Anda di halaman 1dari 21

Cuplikan Buku “Filsafat Ilmu Keolahragaan”

Oleh: Made Pramono

D. Pendekatan Ontologi Ilmu Keolahragaan


1. Olahraga sebagai Being
Sebagaimana dikonsepsikan di atas, apa yang dikaji ontologi, dapat diringkas dengan
persoalan “apa itu”, sesuatu yang dalam konteks filsafat ilmu, berkaitan dengan “apa yang
dikaji” suatu ilmu. Suatu objek ilmu. Being (yang-ada), sebagai “apa itu” ontologis,
diposisikan sebagai pusat pembahasan dengan memaparkan “tekstur (yang terdapat pada)
yang-ada itu sendiri”, atau “sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu hal untuk
menentukan arti, struktur dan prinsip hal tersebut”. Being ini bukanlah yang dipikirkan, tetapi
yang merupakan, sehingga yang dikelola ontologi bukan tentang pemikiran si pemikir, tetapi
tentang “yang merupakan” yang-ada sebagai yang-ada dalam tekstur dan sifat nyatanya yang
asli. Cara yang dipergunakan agar pikiran sampai pada yang-ada “yang merupakan” itu,
adalah melalui tahapan dalam salah satu dari berbagai metode yang ada.
Yang diperbincangkan ontologi, berarti sesuatu yang sangat penting, tanpa sesuatu itu
seluruh bangunan pemikiran menjadi tiada arti. Setidaknya, karena memperbincangkan arti
dari wujud sesuatu untuk ada, atau mengartikan segala sesuatu yang harus ada agar suatu
teori tentang itu bernilai benar, maka kajian epistemologi, metodologi, maupun bangunan
pemikiran filsafat maupun ilmu lainnya, harus bergantung pada kejelasan “apa itu” ontologis
ini.
Dalam konteks ilmu-ilmu khusus, termasuk ilmu keolahragaan, maka being yang
menjadi kajian ilmu tersebut, harus jelas dan terpilah-pilah (meminjam istilah Descartes).
Ontologi ilmu adalah disiplin yang berwenang untuk sampai pada jelas dan terpilah-pilahnya
apa yang dikaji ilmu tersebut. Sedikitnya, pembahasan tentang apa yang dikaji ilmu ini
mencakup dua istilah, (1) bahan atau materi yang dikaji (the subject matter of a specific
science), disebut sebagai objek material, dan (2) sudut pandang dengannya bahan atau materi
itu dikaji dan bisa dibedakan dengan bahan atau materi sejenis di bidang ilmu lain (the
particular point of view in which the subject matter is studied), dikenal sebagai objek formal
(Horrigan, 2008: 1).
Sebagaimana disebutkan di atas, ontologi hendak mengkaji hakikat yang-ada apa
adanya. Berdasarkan hal tersebut, ditelaah kriteria yang membedakan jenis-jenis objek dan
ikatan-ikatannya (Corazzon, 2013, dalam www.ontology.co). Di kawasan ini penulis hendak
menanggapi uraian dari buku Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (2000) sebagaimana
tersebut di bab 2, bahwa objek material ilmu keolahragaan adalah gerak manusia. Objek
material suatu ilmu haruslah mewakili konsep khas dari apa yang dikaji oleh ilmu itu. Dalam
ilmu keolahragaan, apabila yang dikaji (yang-ada) adalah gerak, maka kesulitan muncul
ketika istilah “gerak” yang generik ini masih harus diperbedakan lagi dengan beragam jenis
gerak yang bukan olahraga. Penyebutan “gerak manusia” sebagai objek material ilmu
keolahragaan, mensyaratkan pembatasan bidang investigasi, sudut pandang, cara dan tujuan
yang khusus dengannya gerak manusia ini tidak dicampuradukkan dengan gerak manusia
yang dibahas oleh ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biomekanika. Untuk itu, objek formal
ilmu keolahragaan harus jelas dan terpilah-pilah mengkonstruksi konsep gerak dalam ilmu
keolahragaan ini.
Penulis memilih definisi baku dari UNESCO berikut ini untuk “menyederhanakan”
beragam definisi tentang olahraga. UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap
aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang
lain, ataupun diri sendiri”. Apa yang disebutkan KDI-Keolahragaan (2000: 10-11) tentang
berbagai macam jenis olahraga berdasarkan fungsi dan tujuannya yakni olahraga pendidikan,
olahraga kesehatan, olahraga rehabilitatif, olahraga rekreatif, dan olahraga kompetitif, telah
mencerminkan keluasan isi definisi olahraga dari UNESCO tersebut, yang sekaligus
menunjukkan keluasan terbatas dari objek material ilmu keolahragaan.
Oleh karena “aktivitas fisik” yang dimaksud dalam definisi UNESCO di atas identik
dengan gerak manusia, maka konsep olahraga secara inheren sudah mencakup adanya konsep
gerak. Kemudian, oleh karena gerak yang dimaksud adalah gerak manusia dengan
“menggunakan/bersama” tubuhnya, maka di level ketiga dari derivasi konsep olahraga,
adalah konsep tubuh. Dengan kata lain, tidak mungkin membicarakan olahraga tanpa
mengikutkan konsep gerak, dan berarti juga tidak mungkin tanpa mengikutkan konsep tubuh.
Isi keluasan konsep olahraga, dengan demikian lebih sedikit daripada keluasan isi konsep
gerak; dan isi keluasan konsep gerak, lebih sedikit daripada keluasan isi konsep tubuh.
Konsekuensi logisnya, tidak semua aktivitas/peristiwa terkait tubuh, adalah pasti berupa
gerak. Ada aktivitas/peristiwa lain yang melibatkan tubuh yang tidak tercakup sebagai gerak.
Misalnya sistem metabolisme tubuh, atau tubuh astral. Demikian juga, tidak semua
aktivitas/peristiwa terkait gerak, adalah pasti berupa olahraga. Ada aktivitas/peristiwa lain
yang melibatkan gerak yang tidak tercakup sebagai olahraga. Misalnya mengetik atau menali
sepatu. Oleh karena tidak ada istilah lain yang lebih spesifik lagi yang dapat
dikategorisasikan atau diobjektivikasikan sebagai “apa yang dikaji” oleh ilmu keolahragaan,
maka, olahraga adalah pembatas gerak manusia, atau, olahraga adalah pembatas objek
material ilmu keolahragaan.
Memang benar bahwa karakteristik dari objek studi ilmu keolahragaan adalah
fenomena gerak manusia, namun fenomena gerak tersebut bukan sembarang gerak. Saat ini
penulis tengah mengetik disertasi, maka gerakan mata, lengan, dan jari, tidak dimaksudkan
sebagai gerak sebagai karakteristik ilmu keolahragaan. Gerakan mengetik, adalah bukan
gerakan olahraga, oleh karenanya hal itu di luar wilayah ontologi ilmu keolahragaan. Secara
tertib keilmuan, penulis beranggapan bahwa objek studi ilmu keolahragaan adalah fenomena
gerak olahraga (penyebutan “manusia” dihilangkan sebagai sesuatu yang inheren dalam
istilah “olahraga”, hanya manusia saja yang “berolahraga”).
Pandangan Gordijn tentang hakikat gerak manusia yang dikembangkan sekitar lebih
dari 40 tahun yang lalu itu bersumber dari observasi dan interpretasi fenomenologis. Konsep
“ecological psychology” yang dikembangkan oleh J.J Gibson (pendiri psikologi ekologis)
memperkuat pandangan Gordijn. Menurut teori yang dikembangkan Gibson, gerak manusia
dijelaskan sebagai perubahan bermakna dalam relasi antara seseorang dan lingkungan
sekitarnya (Lutan, 2008, dalam http://por.sps.upi.edu/?p=49).
Dalam rangka menjelaskan dan memilah-milahkan “apa yang dikaji” dalam ilmu
keolahragaan yang disebut dengan objek material, yang menjadikannya bisa dibedakan
dengan kajian-kajian dari ilmu lain, maka perlu dipertegas dengan membentuk (forming)
sudut pandang yang khas terhadap materi yang dikaji. Dalam hal ini, objek formal
membedakan objek material (yang mungkin sama antara 2 disiplin ilmu atau lebih). Dalam
hal apa atau bagaimana olahraga menjadi penanda apa yang dikaji oleh ilmu keolahragaan,
itulah yang harus tertuang dalam objek formal. Berangkat dari kajian istilah olahraga
sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Kadir Ateng (dalam Pramono, 2004: 17) bahwa
olahraga berasal dari kata olah dan raga yang bermuara pada arti penyempurnaan atau
aktivitas fisik, maka penulis sepakat dengan penyebutan “dalam rangka pembentukan dan
pendidikan” sebagai objek formal ilmu keolahragaan sebagaimana dikemukakan KDI-
Keolahragaan (2000: 11). Hal tersebut selaras dengan pengertian olahraga yang dipahami
sebagai proses pembinaan sekaligus pembentukan melalui perantaraan raga, aktivitas
jasmani, atau pengalaman jasmaniah dalam menumbuhkembangkan potensi manusia secara
menyeluruh ke arah kesempurnaan.
Meskipun demikian, berdasarkan berbagai definisi dan argumentasi terkait isi istilah
sport yang bisa ditemui di berbagai buku-buku teks bahasa asing, berbagai kamus (misalnya
Collin English Dictionary, Oxford Dictionary), atau ensiklopedia (misalnya Encyclopaedia of
Britannica), dan juga seperti yang sudah dikemukakan di atas, yakni dari UNESCO, maka
ada satu konsep lagi yang perlu ditambahkan sebagai objek formal ilmu keolahragaan dalam
rangka melengkapi sudut pandang terhadap objek materialnya, yaitu permainan. Hampir
semua definisi tentang olahraga, selalu melibatkan konsep “permainan”, sesuatu yang justru
menjadi “akar” olahraga (tanpanya, tak akan pernah ada olahraga!). Permainan, dalam dirinya
sendiri tersirat “penggunaan waktu luang”. Olahraga rekreasi yang bisa mewujud dalam
