Anda di halaman 1dari 39

29

PROPOSAL
PENGARUH GAYA BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR
TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA SEMESTER VI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA UNIVERSITAS KATOLIK
WIDYA MANDIRA KUPANG

Oleh :

KELOMPOK 1:
1. GEMA GALGANI R. MORUK (15117002)
2. KRISTIANI MIRA (15117040)
3. KAROLINA S. TOLO (15117030)
4. LEONARDUS RIVANDRI KARTONO(15117029)
5. YULIANA KURNYATI (15117007)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KHATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2020
30
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mahasiswa calon guru kimia perlu dibekali dengan materi subyek kimia untuk
mendukung kompetensi profesionalnya. Selama perkuliahan, mahasiswa calon guru kimia
mempelajari ilmu kimia dalam tiga kelompok mata kuliah, yaitu kimia dasar, kimia lanjut,
dan kimia sekolah. Kelompok kimia dasar bertujuan untuk memahami fakta, konsep, hukum
dan teori kimia yang meliputi struktur, dinamika, dan energetika sebagai persiapan untuk
belajar kimia lebih lanjut. Kelompok kimia lanjut bertujuan untuk menguasai struktur, sifat,
dinamika, kinetika dan mekanisme reaksi, serta energetika zat-zat organik, anorganik dan
biomolekul. Kelompok kimia sekolah bertujuan untuk menguasai materi subyek kimia
sekolah berdasarkan kurikulum yang berlaku dan memformulasikannya ke dalam bentuk
yang mudah diajarkan dan mudah dipelajari. Pengalaman dalam mengelola perkuliahan
Kimia Sekolah bagi mahasiswa calon guru kimia memperkuat hasil penelitian Lederman, et
al. (1994) bahwa mahasiswa calon guru sains belum dapat menampilkan struktur materi
subyek dengan jelas. Setiap konsep cenderung dijelaskan dalam salah satu jenis representasi,
sehingga merasa kesulitan ketika diminta menjelaskan suatu konsep secara utuh. Apabila
mereka kelak menjadi guru, pasti juga akan menyebabkan kesulitan siswa dalam menerima
pembelajaran. Oleh karena itu, hendaknya mahasiswa calon guru kimia dibekali cara
menjelaskan konsep kimia sekolah secara utuh, misalnya dalam tiga level representasi, yaitu
makroskopik, submikroskopik, dan simbolik. Kemampuan ini akan memudahkan mahasiswa
tersebut melakukan pembelajaran ketika kelak menjadi guru dan tentunya siswa juga akan
mudah dalam menerima konsep-konsep yang diajarkan.

Sebagian besar peserta didik termasuk mahasiswa menganggap ilmu kimia cukup sulit
dipelajari karena bersifat abstrak, kompleks, dan terlalu simbolik, sehingga muncul sikap
negatif bahwa pembelajaran kimia membosankan (Hilton, 2008; Sirhan, 2007; Wang, 2007;
Chittleborough, 2004; Pinarbasi & Canpolat, 2003; Stocklmayer & Gilbert, 2002; Marais &
Jordaan, 2000). Beberapa penelitian terkait pemahaman peserta didik terhadap beberapa
konsep inti kimia menunjukkan berkembangnya berbagai konsepsi alternatif. Konsep
struktur atom didominasi oleh model Bohr (Adbo & Taber, 2009) dan pemahaman mereka
tidak sampai kepada model mekanika kuantum karena terhambat oleh threshold concept
probabilitas dan kuantisasi energi (Park & Light, 2009). Dalam kimia karbon, muncul
kesulitan dalam mengartikulasikan konsepsi mereka tentang gugus fungsi dan tidak adanya
pemikiran yang berorientasi pada proses ketika membuat definisi (Strickland, et al., 2010).
31
Dalam ikatan kimia, lebih disukai konsep-konsep yang sederhana dan realistis, serta tidak
terbiasa menggunakan sejumlah model untuk menjelaskan suatu konsep tertentu pada saat
yang sama (Coll, 2008).

Berbagai upaya untuk mereduksi sifat abstrak dan kompleks ilmu kimia telah dilakukan,
diantaranya melalui penggunaan model, analogi dan metafora (Kermen & Méheut, 2009;
Clement & Ramirez, 2008; Reese, 2008; Chittleborough & Treagust, 2007). Namun,
kesulitan dalam memahami konsep kimia sampai sekarang belum dapat diatasi sepenuhnya.
Ketika pendidik berupaya menyederhanakan konsep melalui analogi, model, dan metafora,
seringkali tidak diikuti dengan penjelasan ruang lingkup dan keterbatasannya, sehingga
konsepsi yang dibangun oleh peserta didik berbeda dengan ilmuwan (Adbo & Taber, 2009).
Sebagai contoh, ketika dosen menggunakan analogi untuk memahamkan suatu konsep, tidak
diikuti dengan penjelasan bahwa perilaku benda besar sangat jauh berbeda dengan perilaku
benda kecil seperti atom atau molekul. Apabila hal ini tidak ditekankan maka penggunaan
analogi akan berpotensi memunculkan berbagai konsepsi alternatif pada mahasiswa.
Penggunaan model, analogi dan metafora harus memperhatikan fakta bahwa sebelumnya
setiap mahasiswa telah memiliki konsepsi alternatif yang beragam, sehingga harus ada
perlakuan yang bersifat individual disamping secara berkelompok dalam proses perkuliahan.
VanDriel, et al. (1998) menyatakan bahwa seorang pendidik harus memiliki pengetahuan
terhadap konsepsi alternatif peserta didik dan sumbernya, dan kemudian merancang
representasi dan pengalaman belajar berdasarkan konsepsi alternatif tersebut. Sirhan (2007)
menyatakan bahwa untuk menghindari kebingungan dan salah paham, pendidik harus
menghubungkan setiap topik baru dengan segala macam gagasan yang sudah tersimpan
dalam memori jangka panjang. Vosniadou & Ioannides (1998) juga berpendapat bahwa teori
belajar sains harus memperhitungkan perkembangan konsepsi alternatif individu serta
faktor-faktor situasional dan budaya yang memfasilitasi perkembangan tersebut.

Penelitian Lin & Chiu (2010) dengan jelas menyatakan kegagalan pendidik membuat
antisipasi yang baik terhadap peserta didik karena tidak memiliki pemahaman terhadap
konsepsi alternatif dan sumber-sumbernya, yang kemudian berpotensi menimbulkan
mismatch terhadap antisipasi yang dilakukannya selama perkuliahan. Oleh karena itu,
mereduksi sifat abstrak dan komplek ilmu kimia harus senantiasa memperhatikan konsepsi
alternatif yang dimiliki peserta didik sebelum proses perkuliahan dilakukan, sehingga
pendidik dapat memberikan pedoman yang lebih tepat untuk membantu peserta didik dalam
mengkonstruksi konsep baru berdasarkan kerangka konseptual yang sudah ada. Sirhan
(2007) menyarankan pentingnya memperjelas atau mengoreksi konsep yang sudah ada
32
dalam memori jangka panjang dengan melakukan pembelajaran yang mendasar sebelum
menambahkan pengalaman belajar yang baru, karena banyak peserta didik yang datang ke
dalam kelas dengan gagasan yang salah, membingungkan, bahkan tidak lengkap. Lebih
lanjut, Sirhan (2007) juga menyarankan pendidik harus menyajikan materi dalam cara-cara
yang konsisten dengan pola belajar manusia, terutama masalah keterbatasan memori kerja.
Proses belajar harus memungkinkan untuk pengembangan hubungan antara "puzzle"
pengetahuan. Pendidik harus menghubungkan antar konsep sehingga peserta didik dapat
membuat satu kesatuan yang utuh dari ide-ide kunci Konsepsi mahasiswa secara utuh
tentang kimia dan interkoneksi antar konsep dapat diketahui dengan cara mengeksplorasi
model mentalnya. Model mental merupakan representasi internal individu dari suatu objek,
gagasan, pengalaman, gambaran, model, dan sumber-sumber lain yang ada dalam pikiran
mahasiswa. Model mental peserta didik termasuk mahasiswa berperan penting dalam
memberi alasan, menjelaskan, memprediksi, menguji ide baru dan menyelesaikan suatu
masalah (Jansoon, 2009; Wang, 2007; Chittleborough, 2004; Bodner & Domin, 2000).
Pemahaman model mental mahasiswa sebelum proses perkuliahan sangat membantu dosen
dalam merancang metode perkuliahan yang akan diterapkan. Setiap mahasiswa telah
memiliki model mental awal yang berbeda-beda, namun dosen dapat mengelompokkan
mahasiswa tersebut ke dalam beberapa kelompok, berdasarkan kemiripan karakteristik dan
pola model mental awal. Cool & Treagust (2003) mengelompokkan model mental ke dalam
model mental target, model mental konsensus, dan model mental alternatif, sedangkan Adbo
& Taber (2009) mengelompokkan ke dalam model pembelajaran, model ilmiah dan model
alternatif. Lin & Chiu (2010) mengelompokkan model mental ke dalam model ilmiah, model
fenomena, model karakter simbol dan model inferensi. Jansoon, et al. (2009)
mengelompokkan model mental ke dalam model makroskopik, sub-mikroskopik dan
simbolik.

