Anda di halaman 1dari 31

A.

JUDUL PENELITIAN
Pengaruh Penggunaan Multimedia Berbasis Intertekstual Dalam Memahami
Konsep Ikatan Kimia

B. BIDANG KAJIAN
Bidang kajian dalam penelitian ini adalah ilmu pendidikan kimia

C. PENDAHULUAN
Pada dasarnya, pengertian belajar dapat dibedakan berdasarkan dua sudut
pandang, yakni behavioristik dan kognitivistik (Wahyu, 2007). Menurut
pandangan behavioristik, belajar adalah kegiatan sistematis yang ditandai dengan
adanya perubahan tingkah laku seseorang. Sedangkan belajar menurut pandangan
kognitivistik adalah kegiatan sistematis yang ditandai dengan adanya perubahan
pada struktur kognitif seseorang. Berdasarkan dua sudut pandang tersebut, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa setiap kegiatan belajar bertujuan untuk
menghasilkan perubahan atau kemampuan baik perilaku ataupun struktur kognitif.
Kemampuan-kemampuan yang menjadi hasil belajar diklasifikasikan oleh
Bloom ke dalam tiga kategori besar, yaitu domain kognitif, afektif, dan
psikomotor. Domain kognitif yang merupakan fokus utama Bloom beriringan
dengan konsep-konsep kimia yang bersifat abstrak. Sehingga kemampuan-
kemampuan yang termasuk domain kognitif Bloom diharapkan dimiliki siswa
setelah belajar kimia, mulai dari kemampuan mengingat (remember), memahami
(understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze) sampai dengan
kemampuan mengevaluasi (evaluate). Selanjutnya Krathwohl (2001)
menambahkan satu kemampuan lagi yaitu menciptakan (create).
Pada kenyataannya, tuntutan-tuntutan capaian kognitif di atas terutama pada
level analisis atau yang lebih tinggi, kadangkala dapat diselesaikan oleh siswa
yang sebenarnya belum memiliki kemampuan analisis. Beberapa penelitian
menyatakan sebagian besar siswa mampu menjawab soal kimia dengan benar,
tanpa mengetahui atau menggunakan konsep yang dimilikinya. Boo (1998)
mengemukakan bahwa siswa kelas XII di Singapura dapat menghasilkan jawaban

1
benar untuk pertanyaan tertentu tanpa memahami konsep kimia, pada materi
ikatan kimia. Beall dan Prescottt, 1994; Bunce, Gabel, dan Samuel, 1991;
Lythcott, 1990; Robinson, 2003 (Jansoon et al., 2009) mengemukakan bahwa
siswa seringkali menggunakan persamaan matematika tanpa memahami konsep
kimia atau keilmuan yang mendasarinya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
jawaban yang benar, mereka biasanya mengingat persamaan matematika dan
memasukkan angka daripada memecahkan masalah menggunakan konsep dasar
kimia. Boujaoude dan Barakat (2003); Huddle dan Pillay (1996) juga
mengemukakan bahwa siswa mampu menjawab dengan benar soal-soal
stoikiometri dan kesetimbangan, namun tidak dapat memberikan alasan yang
dapat diterima secara keilmuan. Padahal Dahsah dan Coll (Jansoon et al., 2009)
mengemukakan bahwa siswa lebih baik dalam menyelesaikan soal kimia jika
mereka memahami konsep dasar kimia. Ketidakmampuan siswa dalam memahami
konsep dasar kimia di atas berkaitan dengan konsep-konsep kimia yang bersifat
abstrak terutama pada level sub mikroskopik, yang sebenarnya bersifat nyata
namun sulit untuk teramati, seperti atom dan reaksi kimia (Atkins, 2005).
Dari beberapa hasil penelitian di atas tersirat bahwa untuk dapat mengerjakan
soal kimia level analisis atau yang lebih tinggi, diperlukan pemahaman materi
kimia yang utuh. Salah satu cara untuk memahami kimia secara utuh yaitu dengan
menyajikan kimia dalam beberapa level, diantaranya level makroskopik, sub
mikroskopik, dan simbolik yang dikenal dengan istilah representasi (Johnstone,
1993). Penyajian ketiga level ini dalam pembelajaran akan lebih bermakna jika
dilakukan pertautan, yang dikenal dengan istilah intertekstual.
Pada penelitian ini topik yang diangkat peneliti adalah ikatan kimia, terutama
pada konsep jenis ikatan antar atom dan bentuk molekul. Materi ini dipilih karena
konsep ikatan kimia termasuk sangat abstrak untuk dipahami. Dalam materi ikatan
kimia terdapat berbagai konsep yang sulit dipahami bila hanya disajikan dalam
satu level saja, biasanya pada level simbolik, seperti pada proses pembentukan
ikatan dengan penulisan struktur Lewis. Beberapa penelitian menunjukkan
bagaimana materi ikatan kimia ini sulit dipahami seperti pada beberapa penelitian
berikut ini: Penelitian yang dilakukan oleh Efrida Nasution (2012) sejumlah

