Anda di halaman 1dari 7

WeningHUMANIORA

Udasmoro – Kekuasaan di Atas Pentas: La Tragédie «Phèdre»

VOLUME 20 No. 1 Februari 2008 Halaman 11 - 17

KEKUASAAN DI ATAS PENTAS : LA TRAGÉDIE


« PHÈDRE» DALAM PERSPEKTIF FEMINISME
POSTSTRUKTURALIS
Wening Udasmoro*

ABSTRACT
This article attempts to analyse one of Jean Racine’s famous works entitled Phèdre using the
feminist post-structuralist approach, which differs from earlier analysis of his dramas by others. As a
classical work, Phèdre has frequently been analysed by many scholars using the structuralist approach,
thus specifically concentrating on binary opposition synthesis. As a result, the dichotomous understanding
of Phèdre has been produced, and in many instances shows the stereotypical effect of women in many
aspects of their lives. In this analysis of Phèdre, the feminist post structuralist approach deconstructs
that understanding and revealed that power relation is one of the important perspectives that can be
used in illuminating meaning within the text.

Key words: drama klasik, feminisme, poststrukturalis

PENGANTAR kecemburuan, kematian dan incest menonjol


Berbicara tentang tragedi-tragedi Racinian dalam drama-drama tersebut dan sering kali
(les tragédies raciniennes) berarti berbicara menjadi poin penting dalam analisis para peneliti
tentang konteks drama klasik berorientasi mitos- sastra Prancis klasik. Namun, dari tema-tema
mitos Yunani yang digubah kembali pada abad serta pengambilan tokoh-tokoh historis yang
ke-17 oleh Jean Racine (1639-1699). Racine dianggap riil ini apabila dilihat dari perspektif
adalah pengarang abad itu yang menjadi feminis tampak adanya segregasi-segregasi
fenomenal karena menciptakan drama tragedi bernuansa gender. Kisah tentang perempuan
dalam dunianya sendiri, yakni tragedi à la Racine. yang tidak bermoral karena dianggap melakukan
Tragedi ini untuk selanjutnya populer dengan incest atau perempuan yang jatuh cinta pada
sebutan la tragédie Racinienne karena laki-laki yang tidak seharusnya serta diamnya
menggantikan posisi la tragédie héroïque, karya (pasifnya) perempuan sehingga seakan melari-
seorang pengarang lainnya, yakni Corneille kan diri dari permasalahan, menjadi ide cerita-
(Darcos, 1991). Dari karya-karya Racine yang cerita tersebut (Barthes, 1963).
tidak terlalu banyak, karena kemudian dia lebih Tulisan ini memfokuskan diri pada drama
memilih berprofesi sebagai historiograf Raja terakhir Racine, yakni Phèdre, dengan memper-
Louis XIV, sebagian besar menghadirkan judul- timbangkan relasi gender di dalamnya. Dikisah-
judul feminin yang juga merupakan nama-nama kan, Phèdre, yang suaminya (Raja Thésée)
tokoh perempuan dalam cerita tersebut, misalnya dikabarkan telah meninggal, jatuh cinta kepada
Bérénice, Iphigénie atau Phèdre. Tema cinta, anak tirinya, yakni Hippolyte. Ternyata Thésée

* Staf Pengajar Jurusan Roman, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