Selama ini, pemanfaatan hasil eksplorasi model mental masih sebatas pada alat untuk
mengevaluasi dan melihat konsistensi konsepsi mahasiswa serta mengidentifikasi threshold
concept dan menganalisis troublesomeness suatu konsep. Belum ditemukan penelitian yang
mengaitkan antara hasil eksplorasi model mental mahasiswa dengan proses perkuliahan
yang akan dilakukan oleh dosen. Oleh karena itu perlu dikembangkan model perkuliahan
berdasarkan model mental awal yang telah dimiliki oleh mahasiswa. Hasil kajian
pengalaman lapangan memunculkan dugaan kuat, bahwa model mental mahasiswa calon
guru kimia sangat dipengaruhi oleh motivasi belajar, gaya belajar dan kemampuan berpikir
logis. Menurut Franco & Colinvaux (2000) model mental bersifat dinamis dan
berkelanjutan, generatif, melibatkan pengetahuan tersembunyi, serta dibatasi oleh world-
33
view mahasiswa. Sifat dinamis dan berkelanjutan menyebabkan model mental akan
mengalami modifikasi bila ada informasi baru yang didapatkan. Model mental bersifat
generatif artinya dapat mengarahkan mahasiswa kepada informasi baru dan
memanfaatkannya untuk meramalkan dan memberikan penjelasan.

Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam
menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal. Tidak
semua orang mengikuti cara yang sama. Masing-masing menunjukkan perbedaan, namun
para peneliti dapat menggolong-golongkannya. Gaya belajar ini berkaitan erat dengan
pribadi seseorang, yang tentu dipengaruhi oleh pendidikan ddan riwayat perkembangannya
(Nasution, 2010:94). Bagaimana sebuah informasi dapat diterima dengan baik oleh anak
didiknya. Jadi antara gaya mengajar dosen dan gaya belajar anak didik adalah dua hal yang
sangat berkaitan, saling mendukung satu dengan yang lain. Berdasarkan teori belajar yang
dikemukan oleh Gagne (1970) bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat
dikembangkan melaui pemecahan masalah yaitu tipe belajar paling tinggi.

Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia


yang berkualitas, oleh karena itu pendidikan hendaknya dikelola dengan baik secara kualitas
maupun kuantitas. Hal tersebut dapat tercapai bila pebelajar dapat menyelesaikan pendidikan
tepat pada waktunya dengan hasil belajar yang baik. Hasil belajar seseorang ditentukan oleh
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang ada diluar individu adalah
tersedianya bahan ajar yang memberi kemudahan bagi individu untuk mempelajarinya. Gaya
belajar mengacu pada cara belajar yang lebih disukai pebelajar. Umumnya dianggap bahwa
gaya belajar seseorang berasal dari kepribadian, termasuk susunan kognitif, psikologi, latar
belakang sosial dan budaya, dan pengalaman pendidikan (Nunan, 1991:168).
Keanekaragaman gaya belajar mahasiswa perlu diketahui pada awal permulaan diterima
pada suatu lembaga. Pebelajar akan dapat belajar dengan baik dan hasil belajar baik apabila
ia mengerti gaya belajarnya. Hal tersebut memudahkan pebelajar dapat menerapkan
pembelajaran dengan mudah dap tepat dan meningkatkan kemampuan intelegensinya (Kolb
1984).

Konstruktivisme, 10 (1): 84-97 sangat menentukan keberhasilan suatu proses belajar


mengajar. Gaya belajar ini merupakan salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian.
Gaya belajar merupakan cara termudah yang dimiliki oleh individu dalam menyerap,
mengatur dan mengolah informasi yang diterima. Gaya belajar yang sesuai adalah kunci
keberhasilan seseorang dalam belajar. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar, mahasiswa
sangat perlu dibantu dan diarahkan untuk mengenali gaya belajar yang sesuai dengan dirinya
34
sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Sebagai seorang pendidik dosen
harus mampu mengakomodir semua gaya belajar mahasiswa. Menurut Fleming dan Mills,
“gaya belajar merupakan kecenderungan siswa untuk mengadaptasi strategi tertentu dalam
belajarnya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mendapatkan satu pendekatan belajar
yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas/sekolah maupun tuntutan dari mata pelajaran.

Menurut DePorter dan Hernacki (1999), gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap,
mengatur, dan mengolah informasi. Secara umum, gaya belajar dikelompokkan berdasarkan
kemudahan dalam menyerap informasi (perceptual modality), cara memproses informasi
(information processing), dan karakteristik dasar kepribadian (personality pattern).
Pengelompokan berdasarkan perceptual modality didasarkan pada reaksi individu terhadap
lingkungan fisik dan cara individu menyerap data secara lebih efisien. Pengelompokan
berdasarkan information processing didasarkan pada cara individu merasa, memikirkan,
memecahkan masalah, dan mengingat informasi. Sedangkan pengelompokan berdasarkan
personality pattern didasarkan pada perhatian, emosi, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
individu.DePorter dan Hernacki (1999) mengemukakan tiga jenis gaya belajar berdasarkan
modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality).
Ketiga gaya belajar tersebut adalah gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Orang
yang memiliki gaya belajar visual, belajar dengan menitikberatkan ketajaman penglihatan.
Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham. Orang
yang memiliki gaya belajar auditory, belajar dengan mengandalkan pendengaran untuk bisa
memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar
menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan.
Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yangbersangkutan
haruslah mendengarnya lebih dulu. Orang yang memiliki gaya belajar kinestetik,
mengharuskan individu yang bersangkutan menyentu sesuatu yang memberikan informasi
tertentu agar ia bisa mengingatnya.

Menurut Gunawan (Nurochma, 2012:6) keberhasilan pembelajaran selain


dipengaruhi oleh metode yang digunakan oleh dosen juga dipengaruhi oleh faktor lain, salah
satunya adalah gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang lebih disukai dalam melakukan
kegiatan berpikir memproses dan mengerti suatu informasi. Hakikat ilmu kimia tidak hanya
berupa teori, hafalan dan pemahaman akan konsep saja, tetapi juga berupa proses penerapan
dan bahkan penemuan, maka dalam pembelajarannya harus melibatkan mahamahasiswa
secara aktif untuk berinteraksi dengan objek konkret. Selain itu mahasiswa juga harus
terlibat secara aktif dalam mengamati, mengoperasikan alat, berlatih menggunakan objek
35
konkret, meramalkan gejala yang terjadi. fisis yang terjadi, menerapkan konsep,
merencanakan penelitian, berkomunikasi secara ilmiah dan mengajukan pertanyaan. Dalam
proses pembelajaran yang terjadi tentunya hasil belajar merupakan hasil akhir yang akan
dicapai oleh mahasiswa. Didalam pembelajaran yang efektif bukan hanya dengan metode
pembelajaran dan pendekatan saja, namun gaya belajar pun juga mempengaruhi suksesnya
pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian, tentang metode mengajar yang paling sesuai
semuanya gagal, karena setiap metode mengajar sangat bergantung dengan gaya belajar
siswa serta kesanggupannya dalam memahami materi. Dengan demikian, dapat disimpulkan
peningkatan kualitas pembelajaran sangat bergantung dengan gaya belajar peserta didik,
dengan menggunakan gaya belajar yang efektif dan menyenangkan maka peserta didik
dapat meningkatkan hasil belajar, motivasi dan semangat belajar walaupun materi yang
diajarkan oleh pendidik cukup rumit bagi merekaPencapaian hasil belajar ini tentunya tidak
lepas dari peranan dosen sebagai seorang pendidik dan pengajar. Dari hasil pengamatan
sebelum melakukan penelitian, peneliti menemukan bahwa beberapa masalah yang muncul
di Program Studi Pendidikan Kimia Semester 6 Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang, bahwa kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran berbeda
tingkatnya. Ada yang cepat dalam menyerap pelajaran, sedang dan ada pula yang sangat
lambat dalam menyerap pelajaran yang telah diajarkan oleh dosen. Karenanya, mereka
sering kali harus menempuh cara yang berbeda untuk bisa memahami informasi atau
pelajaran yang sama. Mahasiswa lebih menyukai dosen mengajar dengan cara menuliskan
segalanya di papan tulis. Dengan begitu mereka bisa membaca untuk kemudian mencoba
memahaminya. Tapi, sebagian mahasiswa lain lebih suka dosen mengajar dengan
menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan untuk bisa memahaminya.
Sementara itu, ada mahasiswa yang lebih suka membentuk kelompok kecil untuk
mendiskusikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran tersebut cara lain yang juga kerap
disukai banyak mahasiswa adalah model belajar yang menempatkan dosen tak ubahnya
seorang penceramah. Dosen diharapkan bercerita panjang lebar tentang beragam teori
dengan segudang ilustrasinya, sementara para mahasiswa mendengarkan sambil
menggambarkan isi ceramah itu dalam bentuk yang hanya mereka pahami sendiri. Oleh
sebab itu peneliti ingin mengetahui tentang gaya belajar yang digunakan mahasiswa
Program Studi Pendidikan Kimia Semester 6 Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
dan hubungannya dengan hasil belajar yang diperoleh. Berdasarkan latar belakang masalah
inilah, membuat peneliti tertarik untuk melakukan pembahasan dengan tema gaya belajar,
dengan judul penelitian: Pengaruh Gaya Belajar Mahasiswa dan kemampuan Penalaran
36
terhadap hasil belajar mahasiswa semester 6 program studi pendidikan Kimia Unwira
Kupang.