berbagai macam kegiatan sebagai outbond, adalah contoh manifestasi khusus olahraga dalam
rangka permainan ini. Pada dasarnya olahraga merupakan suatu bentuk permainan yang khas,
sebagaimana dikatakan Rijsdorp (dalam Sumaryanto dkk, 2011: 30), bahwa sport mempunyai
watak permainan, namun sport tidak sama dengan permainan. Permainan mempunyai makna
yang lebih luas daripada sport.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara lengkap, objek material ilmu keolahragaan
adalah fenomena gerak olahraga, sedangkan objek formalnya adalah gerak manusia dalam
rangka pembentukan, pendidikan, dan permainan. Pembatasan objek material dan objek
formal ilmu keolahragaan ini, bisa dibandingkan dengan hal serupa pada tulisan Horrigan
(2008) tentang Philosophical Anthropology: An Introduction to the Philosophy of Man. Bagi
Horrigan (2008: 1), objek material dari “philosophy of animate nature (psikologi)” adalah
“animate (living) corporeal beings”, sedangkan objek formalnya: “animate corporeal beings
studied from the philosophical point of view” atau “animate corporeal beings in their
ultimate causes and first principles”. Penjelasan Horrigan ini sejalan dengan pembatasan
objek material dan objek formal dari ilmu keolahragaan di atas.
Dengan demikian, pertanyaan tentang “apa yang dikaji” ilmu keolahragaan – sebagai
pertanyaan pokok ontologi ilmu ini – bisa diperinci (1) objek material: gerak olahraga; (2)
objek formal: gerak olahraga dalam rangka pembentukan, pendidikan, dan permainan.
Apabila dinyatakan dalam satu kalimat, maka yang dikaji dalam ilmu keolahragaan adalah
gerak olahraga dalam rangka pembentukan, pendidikan, dan permainan. Jadi, ilmu
keolahragaan adalah pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang fenomena gerak
tubuh manusia berupa olahraga yang dilihat dalam rangka pembentukan, pendidikan, dan
permainan, serta dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan
penyelidikan, di mana produk nyatanya tampak dalam batang tubuh pengetahuan ilmu
keolahragaan. Sebagai catatan, kerangka aksiologi tidak ditampakkan (yakni membentuk
nilai-nilai), disebabkan sistem pembahasaan yang memungkinkan dimengerti dari penalaran
yang ada bahwa aplikasi pengetahuan dalam ilmu keolahragaan pasti memiliki konsekuensi
nilai tertentu.
Gerak olahraga, sebagaimana dijelaskan di atas, selalu melibatkan tubuh. Tubuh dalam
konfigurasi ontologis, menurut Poli (dalam Poli & Seibt, 2010: 2) termasuk independent
items yang real. Berdasarkan pembatasan tersebut, maka dasar ontologis tubuh merupakan
studi untuk menentukan karakteristik dasar realitas tubuh sehingga membentuk sifat nyata
dalam hal arti, struktur, dan prinsip-prinsip kebertubuhan. Dihubungkan dengan paparan
kesalinghubungan antara tubuh, gerak, dan olahraga di atas, apabila karakteristik dasar
realitas tubuh sudah dikonsepsikan, maka karakteristik dasar realitas gerak manusia dan
berikutnya karakteristik dasar realitas olahraga, semestinya juga terderivasikan darinya
sehingga membentuk sifat nyata ilmu keolahragaan dalam hal arti, struktur, dan prinsip-
prinsip ilmu keolahragaan.
Karakteristik dasar realitas olahraga yang dimaksudkan, bisa berangkat dari ciri-ciri
atau kekhasan lokal, namun mampu diterima secara global. Misalnya, apabila Indonesia
menggunakan sistem ilmu keolahragaan yang lebih berbasis Fenomenologi Tubuh yang
dikemas sebagai revitalisasi kebudayaan seperti olahraga bela diri pencak silat dan tenaga
dalam “tradisional-mistis”, maka pemaknaan tubuh subjek yang diembannya secara
komparatif harus teridentifikasi secara global. Oleh karena itu, permasalahan penelitian,
networking, dan jalinan informasi teratur seperti jurnal dan buletin internasional, merupakan
wadah implementasi komparatif paradigma “tubuh subjek” dengan negara lain atau dengan
kecenderungan trend terkini secara global.
Beberapa persoalan konsepsional maupun praktis dimungkinkan muncul dari uraian
tentang objek ilmu keolahragaan tersebut. Salah satu persoalan yang bisa jadi menempati
urgensi strategis untuk dijawab adalah, mengapa catur diakui sebagai cabang olahraga
sedangkan holahop tidak diakui padahal sama-sama dikenal secara luas?
Kata kunci bidang “olahraga”, adalah gerak tubuh manusia. Olahraga yang berbasiskan
pada pikiran – seperti catur – harus memprasyaratkan penggunaan/aktivitas fisik. Ini
merupakan standar yang baku, dengan mempertimbangkan tingkatan dan fokus dari aktivitas
fisik tersebut (daya tahan, kelentukan, kekuatan, dan sebagainya). Hingga saat ini, ada lima
cabang “olahraga pikiran” yang diakui International Olympic Committee (IOC): go, draught,
poker, bridge, dan chess, yang diakui sebagai cabang olahraga karena alasan di atas.
International Mind Sports Association bahkan khusus diadakan untuk mewadahi kompetisi
internasional empat olahraga pikiran yang “lapangan permainannya” berupa papan: go,
draught, bridge, dan chess (bisa dilihat di www.imsaworld.com). Pembeda “olahraga
pikiran” seperti catur dengan misalnya bolabasket, adalah bahwa hasil catur bukanlah
aktivitas intensif-fisik sebagaimana bolabasket.
Apakah sepakbola “lebih olahraga” daripada basket? Tentu saja pertanyaan itu tidak
relevan jika dikaitkan dengan fakta yang ada, di mana masyarakat olahraga tidak
mempermasalahkan “perbandingan” tersebut, selama memenuhi standar baku
mempergunakan aktivitas fisik, baik dalam arti tingkatannya (tidak banyak aktivitas gerak,
hingga yang paling tinggi/banyak penggunaan aktivitas geraknya), maupun dalam arti
prasyarat atau keajekan (apakah aktivitas gerak dilakukan sebelum, sesaat, atau selama
bertanding). Catur membutuhkan latihan yang keras, pertandingan yang intensif dengan adu
taktik dan strategi. Catur, adalah olahraga daya tahan (endurance), paduan menarik antara
olahraga, seni, dan ilmu.
Tentu saja, masih akan ada bantahan tentang catur sebagai olahraga. Misalnya dari
komparasi, didapatkan adanya kegiatan tertentu yang memenuhi “standar” IOC, namun tidak
dimasukkan sebagai cabang olahraga. Sebagai contoh permainan baksodor atau lomba cepat
mengisi teka-teki silang (kalau ada, keduanya bisa mirip catur yang memerlukan fokus, daya
tahan, taktik, dan strategi). Itu hanya dua “aktivitas” yang berpotensi dipertimbangkan
sebagai cabang olahraga. Menurut penulis, di level tertentu pada akhirnya kewenangan
komunitas olahraga (termasuk olahragawan, pelatih, ilmuwan, tenaga medis olahraga, dan
sebagainya) untuk memutuskan bisa dimasukkan sebagai cabang olahraga atau tidak; dan
sekaligus mempertandingkannya di event-event pertandingan olahraga seperti PON, Sea
Games, atau Olimpiade.
Olahraga pikiran tidak diperbedakan secara substantif dengan olahraga tubuh, namun
bisa dilihat sebagai sisi lain dari satu kesatuan perseptual (meminjam konsep fenomenologi
tubuh Merleau-Ponty) dengan dunia yang dihadapi (misalnya catur dan papannya).
Kesadaran perseptual mengindikasikan bahwa saat pemain catur melihat lawan mainnya
memindah bidak catur, maka persepsi di tingkat pra-reflektif terhubung dengan peristiwa itu,
serentak juga pikiran mengkonstruksi realitas yang dihadapinya tersebut. Pengetahuan pra-
reflektif ini muncul melalui (bukan akibat) persentuhan tubuh dengan dunia. Di titik ini,
tubuh (mata), pikiran (warna, gerak), dan realitas (lawan memindahkan bidak) saling jalin
menjalin.
Kesadaran di sini penting artinya untuk tindakan di tahap reflektif (setelah tahap pra-
reflektif terjadi). Artinya, “sadar” berarti saat tubuh menyentuh dunia di tahapan pra-reflektif,
maka Aku yang adalah tubuh maupun pikiran memberi respon berlanjut: misalnya tersentak
(tubuh) dan berusaha menghindar (pikiran); sebaliknya, “tanpa sadar” berarti tubuh maupun
pikiran meskipun menyentuh dunia di tahapan pra-reflektif itu, namun tidak ada respon
berikutnya yang terjadi. Untuk disebut olahraga pikiran, maka “permainan” yang dilakukan
selain dilakukan dengan mengerahkan optimasi pikiran (konsentrasi, hafalan, strategi), juga
disepakati menggunakan optimasi tubuh (misalnya kelentukan, kekuatan, kecepatan, daya
tahan). Optimasi tubuh sebelum, saat, dan setelah memainkan catur juga selalu mensyaratkan
optimasi pikiran secara terus menerus. Kadar dominasi di tahap sadar/reflektif saja yang
menjadikannya didefinisikan olahraga pikiran atau bukan.
Model struktural kebertubuhan dalam khasanah ilmu keolahragaan kontemporer
digambarkan berikut ini agar mudah mengidentifikasikan konsep-konsep kunci yang bisa
dikembangkan lagi ke depan. Pengembangan pengalaman tubuh dalam model struktural di
atas ke arah model pelatihan olahraga (fisik, teknik, taktik, strategi, maupun mental), di luar
cakupan pembahasan penelitian ini.