11
Humaniora, Vol. 20, No. 1 Februari 2008: 11 - 17

masih hidup dan murka ketika mendapati Phèdre tersebut juga mengalami ekspos keluar yang
jatuh cinta kepada anaknya. Oenone, pembantu mempengaruhi habitus-habitus lain. Proses
perempuan kepercayaan Phèdre, membela keluar dan ke dalam tersebut bergerak secara
Phedre dengan mengatakan bahwa Hippolyte- berkesinambungan dan bersimbiosis sehingga
lah yang merayu Phèdre. Akibatnya, Thésée menciptakan bentuk-bentuk baru yang ada di
menyuruh dewa Neptunus membunuh Hippolyte. dalam diri habitus bersangkutan. Efek globalisasi
Di depan Thésée, Phèdre ingin membela mungkin merupakan sebuah contoh dinamika
Hippolyte, tetapi Oenone berhasil mencegahnya habitus tersebut.
dengan tujuan untuk membebaskan Phèdre dari Drama Phèdre lebih banyak dianalisis
hukuman. Hippolyte mati dan Phèdre mengakui dengan kaca mata Barat dari dikotomi-dikotomi
ketidakbersalahan Hippolyte kepada Thésée. cinta/benci, kehidupan/kematian, kesetiaan/
Sebagai tanda penyesalan, ia meminum racun pengkhianatan atau kekuatan/kelemahan.
dan meninggal dengan perasaan bersalah. Konsekuensi dikotomis tersebut memposisikan
Dalam perspektif post-strukturalis, ada perempuan sebagai yang bermasalah dalam
pemahaman berbeda tentang keberadaan suatu konteks seksual (harus diatur seksualitasnya),
entitas. Ia dianggap ada bukan sebagai sesuatu psikologis (bermasalah karena inferioritasnya
yang given, natural dan hadir secara universal akibat ketiadaan penis) dan sosial (bertanggung
tanpa sebuah konstruksi. Keberadaan objek jawab terhadap permasalahan moral yang ada).
pada sisi-sisi yang berbeda melibatkan berbagai Kondisi ini secara konstan dan stereotip sering
faktor penciptaan. Budaya, katakanlah, yang kali dianggap sebagai sebuah habitus yang
selama berpuluh-puluh tahun bahkan sampai menyertai identitas perempuan dalam lakon-
sekarang sering dimaknai sebagai produk lakon dan kehidupan riil. Mempertimbangkan
masyarakat yang « rigid » karena berada di suatu konteks bahwa sebuah fenomena adalah hasil
tempat secara konstan serta tidak berubah, sebuah konstruksi dan bahwa habitus yang