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah ada pengaruh yang signifikan, gaya belajar terhadap hasil belajar
mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Kimia UNWIRA Kupang?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan, gaya belajar terhadap kemampuan
penalaran mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Kimia UNWIRA
Kupang?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan, kemampuan penalaran terhadap hasil
belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Kimia UNWIRA
Kupang?

1.3 Tujuan penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan, gaya
belajar terhadap terhadap hasil belajar mahasiswa semester 6 Program Studi
Pendidikan Kimia UNWIRA Kupang.
2. Untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan, gaya belajar terhadap
kemampuan penalaran mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Kimia
UNWIRA Kupang.
3. Untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan, kemampuan
penalaran terhadap hasil belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan
Kimia UNWIRA Kupang

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan referensi yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
pengaruh gaya belajar dan kemampuan penalaran terhadap hasil belajar mahasiswa
semester 6 Program Studi Pendidikan Kimia UNWIRA Kupang.
b. Sebagai bahan referensi yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
pengaruh gaya belajar terhadap kemampuan penalaran mahasiswa semester 6
Program Studi Pendidikan Kimia UNWIRA Kupang.
37
c. Sebagai bahan referensi yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
pengaruh kemampuan penalaran terhadap hasil belajar mahasiswa semester 6
Program Studi Pendidikan Kimia UNWIRA Kupang
d. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti yang relevan dimasa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa
Dengan gaya belajar dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar, Serta
meningkatkan kemampuan penalaran dibidang ilmu kimia
b. Bagi Pendidik
Dengan gaya belajar dapat meningkatkan kemampuan pendidik dalam memilih
gaya belajar yang sesuai, serta dapat memudahkan pendidik dalam proses
pembelajaran sehingga meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik.

1.5 Definisi Operasional


Untuk memudah pemahaman diatas, istilah yang dijelaskan dalam penelitian ini perlu
dijelaskan sebagai berikut:
a. Gaya belajar
Gaya belajar merupakan serangkaian karakteristik kognitif, afektif dan
psikologi yang digunakan seseorang dalam rangka menyerap,
mengorganisasi, dan menggabungkan informasi baru serta memproses,
menginternalisasi dan mengingat informasi akademik baru dan sulit.
b. Kemampuan penalaran
Kemampuan berpikir logis merupakan operasi mental yang digunakan
seseorang ketika menghadapi masalah tertentu, yang meliputi penalaran
proporsional, pengontrolan variabel, penalaran probabilitas, penalaran
korelasional dan penalaran kombinatorial.
c. Motivasi belajar
Motivasi belajar merupakan proses untuk melibatkan dan mempertahankan
serangkaian aktivitas yang dapat mengarah pada pencapaian tujuan berupa
kekuatan internal, perilaku bertahan, respon singkat terhadap stimulus,
maupun serangkaian kepercayaan dan pengaruh.
d. Hasil belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan-kemampuan tersebut
38
mencakup ranah afektif, kognitif dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat
melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pendidikan
yang akan menunjukan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
e. Pemahaman materi subyek kimia sekolah diukur dalam bentuk keutuhan
model mental kimia sekolah mahasiswa calon guru ketika menjelaskan
konsep-konsep kimia sekolah dalam tiga level representasi, yaitu
makroskopik, sub-mikroskopik, dan simbolik dengan cara saling
mempertautkan ketiga level tersebut.
39

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Belajar
2.1.1 Pengertian Belajar

Belajar merupakan suatu proses yang dilakukan siswa baik dilembaga formal atupu
informal dengan tujuan memberikan pengetahuan dan perubahan tingkah laku kearah
yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Purwanto (2008:39) belajar adalah aktivitas
mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Menurut Ruminiati (2007: 1-18) belajar merupakan usaha aktif seseorang untuk
mengadakan perubahan tingkah laku akibat adanya rangsangan dari luar yang berupa
pengamatan atau informasi. Menurut Susanto (2013:4) belajar adalah suatu aktivitas
yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu
konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang
terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun
dalam bertindak.

Menurut Komalasari (2013: 2) belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh dalam jangka waktu yang
lama dan dengan syarat bahwa perubahan yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya
kematangan ataupun perubahan sementara karena suatu hal. Berdasarkan pendapat
beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti membuat kesimpulan mengenai pengertian
belajar. Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang dilakukan secara sadar dan
sengaja untuk memperoleh pengetahuan, konsep dan pemahaman baru yang
mengakibatkan adanya perubahan ke arah yang lebih positif baik pada aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor.
40

2.1.2 Tujuan belajar


Belajar berlangsung karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Tujuan inilah yang
mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan belajar. Dalyono (2005: 50)
mengemukakan belajar bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri antara lain
tingkah laku, kebiasaan, sikap, keterampilan dan menambah pengetahuan dalam
berbagai bidang ilmu.
Sejalan dengan pendapat di atas, Sardiman (2011: 26-27) menyatakan
tujuan belajar pada umumnya ada tiga macam, yaitu:
a) Untuk mendapatkan pengetahuan Hal ini ditandai dengan kemampuan
berfikir, karena antara kemampuan berfikir dan pemilihan pengetahuan tidak
dapat dipisahkan. Kemampuan berfikir tidak dapat dikembangkan tanpa
adanya pengetahuan dan sebaliknya kemampuan berfikir akan memperkaya
pengetahuan.
b) Penanaman konsep dan keterampilan Penanaman konsep memerlukan
keterampilan, baik keterampilan jasmani maupun keterampilan rohani.
Keterampilan jasmani adalah 12 keterampilan yang dapat diamati sehingga
menitikberatkan pada keterampilan penampilan atau gerak dari seseorang
yang sedang belajar termasuk dalam hal ini adalah masalah teknik atau
pengulangan. Keterampilan rohani menyangkut persoalan penghayatan,
keterampilan berfikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan
suatu konsep.
c) Pembentukan sikap Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak
akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai, dengan dilandasi nilai, anak
didik akan menumbuhkan kesadaran dan kemampuan untuk mempraktikan
segala sesuatu yang sudah dipelajari.

2.1.3 Teori Belajar

Banyak teori belajar yang dikembangkan dan mempengaruhi pelaksanaan guruan.