Pengalaman tubuh
Jumlah seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh
sendiri baik individual maupun sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar

Skema Tubuh Kesan Tubuh


Aspek neurofisiologis dari pengalaman Aspek psikologis-fenomenologis dari
tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektif- pengalaman tubuh yang mengisi seluruh
kognitif dari individu tentang tubuhnya tampilan emosional-afektif individu
sendiri tentang tubuhnya sendiri

Orientasi Tubuh Kesadaran Tubuh


Orientasi dalam dan pada tubuh sendiri Representasi psikologis dari tubuh atau
dengan sensibilitas luar dan dalam, bagian tubuh dalam pikiran individual atau
khususnya persepsi kinaesthetik perhatian langsung ke arah tubuh sendiri

Estimasi Ukuran Tubuh Batas Tubuh


Estimasi dimensi ukuran dan ruang tubuh Pengalaman batas-batas tubuh; tubuh
sendiri dalam perbedaannya dengan lingkungan

Pengetahuan Tubuh Sikap-Sikap Tubuh


Pengetahuan faktual bangunan dan fungsi Sikap total ke arah tubuh dan
tubuh serta bagian-bagiannya termasuk penampakannya, khususnya kepuasan
perbedaan kanan-kiri tubuh (atau ketidakpuasannya)

Gambar 3.3. Model struktural pengalaman tubuh

Revitalisasi tubuh ini sarat dengan konsekuensi etis, kosmologis, dan estetis, untuk
mendasari implementasi lebih lanjut baik ke tahapan “ilmu-ilmu terdekat” seperti psikologi
atau kedokteran, maupun ke tahapan “ di atasnya lagi”, seperti fisiognomi atau biomekanika.
Setelah mengidentifikasi “beberapa konsep kunci” berpikir ontologis melalui contoh
ontologi tubuh dalam konteks objek kajian ilmu keolahragaan di atas, diharapkan ada
pemahaman yang lebih memadai bagaimana pengembangan filsafat ilmu keolahragaan
melalui kajian ontologi.
2. Medan Kajian
Keolahragaan nasional adalah keolahragaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
keolahragaan, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perkembangan
olahraga (UU RI No. 3 Th. 2005 Bab 1 Pasal 1 ayat 2). Di pasal berikutnya, sistem
keolahragaan nasional adalah keseluruhan aspek keolahragaan yang saling terkait secara
terencana, sistimatis, terpadu, dan berkelanjutan sebagai satu kesatuan yang meliputi
pengaturan, pendidikan, pelatihan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan
untuk mencapai tujuan keolahragaan nasional (pasal 3). Di bab 2 pasal 3 dan 4 undang-
undang yang sama, disebutkan bahwa keolahragaan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan jasmani, rohani, dan sosial serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang
bermartabat; serta keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan
dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia,
sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh
ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Dari
beberapa pasal ini (dan keseluruhan isi undang-undang), maka bisa ditarik urgensi untuk
mengidentifikasi ciri khas olahraga ke-Indonesia-an yang dalam penelitian ini juga harus
diperhatikan kongruensinya.
Keterbukaan terhadap temuan teori atau aplikasi ilmiah sebagaimana ilmu-ilmu lain,
sudah tentu menjadi syarat konvensional maupun sikap ilmiah individual yang terus
diimplementasikan dalam pengembangan ilmu keolahragaan. Abernathy dan Waltz melihat
fungsi sentral dari pendidikan jasmani sebagai disiplin akademis dalam studi gerak manusia
di bawah kategori batasan fisik, latihan gerak, struktur kepribadian, persepsi pribadi, dan
lingkungan sosio-kultur. Kleinmann memberi peringatan agar bangunan teori tidak terlalu
dibatasi, sehingga struktur gerakan, permainan dan pertandingan olahraga tak terlihat terlalu
sempit dan terlalu pasti. Dia menyokong sebuah diskusi terbuka fungsi ilmu keolahragaan
dan oleh karena itu bahkan ia menyebutkan “non-teori olahraga” sebagai sesuatu yang ikut
diperlukan dalam bangunan teori itu. Greendorfer menandai arah kecenderungan spesialisasi
dan fragmentasi Ilmu Keolahragaan yang membuat ketidakmungkinan pengintegrasian
konsep-konsep. Rose mendukung sudut pandang ini dengan melihat arahan masa depan ilmu
keolahragaan dalam lintas disiplin, konsepsi berorientasi penelitian dan penggunaan “gerakan
sebagai alat/sarana ekspresi” sebagai inti Ilmu Keolahragaan (Haag, 1994: 12).
Dalam hal pengembangan ilmu keolahragaan, disebutkan dalam buku KDI-
Keolahragaan bahwa medan kajiannya mencakup (1) bermain (play), (2) berolahraga (dalam
arti sport), (3) pendidikan jasmani dan kesehatan (physical and health education), (4) rekreasi
(recreation and leisure), dan (5) tari (dance). Lima spektrum medan pengkajian ini
mengindikasikan derivasi objek formal ilmu keolahragaan dalam ekstensifikasi kajian yang
berpusat pada permasalahan gerak tubuh insani dalam konteks olahraga. Sebagaimana telah
disebutkan, bahwa objek formal ilmu keolahragaan adalah olahraga dalam rangka
pembentukan dan pendidikan, dalam kaitannya dengan penyempurnaan fisik. Hal ini berarti,
riset tentang fenomena keterampilan gerak yang dikaji secara biomekanika, sebagai contoh,
masih bisa dikategorikan sebagai “ruang kajian” ilmu keolahragaan yang bisa ditempuh
seorang sarjana olahraga. Namun jika sudah mencakup teori estetika keterampilan gerak
dalam tari, tentu hal ini sudah menjadi wilayah kajian estetika tari, di luar bidang disiplin
ilmu keolahragaan.
Berikut ini diuraikan masing-masing kajian, dengan menngambil tema tubuh sebagai
sentral strategi ontologis ilmu keolahragaan. Sudut pandang terhadap tubuh, dalam hal ini
menggunakan sudut pandang ontologi tubuh Merleau-Ponty.
a. Bermain (Play)
Olahraga adalah aktivitas sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan
sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih. Olahraga juga adalah permainan, senada
dengan eksistensi manusiawi sebagai makhluk bermain (homo ludens-nya Huizinga).
Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani
Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di masa modern, di
mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa keolahragaan itu.
Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri (Pramono,
2003b: 139). Oleh karena pembahasan olahraga dalam tulisan ini dibatasi pada olahraga yang
melibatkan gerak tubuh manusia sebagai the real independent item, maka permainan yang
masuk dalam medan kajian inipun juga terkait dengan gerak tubuh manusia yang riil.
Permainan virtual seperti Playstation atau game online, tidak tercakup di dalamnya.
Johan Huizinga melihat permainan sebagai sumber dari bentuk-bentuk kultural paling
penting, yang merentang sejak dari hal-hal yang menyenangkan, seperti seni, sampai ke hal-
hal yang kurang menyenangkan dan kontroversial, seperti perang. Dalam karyanya Homo
Ludens (manusia sebagai makhluk bermain – yang menjadi tesis antropologi-filosofisnya),
Huizinga memaparkan karakteristik bermain sebagai dorongan naluri, aktivitas bebas, dan
pada anak merupakan keniscayaan sosiologis dan biologis. Ciri lain yang amat mendasar
yakni kegiatan itu dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan, dalam waktu luang.
Huizinga menyebutkan juga ciri khusus permainan: ini bukanlah kehidupan “nyata” dan
kebebasan mewarnai aktivitas tersebut. Namun patut diingat bahwa sebenarnya Huizinga
menegaskan permainan sebagai keberadaan yang “tak serius”, tetapi di saat yang sama
menyeret pemainnya untuk bermain intens atau habis-habisan (Pramono, 2003: 23).
Huizinga melihat bahwa bermain dan berolahraga merupakan kegiatan yang senantiasa
ada dalam inti kebudayaan masyarakat, sejak primitif sampai modern. Meskipun “tak serius”,
di dalam permainan terdapat nilai pendidikan (dan juga pembentukan), sehingga perlu
dimanfaatkan sebagai upaya menuju pendewasaan melalui pemberian rangsangan yang
bersifat menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental sosial, dan moral yang berguna pada
pencapaian pertumbuhan dan perkembangan secara normal dan wajar. Tujuan yang ingin
dicapai tersirat di dalam kegiatan itu, suatu ciri yang membedakannya dengan aktivitas
‘bekerja’ (Pramono, 2003: 23-24).
Bermain adalah salah satu modus keberadaan manusia, dikenal sebagai homo ludens.
Sedemikian sederhananya permainan, sehingga acapkali luput dari perhatian akademisi
olahraga untuk memberikan penghargaan tinggi terhadapnya. Penghargaan itu meskipun
terabaikan karena tingkat keseriusan bermain yang memang secara priorotas tertindih
berbagai aktivitas lain yang lebih “urgen”, namun penting disematkan, karena justru tidak
akan pernah ada olahraga sebagaimana yang dikenal selama ini, tanpa diawali dari adanya
permainan dalam sejarahnya.
Intensitas, intensionalitas, variasi, dan segala macam daya aktif fisik yang berkelindan
dalam permainan, adalah satu hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Beberapa hal yang terkait
dengan hal ini yang bisa dikaji disiplin ilmu, misalnya: (1) Model atau pola pelatihan dan
pembinaan apa saja yang bisa dilakukan masyarakat atau pemerintah untuk sampai pada
kemanfaatan optimum permainan tradisional (misalnya dalam rangka festival kebudayaan);
(2) Kapan suatu permainan seperti baksodor, bakbunder, gelut pathol, dan lain-lain
permainan tradisional dapat diangkat ke pengakuan sebagai olahraga prestasi. Satu hal yang
baik, bahwa permainan tradisional yang sekarang ini hidup di masyarakat - di luar yang
sudah diakui sebagai olahraga prestasi - adalah olahraga rekreasi-tradisional yang
pembinaanya di Indonesia diatur oleh undang-undang (UU RI No. 3 Th. 2005 Bab 7 Pasal
26). Hal lain yang bahkan lebih “populer” dikaji dan diaplikasikan dari permainan adalah
kerangka aksiologi yang menyertainya, etik, estetik, hingga politis.
Persepsi, menurut Merleau-Ponty (1962: 68) adalah dasar atau fondasi bagi pengalaman
manusia, baik yang subjektif maupun yang objektif, baik perasaan-perasaan internal manusia
maupun perasaan yang muncul secara konkret yang muncul dari persentuhan dengan dunia
material. Setiap orang memiliki pengetahuan pra-reflektif di dalam diri mereka. Pengetahuan
pra-reflektif adalah pengetahuan yang muncul dari pengalaman langsung, dan tidak diolah
dulu menjadi sebuah konsep. Persepsi tidaklah ditentukan oleh tubuh, melainkan bersamaan
dengan tubuh menyentuh dunia. Maka persepsi tidaklah bisa dilepaskan dari tubuh. Struktur
persepsi adalah struktur dari tubuh. “Tubuhku”, demikian tulis Merleau-Ponty, “adalah sudut
pandangku kepada dunia” (Carman, 2008: 81). Penulis menggunakan analisis fenomenologi
tubuh Merleau-Ponty ini untuk memberi contoh bagaimana suatu landasan ontologi keilmuan
dikonstruksikan dari pemikiran filosofis tertentu.
Kata kunci yang penting dalam konteks bermain, adalah pengetahuan pra-reflektif,
yang sekali lagi, muncul melalui persentuhan tubuh dengan dunia. Apa, bagaimana, mengapa,
dan mungkin juga kapan dan di mana-nya permainan yang dilakukan, sama dengan aktivitas-
aktivitas lain, mampu menumbuhkan pengetahuan pra-reflektif manusia. Kebanyakan
aktivitas manusia, termasuk dalam bermain (dan bahkan dalam kompetisi olahraga
sekalipun), di dominasi oleh ketidaksadaran tentang tubuhnya. Itu alami. Fokus, strategi, dan
berbagai hal lain memungkinkan dominasi itu, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk
mengelola pengalaman yang muncul dari aktivitas itu ke dalam konsep pemikiran
(mengindera, mengingat, menandai, dan berbagai peristiwa mental lain). Saat itu, yang
muncul adalah pengetahuan pra-reflektif yang muncul bersama dengan aktivitas bermain
(bukan sebelum atau sesudah).
Pengetahuan pra-reflektif ini bisa tertransformasi ke pengetahuan reflektif ketika
direfleksi. Pada titik inilah, perlakuan dimungkinkan. Refleksi ini sendiri, didahului oleh
adanya seperangkat konsep, yang dulunya juga sangat mungkin pra-reflektif (kecuali
misalnya konsep dari yang diajarkan atau didapat dari belajar sesuatu – buku atau
pengalaman sebelumnya).
Diandaikan suatu permainan pertama kali dilakukan antara dua atau lebih manusia
purba sedang berlangsung. Biasanya, permainan selain ada pemainnya, juga ada aturan main.
Namun dalam kasus pengandaian itu, semua terjadi secara tidak terkonsep sebelumnya.
Mereka asyik bermain (pengetahuan pra-reflektif) dan mulai menemukan (pengetahuan
reflektif) ritme dan pola permainan. Di akhir sesi permainan itu, masing-masing pemain baik
secara mandiri maupun terpimpin sudah memiliki “konsep” tentang permainan tersebut.
Ketika bermain lagi – dan lagi - dengan permainan yang sama, maka “konsep” itupun
terpadukan dan terasah. Aturan mainpun muncul.
Bisa dicermati bahwa pengetahuan pra-reflektif yang muncul bersama dengan tubuh
saat bermain (saat menyentuh dunia), lambat atau cepat mengkristal menjadi pengetahuan
reflektif yang memungkinkan munculnya serangkaian proses konseptualisasi. Belum lagi jika
proses tersebut diintervensi dengan bermacam perlakuan (pembelajaran atau iming-iming
tertentu) yang memungkinkan subjek lebih teratur dan optimal dalam bermain/beraktivitas.
Melalui analogi sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu
pemahaman bahwa dengan bermain, persepsi terhadap dunia bersama-sama dengan tubuh
bisa lebih diaktualiasi dan dimaksimalkan berbagai potensi yang ada, baik tubuh, mental,
batin, perasaan, pemikiran, sosial, dan bahkan spiritual. Sesuai amanat undang-undang
sebagaimana tersebut di atas, pemaksimalan aktualisasi potensi melalui permainan (bisa
dianggap sebagai olahraga rakyat – dari jargon sport for all di Indonesia pada tahun 1983),
dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat melalui lembaga yang ada. Hal ini
dilakukan dapat melalui pengembangan ilmu keolahragaan dengan berbagai bidang teori dan
temanya, yang mengangkat tubuh tidak sebatas sebagai media/sarana/cara aktualisasi diri,
namun sebagai subjek/diri, dengannya dunia disentuh dan dialami secara bijaksana.