2
sampel peserta didik di salah satu sekolah negeri di kota Bandung menunjukkan
bahwa 63,42% dari jumlah sampel mengalami miskonsepsi pada materi pokok
ikatan kimia, dan masih memiliki model mental, yang merupakan indikator
pemahaman siswa terhadap suatu konsep yang masih rendah. Mengacu pada
tuntutan kurikulum 2013 di setiap kompetensi dasar yang dikembangkan adalah
tuntutan kemampuan menganalisis siswa, yang hasil akhirnya diharapkan kualitas
pendidikan Indonesia akan lebih baik, hal ini menjadi sebuah permasalahan yang
cukup pelik. Karena terlihat untuk level pemahaman yang masih rendah akan
berpengaruh terhadap kemampuan analisis siswa, sehingga mengakibatkan
kualitas pendidikan akan tetap berjalan stagnan tanpa perubahan.
Beberapa faktor yang memungkinkan menyebabkan rendahnya pemahaman
konsep siswa di antaranya : 1) materi tentang ikatan kimia merupakan konsep
yang bersifat abstrak; 2) penyajian konsep ikatan kimia yang hanya menyajikan
dalam satu level yang dominan yaitu level simbolik; 3) penggunaan analogi dalam
menjelaskan materi ikatan kimia pada level sub mikroskopik yang memungkinkan
terjadinya miskonsepsi; 4) Penyajian ketiga level dalam materi ikatan kimia yang
masih jarang dilakukan, dan jika diklakukan pun tidak pernah dilakukan pertautan
ketiga level tersebut sehingga mengakibatkan seolah-olah ketiga level kimia tidak
berhubungan sama sekali.
Berdasarkan masalah yang dialami selama pembelajaran berlangsung
tersebut, maka penulis tertarik menggunakan multimedia sebagai alat bantu dalam
pembelajaran yang memadukan ketiga aspek representasi kimia (intertekstual)
pada materi ikatan kimia.

D. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimanakah pengaruh penggunaan multimedia berbasis intertekstual
terhadap model mental siswa dalam materi ikatan kimia?
b. Bagaimana repons siswa terhadap multimedia berbasis intertekstual?

3
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah multimedia
berbasis intertekstual dapat mempengaruhi model mental siswa dalam
memahami konsep ikatan kimia.

F. Kontribusi hasil Penelitian


Hasil dari Penelitian Tindakan Kelas ini diharapkan berkontribusi untuk:
a. Bagi Siswa
Memudahkan memahami konsep khususnya pada materi ikatan kimia
b. Bagi Guru
1) Mendapatkan variasi pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam
mengajar, khususnya untuk materi-materi yang bersifat abstrak
2) Merangsang guru lebih berinovatif dan kreatif dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar (KBM)
c. Bagi Sekolah
1) Memberikan nilai tambah bagi sekolah dengan meningkatnya mutu
pendidikan
2) Sekolah dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan
pertimbangan dalam menambah khasanah pengetahuan tentang media
pembelajaran

G. KAJIAN PUSTAKA
1. Multimedia dalam Pembelajaran
Pengertian multimedia secara sederhana berasal dari dua kata, yaitu multi
yang berarti jamak atau banyak dan media yang berarti perantara atau yang
menyampaikan. Pengertian ini berkembang sesuai dengan kemajuan
teknologi sehingga dapat bergeser maknanya dari pengertian kata-kata.
Banyak pendapat para ahli tentang pengertian multimedia ini. Berikut
adalah beberapa pengertian multimedia. Menurut Hofstetter (M.Suyanto ,
2005), multimedia adalah pemanfaatan komputer untuk membuat dan
menggabungkan teks, grafik, audio, gambar bergerak (video dan animasi)

4
dengan menggabungkan link dan tool yang memungkinkan pemakai
melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi, dan berkomunikasi. Menurut
Arsyad (2007), arti multimedia yang umumnya dikenal dewasa ini adalah
berbagai macam kombinasi grafik, teks, suara, video, dan animasi.
Penggabungan ini merupakan suatu kesatuan yang secara bersama-sama
menampilkan informasi, pesan atau isi pelajaran. Menurut Geyeski (Elmi
Mahzum, 2008), multimedia adalah kumpulan media berasaskan komputer
dan sistem komunikasi yang digunakan untuk membangun, menyimpan,
menghantar dan menerima informasi berasaskan teks, grafik, audio dan
sebagainya.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa multimedia itu mencakup: adanya komputer sebagai basis keseluruhan
sistem; adanya informasi dalam berbagai bentuk audiovisual yang diam atau
bergerak; interaktif; pemakai dalam hal pembelajaran adalah guru dan
penerima adalah siswa.
Multimedia terbagi menjadi dua kategori, yaitu multimedia
linier dan multimedia interaktif. Multimedia linier adalah suatu multimedia
yang tidak dilengkapi dengan alat pengontrol apapun yang dapat dioperasikan
oleh pengguna. Multimedia ini berjalan sekuensial (berurutan), contohnya:
TV dan film. Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi
dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga
pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya.
Contoh multimedia interaktif adalah: multimedia pembelajaran interaktif,
aplikasi game, dan lain-lain.
Adapun pembelajaran diartikan sebagai proses penciptaan lingkungan
yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Jadi, dalam pembelajaran
yang utama adalah bagaimana siswa belajar. Belajar dalam pengertian
aktivitas mental siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan perilaku yang bersifat relatif konstan. Dengan
demikian aspek yang menjadi penting dalam aktivitas belajar adalah
lingkungan. Bagaimana lingkungan ini diciptakan dengan menata unsur-

5
unsurnya sehingga dapat mengubah perilaku siswa. Dari uraian di atas,
apabila kedua konsep tersebut kita gabungkan maka multimedia pembelajaran
dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan dalam proses
pembelajaran, dengan kata lain untuk menyalurkan pesan (pengetahuan,
keterampilan dan sikap) serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian
dan kemauan yang belajar sehingga secara sengaja proses belajar terjadi,
bertujuan dan terkendali.

