Anda di halaman 1dari 9

PHK Karena Pekerja Melakukan

Pelanggaran Bersifat Mendesak


Posted on Juli 29, 2021 by admin

Jenis Pelanggaran bersifat mendesak yang dimaksud dan dapat diatur dalam Peraturan
Perusahaan, Perjanjian Kerja atau Perjanjian Kerja Bersama, sebagaimana diatur dalan
penjelasan ketentuan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan
Pemutusan Hubungan Kerja (“PP No. 35/2021”) adalah sebagai berikut:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;
b. Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, ataumengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha
di lingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan
bahaya di tempat kerja;
i. Membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali
untuk kepentingan negara; atau
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.

Terkait dengan PHK yang dilakukan oleh Perusahaan karena Pekerja melakukan pelanggaran
yang bersifat mendesak, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (2) PP No. 35/2021,
maka Pekerja bersangkutan hanya akan mendapatkan hak sebagai berikut:
a. Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 81 angka 44 Pasal 156 ayat (4) UU No.
11/2020 Jo Pasal 40 ayat (4) PP No. 35/2021;
b. Uang Pisah yang besarannya diatur dalam dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja
atau Perjanjian Kerja Bersama;

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (3) PP No. 35/2021, tindakan PHK yang dilakukan oleh
Perusahaan dengan alasan tersebut diatas juga dapat dilakukan tanpa adanya pemberitahuan
terlebih dahulu dari Perusahaan kepada Pekerja bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 37 ayat (2) PP No. 35/2021.

Namun, apabila Pekerja bersangkutan ditahan karena adanya laporan dugaan tindak pidana
baik dari pihak Perusahaan atau orang lain, maka sesuai ketentuan Pasal 53 PP No. 35/2021,
pengusaha/ perusahaan tidak wajib membayar upah, namun hanya memberikan bantuan
kepada keluarga Pekerja yang menjadi tanggungannya untuk paling lama 6 (enam) bulan,
terhitung sejak hari pertama Pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% dari upah;
b. Untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% dari upah;
c. Untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% dari upah;
d. Untuk 4 (empat) orang tanggungan, 50% dari upah

PHK ini merupakan sebuah pengakhiran hubungan kerja yang diakibatkan karena suatu hal
tertentu yang berakibat selesainya hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha.

Nah, apa saja sih ‘suatu hal tertentu’ ini?

Pasca diundangkannya UU Cipta Kerja, salah satu hal yang menjadi sebab adanya PHK
antara pekerja dengan pengusaha adalah adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
pekerja dengan sifat yang mendesak.

Atas dasar peraturan tersebut, bagaimana ya nasib pekerja yang mengalami demikian?

Apakah tetap mendapatkan perlindungan hukum atau tidak?

Yuk simak artikel berikut!!


Pengaturan PHK dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan

Menurut Zaeni Asyhadie, PHK dapat dikatakan sebagai pengakhiran untuk mendapatkan
mata pencaharian, memberikan pembiayaan kepada keluarga serta untuk pembiayaan
pengobatan, rekreasi dan sebagainya yang terjadi pada pekerja.

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Pengaturan mengenai PHK dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 158 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan


pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik


perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan


narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha


di lingkungan kerja;

f.  membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;

g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan
bahaya di tempat kerja;

i.  membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan


kecuali untuk kepentingan negara; atau

j.  melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.

Pengaturan tersebut namun dinyatakan tidak berlaku karena dianggap tidak sesuai dengan
asas praduga tak bersalah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003
pada tanggal 28 Oktober 2004.
Akibat dari dihapusnya ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyebabkan kekosongan hukum pada PHK saat pekerja
melakukan suatu pelanggaran yang bersifat mendesak kala itu.

Guna menutupi kekosongan hukum tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian


Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Nomor
SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 yang dalam Poin 3 Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa jika
pengusaha akan melakukan PHK dengan dasar/alasan pekerja/buruh melakukan suatu
tindakan yang tergolong dalam kesalahan berat, maka PHK tersebut hanya dapat dilakukan
setelah munculnya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap pada Pengadilan
Negeri yang berkompetensi mengadili.

Baca Juga: Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi
Pengaturan PHK dalam Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pasal 1 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja memberikan definisi PHK sebagai sebuah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang memberikan akibat selesainya hak dan kewajiban antara pekerja dengan
pengusaha.

PHK berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja dapat terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:

1. Perusahaan melakukan peleburan, penggabungan, pengambilalihan atau pemisahan yang


mengakibatkan perusahaan atau pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja ataupun
pengusaha tidak bersedia menerima pekerja;

2. Perusahaan melakukan efisiensi baik yang diikuti dengan penutupan perusahaan maupun
tidak diikuti dengan penyatuan perusahaan yang disebabkan karena perusahaan mengalami
kerugian;

3. Perusahaan tutup yang diakibatkan karena perusahaan yang bersangkutan mengalami


kerugian secara terus menerus selama dua tahun;

4. Perusahaan tutup akibat keadaan memaksa (force majeure);

5. Perusahaan sedang dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU);

6. Terdapat permohonan PHK dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan-perbuatan


tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;

7. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang memberikan


pernyataan bahwa pengusaha melakukan perbuatan yang dilarang dalam peraturan
perundang-undangan terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja dan pengusaha tetap
memutuskan untuk melanjutkan dan melakukan PHK.

Hal lain yang menjadi sebab adanya PHK antara pekerja dengan pengusaha adalah adanya
suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja dengan sifat yang mendesak. PHK ini
berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja dapat dilakukan oleh pengusaha apabila pelanggaran dengan
sifat mendesak tersebut telah diatur sebelumnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.

Baca Juga: Terjadi Kerusakan Barang yang Diangkut dengan Kapal Laut? Begini Aspek Hukum
Tanggung Jawab Pengangkut
Perlindungan Hukum Pekerja yang Terkena PHK Akibat Melakukan Pelanggaran
Mendesak Dari Masa ke Masa

Dalam hukum ketenagakerjaan, menurut Zaeni Asyhadie, berdasarkan subjeknya pada


dasarnya PHK dapat dilakukan oleh pengusaha, pengadilan, demi hukum atau oleh
pengusaha itu sendiri.

PHK dalam hal pelanggaran yang bersifat mendesak yang dilakukan oleh pekerja pada
dasarnya dilakukan oleh pengusaha.

Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
memberikan pengaturan bahwa ‘Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK’.

Pengaturan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tentunya pengusaha tidak boleh dengan semena-
mena melakukan PHK pada pekerjanya dan harus mengusahakan agar PHK tersebut tidak
terjadi.

Pengaturan tersebut kemudian diubah melalui Pasal 81 UU Cipta Kerja yang menentukan
bahwa ‘pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus
mengupayakan agar tidak terjadi PHK’.

Terdapat perubahan kata dari pengaturan sebelumnya yakni dari mengusahakan menjadi
mengupayakan. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa PHK dalam aturan sebelumnya bahwa
harus dilakukan segala upaya terlebih dahulu, apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat buruh atau dengan
pekerja bila pekerja yang bersangkutan tidak tergabung menjadi anggota serikat buruh.

Jika perundingan tersebut tidak membuahkan hasil, pengusaha hanya dapat melakukan PHK
dengan mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Namun, dalam UU Cipta Kerja mengatur bahwa dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maka
tidak perlu lagi diadakannya perundingan antara pengusaha dengan serikat buruh atau pekerja
yang bersangkutan. Namun, hanya dilakukan pemberitahuan saja kepada pekerja yang
bersangkutan dengan maksud dan alasan dari pemutusan hubungan kerja tersebut.

Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
khususnya dalam Pasal 52 ayat (2) tentunya menimbulkan tumpang tindihnya regulasi terkait
dengan PHK dalam hal pekerja melakukan perbuatan pelanggaran dengan sifat mendesak dan
memberikan celah kembali bagi para pengusaha untuk melakukan PHK secara sepihak
terhadap pekerja.

Secara tidak langsung, pengaturan dalam Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja bertolak belakang dengan Surat Edaran
Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005.

Berdasarkan kedudukannya, peraturan pemerintah menurut Undang-Undang Tahun 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah melalui
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk salah satu dari
beberapa jenis hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang posisinya di bawah
undang-undang maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Demikian penjelasan terkait dengan “PHK Akibat Pekerja Melakukan Pelanggaran


Bersifat Mendesak: Bagaimana Nasib Pekerja Pasca UU Cipta Kerja?”, untuk artikel-
artikel menarik lainnya sahabat HeyLaw dapat mengaksesnya disini.

Selain itu, sahabat HeyLaw dapat juga loh mengikuti kelas-kelas menarik dari HeyLaw
disini. Dengan mengikuti kelas-kelas tersebut, sahabat HeyLaw bisa mengakses materi
seumur hidup, sertifikat, video materi dan diskusi bersama. Yuk, daftar sekarang juga!!

Sumber:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang Tahun 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perbubahan atas Undang-Undang Tahun 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK

Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta:
Rajawali Pers, 2015.

Asyhadie, Zaeni, dan Rahmawati Kusuma. Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori Dan
Praktik Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2020.

Manik, Rahmat GM. “PHK Atas Kesalahan Berat Setelah Pasal 158 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dicabut Oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 012/PUU-I/2003.” Melayunesia Law 1, no. 1 (2017): 65–80.

Sanjaya, Revaldi, dan S. Atalim. “Pengaturan PHK Karena Kesalahan Berat Dalam
Perjanjian Kerja Bersama Antara Adi Purwanto (Buruh) Dan PT. Mujur Timber Sibolga
(Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.).” Jurnal Hukum Adigama 3, no. 2 (2020): 1138–1163.

Alasan-alasan PHK yang Diperbolehkan


dan Tidak Diperbolehkan dalam Undang-
Undang Cipta Kerja
Pasal 153 ayat 1 UU RI Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menyatakan “Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan”;

a. Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

b. Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. Menikah;

e. Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

f. Mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya


didalam satu perusahaan;

g. Mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja serikat buruh,


pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di
dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

h. Mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;

i. Berbeda paham, agama, aliran politik, suku,warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik,atau status perkawinan; dan

j. Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja
yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.

Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan tersebut diatas, maka
PHK tersebut batal demi hukum dan Pekerja wajib dipekerjakan kembali (Pasal 153
ayat 2).
Namun ada hal-hal yang menyebabkan pengusaha dapat melakukan PHK kepada pekerja
sebagaimana ketentuan Pada pasal 154 ayat 1 UU RI Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja dengan alasan-alasan PHK sebagai berikut:

a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan dan


pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh;

b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti
dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;

c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun;

d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);

e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

f. Perusahaan pailit;

g. Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan
alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh;


2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu
sesudah itu;
4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

h. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan


pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap
permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan
pemutusan hubungan kerja;

i. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30


(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
j. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis;

k. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,


peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

l. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;

m. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

n. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

0. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Selain hal-hal tersebut, pemutusan hubungan kerja dapat ditetapkan dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan atau Perjanjian kerja bersama (Pasal 154A ayat 2). Akan tetapi,
meskipun pengusaha dapat mem-PHK karena alasan-alasan sebagaimana yang
dimaksud Pasal 154 A, Pengusaha wajib memberikan hak-hak normatif Pekerja seperti
Pesangon, Uang Pengahargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dll..

Anda mungkin juga menyukai