b. Olahraga (Sport)
Istilah olahraga yang digunakan disini merupakan istilah generik, sehingga
pengetahuannya tidak terbatas pada pengertian sempit olahraga prestasi-kompetitif-elit untuk
sementara olahragawan yang pelaksanaannya dikelola secara formal seperti lazim dijumpai
pada cabang-cabang olahraga resmi, tetapi juga jenis-jenis aktivitas jasmani lainnya yang
bersifat informal. Makna istilah olahraga memang selalu berubah sepanjang waktu, namun
esensi pengertiannya mengandung tiga unsur pokok: bermain, latihan fisik, dan kompetisi.
Dalam “Declaration of Sport”, UNESCO mendefinisikan olahraga berikut ini, yang
menyiratkan betapa luas kemungkinan cakupan makna olahraga:
Olahraga adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan
melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri (Pramono, 2003: 24).

Rusli dan Sumardianto mengungkap definisi lain yang dirumuskan oleh Dewan Eropa pada
tahun 1980 yang berbunyi “Olahraga sebagai aktivitas spontan, bebas, dan dilaksanakan
selama waktu luang” sebagai interpretasi yang bersifat umum yang kemudian digunakan
sebagai dasar bagi sport for all – olahraga masal - yang pertama kali dijargonkan oleh pendiri
Olimpiade Modern, Barron Pierre de Coubertin yang dimulai di Eropa tahun 1966. Indonesia
27 tahun kemudian mencanangkan panji olahraga “memasyarakatkan olahraga dan
mengolahragakan masyarakat” (Pramono, 2003: 25).
Bab 3 memberikan sedikit latar sejarah bagaimana para pemikir dan budaya yang
melingkupinya terhubung dengan pemuasan hasrat tertinggi “yang utama” bagi manusia:
sejak dari keutamaan berdasarkan kepuasan ragawi, hingga kepuasaan rohani. Manusia
menuntut terpenuhinya tuntutan kebutuhan mulai dari yang paling mendasar hingga
puncaknya. Piramida motivasional Maslow dalam rangka kebutuhan hidup, baik pada D-
Need (Deficite Need) maupun B-Need (Being Need), bisa memberikan landasan riset
pengembangan humanistik untuk tema pemenuhan pemuasan ini (Maslow, dkk, 1970: 2-4).
Olahraga bisa dikatakan “sangat kental” korelasinya dengan lima kebutuhan berjenjang
Maslow. Kebutuhan fisiologis dihubungkan pemenuhannya dengan sistem metabolisme,
respirasi dan sebagainya sebagai konsekuensi pengaktifan gerak olahraga. Kebutuhan rasa
aman dihubungan pemenuhannya dengan rasa aman fisik dan emosional dari
ketakutan/kerugian akibat sakit atau lemah. Kebutuhan sosial terutama berhubungan dengan
perasaan diterima-baik, atau rasa memiliki dan dimiliki. Olahraga menyediakan pemenuhan
terhadap kebutuhan sosial itu. Olahraga juga menyediakan serangkaian situasi dan kondisi
yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan penghargaan internal maupun eksternal.
Kebutuhan aktualisasi diri yang mewujud dalam bentuk “menjadi apa saja menurut
keinginan”, terpenuhi melalui kegiatan olahraga, khususnya olahraga elit/prestasi. Empat
kebutuhan yang pertama, adalah Deficite Need, sedangkan yang terakhir adalah Being Need.
Keduanya dibedakan dari karakter “terus menerus membutuhkan” (B-Need) atau tidak (D-
Need). Penelitian untuk menjustifikasi hal-hal ini memang masih perlu dieksplorasi,
khususnya dalam hal ini terkait dengan filsafat yang mendorong (memotivasi) pemuasan
terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, D-need maupun B-Need.
Pemuasan hasrat “yang utama” ini pada gilirannya memberikan pemaknaan hakiki
terhadap “who we are” dan “how we change”, dengan itu manusia mampu mengukur
identitas kultural dalam upaya keterukuran sebab musabab dan pengaruh dari perubahan yang
bisa dilakukan. Dalam khazanah filsafat konstruksionis humanis, hal ini dikenal sebagai
culturometric (Boufoy-Bastick, 2014: 2).
Berbagai definisi yang sudah ada tentang olahraga, bagaimanapun harus dilandasi suatu
argumentasi yang konsisten. Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral dan natural,
namun masyarakatlah yang kemudian membentuk dan memberi arti terhadapnya.
Sebenarnya, karena karakteristik olahraga semakin kompleks, selain mengandung muatan
bio-psiko-sosio-kutural-antropologis dan juga teknologis (techno-sport) serta respon
lingkungan (eco-sport), maka amat sukar menetapkan sebuah batasan. Namun demikian
dapat diidentifikasi ciri yang bersifat umum (common denominator) sebagai berikut:
1. olahraga merupakan subsistem dari bermain: pelaksanaan secara sukareka tanpa paksaan;
2. olahraga berorientasi pada dimensi fisikal: kegiatan itu merupakan peragaan keterampilan
fisik;
3. olahraga merupakan kegiatan riil, bukan ilusi atau imajinasi;
4. olahraga, terutama olahraga kompetitif, menekankan aspek performa dan prestasi
sehingga di dalamnya terlibat unsur perjuangan, kesungguhan, dan faktor surprise sebagai
lawan dari faktor untung-untungan sehingga performa itu dicapai melalui usaha pribadi;
5. olahraga berlangsung dalam suasana hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan, bukan
membangkitkan naluri rendah, bahkan justru membangun solidaritas;
6. olahraga harus bermuara pada upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan total
(wellness) (KDI Keolahragaan, dalam Pramono, 2003: 25-26).
Ciri pertama, sudah dibahas di bagian sebelumnya (tentang “bermain”), termasuk
bagaimana konsep tubuh-subjek memasuki inti fundamen pengembangan ilmu keolahragaan
melalui permainan tersebut. Konsep hiburan (entertainment) yang menjadi salah satu
penanda objek formal ilmu keolahragaan, berasal dari ciri pertama ini. Permainan secara
terminologis haruslah menghibur, baik bagi pemain maupun penonton. Kekhawatiran
terhadap melunturnya makna disportare sebagai asal kata sport yang berarti senang-senang,
bisa dimaklumi khususnya di olahraga prestasi, mengingat iming-iming kompetitif yang
menarik idealitas ke arah pragmatisme yang membombardir bertubi-tubi seiring
kecemerlangan atlit.
Peragaan keterampilan tubuh yang pada gilirannya juga memperagakan preferensi
penghargaan terhadap tubuh antara mengobjektivikasi atau mensubjektivikasikannya.
Apabila dilanjutkan urutan logisnya, anggapan fenomenologi ontologis atau eksistensial
terhadap tubuh yang selalu siap ditonton ini, melahirkan juga preferensi-preferensi nilai
moral. Olahraga, dengan cara tertentu, melahirkan identitas diri pribadi. Inilah tantangan ciri
kedua olahraga (tentang keterampilan fisik).
Kebertubuhan yang mewakili pengalaman mental dan fisis dari eksistensi tubuh,
menemukan kebermaknaan puncaknya dalam olahraga. Olahraga memperagakan
keterampilan tubuh: daya tahan, kelentukan, daya ledak, kekuatan, dan lain-lain. Apabila
disodorkan kepada penganut dualisme cartesian, maka barangkali olahraga kompetitif
sekarang ini, merupakan lokus ternyaman bagi persemaian paradigma mereka. John B.
Watson, menegaskan bahwa “tubuh manusia… bukan …misteri, melainkan sejenis mesin
organik yang sangat umum”. Idiom provokatif “tubuh adalah segalanya” mencengkeram