dilihat dari perspektif post-struktural sebagai menjadi ajang pengkonstruksian tersebut bersifat
produk sebuah dinamika dalam kehidupan dinamis, benarkah dikotomi-dikotomi tersebut
masyarakat. Bourdieu mendefinisikan konsep ada sebagai kenyataan universal yang merupa-
budaya yang dinamis ini dengan nama Habitus kan "takdir" keberadaan karakter-karakter perem-
atau Hexis. Habitus yang berasal dari bahasa puan/laki-laki yang bertolak belakang? Bagaimana
Latin atau hexis dari bahasa Yunani ini merupa- drama Phèdre itu dipandang dari kaca mata non
kan hasil pergerakan-pergerakan dinamis dikotomis, yakni dengan lebih melihat hubungan
berbagai faktor di dalam masyarakat (Bourdieu, kekuasaan dalam konteks habitusnya? Repre-
1988). Untuk selanjutnya, dalam tulisan ini akan sentasi gender seperti apakah yang hadir sebagai
dipakai istilah habitus. Dinamika habitus ada hasil relasi kekuasaan tersebut?
karena hadirnya hubungan-hubungan kekuasaan Seperti halnya habitus dalam pemahaman
yang tarik ulur, saling silang, tarik menarik dan umum, di atas pentas, kekuasaan yang bermain
berkontradiksi yang memungkinkan munculnya di dalamnya juga hadir karena tarik-menarik yang
pemahaman-pemahaman yang bersifat aktif, terus-menerus sehingga memberikan makna-
bermutasi, bertransformasi dan berubah bentuk makna baru yang dapat dipahami oleh para
terhadap suatu objek. Ada suatu proses interna- peneliti dari perspektif-perspektif yang berbeda.
lisasi terhadap struktur eksternal dan eksterna- Berdasar pada pemahaman akan keberadaan
lisasi terhadap struktur internal (Balandier, 1991) kekuasaan yang bergerak, tulisan ini bertujuan
yang dalam praxis sosial membentuk habitus untuk mengeksplorasi drama Phèdre dalam
tersebut. Maksudnya, dalam proses tersebut konteks dinamisnya, yakni dengan memfokus-
sebuah habitus mengalami proses pengadopsi- kan diri pada kekuasaan yang bermain di
an unsur-unsur dari luar yang berpengaruh ke dalamnya. Relasi kekuasaan yang dimaksud
dalam diri habitus tersebut. Namun, habitus mempertimbangkan berbagai aspek kultural dan

12
Wening Udasmoro – Kekuasaan di Atas Pentas: La Tragédie «Phèdre»

sosial sehingga tidak sekedar mendikotomikan yang sinkron antara hal-hal yang sifatnya ragawi
keberadaan gender feminin dan maskulin secara dan personal dalam diri seseorang dan yang
an sich. bersifat sistematis (sosial) (Jenkins, 1992).
Tingkah laku, kekuasaan, perbedaan cara berpikir
KEKUASAAN DALAM MATA PANDANG antara perempuan dan laki-laki yang ia contohkan
FEMINISME POSTSTRUKTURALIS dari masyarakat Kabyle di Algeria adalah
Joan Scott (1988) dalam pandangannya bentukan dinamika dua elemen tersebut. Oleh
tentang posisi feminisme ketika mengkaji feno- Bourdieu, habitus ini pun disebutnya sebagai
mena-fenomena kemanusiaan melihat bahwa sebuah disposisi, yang antara lain didefinisikan
ada beberapa aspek yang penting untuk diper- sebagai sebuah kecenderungan. Istilah disposisi
timbangkan. Pertama, pemikiran feminisme ini menjelaskan suatu posisi yang tidak absolut
seharusnya mereferensi pada epistemologi (Bourdieu, 2001). Karakter tokoh perempuan
post-strukturalis. Dikotomi-dikotomi ambigu dan dalam mitos-mitos yang sering disebut sebagai
segregatif yang ditawarkan oleh strukturalisme mitos sejarah dalam skema Yunani adalah
tampaknya menjadi keberatan utama sehingga sebuah bentukan yang merupakan hasil proses
memunculkan negasi terhadap pemakaian strukturasi terhadap struktur yang ada pada waktu
konsep tersebut dalam menganalisis suatu itu. Dengan kata lain, habitus dibentuk oleh
fenomena. Dikotomi sebagai konstruk universal pengalaman dan pengajaran.
dan given ini dianggap cenderung menempatkan Dalam latar habitus individu terdapat sebuah
laki-laki dan perempuan secara dikotomis. Akibat- arena tempat individu tersebut melakukan
nya, perempuan dalam habitus berkecenderung- perjuangan dan manuver untuk memperebutkan
an ditempatkan pada polar yang tidak meng- sumber-sumber yang sifatnya terbatas, antara
untungkan karena konstruksi-konstruksi ber- lain kekuasaan (Bourdieu, 1977). Arena didefinisi-
aspek lebih negatif secara kultural maupun kan sebagai sebuah sistem posisi sosial yang
sosial. Kedua, berdasar pada lemahnya pemak- terstruktur, yang dikuasai oleh individu atau
naan dengan oposisi biner, Scott menawarkan institusi yang merupakan suatu inti yang
beberapa pendekatan dalam memahami atau mendefinisikan situasi untuk mereka anut. Suatu
menganalisis suatu fenomena. Solusi itu antara arena distrukturkan secara internal dalam relasi
lain dengan berpegang pada analisis dekons- kekuasaan. Posisinya sejalan dengan relasinya
truktif yang menjadi salah satu ciri pendekatan dalam dominasi, subordinasi, atau homologi
post-strukturalis. Pendekonstruksian dianggap antara satu individu dengan yang lain untuk
dapat menciptakan bentuk-bentuk baru konstruk- mendapatkan akses ke sumber yang terbatas
si sosial. Dari proses rekonstruksi inilah dinamika tersebut. Dalam drama Phèdre, misalnya, cinta
dalam habitus terstrukturkan kembali. Dalam dan kebenaran menjadi sumber-sumber terbatas
dekonstruksi, termasuk di dalamnya adalah yang diperebutkan oleh para tokoh dengan
menganalisis operasi-operasi perbedaan-per- menggunakan kekuasaan-kekuasaan mereka
bedaan di dalam teks sebagai salah satu cara yang beragam bentuknya.
pemaknaan. Dalam akses ke dalam kekuasaan, terutama
Selanjutnya, dalam analisis diperlukan pen- dalam perspektif gender, berbagai faktor diper-
dekatan baru untuk memahami relasi kekuasaan timbangkan. Untuk memahami relasi gender,
yang selalu hadir dalam dinamika tersebut. aspek-aspek kelas, kedudukan sosial, hierarki
Pendekatan yang dilakukan bersifat melingkupi dalam kemasyarakatan juga menjadi rujukan.
faktor-faktor yang memungkinkan keberlanjutan Arena kekuasaan dianggap sebagai arena
relasi kekuasaan tersebut, yakni pendekatan dominasi dalam praksis kemasyarakatan. Ia
terhadap habitus seperti yang telah disebutkan disebut sebagai sumber relasi kekuasaan
di atas. Habitus di sini merupakan perpaduan hierarkis yang menstrukturkan arena lain. Dalam

