Anda di halaman 1dari 10

NAMA : Arianti Primawiguna

NIM : 21430410007
PRODI : Teknik Lingkungan

Daur Ulang Plastik dan Kertas di Indonesia


Identifikasi Ekosistem Daur Ulang
Kegiatan daur ulang sampah melibatkan 3 (tiga) kelompok besar yang membentuk
satu kesatuan ekosistem dari hulu hingga hilir. Aliran material yang terjadi selama kegiatan
daur ulang mengikuti urutan dari ekosistem ini.

1.1 Pengumpulan (sisi hulu / upstream)


Bagian awal atau hulu dari ekosistem daur ulang adalah sistem pengumpulan.
Untuk memperoleh kualitas daur ulang yang baik, pengumpulan juga erat kaitannya
dengan sistem pemilahan. pemerintah daerah sebagai pengelola Tempat Pemrosesan
Sampah Terpadu (TPST) dan Pusat Daur Ulang Sampah (PDU), atau pihak swasta
pengangkut sampah dari kawasan komersial. Pelaku sistem pengumpulan dapat
berupa sektor formal, seperti misalnya pemerintah daerah sebagai pengelola Tempat
Pemrosesan Sampah Terpadu (TPST) dan Pusat Daur Ulang Sampah (PDU), atau
pihak swasta pengangkut sampah dari kawasan komersial. Pengumpul sampah juga
dapat bersifat semiformal, misalnya Bank Sampah Unit (BSU), atau Tempat
Pemrosesan Sampah (TPS) 3R. Di Indonesia, pengumpulan sampah daur ulang juga
melibatkan sektor informal, yang disebut juga sebagai para pemulung. Beberapa
industri pulp dan kertas membina penyuplai kertas daur ulang dengan membentuk
Bailing Station dan Pemulung Binaan. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI)
mencatat hingga saat ini ada 100 penyuplai kertas daur ulang di Indonesia, dimana
para penyuplai tersebut mengumpulkan kertas daur ulang yang berasal dari para
pemulung dan lapak binaan. Berdasarkan data APKI, saat ini terdapat Klaster Industri
Kertas (KITAS) yang merupakan kolaborasi akademisi, pelaku industri dan
pemerintah. KITAS memperoleh kertas daur ulang dari pengumpul dan koperasi
grafika (limbah perusahaan grafika).
2.1 Agregasi (sisi tengah / midstream)
Sampah daur ulang yang telah terpilah dan terkumpul kemudian ditransfer ke
lokasi pengumpulan yang lebih besar (sistem agregasi) dan dilakukan proses
penyortiran lanjutan, sebelum diserahkan ke fasilitas daur ulang. Pelaku sistem di
midstream ini umumnya adalah Bank Sampah Induk (BSI) dan
lapak/pengepul/bandar. Hampir seluruh jenis sampah daur ulang yang memiliki nilai
jual diproses oleh sistem agregasi, termasuk plastik dan kertas. Para aktor di
midstream ini masih ada yang bersifat sektor informal.
3.1 Proses (sisi hilir / downstream)
Setelah melalui proses pemilahan, pembersihan, agregasi, dan pengemasan lebih
lanjut di bagian midstream, aliran sampah daur ulang dilanjutkan ke bagian hilir di
mana pabrik daur ulang menjadi aktor utamanya. Pabrik daur ulang plastik biasanya
melakukan pelletizing, konversi ke bahan baku sekunder , atau produksi produk
akhir . Sedangkan untuk kertas, pendaur ulang adalah pabrik kertas yang memproses
sampah kertas menjadi kertas daur ulang.
Estimasi Kapasitas Pengumpulan Sampah Daur Ulang
2.1 Plastik pasca konsumsi
Dari berbagai data yang berhasil dikumpulkan, diperoleh hasil perhitungan
bahwa kapasitas daur ulang plastik dari pasca konsumsi atau PCR plastik adalah
sekitar 0,421 juta ton/tahun yang terdiri dari sampah plastik daur ulang yang
terkumpul oleh sektor informal sebagai proporsi tertinggi yaitu sekitar 84,3%. Bank
Sampah, meskipun memberikan kontribusi sekitar 2,7% saja, namun memberikan
kualitas plastik pasca konsumsi yang jauh lebih baik. Fasilitas pengolahan sampah
rumah tangga TPS 3R, TPST, PDU dan sistem lainnya diperkirakan berkontribusi
pada 13% dari kapasitas PCR plastik.

