NIM : 21430410007
PRODI : Teknik Lingkungan
Sampah plastik di Pulau Jawa diketahui bahwa 3 jenis paling banyak yang
dikumpulkan adalah botol plastik PET, yaitu sekitar 22,99%, disusul HDPE film atau
kantong plastik sekitar 22,19%, dan gelas plastik PP yaitu sekitar 14,72%. Hal ini
memperlihatkan bahwa hampir seluruh jenis plastik, khususnya yang bersifat
monolayer, memiliki nilai jual dan terhubung dengan rantai daur ulang.
Dari peta sebaran, dapat dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia telah
memiliki jalur pengumpulan oleh bank sampah. Kapasitas pengumpulan, baik sampah plastik
maupun kertas, memiliki konsentrasi yang tinggi di Pulau Jawa dan Bali. Adapun untuk
sebaran industri, saat ini dari data yang diperoleh kapasitasnya, baik industri daur ulang
plastik dan kertas, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Gambaran Umum Kebutuhan Bahan Baku Industri Daur Ulang
4.1 Industri Daur Ulang Plastik
Ekosistem daur ulang plastik merupakan kontributor penting pemenuhan
kebutuhan bahan baku industri plastik nasional. Post consumer recycling (PCR),
adalah salah satu dari tiga kelompok sumber bahan baku industri daur ulang.
Kelompok lainnya adalah plastik pasca industri, seperti reject kemasan plastik atau
sisa potong produk plastik dari hasil manufaktur dalam negeri, dan scrap/reja plastik
yang berasal dari impor. Berdasarkan hasil analisis dari berbagai data dan studi, nilai
kapasitas PCR plastik yang berasal dari sektor informal, bank sampah dan pengumpul
lainnya, ternyata setara dengan 22% kebutuhan industri daur ulang plastik tanah air.
Proporsi terbesar bahan baku industri daur ulang yaitu 70% berasal dari pasca
industri, sedangkan sisanya 8% berasal dari scrap impor. Berdasarkan data
Kementerian Perindustrian, resin plastik yang dihasilkan oleh industri daur ulang
tanah air, atau seringkali disebut sebagai bahan baku sekunder, nilainya mencapai
1.65 juta ton/tahun. Nilai ini berkontribusi terhadap 29% pemenuhan kebutuhan
domestik, yang totalnya mencapai 5,63 juta ton/tahun. Kontributor terbesar konsumsi
bahan baku plastik domestik adalah virgin resin hasil produksi dalam negeri yaitu
41%, dan sisanya masih dipenuhi dari virgin resin impor yaitu sebesar 30%.
Dari grafik proyeksi di atas dapat dilihat bahwa dengan kondisi yang ada seperti saat
ini atau Business as usual (BaU), jumlah scrap plastik yang diimpor pada tahun 2030
diestimasi sekitar 0,39 juta ton/tahun dan jumlah plastik PCR sekitar 1,2 juta ton/tahun.
Proyeksi tahun 2021 – 2030 ini dihitung menggunakan asumsi kenaikan konsumsi plastik
nasional sekitar 10% per tahun14. Dengan demikian, jumlah kapasitas daur ulang di
Indonesia pada tahun 2030 diproyeksikan sekitar 4,95 juta ton/tahun, sedangkan total
konsumsi plastik diproyeksikan sekitar 16,79 juta ton/tahun di tahun 2030. Jika scrap impor
plastik akan digantikan oleh plastik PCR sepenuhnya di tahun 2030, maka dibutuhkan
kenaikan jumlah plastik PCR lebih dari 30% dari baseline, dengan kondisi jumlah daur ulang
plastik pasca industri (PI) konstan.
Peningkatan kapasitas pengumpulan PCR tersebut dipaparkan pada grafik berikut:
Dilihat dari grafik di atas, jumlah plastik PCR pada kondisi BaU diestimasi sekitar 7%
jika dibandingkan dengan konsumsi bahan baku plastik nasional, sedangkan berdasarkan
perhitungan modeling, jika scrap impor sepenuhnya disubtitusi oleh plastik PCR pada tahun
2030, diestimasi membutuhkan PCR-rate sekitar 9,5%. Untuk modelling ini, sektor informal
diasumsikan jumlahnya akan naik di tahun 2030 sekitar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2020.
Berdasarkan perhitungan modelling, jika scrap impor plastik akan disubtitusi seluruhnya di
tahun 2030 oleh plastik PCR, maka sektor formal harus ditingkatkan secara signifikan antara
22% - 32% per tahun selama 10 tahun. Dari grafik proyeksi di atas dapat dilihat bahwa
dengan kondisi Business as usual , jumlah scrap kertas yang diimpor pada tahun 2030
diestimasi 6,76 juta ton/tahun dan jumlah kertas PCR sekitar 2,32 juta ton/tahun. Dengan
demikian, jumlah kapasitas daur ulang kertas tanah air pada tahun 2030 diproyeksikan sekitar
13,55 juta ton/tahun, sedangkan total konsumsi kertas diproyeksikan sekitar 17,19 juta
ton/tahun pada tahun yang sama.
Berbeda dengan plastik daur ulang, untuk menggantikan scrap impor kertas
sepenuhnya di tahun 2030, dibutuhkan kenaikan jumlah kertas PCR yang sangat singnifikan,
yaitu sekitar 300% dari baseline, dengan kondisi jumlah daur ulang kertas pasca industri (PI)
konstan, seperti diperlihatkan oleh grafik berikut:
PCR-rate kertas pada kondisi BaU diestimasi sekitar 13,5 % jika dibandingkan
dengan konsumsi bahan baku kertas nasional, sedangkan berdasarkan perhitungan modeling,
jika scrap impor disubtitusi sepenuhnya oleh kertas PCR pada tahun 2030, maka diestimasi
akan membutuhkan PCR-rate hingga 53%. Peningkatan pengumpulan kertas PCR yang
sangat signifikan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pengumpulan pada sektor
informal maupun sektor formal. Seperti pada PCR plastik, sektor informal pada pengumpulan
kertas PCR juga diasumsikan akan naik di tahun 2030 sebanyak 2 kali lipat dibandingkan
tahun 2020.
Rekomendasi Peningkatan Kapasitas Daur Ulang Pasca Konsumsi
Peningkatan kapasitas pengumpulan sampah daur ulang pasca konsumsi bukan hanya
penting untuk mengurangi atau mensubstitusi kebutuhan impor scrap bahan baku industri,
namun juga mengendalikan dampak buruk terhadap lingkungan dari timbulan sampah yang
terus meningkat. Diperlukan beberapa strategi yang dapat berupa kebijakan dan program
terutama dari pemerintah untuk mendukung terbentuknya ekosistem daur ulang yang
mendukung dan memberikan motivasi kepada para pelaku di sepanjang rantai daur ulang.
Akselerasi kapasitas pengumpulan di area yang kurang terjangkau. Sebaran jaringan
pengumpulan dan industri daur ulang yang belum merata masih menyisakan banyaknya
wilayah yang minim kapasitas, atau dapat disebut white space. Rendahnya PCR rate saat ini,
yaitu 7% untuk plastik dan 13,5% untuk kertas memperlihatkan tingginya jumlah plastik dan
kertas pasca konsumsi yang masih menjadi beban di TPA atau bahkan ke lingkungan.
Insentif investasi recycling center. Keberadaan fasilitas daur ulang terpadu atau
recycling center akan sangat membantu pengumpulan sampah di lokasi white space karena
walapun sampah di wilayah tersebut dapat dikumpulkan tanpa banyak persaingan, namun
akan membutuhkan biaya logistik yang signifikan bila tidak ada fasilitas pemrosesan.
Recycling center membutuhkan investasi yang tidak sedikit, namun jika dilakukan selain
dapat membantu pengumpulan sampah daur ulang plastik dan kertas secara signifikan.
Akselerasi pemilahan sampah di sumber. Rendahnya kualitas sampah plastik dan
kertas yang dikumpulkan menyebabkan perlunya upaya lebih untuk mengupayakan sampah
yang terpilah sejak di sumber. Seringkali meskipun telah dibersihkan di tingkat
pengumpulan, sampah tersebut kualitasnya masih sangat kurang bagi pendaur ulang terutama
di tingkat pabrikan. Pemilahan di sumber mensyaratkan konektivitas antara subsistem
pengelolaan sampah, oleh karena itu bukanlah suatu hal yang mudah.
Kebijakan insentif dan standardisasi daur ulang. Tingkat kandungan daur ulang
(TKDU) untuk produk berbasis plastik dan kertas serta kebijakan insentif seperti green
purchasing dapat mendorong munculnya demand pasar daur ulang. Hal ini membutuhkan
dorongan kebijakan dari Pemerintah, agar pelaku usaha daur ulang semakin bertumbuh dan
penggunaan produk berbahan daur ulang semakin luas di masyarakat, baik sebagai produk
perangkat di rumah tangga, hingga aplikasi di industri otomotif, infrastruktur dan sebagainya.
Inovasi dan scale up teknologi pemrosesan. Produk yang dimaksud misalnya plastik
saset/multilayer, kertas kones, kertas bonchos dan kertas Used Beverage Cartons , dimana
teknologi yang secara luas dipergunakan di Indonesia saat ini kurang mampu untuk
memproses, khususnya memisahkan antara beberapa lapisan yang membentuk produk
tersebut. Jika inovasi teknologi pemrosesan dapat ditingkatkan, maka jenis produk yang dapat
diolah oleh industri daur ulang akan bertambah, sehingga akan berdampak positif juga pada
pengurangan sampah ke lingkungan.
Sinergi dan inklusivitas sektor informal. Sektor informal mengumpulkan lebih dari
80% sampah plastik dan kertas. Sinergitas dengan sektor informal sangat diperlukan dalam
pengumpulan sampah, diantaranya dengan menjembatani aspek sosial dan budaya yang
sering melekat pada pelaku pengumpul sampah informal, seperti marginalisasi dan
kerawanan terhadap kriminalitas yang dihadapi para pemulung saat bekerja di masyarakat.
Penguatan database dan tracability. Database di sektor daur ulang sangat penting
utamanya untuk memantau kapasitas di tiap rantai nilai dan capaian PCR rate, bukan hanya
secara umum tetapi juga spesifik untuk tiap jenis material. Ketertelusuran atau tracability
juga penting dalam daur ulang, untuk memastikan bahwa sumber bahan baku industri berasal
dari sampah pasca konsumsi yang dapat diverifikasi dan dipertanggungjawabkan.
Implementasi Extended Producer Responsibility (EPR) untuk mendukung sebaran
pengumpulan. UU 18/2008 Pasal 15 telah menyatakan bahwa produsen wajib mengelola
kemasan dan/atau barang yang diproduksinya, hal ini kemudian didukung dengan
dikeluarkannya PerMen KLHK 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh
Produsen. Tanggung jawab oleh produsen atau disebut juga dengan Extended Producer
Responsibility (EPR), dapat juga diartikan bahwa produsen akan mengumpulkan kembali
produk yang dihasilkannya, dimana produk-produk tersebut tersebar ke berbagai lokasi, tidak
hanya di sekitar lokasi produksi.