Teori belajar dibuat dan disusun untuk menjelaskan keadaan sebenarnya tentang
pelaksanaan guruan. Sukardjo dan Komarudin (2009: 33-65) menjelaskan beberapa
teori belajar sebagai berikut.
41
1. Behaviorisme Aliran behavioris didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat
diamati. Oleh karena itu, aliran ini berusaha mencoba memahami dalam
pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku.
Dalam aliran ini tingkah laku dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dan
respons. Stimulus dapat berupa perlakuan yang diberikan pada siswa, sedangkan
respons berusaha perubahan tingkah laku yang terjadi pada siswa. Adapun yang
terjadi antara stimulus dan respons itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab
tidak dapat diamati. Dalam aliran behavior, faktor lain yang penting adalah
reinforcement (penguatan), penguatan yang dapat memperkuat respons. Tokoh aliran
behaviorisme antara lain (1) Pavlov (2) Watson (3) Skinner (4) Hull (5) Guthrie dan
(6) Thorndike.
2. Kognitivisme Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori guruan kognitivisme
adalah dasarnya rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis, yaitu the way in wich
we learn. Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Inilah yang
disebut dengan filosofi Rationalism. Menurut aliran ini, kita belajar disebabkan oleh
kemampuan kita dalam menafsirkan peristiwa/kejadian yang terjadi di dalam
lingkungan. Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana
orang-orang berpikir. Aliran ini menjelaskan bagaimana belajar terjadi dan
menjelaskan secara alami kegiatan mental internal dalam diri kita. Oleh karena itu,
dalam aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar
itu sendiri. Karena menurut teori ini bahwa belajar melibatkan proses berpikir yang
kompleks. Tokoh aliran kognitivisme adalah Piaget, Bruner, dan Ausebel.
3. Konstruktivisme Menurut teori konstruktivisme yang menjadi dasar bahwa siswa
memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Teori ini adalah
merupakan peningkatan dari teori yang dikemukakan oleh Piaget, Vigotsky, dan
Bruner. Konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena
itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga
mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi
pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam pandangan konstruktivisme sangat penting
peran siswa untuk dapat membangun constructive habits of mind. Agar siswa
memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar.Teori
belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan berpikir bersifat elektrik.
Teori belajar yang bersifat elektif artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar
42
apapun asal tujuan belajar dapat tercapai. Teori belajar yang mengakomodasi tujuan
tersebut adalah teori humanistik.
4. Humanistik Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar
untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu, proses belajar dapat dianggap
berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat
laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.

2.2 Gaya belajar


1) Pengertian gaya belajar siswa Setiap siswa memiliki cara yang berbeda dalam
memahami dan menyerap suatu informasi yang didapatkan. Khuluqo (2016:30) gaya
belajar merupakan suatu kebiasaan yang diperlihatkan oleh individu dalam memproses
informasi dan pengetahuan serta mempelajari suatu keterampilan. Dirman & Juarsih
(2014: 99) gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana siswa menyerap, lalu
mengatur, dan mengolah informasi. Sejalan dengan pendapat Riyanto (2012: 186) bahwa
gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, disekolah,
dan dalam situasi-situasi antarpribadi. Berdasarkan pendapat teori di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa gaya belajar siswa adalah suatu cara yang digunakan oleh siswa
untuk menyerap, mengatur, dan mengolah informasi dalam proses pembelajaran. setiap
orang memiliki gaya belajar yang berbeda, ketika seseorang telah belajar menggunakan
gaya belajar yang benar maka akan berdampak pada keefektifan penyerapan informasi
yang di terima.
2) Jenis-jenis gaya belajar siswa
Perilaku belajar seseorang pasti berbeda-beda ada yang menyukai gambar, suara dan
praktik langsung. Menurut Dirman & Juarsih (2014:100-102) terdapat tiga jenis gaya
belajar seseorang yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Walaupun masing-
masing siswa belajar dengan menggunakan ketiga gaya belajar ini, kebanyakan siswa
lebih cenderung pada salah satu diantara gaya belajar tersebut.
a. Gaya Belajar Visual Siswa yang bergaya belajar visual, yang memegang peranan
penting adalah mata/penglihatan (visual), mereka cenderung belajar melalui apa
yang mereka lihat. Seseorang cenderung untuk duduk di depan agar dapat
melihat dengan jelas. Mampu berpikir menggunakan gambar-gambar di otak
mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual
43
seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video.Orang-orang visual rapi
dan teratur, berbicara dengan cepat, perencana dan pengatur jangka panjang yang
baik, teliti terhadap detail, mementingkan penampilan baik dalam hal pakaian
maupun presentasi, pekerja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang
sebenarnya dalam pikiran mereka.
b. Gaya Belajar Auditif Siswa yang bertipe auditif mengandalkan kesuksesan
belajarnya melalui telinga (alat pendengarannya). Siswa yang mempunyai gaya
belajar auditif dapatbelajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal
danmendengarkan apa yang guru katakan. Seseorang dapat mencerna dengan
baik informasi yang disesuaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya),
kecepatan berbicara dan halhal auditf lainnya. Informasi tertulis terkadang sulit
diterima oleh siswa bergaya belajar auditori. Anak- anak seperi ini biasanya
dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan
mendengarkan kaset.Orang-orang auditorial berbicara kepada diri sendiri saat
bekerja, mudah terganggu oleh keributan, menggerakkan bibir mereka dan
mengucapkan tulisan di buku ketika membaca, senang membaca dengan keras
dan mendengarkan, dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama.
Selain itu, mereka mempunyuai warna suara dan kesulitan untuk menulis tetapi
hebat dalam berbicara, berbicara dengan irama yang terpola dan pembicara yang
fasih.
c. Gaya Belajar Kinestetik Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik cenderung
berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik yang di tujukan ke
mereka dan menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian. Siswa yang
mempunyai gaya belajar kinestetik cenderung berdiri dekat ketika sedang
berbicara dengan orang lain dan banyak melakukan gerak fisik. Mereka
menyukai belajar melalui praktek langsung, menghafal sesuatu dengan cara
berjalan atau melihat langsung. Umumnya tulisan kurang bagus tetapi senang
menggunakan bahasa tubuh (non verbal). Anak-anak kinestetik sulit untuk
membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut dan mereka
menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan secara fisik.
Menurut Khuluqo (2016`:30) secara garis besar dikenal ada tiga jenis gaya
belajar manusia, yaitu: gaya belajar visual, gaya belajar auditori, gaya belajar
kinestik. Berdasarkan beberapa pendapat teori diatas peneliti menyimpulkan,
jenis-jenis gaya belajar ada tiga yaitu gaya belajar Visual, Auditif, dan
Kinestetik.
44
Gaya belajar auditif dengan cara mendengar, siswa dapat mencerna dengan baik
informasi yang disesuaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya),
kecepatan berbicara dan suka mendengarkan cerita serta ceramah. Gaya belajar
kinestetik dengan cara bergerak, bekerja, menyentuh, siswa menyukai praktik
laboratorium, demonstrasi, simulasi, dan bermain peran serta berbicara dengan
perlahan, selain itu siswa yang belajar kinestetik suka menanggapi perhatian fisik
yang di tujukan ke mereka dan menyentuh orang lain untuk mendapatkan
perhatian serta senang menggunakan bahasa tubuh (non verbal).

2.3 Kemampuan Penalaran


Kemampuan bernalar ilmiah (scientific reasoning) diperlukan dalam memahami
sains termasuk kimia. Pola-pola penalaran ilmiah memungkinkan mahasiswa
menganalisis fakta atau informasi secara logis dan sistematis. Mahasiswa dengan
kemampuan bernalar ilmiah yang baik diharapkan dapat mengkonstruk konsep dengan
lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan bernalar ilmiah
mahasiswa Pendidikan. Kemampuan bernalar ilmiah adalah (KBI) keterampilan kognitif
yang diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi informasi ilmiah, yang melibatkan
pemahaman dan evaluasi secara teoritis, statistik, dan hipotesis kausal (Bao et al., 2009).
KBI memungkinkan siswa untuk menganalisis fakta atau informasi secara logis dan
sistematis (Lawson, 2004; Schen, 2007). Siswa yang memiliki KBI yang tinggi
cenderung lebih mudah memproses dan mengkonstruksi informasi dengan benar.
sehingga memungkinkan siswa memahami konsep dengan lebih baik (Cracolice et al.,
2008; Oloyede, 2012). KBI meliputi kemampuan berpikir yang terlibat dalam tahap
penyelidikan ilmiah, eksperimen, evaluasi fakta-fakta, inferensi dan argumentasi
(Zimmerman, 2005). KBI sangat diperlukan dalam memahami sains termasuk kimia
sebab kimia dipahami dan kembangkan melalui penyelidikan ilmiah. KBI terdiri dari
keseluruhan pola penalaran yang dikarakterisasikan sebagai hipotetik-deduktif dan
beberapa subpola, yang merupakan bagian skema operasional formal seperti penalaran
proporsional, kombinasi dan korelasi (Lawson, 2004:308). Menurut Lawson (2004) dan
Colleta (2013) untuk berpikir ilmiah harus menggunakan penalaran formal atau
penalaran di atas tingkatan formal. Oleh karena itu, untuk memahami sains dengan baik
membutuhkan setidaknya penalaran pada tahap operasi formal. Menurut teori Piaget
setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan kognitif, yaitu: (1) Tingkat
berpikir sensorimotor; usia anak diperkirakan 0-2 tahun, (2) Tingkat berpikir
praoperasional; usia anak diperkirakan 2-7 tahun, (3) Tingkat berpikir operasi konkret;
45
usia anak diperkirakan 7-11 tahun, dan (4) Tingkat berpikir operasi formal; usia anak
diperkirakan 11 tahun ke atas. Tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut bersifat
tetap, yang berarti dalam proses perkembangan menuju ke tahap yang lebih tinggi
individu tidak dapat meloncati tahap perkembangan sebelumnya (Sund danTrowbridge,
1973). Berdasarkan teori Piaget ini, maka mahasiswa seharusnya sudah berada pada
tingkat kemampuan penalaran formal.Tingkat penalaran formal atau KBI diukur
berdasarkan kemampuan memahami masalah yang berhubungan dengan konservasi
materi dan volume, melakukan penalaran proporsional, memahami masalah yang
berhubungan dengan kontrol variabel, menyelesaikan penalaran yang berhubungan
dengan probabilitas, melakukan penalaran korelasi, dan penalaran hipotetik-deduktif.
Berikut penjelasan pola-polapenalaran dalam KBI. Menurut Lawson, et al(2000),
individu yang memiliki level KBI post formalakan mampu memahami konsep yang
bersifat deskriptif (dapat diamati), teoritik, dan hipotetik. Individu yang berada pada
level upper formaldan low formalmampu memahami konsep yang bersifat deskriptif dan
hipotetik sedangkan individu yang berada pada level concret hanya mampu memahami
konsep deskriptif. Berdasarkan karakteristik materi kimia teknik ini maka mahasiswa
yang masih berada pada tahap berpikir concreteakan mengalami kesulitan memahami
mata kuliah kimia yang sarat akan konsep abstrak, teoritik, dan hipotetik serta banyak
menerapkan konsep dalam hubungan kuantitatif.
Pola-pola penalaran kemampuan bernalar memungkinkan mahasiswa dapat
memahami kimia dengan lebih baik. Oleh karena itu proses pembelajaran seharusnya
melibatkan perkembangan skemata formal (Adey & Shayer, 1990). Hubungan antara
metode pembelajaran dan pengembangan pola penalaran ilmiah telah banyak dipelajari
dan menunjukkan bahwa pembelajaran sains berbasis penyelidikan (inquiry) dapat
mengembangkan kemampuan penalaran ilmiah (Bao, et al., 2009). Pentingnya
mengembangkan kemampuan bernalar karena memiliki dampak jangka panjang pada
penguasaan konsep dan kemampuan memecahkan masalah (Colleta & Philips, 2005).
Kemampuan penalaran ilmiah dan kebiasaan bernalar merupakan inti dari literasi ilmiah,
yang melibatkan: (1) kemampuan dan kebiasaan bernalar untuk mengkonstruksi
pemahaman, (2) memahami konsep sains secara utuh, dan (3) kemampuan
berkomunikasi untuk menginformasikan dan meyakinkan orang lain untuk mengambil
tindakan terkait dengan konsep dan teori tersebut.
46

2.4 Hasil belajar


2.4.1 Pengertian hasil belajar

Hasil belajar adalah sesuatu yang didapatkan setelah adanya usaha, Keberhasilan
siswa tampak pada hasil belajarnya, sehingga tingkat intelektual setiap siswa dapat terukur
dengan hasil yang diraihnya. Proses pembelajaran pasti akan menghasilkan sesuatu sebagai
perolehan untuk mengukur ketercapaian belajar yang di sebut dengan hasil belajar. Menurut
Purwanto (2008:44) hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang
membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) menunjukan pada
suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan
berubahnya input secara fungsional.

Menurut Susanto (2013:5) hasil belajar yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada
diri siswa, baik menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari
kegiatan pembelajaran. Secara sederhana, yang dimaksud dengan hasil belajar adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan pembelajaran. Menurut Suprijono
(2015: 7) hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu
aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang di kategorisasi oleh pakar
guruan sebagai mana tersebut diatas dapat dilihat secara fragmentaris atau terpisah
melainkan komprehensif. Berdasarkan pendapat teori di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
hasil belajar adalah sutau perubahan kemampuan yang terjadi pada diri siswa baik
menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Tetapi dalam penelitian ini peneliti
hanya membatasi dalam ranah aspek kognitif saja.

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan beberapa faktor yang
mempengaruhi pencapaian hasil belajar. Sudjana (2014: 39) 24 mengemukakan faktor-faktor
yang menentukan pencapaian hasil belajar adalah sebagai berikut.
47
a. Faktor intern (yang berasal dari dalam diri) yaitu kemampuan yang
dimilikinya, motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan gaya belajar,
konsep diri, ketekunan, sosial ekonomi, serta fisik dan psikis.
b. Faktor ekstern (yang berasal dari luar diri) yaitu lingkungan (keluarga,
sekolah dan masyarakat) dan yang paling dominan adalah kualitas
pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah professional yang
dimiliki oleh guru, yaitu kemampuan dasar guru baik di bidang kognitif
(intelektual), bidang sikap (afektif), dan bidang perilaku (psikomotorik)
Sejalan dengan pendapat di atas, dalam buku Aunurrahman (2014:
178
196), peneliti meringkas secara mendetail faktor yang mempengaruhi
hasil belajar, yaitu:
1) Faktor internal yaitu karakteristik siswa, sikap terhadap belajar, motivasi
belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar, menggali hasil belajar,
rasa percaya diri, dan gaya belajar.
2) Faktor eksternal yaitu faktor guru, lingkungan sosial (termasuk teman
sebaya), dan kurikulum sekolah. Pendapat lain dikemukakan oleh Djaali
(2011: 101) bahwa kemampuan yang dimiliki siswa sangat menentukan
keberhasilannya dalam proses belajar. Adapun faktor yang
mempengaruhinya, antara lain motivasi, sikap, minat, gaya belajar, dan
konsep diri.

2.5 Hubungan Antara Gaya Belajar Dengan Hasil Belajar


Gaya belajar merupakan bentuk dan cara belajar siswa yang penting disukai yang
akan berbeda Antara yang satu dengan yang lain, karna setiap individu.
Para ahli di bidang pendidikan mencoba mengembangkan teori mengenai gaya belajar
sebagai cara untuk mencari jalan agar belajar menjadi hal yang mudah dan
menyenangkan. Belajar memerlukan konsentrasi yang tinggi agar dapat memahami
konsep yang dipelajari. Situasi dan kondisi untuk berkonsentrasi sangat berhubungan
dengan gaya belajar. Jika seseorang dapat mengenali gaya belajar sendiri, maka orang
tersebut dapat mengelola pada kondisi apa, di mana, kapan dan bagaimana seseorang
dapat memaksimalkan belajar. Individu dalam belajar memiliki berbagai macam cara,
ada yang belajar dengan cara mendengarkan, ada yang belajar dengan membaca, serta
belajar dengan cara menemukan. Cara belajar peserta didik yang berananeka ragam
tersebut disebut sebagai gaya belajar (learning style) yang dipengaruhi oleh pengalaman,
48
jenis kelamin, etnis (Philibin, et.al., 1995) dan secara khusus melekat pada setiap
individu.
Beberapa penelitian yang bermaksud mengidentifikasi gaya belajar mahasiswa
menemukan bahwa mahasiswa dengan gaya belajar tertentu menunjukkan prestasi yang
lebih baik karena mereka lebih puas selama mengikuti perkuliahan (Baker, et.al., 1987).
Mahasiswa yang memahami kecenderungan gaya belajarnya atau kecenderungan gaya
belajarnya mirip dengan dosen pengampu akan memiliki IPK yang tinggi. Menurut
penelitian Pujiningsih (2007) preferensi gaya belajar mahasiswa yang bermaksud
mengidentifikasi kecenderungan gaya belajar dan perbedaan gaya belajar.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan gaya belajar di
antara mahasiswa ketiga prodi tersebut menunjukkan kecenderungan gaya belajar yang
sama yaitu perceptive dan reflector. Penelitian tersebut tidak menghubungkan
kecenderungan gaya belajar terhadap hasil belajar. Mengenali gaya belajar sendiri,
belum tentu membuat seseorang menjadi lebih pandai tetapi dengan mengenal gaya
belajar seseorang akan dapat menentukan cara belajar yang lebih efektif. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk membuktikan bahwa ternyata kita memiliki cara belajar
dan berpikir yang berbeda-beda. Kita akan merasa lebih efektif dan lebih baik dengan
menggunakan lebih banyak mendengarkan, namun orang lain merasa lebih baik dengan
membaca bahkan ada yang merasa bahwa hasilnya akan optimal jika kita belajar
langsung mempraktikkan apa yang akan dipelajari. Bagaimana cara kita belajar akan
mempengaruhi struktur otak.
Mahasiswa di Program Studi Pendidikan Kimia unwira Kupang sangat kompleks dan
berasal dari berbagai suku di Indonesia. Dengan kondisi seperti ini tentu dosen sangat
memeras keringat dalam memberikan kuliah mengingat betapa sulitnya mengakomodasi
gaya belajar tiap-tiap mahasiswa. Kadang-kadang seorang dosen mengeluh mengapa
materi yang sudah disampaikan sulit diterima oleh mahasiswa. Oleh sebab itu perlu
dicarikan jalan keluar untuk menanggulangi masalah tersebut, yaitu dengan cara
mengenali gaya belajar masing-masing mahasiswa sehingga hasil belajar yang diperoleh
dapat maksimal. Belajar di bidang formal memang tidak selalu menyenangkan.
Mahasiswa selalu mencari cara yang terbaik supaya dapat belajar dan dapat menerima
materi perkuliahan. Kadang-kadang mahasiswa mengalami keterpaksaan dalam belajar,
artinya mahasiswa berkeinginan belajar karena itulah satu-satunya cara untuk lulus
matakuliah. Contoh lain dari kepterpaksaan adalah bila mahasiswa menyukai belajar di
kelas dengan bimbingan dosen. Menghadapi keterpaksaan untuk belajar jelas bukan hal
yang menyenangkan dan tidak akan mudah bagi mahasiswa untuk berkonsentrasi belajar
49
jika mahasiswa tersebut merasa terpaksa. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan
bagaimana agar belajar menjadi hal yang menyenangkan atau walaupun tetap terpaksa
tetapi dapat menjadi lebih mudah dan efektif, sehingga hasil belajar mahasiswa juga
akan lebih baik.