2. Prinsip Desain Multimedia


Pembuatan Desain Multimedia menurut Richard E. Mayer, antara lain:
a. Prinsip Multimedia. Pembelajaran yang mendalam terjadi ketika kata-
kata (verbal) dan gambar (visual) digunakan bersama-sama
dibandingkan penggunaan salah satunya saja.
b. Prinsip Keterkaitan. Pembelajaran yang mendalam terjadi ketika
penjelasan dengan kata-kata (verbal) dan gambar (visual) disajikan
bersamaan atau tidak disajikan secara terpisah-pisah.
c. Prinsip Kelogisan. Pembelajaran yang mendalam ketika kata-kata, suara
ataupun gambar yang tidak berhubungan dengan materi tidak
ditampilkan dalam multimedia.
d. Prinsip Penyajian. Pembelajaran yang mendalam terjadi ketika
penjelasan disajikan sebagai narasi daripada hanya ditampilkan dalam
multimedia.
e. Prinsip Kelebihan. Pembelajaran yang mendalam terjadi ketika kata-
kata (verbal) disajikan dengan narasi daripada disajikan sebagai narasi
dan ditulis dalam multimedia.
f. Prinsip Interaktif. Pembelajaran yang mendalam terjadi ketika
pembelajar diberi kekuasaan untuk mengontrol kecepatan penyajian
daripada ketika pembelajar tidak diberi kekuasaan.
g. Prinsip Pemberian Isyarat. Pembelajaran yang mendalam terjadi ketika
langkah penentu pemberian isyarat adalah dalam proses narasi.

6
h. Prinsip Kedekatan dengan Siswa. Pembelajaran yang mendalam terjadi
ketika kata-kata (verbal) disajikan dalam menggunakan gaya
percakapan dibandingkan dengan gaya formal.

3. Representasi Materi Kimia Berbasis Intertekstual


Ilmu kimia merupakan salah satu rumpun bidang IPA yang memfokuskan
mempelajari materi dan energi ditinjau dari segi sifat-sifat, reaksi, struktur,
komposisi dan perubahan energi yang menyertai reaksi.
Teks menurut Halliday dan Hasan (Wu, 2003) diartikan sebagai bahasa
fungsional, baik berupa perkataan maupu tulisan, atau media ekspresi lainnya
yang kita pikirkan. Proses sentral dalam memaknai sebuah teks ialah dengan
membuat hubungan di antara teks-teks yang berbeda. Dari pandangan ini,
representasi kimia yang dikelompokkan menjadi tiga level berbeda
(makroskopik, sub-mikroskopik, dan simbolik), pengalaman siswa dalam
kehidupannya, serta kejadian-kejadian di dalam kelas, dapat dipandang
sebagai suatu teks menurut Santa Barbara Classroom Discourse Group (Wu,
2003). Hubungan antara representasi kimia, pengalaman sehari-hari, dan
kejadian-kejadian di dalam kelas yang dibangun siswa untuk memahami ilmu
kimia. Dengan kata lain, intertekstual dapat menjadi sumber untuk
membangun aspek kognitif atau strategi belajar siswa untuk memahami
representasi-representasi baru (Wu, 2003).
Berbagai teori dan temuan dalam sains kimia direfleksikan dengan
representasi makroskopis, mikroskopis, dan simbolis. Representasi
merupakan bahasa bagi sains kimia. Ahli-ahli kimia menggunakannya untuk
berkomunikasi dan untuk mengembangkan keterampilan berpikir,
keterampilan proses atau metode ilmiah. Ketiga aspek representasi kimia
mengandung informasi konsep-konsep yang saling berhubungan.
Menghubungkan ketiga representasi ini dalam menjelaskan ilmu kimia akan
memberikan kontribusi terhadap pemahaman siswa yang tergambar dalam
model mental individu mereka tentang fenomena kimia yang terjadi.

7
Pemisahan pendidikan sains kimia dari kehidupan siswa sehari-hari dapat
membuat siswa mengembangkan dua sistem pengetahuan yang tidak sejalan
(yang satu digunakan untuk memecahkan masalah sains di sekolah, dan satu
lagi untuk kehidupan sehari-hari siswa). Wu, et.al dan Johnstone (Treagust,
2002 dan Robinson, 2003) mengatakan perbedaan tersebut perlu dijembatani
dengan membangun hubungan intertekstual antara pengalaman sehari-hari
(situasi nyata) dengan pengalaman belajar siswa di sekolah (aspek
makroskopis, submikroskopik dan simbolik), sehingga memberikan
kesempatan bagi siswa untuk melihat bagaimana sains di sekolah
dihubungkan dengan kehidupannya serta bagaimana pengetahuan sains
tersebut diaplikasikan.
Strategi pembelajaran kimia seharusnya menekankan pada memberikan
pengalaman belajar pada siswa agar mampu memiliki pemahaman
makroskopik, mikroskopik dan simbolik kimia, melalui kegiatan belajar
berbasis inkuiri, sehingga dapat mengkaitkannya dan menerapkannya pada
konteks kehidupan nyata.
Johnstone (Treagust, et. Al, 2004) menyatakan bahwa model representasi
kimia berdasarkan karakteristik ilmu kimia, diklasifikasikan dalam level
representasi makroskopik, submikroskopik dan simbolik.
Makroskopik
Nyata

Sub Mikroskopik Simbolik


Nyata dan representasi Representasi
dari teori model

Gambar 1. Representasi Ilmu Kimia (Chittleborough, 2004)


Representasi makroskopik yaitu representasi kimia yang diperoleh melalui
pengamatan nyata terhadap suatu fenomena yang dapat dilihat dan dipersepsi

8
oleh panca indra atau dapat berupa pengalaman sehari-hari pebelajar.
Contohnya: terjadinya perubahan warna, suhu, pH larutan, pembentukan gas
dan endapan yang dapat diobservasi ketika suatu reaksi kimia berlangsung.
Seorang pebelajar dapat merepresentasikan hasil pengamatan dalam berbagai
mode representasi, misalnya dalam bentuk laporan tertulis, diskusi, presentasi
oral, diagram vee, grafik dan sebagainya.
Representasi submikroskopik yaitu representasi kimia yang menjelaskan
mengenai struktur dan proses pada level partikel (atom/molekular) terhadap
fenomena makroskopik yang diamati. Representasi submikroskopik sangat
terkait erat dengan model teoritis yang melandasi eksplanasi dinamika level
partikel. Mode representasi pada level ini diekspresikan secara simbolik
mulai dari yang sederhana hingga menggunakan teknologi komputer, yaitu
menggunakan kata-kata, gambar dua dimensi, gambar tiga dimensi baik diam
maupun bergerak (animasi) atau simulasi.
Representasi simbolik yaitu representasi kimia secara kualitatif dan
kuantitatif, yaitu rumus kimia, diagram, gambar, persamaan reaksi,
stoikiometri dan perhitungan matematik.