2.2 Kertas pasca konsumsi dan pasca industri


Perhitungan yang dilakukan untuk kertas memberikan hasil bahwa total
kapasitas pengumpulan sampah daur ulang kertas mencapai sekitar 3,2 juta ton/tahun.
Berbeda dengan plastik, angka ini adalah gabungan dari pasca konsumsi (PCR) dan
pasca industri (PI) kertas. Sama seperti ekosistem daur ulang plastik, sektor informal
menjadi kontributor pengumpulan terbesar, yaitu sekitar 80%. Bailling station dan
KITAS menjadi kontributor pengumpulan berikutnya yaitu sekitar 19%. Sedangkan
bank sampah memberikan kontribusi sekitar 1% dari total kapasitas daur ulang kertas.
Komposisi Sampah Daur Ulang di Tingkat Pengumpul
3.1 Jenis sampah plastik dan kertas di tingkat lapak
Data terkait jenis dan komposisi sampah daur ulang yang dikumpulkan
menjadi hal yang penting untuk mengetahui tingkat keterdaurulangan atau
recyclability dari suatu material. Jenis yang memiliki nilai jual tinggi atau yang
mengikuti kebutuhan industri daur ulang, oleh karenanya memiliki tingkat
pengumpulan yang baik. Berikut adalah data komposisi sampah plastik dan kertas
yang dikumpulkan oleh lapak dan bank sampah.

Sampah plastik di Pulau Jawa diketahui bahwa 3 jenis paling banyak yang
dikumpulkan adalah botol plastik PET, yaitu sekitar 22,99%, disusul HDPE film atau
kantong plastik sekitar 22,19%, dan gelas plastik PP yaitu sekitar 14,72%. Hal ini
memperlihatkan bahwa hampir seluruh jenis plastik, khususnya yang bersifat
monolayer, memiliki nilai jual dan terhubung dengan rantai daur ulang.

Dari survey lapangan yang dilakukan terhadap 29 sampel lapak di Jabodetabek, 3


jenis sampah kertas paling banyak yang dikumpulkan oleh lapak adalah kardus/karton
sekitar 52,23%, sampah lainnya sekitar 22,74%, dan putihan sekitar 19,45%.
Selebihnya, koran dan majalah juga dikumpulkan oleh para lapak. Sampah lainnya
didominasi oleh jenis campuran/bonchos, dan juga terdapat duplex, kones/selongsong
kertas, dan kantong semen.
3.2 Jenis sampah plastik dan kertas di tingkat bank sampah
Di bank sampah, jenis sampah plastik terbanyak yang dikumpulkan yaitu botol
plastik sekitar 68,73%, gelas plastik sekitar 15,22%, dan plastik non botol 9,62%.
Komposisi sampah kertas yang dikumpulkan oleh bank sampah yang
terbanyak
memiliki perbedaan dengan lapak, dimana tertinggi adalah kertas sekitar 78,77%,
sampah kardus yang sangat tinggi di lapak bukan berasal dari sumber rumah tangga.

Pemetaan Kapasitas Bank Sampah dan Industri Daur Ulang


Informasi yang juga penting sebagai baseline kondisi eksisting adalah sebaran
kapasitas daur ulang, untuk mengetahui wilayah konsentrasi tinggi dan wilayah yang belum
atau sedikit memiliki tingkat pengumpulan dan pemrosesan. Untuk itu, kajian ini melakukan
pemetaan terhadap total 11.330 bank sampah, 241 industri daur ulang plastik, dan 52 industri
daur ulang kertas yang tersebar di seluruh Indonesia, berdasarkan tonase per bulan dan batas
wilayah propinsi. Pemetaan ini adalah progress dari database Kementerian LHK dan
Kementerian Perindustrian, sehingga statusnya masih terus diperbaharui dari waktu ke waktu.