2.6 Hubungan Antara Gaya Belajar Terhadap Kemampuan Penalaran

De Porter dan Hernacki (dalam Indarto, 2012:20) mengemukakan secara umum gaya
belajar terbagi menjadi tiga, yang biasa dikenal dengan VAK(Visual, Auditorial, dan
Kinestetik). Dengan demikian peserta didik harus mempunyai keinginan, dorongan yang
kuat untuk belajar dan mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka didalam proses
pembelajaran sesuai dengan kenyamanan cara mereka belajar. Faktor internal lain yang
memberikan pengaruh positif terhadap proses pembelajaran adalah adanya motivasi belajar
dari peserta didik. Menurut Clelland (dalam Surya, 2014:57) pada dasarnya dalam diri setiap
orang terdapat kebutuhan untuk melakukan perbuatan dalam memperoleh hasil yang sebaik-
baiknya, kebutuhan ini disebut sebagai kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement). Motivasi belajar memiliki peranan yang sangat besar dengan usaha yang terus
menerus untuk meraih prestasi. Motivasi dalam hubungannya dengan pembelajaran,
merupakan suatu dorongan, keinginan, maupun kebutuhan peserta didik yang diwujudkan
dalam bentuk usaha untuk mencapai atau memperoleh prestasi belajar yang setinggi-
tingginya (Surur & Tartilla 2019). Dalam hal ini, hasil dan prestasi yang diharapkan adalah
kemampuan penalaran matematis dalam proses berpikir untuk mencapai satu kesimpulan
yang logis pada gagasan objek dan pernyataan matematika. Oleh karena itu untuk
mendapatkan kemampuan penalaran matematis yang baik dan maksimal diperlukan
gaya belajar siswa dan motivasi belajar yang tepat serta mendukung dalam proses
pembelajaran Kimia. Pada pelaksanaan pembelajaran di lingkungan pendidikan di Program
Studi Pendidikan Kimia belum berhasil disebabkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Keberhasilan dari pendidikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
ekstern dan intern. Masih kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, alat dan bahan
untuk praktikum, masih kurangnya bahan ajar, merupakan bagian dari faktor ektern. Yang
termasuk faktor intern adalah gaya belajar dari dalam diri peserta didik atau mahasiswa,
50
merupakan faktor penentu keberhasilan suatu proses pelaksanaan pembelajaran pengajar
dalam hal ini dosen belum mengenali atau mengetahui gaya belajar. Penalaran ilmiah
merupakan salah satu keterampilan abad 21 yang diharapkan dapat diajarkan di kelas sains
sebagai upaya untuk mempersiapkan siswa agar mereka berhasil dalam menghadapi
tantangan globalisasi. Penguasaan terhadap materi Kimia tidak hanya menguasai materi
yang diperlukan saja, namun harus dapat memahami, berkreasi dan memecahkan masalah
dengan benar melalui penalaran yang tepat. Kemampuan tersebut menuntut peserta didik
belajar memecahkan soal berdasarkan informasi yang disajikan. Ciri yang pertama adalah
adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran
mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran
merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis disini harus diartikan sebagai
kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Ciri yang kedua dari
penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan
berpikir yang mengarahkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan
untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah
merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga
penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan
konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu. Selain berpikir logis dan berpikir dengan sifat
analitik, dalam memecahkan suatu permasalahan Kimia juga harus mampu menduga,
mengkonstruksi, dan menemukan informasi penting berdasarkan stimulus visual dalam
konteks ruang. Penalaran dalam sains dapat digunakan untuk memahami prinsip-prinsip
dasar dalam sistem kompleks yang dinamis. Penalaran juga merupakan kemampuan berfikir
cepat, tepat dan mantap. Selain itu penalaran merupakan proses berfikir dan menarik
kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari
pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan
pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi
yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang
menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang
disebut menalar.

2.7 Hubungan Antara Kemampuan Penalaran Dengan Hasil Belajar

Kemampuan penalaran peserta didik yang belum berkembang disebabkan


kecenderungan pengajar lebih banyak mengembangkan pembelajaran dengan memberikan
materi sebanyakbanyaknya dengan harapan siswa mampu menguasai dan menerapkan
51
pengetahuan yang diperoleh (Smith dkk, 2008; Gotwals Songer, 2009) dalam Fahkrudin.
Selain itu Riyanto & Siroj mengungkapkan bahwa Salah satu penyebab kurangnya
kemampuan penalaran dan prestasi siswa adalah proses pembelajaran yang dilakukan oleh
guru di kelas kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran atau tidak terjadi diskusi
antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak
mengeksplorasi, menemukan fakta-fakta berdasarkan pengamatan secara langung dan
menarik kesimpulan, hanya menerima apa yang diberikan oleh guru atau siswa hanya
menerima apa yang dikatakan oleh guru. Kemampuan penalaran dalam memecahankan
suatu permasalahan merupakan hal yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang sulit bagi peserta didik dan
kemampuan yang dimilikinya masih rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh desain
pembelajaran yang kurang menciptakan atau memberikan kesempatan bagi peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan penalaran logisnya. Upaya yang perlu dilakukan adalah
dengan mendesain pembelajaran yang tidak hanya meningkatkan hasil belajar peserta didik,
tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan penalaran dalam memecahkan masalah.
Sebagai langkah awal, harus mengetahui secara mendalam bagaimana sesungguhnya profil
kemampuan penalaran peserta didik dalam memecahkan masalah. Profil inilah yang akan
menjadi modal dasar dalam mendesain pembelajaran. Dalam penelitian iukur beberapa
kemampuan penalaran mahasiswa yang meliputi penalaran spasial, penalaran analitis, dan
penalaran logis. Penalaran spasial Pada tes penalaran spasial ditujukan untuk mengetahui
kemampuan memvisualisasikan seseuatu benda dan membuat pengertiannya serta berpikir
secara abstrak melalui benda atau simbol-simbol. Beberapa indikator penalaran spasial yang
dikaji yakni klasifikasi, hubungan dan konsistensi logis, analogi dan melengkapi pola.
Adapaun indikator penalaran logis yang dikaji berdasarkan langkah-langkah pemecahan
masalah Polya menurut Bancong & Subaer adalah:

1) mengumpulkan fakta,
2) membangun dan menetapkan asumsi,
3) menilai atau menguji asumsi,
4) menetapkan generalisasi,
5) membangun argumen yang mendukung,
6) memeriksa atau menguji kebenaran argumen, dan
7) menetapkan kesimpulan. Sopandi & Martoprawiro juga mengungkapkan bahwa tes
kemampuan berpikir logis meliputi lima skala: penalaran proporsional, variabelkontrol,
penalaran kombinasi, penalaran probabilistik, dan penalaran korelasional. Sedangkan
pada tes penalaran analitis ditujukan untuk mengetahui kemampuan kegiatan berpikir
52
yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangkar berpikir dengan logika
penalaran.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian korelasi. Karena penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh/hubungan gaya belajar terhadap hasil belajar mahasiswa/I
semester 6, Program Studi Pendidikan Kimi UNWIRA Kupang. Penelitian korelasi
termasuk dalam penelitian yang bersifat non eksperimen. Dalam penelitian ini
peneliti tidak melakukan suatu perlakuan pada objek penelitian yang sifatnya
mengubah kondisi dari objek peneliti tersebut. Penelitian korelasi juga termasuk ke
dalam penelitian deskriptif, yang berusaha mengambarkan bagaimana
pengaruh/hubungan gaya belajar terhadap hasil belajar mahasiswa/I semester 6,
Program Studi Pendidikan Kimi UNWIRA Kupang.

3.2 Lokasi Dan Jadwal Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yaitu di Program Studi Pendidikan Kimia, Universitas
Katolik Widya Mandira Kupang.
3.2.2 Jadwal Penelitian
53
Jadwal penelitian yaitu berlangsung selama satu bulan.

3.3 Subyek Penelitian

Mahasiswa/i semester 6 Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Katolik


Widya Mandira Kupang

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi menurut Singarimbun dalam buku Iskandar (2013: 69) adalah


jumlah keseluruhan dari unit-unit analisis yang memiliki ciri-ciri yang akan diduga.
Sedangkan menurut Nawawi dalam buku Iskandar (2013: 69) populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan,
tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber
data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa/i semester 6 Program Studi
Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya Mandira Kupang yang berjumlah 36
orang.

3.4.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2014: 81). Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak
mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan
dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil
dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan dapat
diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus
betul-betul representatif atau mewakili (Sugiyono, 2014: 81).
Adapun teknik pengambilan sampel dalam peneliitian ini adalah teknik
sampling jenuh. Pengambilan teknik ini karena semua anggota populasi digunakan
sebagai sampel.

3.5 Variabel Penelitian

Sugiyono dalam skiripsi Amin Pujiarti (2013: 55) berpendapat bahwa


variabel penelitian merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
54
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini variabel
diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan peneliti
32

Macam-macam variabel penelitian

a. Variabel independent (variabel bebas)

Sugiyono dalam skiripsi Amin Pujiarti (2013: 55) menyatakan bahwa variabel
bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau variabel terikat. Variabel bebas
sebagai variabel yang diukur, dimanipulasi, atau dipilih oleh peneliti untuk
menentukan hubungannya dengan suatu gelaja yang diobservasi. Variabel bebas dari
penelitian ini adalah gaya belajar yang meliputi gaya belajar Visual, Audio, dan
Kinesthetic.

b. Variabel dependent ( variabel terikat )


Sugiyono dalam Amin Pujiarti (2013: 56) mengemukakan bahwa variabel
terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar mahasiswa/i semester
6 Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah-langkah yang diperoleh peneliti untuk


mendapatkan data dalam usaha pemecahan masalah penelitian. Adapun dalam
pengumpulan data tersebut diperlukan teknik-teknik tertentu sehingga data yang
diharapkan dapat terkumpul dan benar-benar relevan dengan permasalahan yang hendak
dipecahakan (Andriansyah, 2010: 41).
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui Skala Gaya
Belajar model angket dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Skala gaya belajar
Nana Syaodih Sukmadinata dalam skripsi Amin Pujiarti (2013:79) mengemukakan
bahwa skala merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat mengukur karena diperoleh
hasil ukur yang berbentuk angka-angka. Skala berbeda dengan tes, kalau tes ada jawaban
benar dan salah, sedangkan skala tidak ada jawaban benar dan salah, tetapi jawaban atau
respon responden terletak dalam satu rentang (skala). Ada beberapa macam skala tetapi yang
33
dipakai peneliti adalah rentang deskriptif berupa skala likert.
Iskandar (2013: 83 ) mengemukakan bahwa skala liker digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekolompok orang tentang fenomena atau
gejala sosaial yang terjadi, hal ini secara spesifik telah ditetapkan oleh peneliti, yang
selanjutnya disebut Variabel penelitian. Variabel penelitian ini dijabarkan melalui dimensi-
dimensi menjadi sub variabel kemudian sub variabel ini dijadikan indikator-indikator yang
dapat dijadikan tolok ukur untuk menyusun item-item pertanyaan atau pernyataan yang
berhubungan dengan variabel penelitian. Pertanyaan atau pernyataan akan dijawab oleh
responden berbentuk skla liker yang mempunyai gradasi dari sangat posistif dan sangat
negatif. Sukardi dalam skripsi Amin Pujiarti (2013: 75) mengemukakan bahwa berdasarkan
pengalaman di masyarakat Indonesia, ada kecenderungan responden memberikan pilihan
jawaban pada kategori tengah karena alasan kemanusiaan. Tetapi jika semua responden
memilih kategori tengah maka peneliti tidak memperoleh informasi pasti. Untuk mengatasi
hal tersebut, para peneliti dianjurkan membuat tes skala Likert dengan menggunakan
pilihan kategori genap. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan pilihan kategori genap
yaitu dengan 4 tingkatan interval berupa kata selalu, sering, jarang, dan tidak pernah.
38

3.7 Instrumen Penelitian

Sugiyono dalam Amin Pujiarti (2013:60) mengemukakan bahwa instrumen


penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur suatu fenomena
alam maupun sosial yang diamati. Instrumen penelitian adalah alat/fasilitas yang
digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah
diolah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala gaya belajar
yang sudah baku yang diadaptasi dari peneliti sebelumnnya yaitu Amin Pujiarti
yang di validasi oleh Aprilia Tina lidyasari, M. Pd.
Skala Gaya Belajar menggunakan Skala Likert untuk mengukur variabel
bebas yaitu kecenderungan gaya belajar siswa. Skala Gaya Belajar ini
dikembangkan berdasarkan variabel bebas gaya belajar yang mana memiliki tiga
sub variabel yaitu gaya belajar Visual, Audio, dsn Kinesthetic. Selanjutnya masing-
masing sub variabel dilihat ciri-cirinya yang telah dijelaskan pada Kajian Pustaka
kemudian diringkas oleh peneliti ke dalam indikator-indikator yang selanjutnya
dijabarkan menjadi beberapa deskriptor dan akhirnya dijabarkan lagi ke dalam
butir-butir pernyataan positif dan negatif.
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Pengembangan Instrumen Gaya Belajar

Variabel Sub Indikator Deskriptor No.Butir Jum


Variabe soal lah
l Buti
(+) (-) r
Soal
Gaya Gaya Belajar dengan 1. Rapi dan teratur 6 1
Belajar Belajar cara melihat
Visual
2. Mengingat apa yang 3 5 2
dilihat daripada apa
yang didengar
3.Menyukai banyak 2 1
simbol dan gambar
4.Aktivitaskreatif 7 4 2
mengambar,menulis,
melukis, mendesain
5.KetikaBe 1 1
rbicara
temponya
39
cepat
Gaya Belajar dengan 1. perhatiannya mudah 14 1
belajar cara terpecah
Auditori mendengar
2. Belajar dengan cara 8 12 3
Mendengarkan
13

3. Menggerakkan 9 1
bibir/atau bersuara
ketika membaca
4. Aktivitas kreatif: 11 1
bernyanyi, bermain

Variabel Sub Indikator Deskriptor No.Butir Jum


Variabe soal lah
l Buti
(+) (-) r
Soal
musik, berdebat
5. senang berbicara dan 10 1
suaranya berirama
Gaya Belajar dengan 1. menyentuh orang 20 2
Belajar cara bergerak, untuk mendapatkan
Kinesthe bekerja, perhatiannya 21
tik menyentuh
2. belajar dengan 18 1
melakukan
3. banyak bergerak dan 15 1
biasanya
menggunakan
bahasa non verbal
4. Aktivitas kreatif: 16 1
Kerajina tangan,
menari, berkebun,
berolahraga
5. Ketika berbicara 17 19 2
temponya lambat
dan ketika diam
tidak bisa tenang
dalam waktu yang
lama
JUMLAH 14 7 21
40

1. Penilaian dan Skoring


Sistem pensekoran untuk skala gaya belajar pada setiap pernyataan positif yaitu
subjek akan mendapat skor 4 jika menjawab selalu, skor 3 jika menjawab sering,
skor 2 jika menjawab jarang, dan skor 1 jika menjawab tidak pernah. Sedangkan
untuk pernyataan negatif, subjek akan memperoleh skor 1 jika menjawab selalu,
skor 2 jika memilih sering, skor 3 jika memilih jarang, dan skor 4 jika memilih
tidak pernah.
Tabel 3.3 Pedoman Pemberian skor instrumen gaya belajar
Pernyataan Positif Pernyaatan Negatif

jawaban skor Jawaban skor

selalu 4 selalu 1

sering 3 sering 2

Jarang 2 Jarang 3

Tidak Pernah 1 Tidak Pernah 4

2. Hasil belajar Mahasiswa/I Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara menyelidiki


benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah dokumen, peraturan- peraturan, notulen
rapat catatan harian dan sebagainya. Dalam teknik ini peneliti gunakan untuk
memperoleh data tentang jumlah siswa dan hasil belajar Mahasiswa.

3.8 Teknik Analisis Data


a. Analisis statistik deskriptif
Analisis data angket gaya belajar tentang kecenderungan gaya belajar siswa.
Langkah pertama adalah memberikan skor yaitu skor maksimal = 4 dan skor
minimal = 1. Langkah selanjutnya yaitu menghitung besarnya persentase gaya
belajar siswa (visual, auditori, dan kinesthetik). Adapun rumus yang digunakan
untuk menghitung besarnya persentase kecenderungan gaya belajar yaitu rumus
persentase Anas Sudjono (Amin Pujiarti, 2013: 67).
41
F
P= × 100 %
N

Keterangan :

P = persentase
F = frekuensi yang dicari
persentasenya N = number of cases
(jumlah subjek)

Setelah dilakukan penghitungan skor maka dilakukan penggolongan


kecenderungan gaya belajar siswa, masing-masing gaya belajar dihitung jumlah
siswanya dan dibandingkan dengan jumlah siswa seluruhnya, dilakukan pemberian
tingkatan gaya belajar siswa (visual, auditori, dan kinesthetik ). Peneliti
menggunakan kriteria atau ukuran untuk dijadikan patokan yaitu kriteria penilaian
lima kategori menurut Suharsimi Arikunto dalam Amin Pujiarti (2013: 67).
Tabel 3.4 Pedoman kategori presentase

Kategori Rentang presentase

Sangat baik 80 % - 100 %

Baik 61 % - 80 %

Cukup 41 % - 60 %

Kurang 21 % - 40 %

Kurang sekali 0 %-20 %

b. Uji prasyarat analisis


1.Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan apakah data-data yang digunakan berdistribusi


normal atau tidak. Uji normalitas pada data penelitian ini dimaksudkan untuk menguji
variabel gaya belajar dengan hasil belajar. Pengujian normal tidaknya data pada
penelitian ini menggunakan program spss versi 16.0 melalui uji kolmogorov
smirnov.
Pengujian normalitas yang umum digunakan adalah teknik Kolmogorof
42
Smirnov dan Shapiro Wilk. Kriteria pengujian normalitas meneurut kedua versi ini,
jika nilai p value Sig > 0,05 maka data berdistribusi normal.
2. Uji linearitas

Uji linearitas adalah uji yang akan memastikan apakah data yang kita miliki
sesuai dengan garis linear atau tidak. Uji linearitas digunakan untuk
mengkonfirmasikan apakah sifat linear antara dua variabel yang diidentifikasikan
secara teori sesuai atau tidak dengan hasil observasi yang ada. Rumus uji linearitas
adalah sebagai berikut:

()
FHitung = ()

Dengan taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan pembilang n-1 serta
derajat kebebasan penyebut n-1, maka jika diperoleh FHitung ≤ Ftabel berarti data linear
(Hastin indrawaati, 47:2016)
c. Pengujian hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian menggunakan bantuan program komputer


SPSS Versi 16.0. Rumus korelasi produk moment karena teknik ini dapat mengetahui
39

ada tidaknya korelasi antara kedua variabel setelah diketahui nilai korelasi maka
langkah selanjutnya adalah memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi atau
“r” Product Moment.
Misbahuddin dan Ikbal Hasan (2013: 66) mengemukakan bahwa rumus
koefisien Korelasi Person (r) digunakan pada analisis korelasi sederhana untuk
variabel interval/rasio. Koefisien korelasi Pearson dirumuskan:
∑( ∑ ) (∑ )
rxy = [ ∑(∑ ) ] [ ∑(∑ ) ]

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi antara x dan y


X = skor item
Y = skor total

ΣX = jumlah skor butir


ΣY = jumlah skor total
ΣX2 = Jumlah kuadrat skor item

ΣY2 = Jumlah kuadrat skor total


Dimana:
X sebagai data variabel independent (variabel bebas)

Y sebagai data variabel dependent (Hasil Belajar siswa)

Cara menguji signifikansi tidaknya hubungan/korelasi antara dua variabel


perlu dilihat harga r tabel product moment. Jika rhitung > rtabel dengan taraf signifikan
1% maka hipotesis diterima. Sebaliknya jika r hitung < rtabel maka hipotesis ditolak, atau
dengan melihat kriteria signifikansi, yaitu jika nilai signifikansi < 0,05 maka terdapat

korelasi sebaliknya jika nilai signifikansi > 0,05 maka tidak terdapat korelasi. (Amin
Pujiarti, 2013: 69).
40
Tabel 3.5 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi
Interpretasi Koefisien Tingkat Hubungan

0,00-0,199 Sangat Rendah

0,20-0,399 Rendah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat

0,80-1,000 Sangat Kuat

Koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji hipotesis tentang hubungan


antar variabel atau untuk menyatakan besar kecilnya hubungan antara kedua variabel.
Kekuatan hubungan antar variabel penelitian ditunjukkan oleh koefisien korelasi
yang angkanya bervariasi antara -1 sampa +1 (Jamal Ma’mur Asmani, 2011: 46-47).
Kuatnya suatu efek hubungan (correlation effect) antar variabel dalam
penelitian dinyatakan dalam koefisien korelasi ( ). Koefisien korelasi positif sebesar-
besarnya adalah 1 (satu). Apabila hubungan antara dua variabel atau lebih
mempunyai koefidien korelasi =1, disebut hubngan yang pasti atau sempurna.
Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara variabel X
dengan variabel Y (Kasmadi, Nia Siti Sunariah, 2014:122-123 ).
d. Uji regresi sederhana

Regresi yang berarti peramalan, merupakan teknik statistik (alat analisis)


hubungan yang digunakan untuk meramalkan atau memperkirakan nilai dari suatu
variabel dalam hubungannya dengan variabel yang lain melalui persamaan garis

regresi. Regresi ini dapat regresi linier, yaitu regresi yang memerlihatkan data yang
dapat dinyatakan berada pada satu garis lurus (linier) dan regresi nonlinier, yaitu
regresi yang memperlihatkan data yang ada tidak dapat dinyatakan pada suatu garis
lurus (nonliniear). Regresi linier dapat berupa regresi linear sederhana, yaitu regresi
linear yang hanya melibatkan dua variabel, yaitu satu variabel bebas X dan satu
variabel terikat Y (Misbahuddin, Ikbal Hasan, 2013:).
Regresi linear sederhana adalah regresi linear dimana variabel yang terlibat
41
didalamnya hanya dua, yaitu satu variabel terikat Y dan satu Variabel bebas X, serta
berpangkat satu.
Adapun rumus persamaan regresi sederhana (linier) adalah:
Y=a+bX
Keterangan:

Y = Variabel Terikat (Variabel yang diduga)


a = Intersep

b = Koefisien korelasi (slop)

X = Variabel Bebas (independent)

Untuk melihat bentuk korelasi antar variabel dengan persamaan regresi


tersebut maka nilai a dan b harus ditentukan terlebih dahulu.
()(
= ()

ΣY − bΣX
=
42
DAFTAR PUSTAKA

Bancong, H. (2013). Profil Penalaran Logis Berdasarkan Gaya Berpikir Dalam Memecahkan
Masalah Fisika Peserta Didik. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia (Indonesian Journal of
Science Education)

Journal of Research in Science Teaching, 44(5), 706-724.Liao, Y. W. & She, H. C. 2009.


Enhancing Eight Grade Students' Scientific Conceptual Change and Scientific Reasoning
through a Web-based Learning Program.

Educational Technology & Society 12(4): 228-240.Mutammam, M. B dan Budiarto, M. T.


2013. Pemetaan Perkembangan Kognitif Piaget Siswa Sma Menggunakan Tes Operasi Logis
(TOL) Piaget Ditinjau

Sopandi, W., & Martoprawiro, M. A. 2014. Kemampuan Berpikir Logis dan Model Mental
Kimia Sekolah Mahasiswa Calon Guru. Jurnal Cakrawala Pendidikan

Surur, M., & Tartilla, T. Pengaruh Problem Based Learning dan Motivasi Berprestasi
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah. Indonesian Journal of Learning Education and
Counseling
43
44

Anda mungkin juga menyukai