4. Pemahaman Konsep
Pemahaman menurut kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata
paham yang berarti pengertian, pendapat atau pikiran, aliran atau pandangan
dan mengerti benar akan sesuatu. Sedangkan pemahaman sendiri berarti
proses, perbuatan atau cara memahami sesuatu. Dalam hal ini pemahaman
lebih diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memahami atau mengerti apa
yang diekrjakan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan
memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkan dengan yang lainnya.
Kemampuan pemahaman terdiri atas:
a. Menerjemahkan (translation) yang berarti kemampuan dalam
menerjemahkan konsep abstrak menjadi suatu model simbolik untuk
mempermudah orang memelajarinya

9
b. Menginterpretasi (Interprettaion) yang berarti kemampuan untuk
mengenal dan memahami
c. Mengekstrapolasi (extrapolation) yang berarti kemampuan untuk
memperluas persepsinya dalam arti, dimensi, kasus, atau masalah

5. Tinjauan Materi Ikatan Kimia


Simbol Lewis
Simbol lewis adalah diagram yang menunjukkan ikatan-ikatan antar
atom dalam suatu molekul. Simbol Lewis dikembangkan oleh Gilbert N.
Lewis, yang menyatakan bahwa atom-atom bergabung untuk
mencapai konfigurasi elektron yang lebih stabil. Untuk menyusun simbol
Lewis dari suatu atom atau unsur, dapat digunakan dengan cara menuliskan
simbol titik pada sekeliling atom. Setiap titik mewakili satu elektron yang
terdapat pada kulit valensi atom tersebut.
Elektron yang terlibat dalam ikatan ini hanya elektron-elektron yang
terdapat pada kulit terluar dan jumlah total elektron yang terlibat dalam
pembentukan ikatan ini tidak mengalami perubahan (merupakan jumlah
total elektron valensi dari atom-atom yang berikatan).
Dalam penulisan simbol Lewis, dimulai dengan atom-atom yang
berdekatan kemudian membentuk ikatan kimia, sehingga jumlah
elektron dari atom itu harus dibagi-bagikan sesuai dengan aturan yang ada
yaitu aturan oktet, dimana dalam aturan oktet setiap atom harus memiliki 8
elektron valensi yang mengitarinya, dan pengecualian untuk atom hidrogen
yaitu 2 elektron valensi.
Adapun prasyarat yang harus diketahui sebelum menggambarkan
simbol Lewis dari suatu atom yaitu:
a. Konfigurasi elektron
Konfigurasi electron yaitu menggambarkan penataan elektron-
elektron dalam suatu atom.
Konfigurasi electron ini berfungsi untuk mengetahui jumlah kulit
yang dimiliki sebuah atom dan elektron valensinya.

10
b. Elektronvalensi
Elektron Valensi ialah jumlah electron pada kulit terluar dari
suatu atom netral. Elektron valensi ini dapat berikatan dengan elektron-
elektron valensi dari atom lain untuk membentuk ikatan kimia.
Elektron valensi juga dapat menentukan bagaimana ciri-ciri
kimia unsur tersebut dan apakah unsur tersebut dapat berikatan dengan
yang lain atau tidak.
Penggambaran simbol Lewis untuk molekul beratom banyak
(poliatom) perlu dibuat beberapa kemungkinan.

1. Gambarlah semua elektron terluar (elektron valensi) dari masing-


masing atom yang berikatan.
2. Atom-atom di dalam simbol Lewis akan mempunyai delapan elektron
valensi (oktet), kecuali atom hidrogen yang hanya mempunyai dua
elektron (duplet).
3. Atom-atom H akan membentuk pasangan elektron bersama dengan
sebuah elektron dari atom O dahulu.
4. Sebuah elektron dari atom O yang tersisa akan membentuk pasangan
elektron dengan atom lainnya.
5. Bila atom H dan atom O sudah dipasangkan semua. Maka sisa atom
oksigen baru membentuk pasangan elektron dengan atom lain.
6. Pada penggambaran simbol Lewis, semua elektron berpasangan.
Termasuk pasangan elektron bebas (tidak untuk berikatan).

11
Natrium Klorida

Gambar : Unsur Na Unsur Cl Senyawa NaCl

Sifat Unsur Unsur Senyawa


Natrium Klorida Natrium klorida
(Na) (Cl) NaCl
Wujud Padat Gas Padat
Warna keperakan Kuning bening
kehijauan
Kereaktifan Reaktif dengan Sangat beracun Tidak reaktif dan
air dan lunak tidak beracun
digunakan sebagai
komponenen utama
garam dapur

a. Pengertian Ikatan ion


Ikatan ion (ikatan elektrovalen) adalah ikatan yang terjadi akibat
adanya serah terima elektron sehingga membentuk ion postif dan ion
negatif yang diikat oleh suatu gaya elektrostatis. Untuk mencapai
kestabilan, atom-atom yang energi ionisasinya rendah akan
melepaskan elektron sedangkan atom-atom yang afinitas elektronnya
tinggi akan mengikat elektron. Atom yang melepas elektron berubah
menjadi ion positif, sedangkan atom yang menerima elektron menjadi
ion negatif.

12
Contoh : Ikatan yang terbentuk antara atom natrium (Na) dan atom
klorin (Cl) pada pembentukan senyawa natrium klorida (NaCl).
b. Proses terbentuknya ikatan ion
Dalam membentuk ion, suatu atom akan melepas atau mengikat
elektron. Atom-atom yang mempunyai energi ionisasi rendah,
misalnya atom-atom dari unsur golongan I A dan II A dalam sistem
periodik unsur akan mempunyai kecenderungan untuk melepaskan
elektronnya dan membentuk ion positif, sedangakan atom-atom yang
mempunyai afinitas elektron yang besar, misalnya atom-atom unsur
golongan VI A dan VII A dalam sistem periodik unsur akan cenderung
mengikat elektron akan membentuk ion negatif. Ion positif dan ion
negatif yang terbentuk selanjutnya akan saling tarik menarik dengan
gaya elektrostatis membentuk senyawa netral.
Contoh :
a) Proses pembentukan senyawa natrium klorida (NaCl) dari atom
natrium dan atom klor
11Na : 2 8 1 (agar atom Na stabil, maka atom Na
melepaskan e- )
Reaksi : Na → Na+ + e-
17Cl : 2 8 7 ( agar atom Cl stabil, maka atom Cl
menerima e- )
Reaksi : Cl + e- → Cl -
Berdasarkan notasi reaksi di atas maka dapat di tuliskan
Na → Na+ + e-
Cl + e- → Cl-
Na + Cl → Na+ + Cl-
Reaksi dapat di tulis Na+ + Cl- → NaCl
Antara Na+ dan Cl- terjadi gaya elektrostatis, sehingga kedua
ion itu
bergabung membentuk NaCl.

13
Pembentukan ikatan ion NaCl dengan menggunakan struktur
lewis dapat
di gambarkan sebagai berikut

Na ˣ + Cl → [Na]+ ˣ Cl

Gaya elektrostatis

Gambar : Struktur kristal NaCl


b) Proses pembentukan senyawa kalsium klorida (CaCl2) dari
atom kalsium dan atom klor
20 Ca : 2 8 8 2 (untuk melepas 2e - )
Reaksi : Ca → Ca2+ + 2e-
17 Cl : 2 8 7 ( menerima e - )
Reaksi : Cl + e- → Cl-
Berdasarkan notasi reaksi di atas, maka dapat di tuliskan
Ca → Ca2+ + 2e- X 1

Cl + e- → Cl- x 2
Ca → Ca2+ + 2e-
2Cl + 2e- → 2Cl-
Ca + 2Cl → Ca2+ + 2Cl-
Reaksi dapat di tulis Ca2+ + 2Cl- → CaCl2
Antara Ca2+ dan Cl- terjadi gaya elektrostatis, sehingga kedua
ion itu
bergabung membentuk CaCl2.
c. Contoh senyawa ionik

14
Senyawa ionik adalah senyawa yang terbentuk antara ion positif
(kation) dan ion negatif (anion). Senyawa ionik antara lain: NaCl,
MgO, K2O, KBr, MgCl2, NaI, LiF dan CaCl2.
d. Sifat senyawa ionik
1) Kristalnya keras tetapi rapuh
Apabila senyawa ion dipukul, akan terjadi pergeseran posisi
ion positif dan ion negatif dari semula berselang seling menjadi
berhadapan langsung. Hal ini menyebabkan ion positif bertemu
dengan ion positif dan terjadi gaya tolak menolak. Inilah yang
menyebabkan kristal senyawa ionik bersifat rapuh.

2) Mempunyai titik lebur dan titik didih yang tinggi


Secara umum, senyawa ionik mempunyai titik lebur dan titik
didih yang tinggi karena kuatnya gaya elektrostatis yang
ditimbulkan oleh ion positif dan ion negatif.

3) Mudah larut di dalam air


Pada saat Kristal senyawa ionik dimasukkan ke dalam air,
maka molekul-molekul air akan menyusup di antara ion positif dan
ion negatif sehingga gaya Tarik- menarik elektrostatis dari ion
positif dan ion negatif akan melemah, dan akhirnya terpecah.

4) Lelehan dan larutannya dapat menghantarkan arus listrik


Ion positif dan ion negatif apabila bergerak dapat membawa
muatan listrik. Apabila senyawa ionik terpecah menjadi ion positif
dan ion negatif serta dapat bergerak secara leluasa, maka senyawa
dalam keadaan cair dan larutan dapat menghantarkan listrik karena
ion-ionnya dapat bergerak secara bebas. Akan tetapi, dalam keadaan
padat, senyawa ion tidak dapat menghantarkan arus listrik karena
ion-ionnya tidak dapat bergerak.

a. Pengertian Ikatan Kovalen

15
Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi karena pemakaian
pasangan elektron secara bersama oleh dua atom yang berikatan.
Ikatan kovalen terjadi akibat ketidakmampuan salah 1 atom yang akan
berikatan untuk melepaskan elektron (terjadi pada atom-atom non
logam). Ikatan kovalen terbentuk dari atom-atom unsur yang memiliki
afinitas elektron tinggi serta beda keelektronegatifannya lebih kecil
dibandingkan ikatan ion (Brady, 1990).
Atom non logam cenderung untuk menerima elektron sehingga jika
tiap-tiap atom non logam berikatan maka ikatan yang terbentuk dapat
dilakukan dengan cara mempersekutukan elektronnya dan akhirnya
terbentuk pasangan elektron yang dipakai secara bersama.
Pembentukan ikatan kovalen dengan cara pemakaian bersama
pasangan elektron tersebut harus sesuai dengan konfigurasi elektron
pada unsur gas mulia yaitu 8 elektron (kecuali He berjumlah 2
elektron).
Berdasarkan jumlah pasangan elektron yang digunakan bersama
(pasangan elektron ikatan), ikatan kovalen yang terbentuk antara dua
atom unsur dapat berupa ikatan kovalen tunggal dan ikatan kovalen
rangkap.
b. Pembentukkan ikatan kovalen
1) Ikatan Kovalen Tunggal
Contoh: Ikatan yang terjadi antara atom H dengan atom H
membentuk molekul H2. Konfigurasi elektronnya:
1H= 1s1
Ke-2 atom H yang berikatan memerlukan 1 elektron tambahan
agar diperoleh konfigurasi elektron yang stabil (sesuai dengan
konfigurasi elektron He). Untuk itu, ke-2 atom H saling
meminjamkan 1 elektronnya sehingga terdapat sepasang elektron
yang dipakai bersama.