Dari peta sebaran, dapat dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia telah
memiliki jalur pengumpulan oleh bank sampah. Kapasitas pengumpulan, baik sampah plastik
maupun kertas, memiliki konsentrasi yang tinggi di Pulau Jawa dan Bali. Adapun untuk
sebaran industri, saat ini dari data yang diperoleh kapasitasnya, baik industri daur ulang
plastik dan kertas, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Gambaran Umum Kebutuhan Bahan Baku Industri Daur Ulang
4.1 Industri Daur Ulang Plastik
Ekosistem daur ulang plastik merupakan kontributor penting pemenuhan
kebutuhan bahan baku industri plastik nasional. Post consumer recycling (PCR),
adalah salah satu dari tiga kelompok sumber bahan baku industri daur ulang.
Kelompok lainnya adalah plastik pasca industri, seperti reject kemasan plastik atau
sisa potong produk plastik dari hasil manufaktur dalam negeri, dan scrap/reja plastik
yang berasal dari impor. Berdasarkan hasil analisis dari berbagai data dan studi, nilai
kapasitas PCR plastik yang berasal dari sektor informal, bank sampah dan pengumpul
lainnya, ternyata setara dengan 22% kebutuhan industri daur ulang plastik tanah air.
Proporsi terbesar bahan baku industri daur ulang yaitu 70% berasal dari pasca
industri, sedangkan sisanya 8% berasal dari scrap impor. Berdasarkan data
Kementerian Perindustrian, resin plastik yang dihasilkan oleh industri daur ulang
tanah air, atau seringkali disebut sebagai bahan baku sekunder, nilainya mencapai
1.65 juta ton/tahun. Nilai ini berkontribusi terhadap 29% pemenuhan kebutuhan
domestik, yang totalnya mencapai 5,63 juta ton/tahun. Kontributor terbesar konsumsi
bahan baku plastik domestik adalah virgin resin hasil produksi dalam negeri yaitu
41%, dan sisanya masih dipenuhi dari virgin resin impor yaitu sebesar 30%.

4.2 Industri Daur Ulang Kertas


Kapasitas industri daur ulang kertas yang mencapai 7,2 juta ton/tahun
merupakan kontributor terbesar pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, yaitu 56%
dari total produksi kertas nasional yang mencapai 13,59 juta ton/tahun. Sumber bahan
baku industri daur ulang kertas tertinggi berasal dari scrap impor sebanyak 50%,
disusul pasca industri sebesar 33%, dan daur ulang pasca konsumsi, atau PCR,
sebanyak 17%. Faktor tingginya impor scrap kertas adalah dibutuhkannya
pencampuran serat pendek dan serat panjang untuk menghasilkan produk kertas yang
berkualitas baik. Bahan baku dalam negeri memiliki serat pendek, sedangkan serat
yang lebih panjang dapat dipenuhi dari scrap impor. Berdasarkan data Asosiasi Pulp
dan Kertas Indonesia (APKI), kapasitas produksi kertas tanah air ternyata mampu
melebihi kebutuhan konsumsi bahan baku domestik. Indonesia merupakan salah satu
negara dengan pertumbuhan nilai ekspor kertas tertinggi di dunia.
4.3 Tren Impor Bahan Baku Industri Daur Ulang Plastik dan Kertas
Kebutuhan bahan baku industri daur ulang, baik plastik maupun kertas, belum
dapat dipenuhi sepenuhnya oleh sumber dari dalam negeri. Faktor permintaan pasar
juga menjadi penentu sehingga proporsi sumber bahan baku industri daur ulang dapat
bersifat dinamis. Data dari ITC Trademap untuk HS code terkait scrap plastik dan
kertas memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun 2015 hingga 2018, bahkan
lonjakan tinggi terjadi dari tahun 2017 ke tahun 2018, baik untuk plastik maupun
kertas. Namun demikian di tahun 2019 terjadi sedikit penurunan yang kemungkinan
disebabkan oleh dikeluarkannya Permendag 84/2019 terkait perlunya rekomendasi
KLHK dalam impor scrap tersebut.

