MASYARAKAT TRANSISI
Buku Pendidikan Kaum Tertindas ini menggelitik pemikiran mereka yang yang
ingin secara nyata melibatkan diri dalam merealisasikan cita-cita tersebut.
Pengaruh pemikiran Paulo Freire di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang-
bidang lainnya sangat besar. Kalangan masyarakat Indonesia sudah mulai
banyak berkenalan dengan pemikiran dan karya Paulo Freire, khususnya
sesudah pudarnya Orde Baru (1998).
Ada tiga langkah yang ditempuh dalam Prawacana ini. Pertama, mengantar
pembaca meniti perjalanan hidup Freire. Kedua, memberikan ringkasan isi
bukunya untuk mem-permudah pemahaman. Ketiga, secara singkat melihat
relevansi penyadaran dan pencerahan sebagai hasil pembacaan Pendidikan
Kaum Tertindas bagi masyarakat Indonesia yang sedang bergumul menciptakan
masyarakat demokratis, sesuai dengan cita-cita para Bapak pendiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Paulo Freire, Dia lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota
pelabuhan di Brasil bagian timur laut, wilayah kemiskinan dan keterbelakangan.
Ayahnya seorang anggota polisi militer di Pernambuco yang berasal dari Rio
Grande do Norte dan Ibunya Edeltrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco.
Profesor Richard Shaull dalam kata pengantar bahasa Inggris buku Pendidikan
Kaum Tertindas mengungkapkan bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan
sewaktu masih bocah menyebabkan Freire pada umur sebelas tahun bertekad
untuk mengabdikan kehidupannya pada perjuangan melawan kelaparan agar
anak- anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yang tengah dialaminya
itu.
Freire mengalami perbaikan ekonomi dan melanjutksn kuliah nya lalu is
menikah. Pada 1944 perhatiannya dalam dunia pendidikan mulai tumbuh. Lalu
dia bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, bahkan menjadi
Direktur Bagian Pendidikan dan Kebudayaan SESI (Pelayanan Sosial) di negara
bagian Pernambuco. Pengalaman selama tahun 1946-1954 membawa Freire
pada kontak langsung dengan kaum miskin di kota-kota. Dan hal ini sangat
berguna dalam penelitiannya untuk memajukan bidang pendidikan dan hukum
yang adil. Pada saat itu ia menemukan kunci permasalahan dari masyarakat
yaitu aksara. Freire ditugaskan menjadi Direktur Pelayanan Extension Kultural
Universitas Recife yang menerapkan program kenal aksara di kalangan petani di
daerah timur laut. Metode yang dipakai kelak dikenal sebagai Metode Paulo
Freire, meskipun dia sendiri tidak pernah mau menamakan demikian.
Kemudian, dari bulan Juni 1963 sampal Maret 1964, Freire bekerja dengan tim-
timnya untuk seluruh Brasil. Mereka berhasil menarik kaum tuna aksara untuk
belajar membaca dan menulis dalam waktu cukup singkat, yaitu tidak lebih dari
45 hari. Dalam konteks inilah 'konsientisasi', kata kunci yang sering
dipergunakan Freire, harus dimengerti. Kesa- daran diri di sini tidak sekadar
berhenti pada tahap refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang akan
selalu direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus-menerus.
Tetapi iklim penuh harapan ini di dorong oleh kaum sektarian yang muncul atas
retaknya masyarakat tertutup berkembang ke arah yang okeh mennheim atau
fenomena demokratisasi (ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan). Para kaum
elit mempertahankan suatu demokrasi ganjil yang mengatakan bahwa
masyarakat tidak sehat. Sementara itu, penyakit sesungguhnya adalah keinginan
untuk bebas berbicara dan berpartisipasi.
Asistensialisme adalah sebagai usaha untuk melemahkan partispasi rakyat
dalam proses sejarah yang dapat merusak. Pertama, asistensialisme
bertentangan dengan panggilan kodrat manusia sebagai subjek. Kedua,
asistensialisme melawan proses demokrasi fundamental. Dengan demikian,
asistensialisme merupakan akibat maupun sebab dari masifikasi.
Yang perlu dilakukan adalah terjun ke tengah rakyat dan mengajak mereka
memasuki proses sejarah dengan kritis. Prasyarat ini adalah bentuk pendidikan
yang menjadikan rakyat mampu merefleksi diri sendiri, tanggung jawab
mereka, dan peranan mereka dalam iklim kebudayaan yang baru.
Pengembangan kekuatan ini akan menghasilkan peningkatan kemampuan untuk
memilih. Hal ini penting untuk proses humanisasi.
Manusia mencampuradukan persepsi atas obyek obyek dengan tantangan
lingkungan, dan mereka menerima saja penjelasan-penjelasan yang bersifat
magis karena tidak mampu memahami hubungan sebab-akibat yang
sesungguhnya. Dan ini memungkinkan manusia yang semula terlepas dari
eksistensinya menjadi hampir semua terlibat secara total. Ekstensi adalah
konsep dinamis, yang membuat dialog terus-menerus antara manusia dengan
manusia, manusia dengan dunia, dan manusia dengan Penciptanya. Dialog ini
lah yang membuat manusia menjadi makhluk menyejarah.
Kesadaran transitif-krisis merupakan sifat-sifat dari pemerintahan demokratis
sejati dan cocok untuk bentuk-bentuk kehidupan yang mudah ditembus,
meneliti, tidak pernah diam dan dialogis, yang berlawanan dengan sikap bisu
dan berpangku tangan, berlawanan dengan kekerasan. Hal-hal ini harus
dibedakan dengan posisi kritis sejati, di mana pribadi memilih dan menciptakan
posisinya sendiri dengan mengadakan campur tangan dan integrasi terhadap
lingkungannya.