H    H  H  H

16
Rumus struktur = H-H
Rumus kimia = H2

2) Ikatan Kovalen Rangkap Dua


Contoh: Ikatan yang terjadi antara atom O dengan O
membentuk molekul O2. Konfigurasi elektronnya :
8 O= 1s2 2s2 2p4
Atom O memiliki 6 elektron valensi, maka agar diperoleh
konfigurasi elektron yang stabil tiap-tiap atom O memerlukan
tambahan elektron sebanyak 2. Kedua atom O saling meminjamkan
2 elektronnya, sehingga ke-2 atom O tersebut akan menggunakan 2
pasang elektron secara bersama.

   
 
O   O  O  O
 
  

Rumus struktur : O=O


Rumus kimia : O2

3) Ikatan Kovalen Rangkap Tiga


Contoh: Ikatan yang terjadi antara atom N dengan N
membentuk molekul N2. Konfigurasi elektronnya:

7N= 1s2 2s2 2p3

Atom N memiliki 5 elektron valensi, maka agar diperoleh


konfigurasi elektron yang stabil tiap-tiap atom N memerlukan
tambahan elektron sebanyak 3. Kedua atom N saling meminjamkan
3 elektronnya, sehingga ke-2 atom N tersebut akan menggunakan 3
pasang elektron secara bersama.
** oo ** oo
***

ooo

***
ooo

N + N N N

17
Rumus struktur : N≡N
Rumus kimia : N2
Cara atom-atom saling mengikat dalam suatu molekul dinyatakan
oleh rumus bangun atau rumus struktur.
4) Ikatan kovalen koordinasi
Ikatan Kovalen Koordinasi adalah ikatan yang terjadi
karena adanya pemakaian bersama pasangan elektron yang hanya
berasal dari salah satu atom yang berikatan. Ikatan kovalen
koordinasi umumnya terjadi pada molekul yang juga mempunyai
ikatan kovalen. Ikatan kovalen koordinasi hanya dapat terjadi jika
salah satu atom mempunyai pasangan electron bebas (PEB).
Proses pembentukan ikatan kovalen koordinasi dapat dilihat
dari beberapa contoh di bawah ini:

Contoh 1:
Perhatikan konfigurasi electron berikut:

1H : 1 ev = 1 = electron
valensi hydrogen

8O : 2 6 ev = 6

= electron valensi
oksigen

18
Unsur – Unsur hidrogen akan mengikat unsur oksigen membentuk
ikatan kovalen.

Pada ion hidronium H3O+ sebuah molekul H2O akan mengikat H+


dengan ikatan kovalen koordinatif, perhatikan contoh di bawah ini:

Contoh 2:
Perhatikan molekul NH3 yang tersusun dari 1 atom N dan 3 atom
H. setiap atom H menggunakan bersama satu elektronnya dengan
satu electron dari atom N. Dengan demikian, terbentuk 3 ikatan
kovalen di sekeliling atom pusat N sesuai aturan oktet.

7N =2 5 ev = 5 = elektron valensi
oksigen

19
1H : 1 ev = 1 = elektron valensi
hidrogen

Atom N sudah memenuhi aturan oktet memiliki 8 elektron pada


kulit terluar. Jika molekul NH3 mengikat ion H+ akan membentuk
ion NH4+
Ikatan antara atom N dan ion H+ dalam ion NH4+ dapat terbentuk
Karena ion H+ dapat menampung 2 elektron untuk mencapai
konfigurasi electron gas mulia. Atom N dapat bertindak sebagai
atom donor dengan menggunakan pasangan elektronnya bersama
dengan ion H+.
Penggambaran Ikatan Koordinasi

Pada diagram yang sederhana, ikatan koordinasi


ditunjukkan oleh tanda panah. Arah panah berasal dari atom yang
mendonasikan pasangan elektron mandiri menuju atom yang
menerimanya.

Contoh senyawa ikatan kovalen koordinasi:

20
NH4Cl, H2SO4, SO3, NH4+,
c. Ikatan kovalen polar dan non polar
Berdasarkan kepolarannya, ikatan kovalen dibagi meliputi:
1) Ikatan kovalen polar, terjadi antara dua atom dengan
keelektronegatifan berbeda (unsur yang berbeda) sehingga
kekuatan gaya tarik pasangan elektron tidak sama.
Contoh ikatan H-Cl, H-F, N-H, dan O-H.
2) Ikatan kovalen nonpolar, terjadi antara dua atom dengan
keelektronegatifan sama (unsur yang sama) sehingga kekuatan
gaya tarik pasangan elektronnya sama.
Contoh ikatan H-H, O-O, dan Cl-Cl

Adapun tabel kelektronegatifan atom-atom sebagai berikut:

Keelektronegatifan adalah
kemampuan atau
kecenderungan suatu atom
untuk menangkap atau menarik
elektron dari atom lain.

Dalam suatu molekul, pasangan


elektron yang digunakan
bersama akan tertarik kearah
atom yang lebih elektronegatif.

Untuk menentukan kepolaran suatu senyawa, perlu dilihat dari


jenis molekulnya
1) Untuk molekul diatomic
a) Untuk atom yang sejenis, jika ikatannya nonpolar maka
molekulnya bersifat nonpolar.
Contoh : H2, Cl2 dan O2

21
b) Untuk atom yang berbeda, jika ikatannya polar maka
molekulnya bersifat polar.
Contoh : HCl, HF, dan HBr

2) Untuk molekul poliatomik


a) Molekul bersifat nonpolar jika atom pusat tidak mempunyai
pasangan elektron bebas, maka bentuk molekul itu simetris
sehingga pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat ke semua
atom. Contoh : molekul CCl4 dan CH4

b) Molekul bersifat polar jika atom pusat mempunyai pasangan


elektron bebas, maka bentuk molekul itu tidak simetris
sehingga pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat ke atom
pusat, akibatnya molekul tersebut polar. Contoh : molekul H2O
dan NH3

Kepolaran juga bisa dinyatakan dalam suatu besaran yang


disebut momen dipol yaitu hasil kali antara selisih muatan (Q)
dengan jarak (r) antara pusat muatan positif dengan pusat muatan
negatif. Satuan momen dipol adalah debye (D), dimana 1D = 3,33
x 10-30 cm. Semakin polar suatu zat maka semakin besar
momen dipolnya, sedangkan non polar mempunyai momen
dipol nol.

22
=qxr

Berikut momen dipol beberapa zat :


No Molekul  (D)
1 H2 0
2 Cl2 0
3 CO2 0
4 CH4 0
5 CCl4 0
6 HCl 1,08
7 HF 1,91
8 NH3 1,47
9 H2O 1,85
10 CH3Cl 1,87

d. Sifat fisik molekul kovalen


Senyawa-senyawa yang dibentuk oleh ikatan kovalen
dinamakan sebagai molekul. Beberapa sifat fisik dari molekul
dibandingkan dengan senyawa ionik adalah:
a) Titik Leleh dan Didih yang Rendah

23
Gambar 1. Data Titik Leleh dan Titik Didih Senyawa Kovalen dan Ionik

Akibat dari titik leleh dan didih yang rendah ini, menyebabkan
senyawa kovalen pada suhu ruangan berwujud cair atau gas.
Sedangkan senyawa ion berwujud padat.

Gambar 2. Wujud Senyawa Ionik (Kiri) dan Senyawa Kovalen (Kanan) Pada Suhu
Kamar

24
b) Daya Hantar Listrik yang Lemah
Senyawa kovalen pada saat dilarutkan akan tetap berbentuk
molekul-molekulnya. Sebagian kecil ada yang melarut
menjadi ion-ionnya. Sehingga senyawa kovalen seperti larutan
gula memiliki daya hantar listrik yang lemah dibandingkan
larutan garam.
c) Volatilitas (Kemampuan Menguap) Senyawa Kovalen
Lebih Tinggi Dibandingkan Senyawa Ion
Akibat dari lemahnya gaya interaksi antar atom dalam
ikatan kovalen, menyebabkan kemampuan menguap senyawa
kovalen lebih tinggi dibandingkan senyawa ionik.

6. Kerangka Berpikir
Pembelajaran menggunakan multimedia berbasis intertekstual terutama
dalam membelajarkan materi ikatan kimia, merupakan pembelajaran yang
utuh menggabungkan dimensi yang menjadi kajian ilmu kimia, makroskopis,
submikroskopis, simbolik, dan pertautan ketiga level representasi tersebut.
Pembelajaran kimia yang utuh dengan menggabungkan ketiga dimensi
tersebut merupakan hal yang sangat mendasar karena dapat membantu siswa
dalam memahami konsep-konsep kimia yang abstrak dan menghadirkan
miskonsepsi yang muncul dari pemikiran siswa itu sendiri.
Pada representasi makroskopis dalam pembelajaran ini siswa diminta
untuk mengamati fenomena beberapa senyawa yang berikatan dari beberapa
unsur yang memiliki sifat berbeda satu sama lain. Kemudian siswa juga
dituntut untuk melatih kemampuan submikroskopisnya agar dapat
menjelaskan fenomena yang terjadi pada representasi makroskopis melalui
gabungan visualisasi model molekular berupa animasi, gambar dua dimensi,
atau tiga dimensi, yang diharapkan sangat berguna dalam mengembangkan
keterampilan berpikir sains. Dengan demikian diharapkan mempermudah
siswa untuk menemukan konsep dari materi yang disampaikan karena
konsep-konsep ikatan kimia lebih banyak dijelaskan melalui simbol-simbol, ,

25
gambar-gambar visualisasi, dan tidak hanya sekedar hafalan yang bersifat
verbal.

Siswa juga dilatih dalam merepresentasi simbolik ke bentuk persamaan


reaksi atau gambar. Pembelajaran kimia yang demikian memberikan
pengalaman belajar pada siswa sebagai proses dengan menggunakan sikap
ilmiah agar mampu memiliki pemahaman makroskopis, sub mikroskopis, dan
simbol kimia, sehingga dapat menemukan produk kimia, yang berupa konsep,
hukum, dan teori, serta mengkaitkan dan menerapkannya pada konteks
kehidupan nyata dan tidak mengarahkan siswa pada penguasaan terhadap
mata pelajaran kimia yang cenderung bersifat akumulatif dan menghapal.
Dengan berpikir apabila pembelajaran seperti ini diterapkan pada
pembelajaran kimia di kelas diharapkan siswa dapat meningkatkan
pencapaian kompetensinya pada materi ikatan kimia. Sehingga kemampuan
analisis siswa terlatih melalui kemudahan memahami konsep materi tersebut.

7. Penelitian Relevan
Adapun penelitian yang relevan mengenai pembelajaran intertekstual ini
telah dilakukan Rahmawati (2010) di salah satu SMA Negeri di Kota
Bandung yang menyatakan dengan pembelajaran intertekstual mampu
meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kimia yang bersifat
abstrak.

26
H. RENCANA DAN PROSEDUR PENELITIAN
1. Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pseudo-

eksperimen pre-post test. Pada metode ini sampel penelitian dibagi menjadi dua

kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tiap kelompok

yang dijadikan sampel sesuai dengan kondisi dan tatanan semula tanpa

dilakukan randomisasi. Kedua kelompok ini diberi tes awal sebelum perlakuan.

Kemudian kelompok eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan

multimedia pembelajaran kimia berorientasi struktur, sedangkan kelompok

kontrol diberikan pembelajaran secara konvensional. Setelah diberikan

perlakuan, lalu kedua kelompok ini diberikan tes akhir. Desain penelitian yang

dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Desain Pseudo-Eksperimen Pre-Post Test

Kelompok Pretes Perlakuan Postes

Eksperimen O1 X1 O2

Kontrol O1 X2 O2

2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
a. Tes
Tes yang diberikan terdiri dari pre-test dan post-test dengan tipe soal
serupa. Pretest diberikan sebelum pembelajaran dimulai, dengan tujuan
untuk mengetahui pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan
diajarkan. Post-test diberikan setelah pembelajaran dengan menggunakan
multimedia interaktif dilakukan.
b. Lembar Observasi

27
Untuk mengamati bagaimana jalannya pembelajaran dengan menggunakan
multimedia berbasis intertekstual. Dari lembar observasi yang diisi
pengamat, akan memberikan informasi bagaimana kondisi kelas, respons
siswa secara langsung, dan penampilan guru model ketika melakukan
penelitian
c. Angket

Angket diberikan pada siswa untuk mengetahui respons siswa secara


tertulis terhadap pembelajaran dengan menggunakan multimedia berbasis
intertekstual.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis


deskriptif kualitatif . Adapun prosedur untuk pengolahan datanya sebagai
berikut: Untuk analisis data hasil tes yaitu menghitung skor yang diperoleh
masing-masing siswa dari pre-test dan post-test yang telah diberikan.
Semua instrumen yang diberikan kepada siswa kemudian dilakukan
penafsiran dan penjabaran deskriptif.

4. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA

5. Waktu dan Lamanya Tindakan


Waktu penelitian diperkirakan selama satu bulan untuk pengambilan data
(pre tes, pembelajaran dengan multimedia berbasis interteksttual, dan pos
tes). Sedangkan waktu perencanaan, pengolahan data sampai penulisan
laporan hasil penelitian dilakukan sekitar 6 bulan.

28
I. JADWAL PENELITIAN

Tabel 1. Jadwal Penelitian

Waktu Bulan
Kegiatan Juli Agustus September November Desember
Pengusulan
Rancangan
Penelitian

Pelaksanaan
Seminar
Penelitian
Pembuatan
Instrumen
Pengurusan
Perizinan

Percobaan
Instrumen dan
Revisi
Pelaksanaan
Penelitian
Pengolahan
Data
Penulisan
Laporan

29
J. PERSONALIA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti, anggota tim adalah sebagai berikut:
1. Nama Lengkap : Novianti Islahiah, S.Pd
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Sukabumi, 29 November 1990
NIM : M161310
Pangkat/ golongan :-
Jabatan Fungsional :-
Jabatan Struktural :-
Tugas dalam Penelitian : Peneliti

K. DAFTAR PUSTAKA

Atkins, P. W. (2005). Skeletal Chemistry. [Online]. Tersedia:


http://www.rsc.org/Education/EiC/issues/2005 Jan/skelatal.asp. (28 Maret
2012).
Boo, H. (1998). Students Understanding of Chemical Bonds and The Energetics
of Chemical Reactions. Journal of Research in Science Teaching. 35(5): 569-
581.
BouJaoude, S. and Barakat, H. (2003). “Students' Problem Solving Strategies in
Stoichiometry and their Relationships to Conceptual Understanding and
Learning Approaches.” Electronic Journal of Science Education. 7, (3).
Chittleborough, Gail and David F. Treagust. 2007. The Modelling Ability of Non
Major Chemistry Students and Their Understanding of The Sub Microscopic
Level. Journal Royal Society of Chemistry, 8(3) 274-292.
Chiu, M. (2005). “A National Survey Students’ Conceptions In Chemistry In
Taiwan.” Chemical Education International. 6, (1).
Huddle, P. A. dan Pillay, A. E. (1996). “An In-Depth Study of Misconceptions in
Stoichiometry and Chemical Equilibrium at a South African University.”
Journal of Research in Science Teaching. 33, 65-77.

30
Islahiah, N. (2012). Profil Model Mental Siswa pada Pokok Bahasan
Kesetimbangan Kimia. Skripsi Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI: tidak
diterbitkan.
Jansoon, N., Coll, R., and Somsook, E. (2009). “ Understanding mental models of
dilution in thai students”. International Journal of Environmental & Science
Education. 4, (2), 147-168.
Johnstone, A. H. (1993). “The development of Chemistry Teaching: A Changing
Response to a Changing Demand.” Journal of Chemical Education, 70(9),
701–705.
Krathwohl, D. (2001). A Taxonomy For Learning Teaching and Assesing A
Revision of Bloom of Educational Objectives. Ohio.
Rahmawati. (2010). Implementasi Strategi pembelajaran Intertekstual pada
Pokok Bahasan Titrasi Asam Basa. Skripsi Jurusan pendidikan Kimia
FPMIPA UPI: tidak diterbitkan.
Salirawati, D. (2010). Pengembangan Model Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi
Kimia pada peserta Didik SMA. Disertasi Doktor Pada Program Pascasarjana
UNY: tidak diterbitkan.
Wahyu, W. (2007). Belajar dan Pembelajaran Kimia. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Wu, K.H, Krajcik J.S, and Soloway, E (2000). Promoting Conceptual
Undesrtanding of Chemical representation: Student’s Use of a Visualization
Tool in the Clasroom. Makalah pada pertemuan Tahunan The National
Association of Research in Science teaching, New Orleans, LA.
Wu, H-K. (2003). “Lingking The Microscopic View of Chemistry to Real Life
Experiences: Intertextuality In A High-School Science Clasroom”. Science
Education.87,868-891

31

Anda mungkin juga menyukai