Tantangan Untuk Meningkatkan Laju Daur Ulang Pasca Konsumsi


Secara umum, bahan baku daur ulang plastik dan kertas di Indonesia cukup signifikan
dalam memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, yaitu 29% untuk plastik dan 56% untuk
kertas. Namun demikian, dari data yang terkumpul dan analisis yang dilakukan, diperoleh
hasil bahwa laju daur ulang pasca konsumsi atau PCR rate nasional hanya berada di angka
7% untuk plastik dan 13,5% untuk kertas. Angka ini terbilang rendah mengingat potensi
jumlah plastik dan kertas pasca konsumsi yang cukup tinggi seiring dengan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Beberapa faktor berikut merupakan tantangan dalam meningkatkan
laju daur ulang pasca konsumsi.
a. Persebaran industri daur ulang yang belum merata
Keberadaan pendaur ulang plastik khususnya pabrikan masih terkonsentrasi di Pulau
Jawa. Hal ini juga mempengaruhi tingkat pengumpulan yang terjadi, dimana wilayah
yang memiliki kapasitas tinggi umumnya berada di wilayah Jawa dan Bali. Sumber
kertas daur ulang masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti
Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
b. Sistem pengumpulan sampah daur ulang yang masih perlu ditingkatkan kuantitas dan
kualitasnya.
Sampah tercampur mengakibatkan tingginya pengotor pada material plastik dan
kertas yang bisa didaur ulang. Pemilahan sampah di sumber menjadi kunci untuk
mencegah tingginya pengotor dari material daur ulang. Konektivitas antar subsistem
pengelolaan sampah masih sangat perlu ditingkatkan, disamping juga edukasi kepada
masyarakat, pengumpul sampah dan personil yang terlibat dalam sistem pengelolaan
sampah menjadi hal yang penting untuk mendukung upaya pemilahan sampah.
c. Adanya ketidaksesuaian antara hasil pengumpulan material daur ulang dengan
kebutuhan industri.
Industri daur ulang memiliki kualifikasi material yang cukup ketat agar hasil atau
produk daur ulang sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Botol plastik PET
misalnya, memiliki fluktuasi permintaan pasar yang berbeda untuk jenis bening,
kebiruan dan warna lainnya. Hal ini menyebabkan terkadang para pengumpul harus
menerima penolakan atau penundaan penerimaan barang, atau turunnya harga jual.
Oleh karena itu, perlu edukasi dan sosialisasi lebih luas mengenai kualifikasi material
daur ulang, agar sesuai dengan kebutuhan pabrik. Salah satu acuan yang dapat
digunakan misalnya standar internasional dari Institute of Scrap Recycling Industry
(ISRI).
Proyeksi Kapasitas Bahan Baku Industri Daur Ulang
Fokus proyeksi ini adalah pada kapasitas daur ulang pasca konsumi atau post
consumer recycling (PCR).

Dari grafik proyeksi di atas dapat dilihat bahwa dengan kondisi yang ada seperti saat
ini atau Business as usual (BaU), jumlah scrap plastik yang diimpor pada tahun 2030
diestimasi sekitar 0,39 juta ton/tahun dan jumlah plastik PCR sekitar 1,2 juta ton/tahun.
Proyeksi tahun 2021 – 2030 ini dihitung menggunakan asumsi kenaikan konsumsi plastik
nasional sekitar 10% per tahun14. Dengan demikian, jumlah kapasitas daur ulang di
Indonesia pada tahun 2030 diproyeksikan sekitar 4,95 juta ton/tahun, sedangkan total
konsumsi plastik diproyeksikan sekitar 16,79 juta ton/tahun di tahun 2030. Jika scrap impor
plastik akan digantikan oleh plastik PCR sepenuhnya di tahun 2030, maka dibutuhkan
kenaikan jumlah plastik PCR lebih dari 30% dari baseline, dengan kondisi jumlah daur ulang
plastik pasca industri (PI) konstan.
Peningkatan kapasitas pengumpulan PCR tersebut dipaparkan pada grafik berikut:

Dilihat dari grafik di atas, jumlah plastik PCR pada kondisi BaU diestimasi sekitar 7%
jika dibandingkan dengan konsumsi bahan baku plastik nasional, sedangkan berdasarkan
perhitungan modeling, jika scrap impor sepenuhnya disubtitusi oleh plastik PCR pada tahun
2030, diestimasi membutuhkan PCR-rate sekitar 9,5%. Untuk modelling ini, sektor informal
diasumsikan jumlahnya akan naik di tahun 2030 sekitar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2020.
Berdasarkan perhitungan modelling, jika scrap impor plastik akan disubtitusi seluruhnya di
tahun 2030 oleh plastik PCR, maka sektor formal harus ditingkatkan secara signifikan antara
22% - 32% per tahun selama 10 tahun. Dari grafik proyeksi di atas dapat dilihat bahwa
dengan kondisi Business as usual , jumlah scrap kertas yang diimpor pada tahun 2030
diestimasi 6,76 juta ton/tahun dan jumlah kertas PCR sekitar 2,32 juta ton/tahun. Dengan
demikian, jumlah kapasitas daur ulang kertas tanah air pada tahun 2030 diproyeksikan sekitar
13,55 juta ton/tahun, sedangkan total konsumsi kertas diproyeksikan sekitar 17,19 juta
ton/tahun pada tahun yang sama.

Berbeda dengan plastik daur ulang, untuk menggantikan scrap impor kertas
sepenuhnya di tahun 2030, dibutuhkan kenaikan jumlah kertas PCR yang sangat singnifikan,
yaitu sekitar 300% dari baseline, dengan kondisi jumlah daur ulang kertas pasca industri (PI)
konstan, seperti diperlihatkan oleh grafik berikut:

PCR-rate kertas pada kondisi BaU diestimasi sekitar 13,5 % jika dibandingkan
dengan konsumsi bahan baku kertas nasional, sedangkan berdasarkan perhitungan modeling,
jika scrap impor disubtitusi sepenuhnya oleh kertas PCR pada tahun 2030, maka diestimasi
akan membutuhkan PCR-rate hingga 53%. Peningkatan pengumpulan kertas PCR yang
sangat signifikan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pengumpulan pada sektor
informal maupun sektor formal. Seperti pada PCR plastik, sektor informal pada pengumpulan
kertas PCR juga diasumsikan akan naik di tahun 2030 sebanyak 2 kali lipat dibandingkan
tahun 2020.
Rekomendasi Peningkatan Kapasitas Daur Ulang Pasca Konsumsi
Peningkatan kapasitas pengumpulan sampah daur ulang pasca konsumsi bukan hanya
penting untuk mengurangi atau mensubstitusi kebutuhan impor scrap bahan baku industri,
namun juga mengendalikan dampak buruk terhadap lingkungan dari timbulan sampah yang
terus meningkat. Diperlukan beberapa strategi yang dapat berupa kebijakan dan program
terutama dari pemerintah untuk mendukung terbentuknya ekosistem daur ulang yang
mendukung dan memberikan motivasi kepada para pelaku di sepanjang rantai daur ulang.
Akselerasi kapasitas pengumpulan di area yang kurang terjangkau. Sebaran jaringan
pengumpulan dan industri daur ulang yang belum merata masih menyisakan banyaknya
wilayah yang minim kapasitas, atau dapat disebut white space. Rendahnya PCR rate saat ini,
yaitu 7% untuk plastik dan 13,5% untuk kertas memperlihatkan tingginya jumlah plastik dan
kertas pasca konsumsi yang masih menjadi beban di TPA atau bahkan ke lingkungan.
Insentif investasi recycling center. Keberadaan fasilitas daur ulang terpadu atau
recycling center akan sangat membantu pengumpulan sampah di lokasi white space karena
walapun sampah di wilayah tersebut dapat dikumpulkan tanpa banyak persaingan, namun
akan membutuhkan biaya logistik yang signifikan bila tidak ada fasilitas pemrosesan.
Recycling center membutuhkan investasi yang tidak sedikit, namun jika dilakukan selain
dapat membantu pengumpulan sampah daur ulang plastik dan kertas secara signifikan.
Akselerasi pemilahan sampah di sumber. Rendahnya kualitas sampah plastik dan
kertas yang dikumpulkan menyebabkan perlunya upaya lebih untuk mengupayakan sampah
yang terpilah sejak di sumber. Seringkali meskipun telah dibersihkan di tingkat
pengumpulan, sampah tersebut kualitasnya masih sangat kurang bagi pendaur ulang terutama
di tingkat pabrikan. Pemilahan di sumber mensyaratkan konektivitas antara subsistem
pengelolaan sampah, oleh karena itu bukanlah suatu hal yang mudah.
Kebijakan insentif dan standardisasi daur ulang. Tingkat kandungan daur ulang
(TKDU) untuk produk berbasis plastik dan kertas serta kebijakan insentif seperti green
purchasing dapat mendorong munculnya demand pasar daur ulang. Hal ini membutuhkan
dorongan kebijakan dari Pemerintah, agar pelaku usaha daur ulang semakin bertumbuh dan
penggunaan produk berbahan daur ulang semakin luas di masyarakat, baik sebagai produk
perangkat di rumah tangga, hingga aplikasi di industri otomotif, infrastruktur dan sebagainya.
Inovasi dan scale up teknologi pemrosesan. Produk yang dimaksud misalnya plastik
saset/multilayer, kertas kones, kertas bonchos dan kertas Used Beverage Cartons , dimana
teknologi yang secara luas dipergunakan di Indonesia saat ini kurang mampu untuk
memproses, khususnya memisahkan antara beberapa lapisan yang membentuk produk
tersebut. Jika inovasi teknologi pemrosesan dapat ditingkatkan, maka jenis produk yang dapat
diolah oleh industri daur ulang akan bertambah, sehingga akan berdampak positif juga pada
pengurangan sampah ke lingkungan.
Sinergi dan inklusivitas sektor informal. Sektor informal mengumpulkan lebih dari
80% sampah plastik dan kertas. Sinergitas dengan sektor informal sangat diperlukan dalam
pengumpulan sampah, diantaranya dengan menjembatani aspek sosial dan budaya yang
sering melekat pada pelaku pengumpul sampah informal, seperti marginalisasi dan
kerawanan terhadap kriminalitas yang dihadapi para pemulung saat bekerja di masyarakat.
Penguatan database dan tracability. Database di sektor daur ulang sangat penting
utamanya untuk memantau kapasitas di tiap rantai nilai dan capaian PCR rate, bukan hanya
secara umum tetapi juga spesifik untuk tiap jenis material. Ketertelusuran atau tracability
juga penting dalam daur ulang, untuk memastikan bahwa sumber bahan baku industri berasal
dari sampah pasca konsumsi yang dapat diverifikasi dan dipertanggungjawabkan.
Implementasi Extended Producer Responsibility (EPR) untuk mendukung sebaran
pengumpulan. UU 18/2008 Pasal 15 telah menyatakan bahwa produsen wajib mengelola
kemasan dan/atau barang yang diproduksinya, hal ini kemudian didukung dengan
dikeluarkannya PerMen KLHK 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh
Produsen. Tanggung jawab oleh produsen atau disebut juga dengan Extended Producer
Responsibility (EPR), dapat juga diartikan bahwa produsen akan mengumpulkan kembali
produk yang dihasilkannya, dimana produk-produk tersebut tersebar ke berbagai lokasi, tidak
hanya di sekitar lokasi produksi.

Anda mungkin juga menyukai