berbagai segi kemanusiaan kontemporer, terutama olahraga. Namun dengan merujuk pada
Karl Marx dan Engels, maka pasca titik akhir usia penampilan puncaknya, tubuh (atlit)
merupakan aset yang dapat dibuang begitu saja (Synnott, 2003: 50-51).
Ilmu keolahragaan dengan demikian patut (selalu) mewaspadai adanya hidden
philosophy keliru bahwa di usia puncak keatlitannya, maka seolah-olah atlit memaksa dan
dipaksa untuk terampil dalam mengelola tubuhnya, dengan mengorbankan masa depan
tubuhnya. Penggunaan doping yang semakin canggih, adalah salah satu tantangannya.
Konsep kecerdasan kinestetik (disiplin psikologi olahraga), perlu dikembangkan dalam
rangka menanggulangi perlakuan subjek yang mengobjektifikasi tubuhnya sedemikian itu.
Pendek kata, bagaimana melalui kecerdasan kinestetik tersebut, atlit kemudian merefleksikan
dirinya sebagai jiwa dan tubuh, dan berjuang secara kompetitif dan sehat dalam setiap latihan
maupun pertandingannya.
Menurut Merleau-Ponty, tubuh manusia bukanlah sesuatu yang imaterial, melainkan
justru sebaliknya, tubuh manusia adalah suatu realitas otonom yang memang keberadaannya
selalu berada dalam kaitan dengan pikiran, subjek, dan dunia. Sebagai realitas otonom, maka
tubuh memiliki hak-hak yang tidak bisa begitu saja dikalahkan oleh kepentingan kemenangan
dengan reward dan punishment yang dihadapkan padanya. Dalam tata hiraki kebutuhan dari
Abraham Maslow, hak-hak tubuh ini – secara biologis - ada di urutan terbawah piramida
kebutuhan manusia, namun ini harus dimaknai sebagai kebutuhan yang dipenuhi dalam
rangka mencapai urutan kebutuhan lebih tinggi - aktualisasi diri, tanpa meninggalkan
kebutuhan dibawahnya. Penjelasan tentang pemenuhan kebutuhan yang mengerucut pada
filsafat konstruksionis humanis culturometrik di beberapa paragraf sebelum ini,
mengilustrasikian suatu ekuilibrium kebutuhan yang pemenuhannya harus tepat dan
bijaksana.
Ciri ketiga, olahraga merupakan kegiatan riil, bukan ilusi atau imajinasi. Dalam hal ini,
Merleau-Ponty memiliki satu konsep yang memiliki ciri paradoks, yakni bahwa suatu konsep
ada yang bersifat tergantung pada manusia, sekaligus merupakan entitas pada dirinya sendiri.
Dari segi orang yang melakukan aktivitas olahraga, gerak tubuhnya adalah sesuatu yang
bergantung pada dia (berarti juga bergantung pada tubuhnya yang bergerak itu), sekaligus
otonom di luar dirinya. Oleh karena gerak tubuh olahraga itu harus riil, maka ilmu
keolahragaan bisa diklasifikasikan sebagai dominan ilmu alam. Basic science dari ilmu
keolahragaan adalah ilmu alam (natural science), tanpa menutup fakta bahwa gerak tubuh riil
itu bisa dianalis konteksnya yang juga berorientasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dengan
demikian bukan berarti penulis mengkategorisasi ilmu alam sebagai riil, yang lain ilusi atau
imajinasi. Akan tetapi, lebih tepatnya kegiatan riil dalam gerak tubuh olahraga ini dimaknai
sebagai bukan sekedar peristiwa mental yang menampak sebagai peristiwa riil, bisa dialami
oleh orang di luar (yang sedang tidak melakukan kegiatan olahraga ini), namun sungguh-
sungguh “menyediakan keterukuran”, sehingga berdasarkan karakteristiknya gerak tubuh
secara nyata lebih banyak membutuhkan kajian ilmu-ilmu alam.
Atlit sekarang bukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya menjadi
manusia, tetapi sekadar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari penonton yang
pujian-pujiannya menjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri (teralienasi - dalam bahasa
patologi sosialnya Erich Fromm). Dari tontonan kompetitif seperti ini, tak ada artinya “aturan
urutan juara”: kemenangan dibeli dan dibayarkan, olahraga sebagai tontonan, dan ini secara
esensial berarti bicara tentang hidup yang tak dialami sendiri. Kalimat di atas merupakan
sarkasme terhadap ulasan negatif ciri keempat. Perlakuan terhadap tubuh, adalah identik
dengan perlakuan terhadap diri, karena bagi Merleau-Ponty tubuh manusia adalah suatu
realitas otonom yang memang keberadaannya selalu berada dalam kaitan dengan pikiran,
subjek, dan dunia.
Ciri kelima juga dijelaskan dengan inti yang sama. Istilah persepsi yang begitu
mengental dalam sejarah filsafat sebagai hasil produksi pemikiran Merleau-Ponty, meliputi
seluruh hubungan manusia dengan dunia, khususnya pada taraf inderawi. Dengan demikian
istilah ini secara langsung berkaitan dengan tema-tema lain yang sangat penting dalam
filsafat modern: dunia, tubuh, makna, dan intersubjektivitas (Bertens, 2001: 137). Persepsi
yang terjadi bersamaan munculnya pengalaman pra-reflektif ini, memperoleh nilai sosialnya
ketika berhadapan dengan lingkungan dalam interaksi langsung dan tak langsung. Persepsi
pada makna hakikinya adalah netral, namun akan menghasilkan nilai positif atau negatif
berdasarkan standar tertentu melalui sintesis dan refleksinya terhadap yang-ada yang
dipersepsinya.
Persepsi manusia akan dunia bukanlah persepsi terlepas tanpa konteks, melainkan suatu
fenomena menubuh (bodily phenomenon). Persepsi selalu terjadi dalam suatu konteks.
Persepsi bukanlah sesuatu yang bersifat privat. Tubuh juga bukan hanya sesuatu yang murni
material. Persepsi adalah semacam titik tengah antara pengalaman subjektif internal di satu
sisi, dan fakta-fakta objektif eksternal di sisi lain. Demikian Merleau-Ponty mengisyaratkan
konsepsinya yang bernada ambiguitas itu.
Kesehatan total sebagai ciri olahraga keenam, bisa diartikan secara negatif sebagai
tidak adanya kekurangsehatan apalagi ketidaksehatan. Hal ini berarti, persepsiku terhadap
sehat atau tidaknya aku, bergantung pada pengalaman subjektif internal tentang kondisi tubuh
dalam diriku (serta dalam hubungannya dengan kondisi di luar tubuhku – tapi masih di
wilayah pengalamanku, misalnya situasi hubungan sosial atau kemampuan mental-batiniah),
dan fakta-fakta objektif eksternal yang menstandarisasikan konsep sehat atau tidak sehat.
Refleksi terhadap hal ini adalah bahwa kemampuan menjelaskan, mengendalikan, dan
meramalkan sebagai tiga fungsi ilmu, termasuk ilmu keolahragaan, harus melekat pada
bidang-bidang teori dan tema ilmu keolahragaan untuk memberikan pemaknaan yang tepat
dalam menghadapi apa yang sedang dan kemungkinan akan terjadi di wilayah ilmu
keolahragaan. Kesehatan adalah salah satu muara operasionalitas fungsi ilmu keolahragaan
tersebut.
Refleksi lain dari ciri olahraga ini adalah bahwa konsepsi kesadaran tubuh (body
awareness) perlu diperhatikan sebagai upaya harmonisasi manusia dan alam untuk
memperoleh taraf kesehatan yang memuaskan. Melalui olahraga, seseorang mencapai
kemampuan “memantau keadaan di dalam tubuhnya” yang berarti ia mampu memahami
pesan-pesan dari organ tubuhnya. Kondisi ini sering disebut bio feedback yang
mengetengahkan peranan persepsi diri dalam mengembangkan sikap sensitif terhadap
kesehatan diri pribadi.

c. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan


Pendidikan jasmani adalah proses edukasi melalui aktivitas jasmani, bermain dan/atau
olahraga yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. Meskipun
orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan
pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif
sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup
pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan,
dalam Pramono, 2003: 26).
Perlu ditegaskan bahwa pendidikan jasmani pengertiannya bukan pendidikan terhadap
jasmani, tetapi pendidikan melalui jasmani. Secara definitif, Sukintaka menterjemahkannya
sebagai berikut.
…proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani
yang dikelola secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya (Pramono,
2003: 26).

Istilah “pendidikan jasmani” berhubungan erat dengan isi konsep istilah “olahraga
pendidikan” yang didefinisikan sebagai pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan
sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh
pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani (UU RI No. 3 Th.
2005 Bab 1 Pasal 1 ayat 11).
Pendidikan kesehatan adalah proses pembinaan pola atau gaya hidup sehat sebagai
keterpaduan pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku nyata. Tujuan yang ingin dicapai adalah
kesehatan total, bukan dalam pengertian bebas dari cacat, tetapi sehat fisik, mental, dan
sosial, seperti tercakup dalam konsep wellness. Antara sakit dan sehat bukan sebagai sebuah
dikotomi, tetapi sehat bergerak dalam gerak kontinuum, sehingga fungsi dari pendidikan
kesehatan adalah untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan seseorang (KDI
Keolahragaan, dalam Pramono, 2003: 27). Bahasan kritis tentang pendidikan kesehatan ini
bisa dilihat di paparan tentang ciri olahraga keenam pada pembahasan tentang olahraga di
poin b di atas.
Pendidikan melalui jasmani sebagaimana dikemukakan di atas, secara tepat
menggambarkan konsep subjektivitas tubuh, namun dalam kerangka yang jauh lebih luas.
Pendidikan melalui jasmani bagi fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, tak sekedar dihayati
secara sempit dalam hal olahraga, namun setiap pengalaman darinya persepsi, dunia, dan
tubuhku tumpang tindih, niscaya diterima tidak hanya oleh pikiranku tetapi juga oleh
tubuhku. Melalui pikiranku, juga melalui tubuhku, karena bagi tubuh-subjek Merleau-Ponty,
aku adalah pikiranku, dan sekaligus aku adalah tubuhku. Sebagai konsekuensi praktisnya,
pendidikan melalui tubuh/jasmani, berarti sama maknanya dengan pendidikan melalui
pikiran/jiwa. Ini berlangsung resiprokal. Pendidikan (atau pengetahuan) melalui pikiran/jiwa,
identik dengan pendidikan melalui tubuh. Kedua ungkapan resiprokal ini hanya perlu diberi
catatan bahwa “tugas” untuk setiap jenis pengetahuan/pengalaman sudah dibedakan secara
anatomis-fisiologis (misalnya suara didengar telinga, ingatan disimpan otak).
Konsep dasar itulah yang melandasi pemahaman para pemangku profesi pendidikan
jasmani dan olahraga bahwa pengalaman yang disediakan melalui kedua kegiatan yang tak
terpisahkan itu sangat potensial untuk mendidik seseorang. Bahkan akhir-akhir ini, pihak
PBB memposisikan olahraga sebagai alat bagi pembangunan dan perdamaian; pendidikan
jasmani dan olahraga merupakan “school of life” yang efektif (Lutan, 2008, dalam
http://por.sps.upi.edu/?p=49).
Penerimaan informasi pengetahuan apapun, termasuk dalam aktivitas fisik, dikelola
oleh aku yang sekaligus jiwa dan tubuh. Ilmu keolahragaan, dengan demikian menjadi salah
satu disiplin ilmu yang tugasnya memperkuat, mengasah, mempertajam kemampuan-
kemampuan penerima informasi itu melalui berbagai disiplin ilmu/teori di dalam cakupannya
(misalnya biomekanika olahraga, psikologi olahraga, massase).
d. Rekreasi
Translasi dalam Bahasa Indonesia yang mendekati tepat terhadap istilah rekreasi, adalah
pemulihan (bukan “penciptaan kembali”). Dalam KBBI online, rekreasi didefinisikan sebagai
“penyegaran kembali badan dan pikiran, sesuatu yang menggembirakan hati dan
menyegarkan seperti hiburan, piknik” (kbbi.web.id/rekreasi). Intinya adalah kegiatan untuk
keseimbangan dinamis sebagai ciri yang melekat dalam diri manusia, yakni kemampuan
adaptif dan homeostatis.
Rekreasi adalah satu bentuk kegiatan suka rela dalam waktu luang, jadi bukan aktivitas
survival, yang diarahkan terutama dalam bentuk rekreasi aktif berupa aktivitas jasmani atau
kegiatan berolahraga. Pelaksanaannya harus sesuai dengan norma dan etika masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai mencakup aspek pemulihan kelelahan, relaksasi, atau penanganan
stress untuk menggairahkan hidup agar lebih produktif melalui relativitas energi dalam
suasana kehidupan yang riang, tanpa tekanan dan merasa bahagia, di samping memperoleh
pengakuan dari lingkungan sekitar melalui jalinan hubungan sosial (KDI Keolahragaan,
dalam Pramono, 2003: 28).
Berkaitan dengan konsep rekreasi, pendidikan rekreasi adalah pendidikan untuk
membentuk sikap rekreasi aktif, jadi rekreasi melalui aktivitas jasmani dan/atau kegiatan di
alam terbuka. Dengan demikian rekreasi dipandang sebagai kesempatan untuk menyatakan
spontanitas dan kreativitas, dan karena itu berfungsi dalam pengembangan kepribadian.
Persepsi manusia memiliki dua aspek, yakni aktif dan pasif. Pasif berarti persepsi
merupakan bagian dari organ yang menerima informasi dari pengalaman inderawi. Aktif
berarti persepsi merupakan bagian dari aktivitas tubuh manusia yang mendunia. Persepsi,
menurut Merleau-Ponty (1962: 68), adalah dasar atau fondasi bagi pengalaman manusia, baik
yang subjektif maupun yang objektif, baik perasaan-perasaan internal maupun perasaan yang
muncul secara konkret yang muncul dari persentuhan dengan dunia material.
Pemulihan daya produktivitas melalui rekreasi aktif, lebih melibatkan persepsi aktif.
Oleh karena pengalaman manusia itu bisa berasal dari rekreasi pasif juga, maka sebenarnya
persepsi aktif juga bekerja di kegiatan rekreasi pasif, namun kadarnya tidak lebih besar
dibandingkan ketika rekreasi aktif. Oleh karena itu, pengelolaan pendidikan rekreasi sejak
dari penataan kurikulum, pembuatan silabus, hingga variasi pola aplikasi lapangan dari ilmu-
ilmu pendukung pendidikan rekreasi ini, sangat penting diperhatikan.
Peterson (1989: 21) menganggap ada suatu dilema dalam pendekatan-pendekatan
filsafat terhadap permasalahan rekreasi, khususnya therapeutic recreation. Meskipun
demikian penulis berpendapat bahwa filsafat tidak selalu berorientasi pada solusi atau
resolusi terhadap berbagai permasalahan yang menjadi objek kajiannya, sebagaimana dilema
dalam filsafat rekreasi yang disebutkan Peterson. Filsafat pada dirinya sendiri sangat
mengunggulkan karakter “pencarian radikal (mengakar), sedalam-dalamnya, terkait objek
material yang dikaji”, atau dengan satu kata, sudut pandang filsafat adalah hakikat.

e. Tari
Cukup banyak ditemukan naskah online filsafat tari (philosophy of dance) dengan
berbagai variannya. Dalam tulisannya yang merupakan kelanjutan dari disertasi doktoralnya,
Shapiro (2005: xvii) mengangkat tema tubuh dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan
pedagogi, seni, dan perubahan sosial-politik. Gugatan keterasingan (alienation) Shapiro
terhadap cara pandangnya sendiri sebagai penari saat ditanya salah satu profesor penguji
disertasinya: “apa yang kamu pikirkan tentang tubuhmu?”, Shapiro menjawab lugas: “kami
pedansa tidak memikirkan tubuh kami sendiri”. Keterasingan terhadap tubuh inilah yang
kemudian memicunya untuk mengeksplorasi pedagogi dan politik tubuh dalam arti praksis-
kritis. Persoalan pendidikan tari juga bisa didekati secara kefilsafatan, trmasuk di dalamnya
persoalan kurikulum, pola pembelajaran, dan sebagainya. Salah satu karakter yang
melegenda dalam pembahasan tentang filsafat tari terhadap mistisisme kearifan Timur,
adalah Dewa Syiwa (Lord Shiva), di mana tariannya sekaligus menjadi penjamin
keberlangsungan alam semesta. Frithjof Capra (2001: 282) menghubungkan “tarian syiwa”
ini dengan paralelitasnya terhadap fenomena temuan mutakhir ilmu alam bahwa alam selalu
bergerak. Dihubungan dengan olahraga, tari tentu lebih kental dimensi estetikanya, dan ini
yang dibahas di bagian berikut.
Apakah tari masuk ke dalam jenis olahraga? Bentuk keterampilan yang diperagakan
penari memang bertumpu pada kualitas fisik yang prima, termasuk kesadaran tubuh,
kinestetika, kesadaran ruang, dan tempo. Dalam arti ini, tari adalah olahraga mengingat gerak
tubuh yang masih tercakup di bidang olahraga, meskipun pola respon sebagai ekspresi seni
terbatas pada gerak objektif. Bila dilihat dari aspek peragaan keterampilan yang memerlukan
kualitas kondisi fisik prima, tari menunjukkan fenomena peragaan keterampilan ketangkasan,
sehingga dari pengungkapan keterampilan gerak ia masuk ke tapal batas kegiatan olahraga.
Namun aktivitas jasmani tersebut lebih bernuansa persyaratan seni atau faktor estetika,
meskipun tidak bisa dibantah bahwa dalam berolahraga banyak dijumpai unsur-unsur seni
dan keindahan (KDI Keolahragaan, dalam Pramono, 2003: 28).
Sisi estetika olahraga, tentu saja penting maknanya, tidak hanya bagi aku (yang
berolahraga), namun juga bagi dunia, khususnya “aku-yang-lain”. Dunia-bagi-aku selalu
“hamil” dengan bentuk, struktur, dan makna. Dikotomi fakta/esensi abstraksi aposteriori dari
kebermaknaan, mengarahkan penegasan Merleau-Ponty bahwa dunia ini bermakna terhadap
tubuh dan tubuh terhadap dunia. Bidang tema ilmu keolahragaan seperti fasilitas olahraga,
teknologi olahraga, dan semacamnya yang berorientasi pada tata estetika kegiatan olahraga,
penting dikembangkan secara tepat dalam rangka “kelahiran” bentuk, struktur, dan makna
yang menjadi inspirasi inovatif kreatif, maupun feedback gerak tubuh olahraga yang lebih
sempurna dalam proses maupun outputnya, yang pada gilirannya diarahkan dalam rangka
pencapaian tujuan keolahragaan nasional sebagaimana diamanatkan UU No. 3 tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai