Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES PEDIS

Dosen Pengampu : Ns. Nur Rakhmawati MPH

Disusun Oleh :
Khoirul Ulfa
NIM SN201154

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM


PROFESI FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADASURAKARTA
2020/2021
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari
infeksi yang melibatkan organism piogenik, nanah merupakan suatu campuran
dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang
dicairkan oleh enzim autolitik (Price, 2012).
Abses adalah pengumpulan cairan nanah tebal, berwarna kekuningan
disebabkan oleh bakteri, protozoa atau invasi jamur kejaringan tubuh. Abses
dapat terjadi di kulit, gusi, tulang, dan organ tubuh seperti liver, paru-paru,
bahkan otak, area yang terjadi abses berwarna merah dan menggembung,
biasanya terdapat sensasi nyeri dan panas setempat (Microsoft Encarta
Reference Library, 2014).
Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik “mata”, yang
kemudian pecah; rongga abses kolaps dan terjadi obliterasi karena fibrosis,
meninggalkan jaringan parut yang kecil (Doengos, 2010).
Pedis adalah anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk
berjalan (dari pangkal paha ke bawah) (Mansjoer,2011).
2. Etiologi
Menurut Underwood, (2012)
a. Infeksi microbial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang
ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses
radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan
dinding sel.
b. Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan
merusak jaringan.
c. Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih
(frosbite).
d. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa)
akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya
proses radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan
bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan
radang.
e. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya
pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan
mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah
infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2011), gejala dari abses tergantung kepada
lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa
berupa:
a. Nyeri
b. Nyeri tekan
c. Teraba hangat
d. Pembengakakan
e. Kemerahan
f. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai
benjolan. Adapun lokasi abses antar lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah.
Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena
kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan
gejala seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam mungkin lebih
menyebarkan infeksi keseluruh tubuh (Underwood, 2012).
4. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5-
15,6%, perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru,
pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi
superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.
Menurut Julius, (2011), Dapat juga komplikasi seperti:
a. Infeksi sekunder
Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
b. Ruptur atau penjalaran langsung
Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi
paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga
intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
c. Komplikasi vaskuler
Ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal
jarang terjadi.
d. Parasitemia, amoebiasis serebral
E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di
organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari
lesi fokal intrakranial.
5. Patofisiologi dan Pathway
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme
atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan
pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi
(peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih
(leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau
kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah
pus menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali
proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk
menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan
melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus.Abses harus dibedakan
dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas
yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada
akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses
terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka
akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang
berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.

Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan


terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi
dinding pembatas abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah
penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi
bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung
kepada lokasi abses (Price, 2012).
PATHWAY

Bakteri Gram Positif


(Staphylococcus Aureus Streptococcus Mutans) Mengeluarkan Enzim Hyaluronidase
Dan Enzim Koagulase

Transpor nutrisi antarsel tetangga Merusak Jembatan

Antarsel Jaringan Rusak/Mati/Nekrosis Media Bakteri Yang Baik

Sel darah purih mati Jaringan Terinfeksi

Jaringan Menjadi Abses & Berisi PUS Kurang Pengetahuan

Ansietas

Reaksi peradangan Risiko Pecah


Infeksi
Absorbsi Nutrisi
Luka/tukak
(-)
Metabolisme Sel Menurun Terjadi pelepasan mediator kimia oleh sel radang
(Histamin : bradikinin, serotonin)
Produksi ADP & ATP
Menurun Merangsang nociceptor

Keletihan
Medula Spinalis

Intoleransi Aktivitas
Risiko Pecah Cortex cerebri

Gangguan pola tidur Nyeri


6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel darah
putih.
b. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan
rontgen, USG, CT, Scan, atau MRI.
7. Penatalaksanaan
Derivat nitroimidazole dapat memberantas tropozoit
intestinal/ekstraintestinal atau kista. Obat ini dapat diberikan secara oral atau
intravena. Secara singkat pengobatan sebagai berikut :
a. Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan
b. Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2 hari dan diikuti 500/hr selama 20 hari,
ditambah;
c. Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari intramuskular (maksimum 99
mg/hr) selama 10 hari.
Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I (2011) Pengobatan dilakukan cara:
a. Kemotrapi: Obat-obat dapat diberikan secara oral atau intravena sebagai
contoh untuk gram negatif diberi Metranidazol, Clindamisin atau
Kloramfenikal.
b. Aspirasi Jarum: Pada abses yang kecil atau tidak toksik tidak perlu
dilakukan aspirasi. Hanya dilakukan pada ancaman ruktur atau gagal
pengobatan konserfatif. Sebaliknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan
USG.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
1) Keluhan Utama : berisi keluhan utama pasien
2) Riwayat penyakit sekarang : berisi perjalanan pasien mulai saat
dirasakan keluhan pertama sampe berada di rumah sakit
3) Riwayat penyakit dahulu : berisi riwayat penyakit dahulu pasien
4) Riwayat kesehatan keluarga : berisi riwayat keluarga pasien
5) Riwayat kesehatan lingkungan : berisi riwayat kesehatan lingkungan
pasien
b. Pola gordon
1) Pola Persepsi Kesehatan: Ketidaktahuan klien tentang
informasi dari penyakit yang dideritanya.
2) Pola Nutrisi Metabolik: Kehilangan berat badan yang
mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, kurus,
makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
3) Pola Eliminasi: Urine dalam jumlah banyak, urin encer
berwarna pucat dan kuning, perubahan dalam feses
4) Pola Aktivitas: Latihan sensitivitas meningkat, otot lemah,
gangguan koordinasi, kelelahan berat, palpitasi, nyeri dada
5) Pola Istirahat Dan Tidur: Insomnia sehingga sulit untuk
berkonsentrasi.
6) Pola Kognitif Perseptual: Ada kekhawatiran karena pusing,
kesemutan, gangguan penglihatan, penglihatan ganda,
gangguan koordinasi, Pikiran sukar berkonsentrasi.
7) Pola Persepsi Diri: Gangguan citra diri akibat perubahan
struktur anatomi,
8) Pola Peran-Hubungan Nervus, tegang, gelisah, cemas, mudah
tersinggung. Bila bias menyesuaikan tidak akan menjadi
masalah dalam hubungannya dengan anggota keluarganya.
9) Pola Seksualitas: Reproduksi penurunan libido, hipomenore,
amenore dan impoten, Haid menjadi tidak teratur dan sedikit,
10) Pola Koping: Toleransi stress Mengalami stres yang berat baik
emosional maupun fisik.
11) Pola Nilai Kepercayaan: Tergantung pada kebiasaan, ajaran
dan aturan dari agama yang dianut oleh individu tersebut.
c. Pemeriksaan fisik
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan,
berat badan dan tanda – tanda vital.
1) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada
leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih
kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah,
apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
2) Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman
bekas luka, kelembaban dan suhu kulit di daerah sekitar luka,
kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
3) Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.
4) Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia,
kardiomegalis.
5) Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi,
dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar
abdomen, obesitas.
6) Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit
saat berkemih.
7) Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi
badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di
ekstrimitas.
8) Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi
d. Pemeriksaan penunjang
Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I, (2001). Pemeriksaan
penunjang antara lain:
1) Laboratorium: Untuk mengetahui kelainan hematologi antara
lain hemoglobin, leukosit, dan pemeriksaan faal hati.
2) Foto dada: Dapat ditemukan berupa diafragma kanan,
berkurangnya pergerakkan diafragma, efusi pleura, kolaps paru
dan abses paru.
3) Foto polos abdomen: Kelainan dapat berupa hepatomegali,
gambaran ileus, gambaran udara bebas diatas hati.
4) Ultrasonografi: Mendeteksi kelainan traktus bilier dan
diafragma.
5) Tomografi: Melihat kelainan di daerah posterior dan superior,
tetapi tidak dapat melihat integritas diafragma.
6) Pemeriksaan serologi: Menunjukkan sensitifitas yang tinggi
terhadap kuman.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Resiko infeksi area pembedahan berubungan prosedur invasif.
c. Gangguan pola tidur
3. Perencanaan keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisiologis (D. 0077)
No Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Dx (SLKI) (SDKI)
1 Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1. 08238
asuhan keperawatan selama 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
3x24 jam, diharapkan nyeri komprehensif termasuk lokasi,
dapat berkurang dengan kriteria karakteristik, durasi frekuensi,
hasil : kualitas dan faktor presipitasi
a. Tingkat nyeri L.08066 2. Observasi reaksi nonverbal dan
1) Mampu mengontrol nyeri ketidaknyamanan
(tahu penyebab, mampu 3. Gunakan teknik komunikasi
menggunakan teknik terapeutik untuk mengetahui
nonfarmakologi untuk pengalaman nyeri pasien
mengurangi nyeri, mencari 4. Ajarkan teknik nonfarmakologi
bantuan) 5. Kolaborasi dengan dokter untuk
2) Melaporkan bahwa nyeri pemerian analgetik untuk
berkurang dengan mengurangi nyeri
menggunakan manajemen
nyeri
3) Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman
setelah rasa nyeri berkurang
b. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.
0142)

No Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Dx (SLKI) (SDKI)
1 Setelah dilakukan tindakan Perawatan luka I.14564
asuhan keperawatan selama 1. Monitor karakteristik luka
3x24 jam, diharapkan resiko termasuk drainage, warna,
infeksi dapat teratasi dengan ukuran, dan bau
kriteria hasil : 2. Bersihkan dengan NaCl
Tingkat infeksi L.14137 3. Berikan rawatan insisi pada luka
1. Demam meurun 4. Pertahankan teknik balutan steril
2. Kemerahan menurun 5. Anjurkan pasien dan keluarga
3. Nyeri meurun mengenai prsedur perawatan
4. Bengkak menurun luka
6. Kolaborasi dengan dkter untuk
pemberian antibiotik

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri (D. 0055)


No Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Dx (SLKI) (SDKI)
1 Setelah dilakukan tindakan Dukungan tidur I.09265
asuhan keperawatan selama 1. Identifikasi pola aktivitas
3x24 jam, diharapkan gangguan dan tidur
pola tidur dapat teratasi dengan 2. Identifikasi factor
kriteria hasil : pengganggu tidur
Pola Tidur 0004 3. Tetapkan jadwal tidur rutin
1) Keluhan sulit tidur menurun 4. Jelaskan petingnya tidur
2) Keluhan pola tidur membaik cukup saat sakit
3) Keluhan istirahat tidur cukup
membaik

4. Evaluasi Keperawatan:
Didapatkan dari respon pasien selama implementasi yang diberikan

DAFTAR PUSTAKA
Aru, W. Sudoyo, dkk. (2012). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat.
Jakarta: Balai Penerbitan FK-UI.
Azis Alimul Hidayat & Musrifatul Uliyah. ( 2012 ). Buku Ajar Kebutuhan Dasar
Manusia ( KDM ), Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi Surabaya :
Health Books Publishing.
Bruner dan Suddarth. ( 2012 ). Buku Ajaran KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Julius. (2001). Abses Hati Amoebik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Soeparman, dkk
(editor), jilid I edisi pertama, Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Jurnalis (2011). Abses Hati Piogenik. Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.36
Microsoft Encantta Reference Library.( 2014 ). Liver, Amebiasis Abses and Calf
Diphteria/ Fusa bakteriun necrosphorum.
NANDA. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi11.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai