Anda di halaman 1dari 3

APAKAH ADA UPAYA PREVENTIF KARIES GIGI PADA ANAK?

Dalam masa pertumbuhan, tentunya anak harus memiliki gigi yang utuh agar dapat
memproses makanan menjadi halus (mengunyah) dengan adekuat karena nantinya akan
berpengaruh pada gizi yang akan masuk dan menunjang pertumbuhan. Namun karies gigi
pada anak ternyata tidak hanya berpengaruh pada proses mengunyah saja, jika tidak ditangani
tepat waktu, akan berdampak pada bicara, senyum dan lingkungan psikososial dan kualitas
hidup anak dan keluarga. Perawatan penyakit gigi sangat mahal di semua negara dan
pencegahannya sangat sederhana dan efektif. Karies pada anak di bawah 6 tahun disebut
Early Childhood Caries (ECC). Hal ini paling sering disebabkan oleh botol susu atau
makanan ibu pada malam hari. ECC menyebar sangat cepat dan dapat menyebabkan nyeri
hebat, abses, pembengkakan, demam, dan gangguan psikologis pada anak. Perawatan ECC
memerlukan beberapa janji temu dan prognosisnya masih tidak terlalu menjanjikan pada gigi-
geligi yang dimutilasi. Seorang dokter atau dokter anak dapat dengan mudah
mengidentifikasi karies dini dan kebiasaan orang tua yang menyebabkan karies dan dapat
menasihati mereka untuk pencegahan dan merujuk mereka ke spesialis. Kebersihan mulut
yang baik, modifikasi diet sehubungan dengan penggunaan gula dan makanan lengket dan
diet sehat dapat membantu mencegah penyakit ini pada anak-anak. Kebutuhan waktu adalah
untuk menilai semua metode pencegahan karies gigi. Yang menjadi fokus utama pada
beberapa tahun terakhir adalah, apakah semua anak di dunia ini memiliki gigi yang sehat dan
utuh? Menurut data survei World Health Organization (WHO) tercatat bahwa di seluruh
dunia 60–90% anak mengalami karies gigi. Lantas apakah karies gigi itu? Karies gigi adalah
salah satu gangguan kesehatan gigi. Akibatnya, gigi menjadi keropos, berlubang, bahkan
patah. Berdasarkan hasil uji korelasi coeffi cient contingency didapatkan hasil bahwa faktor
yang memiliki hubungan yang kuat adalah kebiasaan memberi makan manis, lengket, dan
minum susu dengan nilai P = 0,504. Sedangkan faktor yang memiliki hubungan yang lemah
yaitu kebiasaan pemeliharaan kebersihan gigi anak dan kebiasaan pemeriksaan gigi dan
mulut anak. Terdapat hubungan atau korelasi yang kuat antara kebiasaan memberi makanan
manis, lengket dan minum susu dengan kejadian karies gigi anak usia 4–6 tahun. Sehingga
untuk mencegah keparahan karies gigi maka perlu diadakan penyuluhan tentang pemberian
makan manis, lunak dan lengket terhadap pengaruh karies gigi serta bagaimana seharusnya
pemberian susu formula maupun Air Susu Ibu (ASI) kepada orang tua agar bisa mengontrol
anak dalam menjaga kesehatan gigi anak agar tidak terjadi karies rampan. Kementrian
Kesehatan di Indonesia memiliki target, anak usia 12 tahun bebas gigi berlubang pada tahun
2030. Target organisasi kesehatan dunia (WHO, anak usia 5-6 tahun (masuk ke tahap gigi
campuran awal), sebanyak 50% bebas gigi berlubang (karies) di setiap negara. Realita? Riset
Kesehatan Indonesia 2018 menunjukkan terdapat 93% gigi rusak pada usia 4-5 tahun, yang
berarti dari 100 anak anak usia dini (4-5thn) hanya 7 anak yang giginya tidak berlubang.
Memang sampai saat ini karies masih menjadi masalah kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah yang dilakukan untuk mencapai target tersebut
seperti program internship, Nusantara Sehat yang mana penempatan tenaga kesehatan
berbasis kepada tim yang disebar ke seluruh Indonesia, termasuk tenaga kesehatan gigi
maupun tenaga kesehatan lainnya. Karies gigi secara historis telah dianggap komponen
paling penting dari beban penyakit mulut global. Fasilitas kesehatan dan penyuluhan
pendidikan kesehatan gigi sudah dilakukan, namun pengetahuan masyarakat mengenai karies
gigi masih rendah. Menurut data survei World Health Organization (WHO) tercatat bahwa di
seluruh dunia 60–90% anak mengalami karies gigi. Prevelensi tertinggi karies gigi pada
anak-anak di Amerika dan kawasan Eropa, indeks agak rendah dari Mediterania Timur dan
wilayah barat pasifik, sementara prevalensi terendah adalah Asia tenggara dan Afrika.
Menurut WHO global oral health, indeks karies gigi global di antara anak usia 12 tahun dan
rata-rata 1,6 gigi yang berarti rata-rata perorang mengalami kerusakan gigi lebih dari satu gigi
Di Indonesia, hasil Survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, antara lain: prevalensi
penduduk yang mempunyai masalah gigi mulut adalah 23,4%, penduduk yang telah
kehilangan seluruh gigi aslinya adalah 1,6%, prevalensi nasional karies aktif adalah 43,4%,
dan penduduk dengan masalah gigi-mulut dan menerima perawatan atau pengobatan dari
tenaga kesehatan gigi adalah 29,6% . Penderita karies gigi di Indonesia memiliki prevalensi
sebesar 50–70% dengan penderita terbesar adalah golongan balita. Semakin meningkatnya
angka karies gigi saat ini dipengaruhi oleh salah satunya adalah faktor perilaku masyarakat.
Sebagian besar masyarakat tidak menyadari pentingnya merawat kesehatan mulut dan gigi.
Ketidaktahuan masyarakat tersebut yang mengakibatkan penurunan produktivitas karena
pengaruh sakit yang dirasakan. Hal ini karena menurunnya jaringan pendukung gigi. Karies
gigi ini nantinya menjadi sumber infeksi yang dapat mengakibatkan beberapa penyakit
sistemik. Banyak persoalan mengenai kesehatan gigi dan mulut menjadi bahan pertimbangan
pemerintah untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit ini. Berdasarkan Undang-
Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam pasal 93, dinyatakan bahwa pelayanan
kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan
penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan atau
masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan. Ayat (2)
menyatakan bahwa pelayanan tersebut dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan dan dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan,
pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah. Namun yang menjadi
masalah terkait pelayanan ini adalah masih sangat sedikit penduduk yang dilayani oleh dokter
gigi atau tenaga kesehatan. Mayoritas dokter gigi ada di perkotaan, sehingga masyarakat yang
ada di pedesaan terkendala untuk aksesnya ke pelayanan. Menteri Kesehatan RI
menyampaikan, “Kemenkes melakukan Kebijakan dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Gigi dan Mulut antara lain melalui upaya promosi, pencegahan dan pelayanan kesehatan gigi
dasar di Puskesmas dan Puskesmas pembantu (pustu). Upaya promosi, pencegahan dan
pelayanan kesehatan gigi perorangan di RS. Upaya promosi, pencegahan dan pelayanan
kesehatan di sekolah melalui Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) dari tingkat TK sampai
SMA yang terkoordinir dalam UKS”. Pemerintah sedang mengembangkan berbagai macam
UKGS inovatif. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dalam bentuk Usaha
Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGM); serta kemitraan kesehatan gigi dan mulut baik di
dalam maupun di luar negeri (PDGI, 2011). Faktor yang mempengaruhi kesehatan gigi dan
mulut pada masyarakat, baik sebagai pemberi pelayanan (provider) maupun pengguna
(costumer), menurut konsep Blum tahun 1974 yang dipengaruhi oleh 4 faktor utama yakni:
Lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (Hereditas). Dampak yang
ditimbulkan akibat karies gigi secara ekonomi adalah semakin lemahnya produktivitas
masyarakat. Jika yang mengalami anak-anak maka akan menghambat perkembangan anak
sehingga akan menurunkan tingkat kecerdasan anak, yang secara jangka panjang akan
berdampak pada kualitas hidup masyarakat.
Karies gigi adalah istilah yang mengacu pada penyakit dan lesi yang diakibatkannya. Proses
karies terjadi pada biofilm, yang aktif secara permanen pada setiap fluktuasi pH dan lesi
bermanifestasi pada jaringan keras gigi. Karies gigi terjadi ketika mikrobiota biofilm yang
biasanya berada di rongga mulut dalam homeostasis berubah menjadi populasi asidogenik,
aciduric, dan kariogenik karena seringnya konsumsi gula. Hasil dari pergeseran ini dapat
tidak terlihat secara klinis atau menyebabkan hilangnya mineral bersih di dalam struktur
keras gigi, yang mengakibatkan lesi karies yang terlihat, pada prosesnya, bisa ada tanpa
karies, lesi yang terlihat. Oleh karena itu, karies gigi dianggap sebagai penyakit mikroba
makanan yang membutuhkan biofilm kariogenik dan paparan teratur terhadap karbohidrat
yang dapat difermentasi (glukosa, fruktosa, maltosa, dan sukrosa) dari makanan. Faktor
perilaku, psikologis, dan sosial juga memainkan peran penting dalam proses penyakit.
Kapasitas fluoride untuk mencegah karies adalah fakta yang terkenal, dan paparan fluoride
yang tidak mencukupi juga harus dipertimbangkan sebagai faktor yang berkontribusi dalam
proses penyakit. Karies gigi merupakan masalah kesehatan utama karena merupakan penyakit
yang paling umum di seluruh dunia. Hampir 90% anak – anak di seluruh dunia terkena karies
gigi. Penyakit ini terkonsentrasi pada kelompok dengan status sosial ekonomi rendah, dan
meskipun mudah dicegah, prevalensinya tidak menurun secara signifikan selama tiga puluh
tahun terakhir. Hal ini dikarenakan pasta gigi dengan fluoride harganya lebih mahal. Solusi
dini yang sebisa mungkin dilakukan adalah memberi penyuluhan terhadap orang tua tentang
betapa pentingnya mengontrol untuk memberikan makanan yang manis terhadap anak, dan
penyuluhan tentang pemberian susu, entah itu dalam bentuk susu formula maupun Air Susu
Ibu (ASI). Peran orang tua memiliki andil yang besar dalam menjaga kesehatan dan
kebersihan gigi, orang tua harus membiasakan anak untuk melakukan pemeriksaan gigi setiap
6 bulan sekali, gigi dan mulut anak pertama dilakukan sebaiknya sejak gigi pertama tumbuh
atau saat usia 1 tahun.
Apakah terdapat terapi untuk kasus karies gigi pada anak? Studi terapi fotodinamik telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk inaktivasi mikroorganisme yang berhubungan
dengan karies gigi. Sejumlah besar penelitian telah menggunakan berbagai protokol, tetapi
beberapa penelitian telah menganalisis fotosensitizer dan sifat sumber cahaya untuk
mendapatkan respon dosis PDT terbaik untuk karies gigi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendiskusikan fotosensitizer dan sifat sumber cahaya yang digunakan dalam studi PDT pada
karies gigi. Tiga pertanyaan dirumuskan untuk membahas aspek-aspek ini. Yang pertama
melibatkan sifat fotosensitizer dan kinerjanya terhadap bakteri Gram positif dan Gram
negatif. Kedua membahas tentang penggunaan sumber cahaya yang sesuai dengan absorbansi
zat warna yang maksimal untuk mendapatkan hasil yang optimal. Yang ketiga melihat
relevansi konsentrasi fotosensitizer, kemungkinan pembentukan agregat sendiri, dan
efektivitas sumber cahaya. Tinjauan ini menunjukkan bahwa beberapa kelompok
fotosensitizer mungkin lebih efektif melawan bakteri Gram positif atau negatif, bahwa
sumber cahaya harus sesuai untuk absorbansi maksimum pewarna, dan bahwa beberapa
fotosensitizer mungkin memiliki absorbansi yang dimodifikasi dengan konsentrasinya. Untuk
hasil terbaik PDT terhadap bakteri kariogenik utama (Streptococcus mutans), berbagai aspek
harus dipertimbangkan, dan di antara fotosensitizer yang dianalisis, eritrosin tampaknya
paling tepat karena bekerja melawan bakteri Gram positif ini, memiliki kecenderungan
hidrofilik dan bahkan pada konsentrasi rendah mungkin memiliki efek fotodinamik.
Mempertimbangkan eritrosin, sumber cahaya yang paling tepat harus memiliki intensitas
emisi maksimum pada panjang gelombang mendekati 530 nm, yang dapat dicapai dengan
LED berbiaya rendah.

Anda mungkin juga menyukai