13
Humaniora, Vol. 20, No. 1 Februari 2008: 11 - 17

arena kekuasaan tersebut, ada hubungan erat karena jabatan tertentu dalam pemerintahan.
antara mereka yang berkompetisi. Yang perlu Kekuasaan di sini dapat berarti posisi seseorang
menjadi perhatian adalah bagaimana habitus yang dilegitimasi oleh persetujuan bersama
yang melatarbelakangi sebuah fenomena sebagai yang memiliki otoritas baik secara moral
tersebut berkorelasi dan berinteraksi dengan maupun material. Seorang yang dihormati dalam
relasi kekuasaan yang berdinamika di dalamnya lingkungannya, misalnya, dapat dikatakan
sehingga menciptakan bentukan baru habitus. memiliki kekuasaan politis tersebut.
Kehidupan Yunani masa Phèdre sering kali Dalam kasus Phèdre, supremasi tersebut
dianggap sebagai sebuah habitus yang riil. dimanfaatkan untuk melakukan suatu tindakan
Beberapa peneliti melihatnya sebagai bagian dari yang sebenarnya secara umum dianggap
sejarah. Yang terpenting dalam analisis bukanlah amoral, yakni mencintai anak tirinya. Dalam
melihat habitus yang seakan-akan riil tetapi konteks cerita lain dan dalam praktik actual hal
mencermati pergerakan di dalamnya sehingga itu pun sering kali terjadi. Seorang penguasa, baik
muncul cara pandang lain yang lebih terbuka. laki-laki maupun perempuan yang memiliki
kekuasaan politis tertentu sering kali meng-
PHÈDRE DALAM ARENA KEKUASAAN absahkan kekuasaan tersebut untuk mendapat-
Kesalahan Phèdre dalam drama tersebut kan keinginannya meskipun hal itu dianggap tidak
adalah karena ia jatuh cinta pada anak tirinya. normal di mata masyarakat. Apa yang dapat
Habitus dalam cerita tersebut menyiratkan dikatakan Hippolyte terhadap ratu yang meng-
penolakan hubungan yang sering kali disebut inginkan dirinya? Dominasi superioritas status
dengan incest meskipun pada dasarnya incest menempatkan individu yang memilikinya meme-
yang didefinisikan tersebut lebih berkonotasi gang alternatif-alternatif pilihan. Dalam hal ini,
sosial daripada biologis. Hal ini karena Phedre Phèdre memegang dominasi dengan memiliki
tidak memiliki hubungan darah (biologis) dengan privilese untuk memilih, termasuk mencintai anak
Hippolyte. Hubungan Phèdre dan anak tirinya tirinya.
adalah hubungan yang dikonstruksi secara sosial Secara sosial, ada dua konteks yang dapat
sebagai bentuk relasi keluarga. Arena kekuasaan diinterpretasi dari privilese tersebut. Di satu sisi,
menjadi penting untuk dibahas karena konteks kekuasaan tersebut seakan absolut karena posisi
siapa menguasai siapa, siapa yang lebih kuat Phèdre sebagai ratu. Seorang ratu dengan
atau yang memutuskan serta siapa meng- segala macam otoritas yang melekat pada
hegemoni siapa menjadi isu utama dalam cerita dirinya termasuk di dalamnya kepemilikan status
tersebut. serta kekayaan mempunyai kesempatan mem-
Dengan memfokuskan diri relasi kekuasaan perebutkan akses-akses, misalnya cinta, secara
di dalam drama, terlihat bahwa aspek dominasi lebih terbuka daripada yang tidak memiliki
dan subordinasi laki-laki/perempuan bukanlah dominasi tersebut. Namun, di sisi lain, dimensi
satu-satunya aspek yang bermain. Ada aspek- kekuasaan tersebut berhadapan dengan aspek
aspek substil lain yang mengkonstruksi struktur kultural, yakni anggapan tabu incest yang dia
internalisasi dan eksternalisasi di pentas lakukan. Tarik menarik tersebut membawa
kekuasaan tersebut. Aspek-aspek itu adalah dimensi interpretasi yang beragam. Dalam
kekuasaan politis, kekuasaan hierarkis, konteks tradisionalis Eropa atau Barat, ketakutan
kekuasaan pengaruh dan kekuasaan moral. terhadap perempuan (Delumeau, 1978) ter-
Kekuasaan politis terlihat ketika Phèdre cermin dari interpretasi bahwa seksualitas
memegang kendali pemerintahan setelah Phèdre seharusnya dikontrol sehingga incest
Thésée dikabarkan meninggal. Kekuasaan politis tersebut tidak terjadi. Incest tersebut sangat
di sini tidak semata-mata berhubungan dengan ditekankan dan digeneralisir sebagai sebuah
kedudukan seseorang secara formal, misalnya norma yang harus dipatuhi. Perilaku Phèdre

14
Wening Udasmoro – Kekuasaan di Atas Pentas: La Tragédie «Phèdre»

sebagai pelaku incest didramatisasi sehingga Kekuasaan yang kedua adalah kekuasaan
seakan menjadi fenomena ketidakpatutan yang hierarkis. Kekuasaan hierarkis dalam hal ini
dilakukan perempuan. Namun, apabila dilhat dari dimiliki Phèdre sebagai seorang yang secara
sisi kekuasaan yang memainkan struktur lakon hierarkis lebih tua dan dihormati dari sisi ginealo-
di atas pentas tersebut, sosok Phèdre adalah gis? Jika Phèdre sering kali diibaratkan sebagai
tokoh yang bisa digantikan oleh siapa saja, baik perempuan yang bermasalah, secara dekons-
laki-laki maupun perempuan. Bukan karena dia truktif mungkin aspek yang dapat dimunculkan
perempuan maka tindakan mencintai anak tiri itu adalah bahwa dia seorang perempuan matang
terjadi. Status kekuasaan politislah yang menjadi yang sedang jatuh cinta seperti halnya orang lain
aspek penting sehingga menghadirkan tindakan yang memiliki pengalaman tersebut. Secara
yang dianggap amoral dalam konteks cerita logis, dia tidak melakukan perselingkuhan karena
tersebut. suaminya sudah diumumkan meninggal.
Hal ini terlihat jelas setelah Phèdre Namun, secara sosial dan kultural usaha tersebut
kehilangan mahkota dan Thésée kembali ke dianggap tidak normal karena dia tidak dibenaran
tampuk kekuasaan, yaitu terjadi relokasi dominasi jatuh cinta kepada anak tirinya.
yang menempatkan Phèdre pada situasi Meskipun golongan usia lebih dewasa pada
berkebalikan. Dia tidak lagi berstatus memutus- umumnya memiliki privilese-privilese tertentu
kan, tetapi justru menjadi victim dari peralihan tetapi bentuknya bervariasi antara masyarakat
dominasi tersebut. Nasibnya diputuskan oleh yang satu dengan yang lain dan selalu bergerak
otoritas Thésée yang berkehendak untuk dari waktu ke waktu. Pada konteks masyarakat
menghukumnya. Namun, kekuasaan lain ber- Yunani, otoritas golongan usia tua terutama di
main mendominasi alur cerita. Kekuasaan kalangan bangsawan sangat kuat walaupun
parole atau kata-kata Oenone yang dapat dalam praktiknya norma tersebut diaktualisasikan
dianggap bernuansa politis karena pengaruhnya oleh individu-individu dengan cara yang berbeda-
membebaskan Phedre. Di satu sisi, ini beda. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
mengingatkan pembaca pada konteks cerita- otoritas dari yang tua kepada yang muda juga
cerita lain, misalnya pengaruh Patih Bestak berlaku untuk konteks cinta yang dianggap
incest? Hal inilah yang kemudian menimbulkan
ataupun Patih Pringgalaya pada cerita-cerita
dilema-dilema lain. Pertama, kekuasaan hierarkis
ketoprak atau pengaruh Sengkuni terhadap raja
usia Phèdre memfasilitasi keinginannya untuk
Astinapura. Di sisi lain, peran Oenone sebagai
melanggar tabu tersebut. Kedua, pelanggaran
nourris atau ibu susu secara politis berpotensi
terhadap tabu tersebut membawa konsekuensi
memunculkan dominasi lain. Ibu susu memiliki
pada ostrasisme (pengucilan) terhadap dirinya.
peran besar dalam membela anak susunya.
Dengan demikian, tabu terhadap anggapan
Dominasi kekuasaan di sini seperti sebuah sirkuit
sosial bahwa mencintai anak tiri juga termasuk
yang sulit dideteksi siapa yang akan
incest memiliki dampak yang lebih diper-
memenangkan pertarungan. Kekuasaan politis
timbangkan dalam konteks masyarakat Yunani
berupa diplomasi dan usaha meyakinkan yang
pada waktu itu.
paling berhasil membutuhkan posisi-posisi
Kekuasaan ketiga adalah kekuasaan pe-
signifikan aktor-aktornya. Tokoh yang terlebih
ngaruh. Kekuasaan ini dipegang oleh Oenone
dahulu menguasai parole (kata-kata) untuk
sebagai penasihat Phèdre dan Théramène
meyakinkan orang lain memperoleh kekuasaan
sebagai penasihat Hippolyte. Kedua tokoh ter-
tersebut. Sementara itu, Phèdre dengan sa
sebut memiliki dominasi sehingga menempatkan
silence atau diamnya karena tidak berusaha mereka sebagai yang memiliki kekuasaan
membela diri atau membela Hyppolite dari berbicara. Akibat dominasi keduanya, Phèdre
hukuman mati menempatkannya sebagai yang dan Hippolyte kehilangan otoritas mengemukakan
paling bersalah. ide yang sebenarnya merupakan simbol

15
Humaniora, Vol. 20, No. 1 Februari 2008: 11 - 17

kebebasan mereka. Phèdre menjadi simbol berada, memiliki andil dalam pengkonstruksian
“diam” yang menempatkannya pada situasi tindakannya. Dalam konteks masyarakat yang
bersalah. Satu-satunya kebebasannya, yakni didasari oleh ruang dan waktu yang berbeda
berbicara tentang kebenaran baru dilakukan memiliki implikasi berbeda terhadap konstruksi
pada akhir cerita meskipun kebebasan tersebut suatu tindakan.
tidak membebaskannya dari kematian karena Kekuasaan keempat adalah kekuasaan
bunuh diri. Hippolyte, karena pengaruh Théra- moral. Moralitas sering kali dilihat dari perspektif
mène, kehilangan otonomi dirinya. Ia adalah yang berbeda-beda dalam masyarakat. Sek-
l’acteur impuissant (tokoh tidak berdaya dalam sualitas, terutama yang dipraktikkan perempuan
berbagai aspek). Dia adalah aktor steril, aktor lebih banyak menjadi sorotan yang selalu diper-
kontra-natur karena tidak memiliki kemampuan debatkan. Seksualitas perempuan ini secara
seksual. Otonominya, dalam kehidupan privat religius dan kultural direferensikan kepada
(seksualitas) dan dalam kehidupan publik (politik) kesalahan Hawa atau Shinta yang mempe-
terepresi karena dikuasai secara simbolis dan ngaruhi Adam atau Rama sehingga menyebab-
riil oleh Théramène dan Thésée. Hippolyte kan konsekuensi negatif tertentu. Mereka
menjadi simbol korban pengaruh orang-orang di diasosiasikan dengan dosa, penyebab ketidak-
sekitarnya. Dalam konteks umum, dia juga stabilan, teman iblis dan sebagainya. Konstruksi
dianggap menjadi korban Phèdre. perempuan sebagai simbol permasalahan-
Karena dia dianggap korban, tidak berdaya permasalahan moral memunculkan kontrol-
serta tidak berdosa maka memunculkan kontrol, terutama terhadap seksualitas mereka.
stereotip sebagai aktor yang dibela oleh publik. Dalam Phèdre, kontrol terhadap perilaku moral
Hal inilah yang memunculkan aktor pro dan kontra tersebut ditujukan kepada Phèdre sebagai bentuk
yang biasanya didikotomisasikan dalam cerita. persetujuan bersama. Usaha-usaha Phèdre
Jika Hippolyte adalah aktor pro maka Phèdre merayu Hippolyte atau lebih agresifnya Aricie
adalah sebaliknya. Apabila disebutkan bahwa kekasih Hippolyte secara seksual memunculkan
Hippolyte adalah aktor kontra-natur karena stigma-stigma. Yang menjadi persoalan adalah
kelemahan seksualnya, atau bisa diinterpretasi- mengapa ketika sebuah ketertarikan atau
kan pula sebagai tokoh yang dapat mengontrol perasaan cinta diungkapkan terlebih dahulu oleh
seksualitasnya karena tidak mengindahkan seorang perempuan hal itu menjadi sebuah
godaan Phèdre, maka Phèdre adalah tokoh tabu? Mengapa sebuah agresivitas seksual yang
kontra-kultur karena ketidakmampuan me- dimiliki oleh seorang perempuan adalah sebuah
nguasai seksualitasnya. Ia juga kontra-kultur ketidaknormalan? Moralitas yang dikonstruksi
karena tidak mengindahkan norma masyarakat seperti itulah yang memunculkan pelabelan-
yang berlaku. pelabelan pada perempuan. Tokoh yang bersih
Dalam pemahaman lebih dekonstruktif dari label tersebut bebas dari stigma-stigma
asumsi di atas bersifat opositif. Bukan karena tersebut. Hippolyte adalah simbol “bersih” ter-
seksualitas Phèdre yang menjadi permasalahan, sebut. Tokoh yang teraniaya, yang memunculkan
tetapi karena habitus tempat Phèdre berada belas kasihan dan yang menjadi korban
menempatkannya sebagai tokoh yang kontra- agresivitas, baik secara moral dan fisik (dalam
natur. Dalam konteks masyarakat lain, mungkin hubunganya dengan ayahnya) maupun secara
fenomena tersebut dianggap absah. Dalam seksual (dalam hubungannya dengan ibu tiri dan
cerita wayang versi India, misalnya, Drupadi kekasihnya) menjadi aktor yang diselamatkan
bersuamikan lima keluarga Pandawa. Dalam oleh publik dari hujatan dan makian. Dalam
versi Jawa, ia hanya bersuamikan Yudhistira. banyak cerita, tokoh teraniaya menjadi simbol-
Dengan demikian, konteks tempat seorang tokoh simbol kemenangan.

16
Wening Udasmoro – Kekuasaan di Atas Pentas: La Tragédie «Phèdre»

SIMPULAN lain, yakni dari posisi kekuasaan yang dimilikinya.


Dalam pendekatan feminisme post struktu- Diamnya Phèdre bukan karena dia adalah
ral, penegasian terhadap pendekatan dikotomis perempuan tetapi karena subordinasi kekuasaan,
memunculkan cara pandang lain terhadap di satu sisi terhadap kekuasaan politis Thésée
sebuah pemaknaan. Keberadaan tokoh-tokoh dan di sisi lain dari kekuasaan pengaruh Oenone,
baik laki-laki maupun perempuan dalam habitus- ibu susunya. Pendekatan terhadap relasi
nya tidak muncul secara arbitrer, tetapi dibentuk kekuasaan tersebut menghadirkan representasi
oleh lingkungannya. Konsentrasi terhadap arena gender yang tidak stereotip tetapi lebih terbuka
kekuasaan menghadirkan konsep-konsep baru pada pemahaman akan hubungan yang lebih luas
yakni relasi kemanusiaan yang sifatnya tidak lagi yang mengimplikasikan aspek dominasi ter-
universal tetapi berkarakter, berbeda serta hadap kelas yang lebih lemah, pada golongan
bernuansa. Habitus memegang peranan penting usia lebih inferior atau pada yang powerless
sebagai kecenderungan yang membantu proses dalam kedudukan politik dan sebagainya.
pemaknaan tersebut tetapi dinamika yang ada
di dalam habitus tersebut berdimensi luas DAFTAR RUJUKAN
tergantung pendekatan-pendekatan terhadap Balandier, George. 1991. Anthropologie Politique (second
kekuasaan yang dilakukan. edition), Paris: Quadrige.
Relasi kekuasaan dalam Phèdre adalah —————. 1992. Le Pouvoir Sur Scènes,Paris:Edition
gambaran bahwa karakter tokoh tidak hanya Balland.
didekati dari analisis dikotomis yang cenderung Barthes, Roland. 1963. Sur Racine,Paris:EditionsduSeuil.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice,
menstereotipkan gender tertentu, yang biasanya
Cambridge: Cambridge University Press.
adalah perempuan. Ketika seorang tokoh —————. 2001. Masculine Domination, Stanford:
dikatakan lemah, tidak santun secara moral atau Stanford University Press.
agresif dan sebagainya, pelabelan-pelabelan Darcos, Xavier. (1991), Phèdre,Paris:Hachette.
secara dikotomis dapat direlativisir dan didekons- Delumeau, Jean. 1978. La Peur en Occident,Paris:Librairie
truksi karena menutup kemungkinan pemaknaan Arthème Fayard.
yang lebih terbuka. Diamnya Phèdre, yang sering Jenkins, Richard. 2001. Pierre Bourdieu, London & New
York: Routledge.
kali distereotipkan sebagai simbol diamnya
Scott, Joan Wallach. 1988. “Deconstructing Equality-
perempuan karena tidak mempunyai keberanian Versus-Difference: Or, the Uses of Poststructuralist
mengeluarkan ide atau ketidakmampuan meng- Theory for Feminism”, in Feminit Studies 14, No 1
organisir kata-kata yang mampu memecahkan (Spring), hal.33-51.
masalah seharusnya didekati dengan perspektif

17

Anda mungkin juga menyukai