and screw osteosynthesis


Pada abad ke dua puluh mulai diperkenalkannya pemakaian plat sederhana atau yang lebih
dikenal dengan Mini plate and screw. Sistem kompensasi plat logam ini menggunakan lobang-
lobang plat eksentrik dan skrup- skrup ( beberapa diantaranya ada yang menggunakan swa-ulir )
yang cocok untuk penatalaksanaan fraktur orofasial. Pada tahun –tahun terakhir perkembangan
plat dan skrup mengalami revolusi menjadi Mikro plate yang lebih ringan yang terbuat dari
titanium dan lebih bisa diterima oleh tubuh. Hal ini di kembangkan karena bentuk dan jenis
fraktur maksila yang berfariasi dan sangat komplek sekali.Bentuk dan ukurannyapun disesuaikan
dengan anatomi tulang fasial.
Beberapa keuntungan pemakaian mikro plat ini adalah: 2,6
 Kestabilan yang rigid pada fiksasi anatomi dari bagian –bagian fraktur.
 Dapat meniadakan pemakaian IMF ( intermaksilari fiksasi ).
 Mempercepat penyembuhan dan memperpendek durasi perawatan.
Indikasi dilakukannya pemasangan mikro plate pada fraktur maksila adalah:
 Apabila fiksasi maksilo mandibula sulit dilakukan.
 Untuk perawatan kasus yang penyembuhannya lama dan pseudoartrosis.
 Fiksasi pada graft tulang.
 Fraktur kompleks dan multiple dari Le fort I, II, III.
 Fraktur maksila pada pasien edentulous dengan displasment
Aplikasi mikor plate dan skrup:
 Pemaparan perkutan atau peroral dan kemudian dilakukan reduksi fraktur.
 Lakukan adaptasi dan stabilisasi mikro plat dan pembuatan lobang untuk skrup pada
tulang denga bur tulang.
 Lobang bur dicocokan sampai sesuai dengan besar srkupnya.
 Skrup dipasang menurut dataran lubang pada plate untuk mendapatkan kompresi.
 1-3 skrup diinsersikan pada sisi fraktur

Fiksasi dan Imobilisasi fraktur maksila


Ada beberapa macam alat untuk Immobilisasi fraktur maxilla yang mana pada dasarnya
menggunakan prinsip berikut ini:6
A. Fiksasi Intramaksila dan Intermaksila.
1. Hanya rahang atas saja yang dipasangkan alat fiksasi misalnya, dengan memakai arch
bar dari Erich. Contoh pada kasus fraktur sebagian kecil dari prosesus alveolaris rahang
atas (Intramaksila).
2. Pemasangan alat fiksasi pada gigi-geligi di maksila dan mandibula, kemudian pada
kedua rahang ini dipasang rubber elastic band melalui kaitan atau hock pada acrh bar
yang digunakan. Elastik hanya dipakai pada gigi-geligi yang tidak mengalami fraktur
rahang (berguna untuk fraktur unilateral atau segmental ) sehingga tulang alveolar yang
mengalami fraktur akan terdorong keatas oleh tekanan gigi-geligi dirahang atas dan
rahang bawah (Intermaksila).
Gambar 17. Arch bar dan fiksasi intermaksilaris.4

B. Fiksasi Internal
Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur horizontal yang
sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.
Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau 0,2 inchi, 0,45
atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di tulang bagian superior. Bagian
yang paling sering digunakan adalah Apertura piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur
zygomatikus, Prosesus zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita. kemudian
kawat menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian dihubungkan (diikatkan) pada arch
bar yang telah dipasang pada gigi-geligi rahang atas (terhadap maksila) disebut fiksasi
kraniomaksila. Sedangkan pada ikatan atau perlekatan kawat terhadap mandibula disebut fiksasi
kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila
(Transosseous wiring fixation). Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka
fiksasi kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila, karena
perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi komponen maksila yang
mengalami fraktur.
C. Fiksasi eksternal
1. Pesawat Cranio-Maxilla.
Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat lain yang
dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang pada kepala yang
berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan tulang cranial. Alat ini ada
beberapa macam yang biasa digunakan yaitu:
 Plaster of Paris head cap.
 Woodards appliance.
 Englands appliance.
 Bisnoffs head band.
 Crawford head frame.
 Crawford bloom head appliance
Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;
a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan dengan
berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas seperti:
 Wire splint
 Cast metal splint
 Band orthodontic
 Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley sendiri.
b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini dimasukan kedalam
tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur melalui pipi lalu pin ini dihubungkan
kembali kealat head appliance.
c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh Erich, dimama
kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang sebelumnya pada rahang atas
( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu dihubungkan denga head appliance.
Pemakaian alat ini diindikasikan pada fraktur dengan tidak adanya perubahan tempat dari
rahang (fragmen) dan mandibula dapat bergerak untuk berbicara dan makan (makanan
lunak).

2. Pesawat Cranio – Mandibula.


Pada metode ini gigi-geligi pada kedua rahang berada dalam keadaan oklusi dengan
menggunakan Intermaksila wiring fixation dan eksternal traction. Pesawat ini pun ada beberapa
macam yaitu :
a. Pesawat C-mand dengan menggunakan Traction bandage (head bandage). Terdiri dari
Barton bandage denagn elastic yang dilekatkan pada kedua sisi dengan menggunakan
plaster. Ini untuk perawatan sementara dari fraktur rahang.
b. Peasawat C-mand dengan menggunakan Steinmann-pin yang dimasukan kedalam corpus
mandibula , dibagian luar dihubungkan dengan Frac-sure link vertical rod dikedua sisi.
Frac-sure rods ini dihubungkan dengan head appliance
c. Pesawat C-mand dengan half pin hamper sama dengan Steinmann pin, juga digunakan
Frac-sure rods dipakai sebagai penghubung dengan head appliance.
d. Pada kasus tidak bergigi digunakan Gunning splint yaitu suatu acrilik aplint yang
digunakan sebagai alat fiksasi mandibula.

3. Pesawat Malar-Mandibula fixation.


Pesawat ini ditemukan oleh Gross, yang mana dua buah pin dimasukan kedalam tulang pipi
kiri dan kanan. Pin ini lalu dihubungkan dengan pin yang telah dipasang pada corpus mandibula
melalui suatu batang penghubung (rods) atau rubber elastic band.

Gambar 18. Fiksasi kraniomaksilar.7


C. Tahapan perawatan pada fraktur Le Fort:
1. Perawatan Fraktur Le Fort I
Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun metode
tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur maksila yang meliputi le
fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi sebaiknya dilakukan dengan metode terbuka.1,2
Aturannya, reduksi dini fraktur Le Fort I memberikan kesulitan minimal. Di atas 7 hingga
10 hari, perlu tenaga tambahan untuk melakukan reduksi sempurna. Fraktur dr pergeseran
minimal direduksi di diimobilisasi secara ideal dengan reduksi terbuka dan immobilisasi
diperoleh dengan penempatan plat yang tepat. Sebagai alternatif yang kurang ideal, melakukan
fiksasi intermaksilari selama sebulan, biasanya cukup untuk terjadi penyembuhan. Pada kasus
fraktur remuk yang parah, diperlukan perpanjangan periode fiksasi hingga 6 minggu. Fraktur
impacted atau fraktur yang tidak mudah direduksi karena penyatuan dini oleh jaringan ikut
(fibrous union) sebaiknya direduksi dengan menggunakan tang disimpaksi Rowe atau Hayton-
Williams. Paruh dari tang Rowe ditempatkan sepanjang dasar hidung, dan sisi lainnya pada
palatum keras (gambar). Digunakan secara sepasang atau sendiri. Untuk melindungi mukosa
hidung dan mukoperiosteum palatum, dapat ditempatkan ujung karet pada paruh tang. Gunakan
gerakan menekan atau memutar, maksila ditarik ke depan dan ke bawah.2

Gambar 19. Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila.2,4

2. Perawatan Fraktur Le Fort II


Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan dengan tang
disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan untuk memperbaiki posisi
anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mendapat stabilitas dan penyembuhan
yang adekuat. Imobilisasi dilakukan minimal 4 minggu.
Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort II dilakukan
insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior sering dibutuhkan untuk akses yang
cukup dari orbital rim. Hal ini dapat dicapai dengan insisi subsiliary atau transkonjunctiva.
Perawatan dimulai dengan pemasangan IDW untuk mendapatkan oklusi. Pada umumnya segmen
maksila pyramidal yang bebas distabilisasi ke tulang zygoma yang intak. Fiksasi dapat dilakukan
dengan mini plate yang menjangkau penyangga zygomaticomaksilaris.7
Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk imobilisasi.
Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan. Hal ini dapat diperoleh dengan
membuka regio sutura zigomatikomaksilaris baik dari rima inferior maupun intraoral, atau dapat
juga menggunakan daerah sutura nasofrontal. Kombinasi yang diperlukan tergantung pada
kebutuhan untuk mengeksplor dasar orbita, atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan
rekonstruksi regio nasofrontal karena daerah ini sering kali terjadi keremukan.2
Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura nasofrontal.
Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap koronal, atau melalui laserasi
yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat memberikan akses yang baik ke daerah sutura
nasofrontalis. Penempatan plat pada daerah ini dapat memberikan kestabilan dan keamanan
dalam arah superior posterior.

3. Perawatan Fraktur Le Fort III


Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma bilateral dan
fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya jejas yang remuk dan parah
bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan yang lain.2
Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi zigomatikofrontal,
zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang tepat dari maksila ke wajah
tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik harus didapatkan untuk mendapatkan posisi
anteroposterior dan lateral wajah tengah. 2
Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang yang bergerak
untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang atas harus dalam kondisi tidak
terpendam (direposisi) dan MMF dilakukan. Insisi jaringan lunak dapat dilakukan di lokasi yang
sama seperti untuk fraktur Le Fort II. Insisi alis lateral, lipatan glabela, atau flap kulit kepala
bicoronal dapat digunakan untuk topangan tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap
bicoronal dapat diperpanjang untuk mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap bicoronal harus
dirancang hati-hati untuk menghindari cedera pada cabang saraf wajah. Ketika flap dibuat pada
area lengkung orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di atas lengkung untuk menjaga suplai
darah dari daerah supraorbital dan supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita melakukan
diseksi superfisial dari fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita lakukan insisi
fasia temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai tulang zigoma yang
fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator kaku. Jika terpendam atau
comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan. Jangan gunakan flap bicoronal dalam situasi
dimana flap membutuhkan suplai arteri temporal. Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan tindakan
fiksasi pada fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang yang terlibat. Setelah ini
dilakukan dan segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini
merupakan tipe yang paling dapat diandalkan. Gunakan template lunak, pelat pembentuk kontur
yang akurat dan monocortical serta sekrup self-tapping. Gunakan pelat yang menjangkau seluruh
penopang utama. Pada fraktur Le Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral mungkin
sudah cukup. Namun, secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan (misalnya,
nasomaxillary, nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung zigomatic). Gunakan sesedikit
mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat berlebihan tidak diperlukan. Interoseus wiring dan
suspension wiring digunakan pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak sebaik miniplate
fiksasi karena vektor gaya untuk mempertahankan reduksi kurang akurat dan micromotion
meningkat.
D. Perawatan Post Operasi
Untuk meminimalisir edema paska operasi, lakukan pembalutan kassa dengan tekanan
ringan, pada daerah operasi. Jika pembalut tetap kering, dapat diangkat setelah 2-5 hari. Apabila
daerah fraktur terbuka terhadap lingkungan eksternal atau terdapat komunikasi dengan intra oral
atau ruang nasal, maka perlu diberikan antibiotik profilaksis terhadap organisme gram-positif
dan anaerob selama 5-10 hari.
Setelah pembedahan, observasi pasien selama semalam terhadap kemungkinan terjadinya
perdarahan, masalah pada jalan nafas, dan muntah. Jika menggunakan fiksasi dengan kawat pada
IMF, tempatkan pemotong kawat di dekat pasien setiap saat pada awal periode post-operasi
untuk mengeluarkan muntah. Lepas kawat atau rubber band apabila pasien mulai merasa mual.
Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF apabila muntah. Selain
itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu bubur atau cairan.10
E. Follow Up
Lakukan evaluasi follow-up pada hari ke 5-7 (jahitan kulit dapat dilepas pada saat ini),
minggu ke 2-4, lalu minggu ke 3-8 untuk melepas IMF. Follow-up jangka panjang mungkin
dibutuhkan untuk memonitor terjadinya komplikasi post-operasi atau deformitas.
Tujuan paling penting selama periode awal post-operasi yaitu memelihara imobilisasi.
Tergantung pada umur dan kesehatan umum pasien, keparahan dan displacement fraktur, serta
teknik perawatan yang digunakan, periode ini berkisar antara 4-8 minggu. Sehingga IMF perlu
dirawat selama periode ini. Selama periode ini, tekankan pasien untuk memelihara kebersihan
mulut dengan rajin menyikat gigi dan arch bar dan berkumur dengan saline atau mouthwash
antiseptik setiap pagi dan malam serta setiap habis makan.
Pada pemeriksaan post-operasi, lakukan tes stabilitas tulang wajah dengan mempalpasi
geligi rahang atas pasien saat menggigit dan merelaksasi otot pengunyahan. Terdapatnya
Pergerakan minimal mungkin masih dapat diterima, tapi mobilisasi berlebihan dapat
mengindikasikan terjadinya penyembuhan yang buruk. Pengambilan foto post-operasi (misal,
serial mandibula, Panorex dental views, facial series, CT scan) dapat membantu pada pasien
yang dicurigai terjadi malunion.
Apabila tulang wajah telah sembuh dengan baik dan didapat oklusi normal, IMF dapat
dilepas. Mobiliti vertikal yang minimal pada midfasial dapat pulih seiring dengan waktu.
Pergerakan yang berlebihan mengindikasikan terlalu dininya melepas arch bar atau terdapatnya
masalah penyatuan tulang. Pada umumnya, MMF dapat dilepas lebih cepat pada fraktur yang
diperbaiki dengan fiksasi miniplate, dan lebih lama pada fraktur yang diperbaiki dengan kawat
interosseus atau suspensi.10
BAB III

KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan penyembuhannya
biasanya tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma, tetapi
potensi kemunculannya dapat diperkirakan selama evaluasi dan perawatan.
Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila antara lain:4
1. Parestesi n. infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis

Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi pada fraktur
maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan dengan ekstubasi, dengan
hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem berat jaringan lunak yang menghalangi
pernafasan melalui jalan nafas nasal. Pasien dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap
biasanya mengalami kesulitan pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas
nasofaringeal, dan pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan gangguan jalan
nafas. Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan terjadinya obstruksi
jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada hingga semua pembengkakan jaringan lunak hilang.4
Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang berkepanjangan.
Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid, sphenoid, frontal, dan maksila,
karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus atau ostia.4
Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika
memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan berlanjut,
jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong. Laserasi sebaiknya diperiksa ulang
sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan
tulang sebaiknya dilakukan reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri
utama harus segera ditangani, apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu
dilakukan arteriografi dan embolisasi. Aneurisma dan pseudoaneurisma merupakan komplikasi
trauma pada maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat fraktur maksila tersendiri.4
Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi yang
berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan dengan fraktur midfasial
dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita, seringkali dengan mekanisme
jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet dapat merupakan komplikasi reduksi pada
fraktur Le Fort III (atau fraktur yang melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi
atau tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya fragmen
tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak terdiagnosa atau ditangani
dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen zigoma) dapat menyebabkan
terjadinya enopthalmus dan diplopia.4
Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau alat fiksasi.
Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal, maloklusi) atau
pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur pembedahan kedua untuk
memperbaiki komplikasi tersebut.4
BAB IV
KESIMPULAN

Dari penjabaran tentang fraktur maksila secara umum tadi dapatlah diambil kesimpulan
bahwa:
1. Sebaiknya klinisi membuat diagnosa yang tepat dengan memperhatikan anamnesa,
pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan radiology demi tercapainya
perawatan yang tepat pula.
2. Perhatikan komplikasi yang menyertai fraktur maksila seperti Perdarahan yang hebat,
Kehilangan kesadaran, Obstruksi jalan nafas dan Kebocoran cerebrospinal renorrhoe.
3. Pengenalan tanda- tanda khas terjadinya fraktur Le fort I, II, III seperti: Elongasi
fasial, Dish face, Open bite klasik, Mobilitas seluruh rahang atas atau setengah wajah yang
menandakan lepasnya kontinuitas maksila dengan basis cranial.
4. Perawatan dilakukan sesegera mungkin untuk mensegah terjadinya komplikasi seperti
infekasi, malunion dan lain-lain.
5. Immobilisasi segmen fraktur merupakan aspek perting untuk mencegah terjadinya
kegagalan perlekatan (malunion ).
6. Perawatan dengan memakai metode tertutup atau terbuka disesuaikan denga indikasinya
masing-masing.
7. Perkembangan baru dengan memakai miniplate dan skrup untuk menghasilkan fiksasi dari
reduksi fragmen yang rigid dengan mengurangi waktu perawatan dan mempercepat
penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. James R. Hupp. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed. St. Louis:
Mosby.
2. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.
3. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker, Inc.
4. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed. Hamilton: BC
Decker Inc.
5. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas: Saunders.
6. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
7. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Oxford:
Blackwell-Science.
8. http://www.gla.ac.uk/ibls/US/cal/anatomy/trauma/maxillaclinfeat.htm
9. Pedlar, J and Frame J.W, 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg: Curchill
Livingstone.
10. Moe, K.S. 2009. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management.
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-treatment#a1135.

Anda mungkin juga menyukai