Anda di halaman 1dari 9

LANDASAN ILMU PSIKOLOGI

(Ditinjau dari aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)

DWIEN ANUGRAHENI
1522100007
Mapro Psikologi-Universitas 17 Agustus Surabaya
dwien_s2@untag-sby.ac.id

Pendahuluan
Ditinjau dari asal katanya, “psikologi” berasal dari bahasa yunani psyche yang berarti
jiwa dan logos yang berarti kata. Makna psikologi secara bebas adalah ilmu yang mempelajai
segala hal yang berkaitan dengan proses mental atau jiwa”. Tetapi dalam sejarah
perkembangannya arti psikologi lebih dipahami sebagai suatu ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia, ini disebabkan karena jiwa, yang semula menjadi pokok bahasan
dalam ilmu psikologi, mengandung unsur-unsur yang bersifat abstrak sehingga sukar
dipelajari secara objektif. Seiring dengan merebaknya pandangan-pandangan empiris yang
didukung oleh riset-riset ilmiah, ilmu psikologi juga melahirkan pendekatan-pendekatan
yang berdasar pada penelitian-penelitian ilmiah hal ini berarti bahwa psikologi merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian yang dijalankan secara, sistematis,
terkontrol dan berdasarkan data empirik.
Psikologi -seperti juga ilmu-ilmu lainnya- adalah pecahan dari filsafat, dimana di
dalam filsafat sendiri juga bisa ditemukan refleksi yang mendalam mengenai konsep jiwa
dan juga perilaku manusia. Refleksi-refleksi inilah yang nantinya bisa ditemukan dalam teks
kuno filsafat atau teks filsafat modern. Dengan mempelajari tentang ini, maka psikolog bisa
semakin paham tentang akar historis dari ilmu yang mereka miliki dan juga tentang
perdebatan yang sedang terjadi didalamnya. Filsafat sebagai induk dari psikologi berfungsi
dalam memberikan kerangka berpikir yang sistematis, logis sekaligus rasional untuk para
psikolog baik praktisi dan juga akademisi. Dengan kata lain, filsafat akan membawa kepada
suatu pemahaman atau logika berpikir. Dengan menggunakan ilmu logika yang menjadi
salah satu cabang filsafat, para ilmuwan dan praktisi psikologi akan dibekali dengan
kerangka berpikir yang bisa digunakan dalam penelitian ataupun pekerjaan mereka. Semua
ilmu pengetahuan dibangun atas dasar logika begitu juga dengan psikologi.
  Di dalam lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan (sistematika filsafat),
dikemukakan bahwa tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang
penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan ”apa”,
epistemologi menjelaskan pertanyaan ”bagaimana”, dan selanjutnya aksiologi menjelaskan
pertanyaan ”untuk apa”
Oleh karena itu untuk menambah pemahaman tentang dasar-dasar keilmuan
psikologi, maka dalam makalah ini akan dijabarkan landasan ilmu psikologi melalui
sistematika filsafat tersebut. Di dalam sistematika filsafat secara garis besar ada tiga
dimensi pembahasan pokok guna memberikan pemahaman akan landasan ilmu psikologi,
yaitu : (1) secara ontologi (2) secara epistemologi dan (3) secara aksiologi

Psikologi Sebagai Suatu Ilmu


Psikologi sebagai suatu ilmu memiliki tugas-tugas atau fungsi-fungsi tertentu seperti
ilmu-ilmu pada umumnya. Adapun tugas psikologi adalah sebagai berikut :
a) Mengadakan deskripsi, yaitu tugas untuk menggambarkan secara jelas hal-
hal yang dipersoalkan atau dibicarakan.
b) Menerangkan yaitu tugas untuk menerangkan keadaan atau kondisi-kondisi
yang mendasari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.
c) Menyusun teori yaitu tugas mencari dan merumuskan hukumhukum atau
ketentuan-ketentuan mengenai hubungan antara peristiwa satu dengan
peristiwa lain atau kondisi satu dengan yang lain.
d) Prediksi yaitu tugas untuk membuat ramalan (prediksi) atau estimasi
mngenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi atau gejala-
gejala yang akan muncul.
e) Pengendalian yaitu tugas untuk mengendalikan atau mengatur peristiwa-
peristiwa atau gejala.
Psikologi merupakan suatu ilmu, maka dengan sendirinya psikologi memiliki ciri-ciri
atau sifat-sifat seperti ilmu-ilmu yang lain. Berkaitan dengan hal tersebut, maka psikologi
memiliki:
1) Object (sasaran kajian) tertentu
2) Metode pendekatan atau penelitian tertentu.
3) Sistematis yang teratur sebagai hasil pendekatan terhadap object-nya
4) Memiliki riwayat atau sejarah perkembangan tertentu
Object atau sasaran kajian tertentu merupakan syarat mutlak dalam suatu ilmu, karena
justru object itulah yang akan menentukan langkah-langkah lebih lanjut dalam rangka
pembicaraan, pembahasan dan penelitian-penelitian dalam perkembangan ilmu yang
bersangkutan. Tanpa adanya object tertentu dapat diyakinkan tidak akan adanya
pembahasan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan. Suatu ilmu dapat
dibedakan adanya object material (bersifat umum) dan object formal (bersifat
khusus/specifik). Objek material merupakan “materi” yang menjadi kajian dari suatu ilmu
sedangkan objek formal merupakan “sudut pandang” dalam mengkaji materi tersebut.
Beberapa ilmu dapat memiliki object material yang sama, tetapi tidak mungkin akan
memiliki object formal sama, maka ilmu itu merupakan ilmu yang kembar, karena untuk
dapat membedakan satu ilmu dengan ilmu yang lain terletak pada segi object formalnya.
Object formal dari suatu ilmu tercermin dalam difinisi atau batasan dari ilmu yang
bersangkutan.
Psikologi sebagai suatu ilmu memiliki object material yaitu manusia, sedangkan
object formal-nya adalah jiwa sesuai dengan asal katanya, psyche. Jiwa sebagai sasaran
kajian ilmu psikologi, banyak menuai kritik karena sifatnya yang abstrak. Alasan tentang
keharusan bahwa objek kajian suatu ilmu haruslah bisa diamati, dicatat, dan diukur
sangatlah dipahami karena saat itu berkembang pesat ilmu alam. Para ilmuwan psikologi
seperti Wilhelm Wundt (1832-1920) yang merupakan seorang dokter, filsuf sekaligus ahli
fisika mencoba untuk menterjemahkan jiwa sebagai objek kajian. Hal tersebut ia lakukan
dengan melakukan eksperimen-eksperimen terkait proses-proses kesadaran berupa
penginderaan dan perasaan. Sampailah kemudian tahun 1897 Wundt bersama murid-
muridnya mendirikan laboratoriaum psikologi pertama di Leipzig, Jerman. Peristiwa tersebut
yang selanjutnya dijadikan tonggak berdirinya ilmu psikologi. Dalam sejarah
perkembangannya, salah satu tokoh psikologi yaitu J.B Watson (1878-1958), ia menjawab
tuntutan bahwa  objek kajian suatu ilmu haruslah bisa diamati, dicatat, dan diukur dengan
memandang psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku karena perilaku bisa diamati,
dicatat, dan diukur. Tampak sampai dengan sekarang, psikologi lebih kental dengan definisi
dari J.B Watson, yaitu ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan perilaku tersebut
dipandang sebagai manifestasi dari kondisi kejiwaan.
Dengan memahami objek material dan objek formal dari ilmu psikologi kita dengan
jelas bisa mengetahui letak psikologi diantara ilmu-ilmu humaniora lainnya. Psikologi,
anthropologi, arkeologi, sosiologi sama-sama dalam objek materialnya, yaitu manusia,
tetapi objek formalnya berbeda. Secara ringkas, psikologi lebih pada perilaku individu,
sosiologi lebih pada perilaku kaitannya dengan strata sosial, athropologi lebih pada budaya
yang dihasilkan manusia, dan arkeologi lebih pada peninggalan manusia. Dengan adanya
objek material yang sama, tidak menuntut kemungkinan terjadi perluasan kajian yang
kemudian memunculkan cabang-cabang dari ilmu psikologi. Psikologi klinis misalnya
psikologi yang beririsan dengan dengan kedokteran dst.
Selain memahami ilmu psikologi dari object kajiannya, psikologi sebagai unsur dalam
ilmu pengetahuan memiliki landasan yang dijelaskan dalam 3 dimensi yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi

Dimensi Ontologi Ilmu Psikologi


Kata ontologi berasal dari perkataan yunani, yaitu Ontos: being, dan Logos:logic.
Jadi, ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan) atau ilmu tentang yang ada. Ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika
yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi mengkaji sesuai
yang ada, sepanjang sesuatu itu ada. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Faham
ontologi yang pada akhirnya menentukan bahwa keyakinan mengenai apa dan bagaimana
yang ada merupakan manifestasi dari kebenaran yang kita cari.
Dimensi ontologi dari ilmu psikologi, menekankan bahwa hanya mengakui sesuatu
sebagai nyata, fakta dan benar bila sesuatu itu berwujud, serta dapat diamati dengan indera
kita. Dimensi ini menolak segala sesuatu yang dinyatakan sebagai fakta tetapi tidak dapat
diamati oleh siapapun. Sesuatu akan diterima sebagai fakta bila dapat dideskripsikan secara
inderawi.
Melalui dimensi ontologi bisa dipahami bahwa batas ruang lingkup wujud yang
menjadi object penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas pada ilmu psikologi
adalah perilaku, yaitu perilaku manusia. Apa yang di dalam jiwa dan ada di pikiran, bila
tidak dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak dapat ditampilkan dalam gejala yang
teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta, maka tidak dapat diterima sebagai dasar untuk
membuktikan bahwa sesuatu itu benar. Secara ontologis perkembangan psikologi
sebenarnya telah mengalami kemajuan pesat, sehingga sepanjang sejarah
perkembangannya ilmu psikologi muncul aliran-aliran yang mampu menjawab ruang lingkup
obyek yang dipelajarinya, yaitu perilaku.
Ontologi pada psikologi positivisme, misalnya, kajiannya sejalan dengan dasar
pemikiran yang digunakan oleh pendekatan psikologi behavioristik. Pada pendekatan ini,
perilaku merupakan kegiatan organisme yang dapat diamati. Dengan pendekatan perilaku,
seorang ahli psikologi mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya dan bukan
mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Pendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur
subyek tunggal dalam psikologi mulai diungkapkan oleh tokoh-tokoh behavioristik.
Dimensi ontologi dalam psikologi kognitif menekankan pada bagaimana cara
manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya,
bagaimana cara informasi ini disimpan oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan
dengan struktur penyusunan bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan
sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Psikologi kognitif
juga mencakup keseluruhan proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola,
atensi, kesadaran, belajar, memori, formasi konsep, berpikir, imajinasi, bahasa, kecerdasan,
emosi dan bagaimana keseluruhan hal tersebut berubah (meningkat dan menurun)
sepanjang hidup (terkait perkembangan manusia) serta bagaimana proses tersebut
bersilangan dengan berbagai bidang perilaku.
Hakikat manusia dalam psikologi humanistik, dipandang sebagai mahluk yang kreatif
yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihannya sendiri secara genetik dan kodrati.
Perspektif tersebut bisa dipahami dengan dimensi ontologi, bahwa yang menjadi pusat
perhatian dari pendekatan psikologi humanistik adalah manusia dipandang sebagai mahluk
yang memiliki potensi tertinggi, seperti kebutuhan, kehendak, keinginan, pikiran, perasaan,
daya analisis, sintesis, imajinasi, dan aktualisasi diri. Sehingga ia memungkinkan berperan
sebagai self-determining-being yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan yang
paling diinginkannya dan perubahan-perubahan kehidupan yang dikehendakinya. Atas
dasar ciri-ciri tersebut, maka secara ontologi wilayah kajian dan telaah psikologi humanistik
lebih didasarkan pada realitas yang teramati, yang terpikirkan serta hal-hal yang bersifat
batiniah dan spiritual.

Dimensi Epistemologi Ilmu Psikologi


Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” dan “Logos”. “Episteme” berarti
pengetahuan (knowledge), “logos” berarti teori. Dengan demikian, epistemologi secara
etimologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya
ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan
batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistimologi sebagai “it is epistemologi that gives
the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Artinya bahwa
epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya.
Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana dan tata cara menggunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan
epistemologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana
yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman atau kombinasi antara
akal dan pengalaman, institusi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi,
sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti, rasionalisme, empirisme,
kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya,
ditunjukan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologi beserta
tolak ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, pragmatis, dan teori
intersubjektif. Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian yang mengkaji penciptaan
pengetahuan, yang berfokus pada bagaimana pengetahuan diperoleh dan menyelidiki cara
yang paling valid.
Dagobert D. Runes menyebut epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang
mengkaji tentang sumber pengetahuan. Struktur sosial pengetahuan, dan metode-metode,
serta validasi pengetahuan. Jujun S. Sumantri mendefenisikan epistemologi sebagai cara
berpikir manusia dalam menentukan dan mendapatkan ilmu dengan menggunakan berbagai
kemampuan yang tertanam dalam diri seorang seperti kemampuan rasio, indera, dan
intuisi. Persoalan dalam epistemologi adalah bagaimanakah manusia dapat mengetahui
sesuatu? Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? Dan bagaimanakah validitas
pengetahuan itu dapat dinilai? Mengapa sesuatu disebut ilmu? Apa saja lintas batas ilmu
pengetahuan? Dan, bagaimana prosedur untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat
ilmiah? Pertanyaan-pertanyaan itu agaknya yang dapat dijawab dari definisi dari dimensi
epistemologi suatu ilmu yang sudah disebutkan diatas. Psikologi yang telah mencanangkan
dirinya sebagai suatu ilmu pengetahuan, berdiri sendiri dan terpisah dari induknya yaitu
filsafat, harus juga mampu dipahami secara epistemik. Dunia keilmuan di Barat, terutama
ilmu-ilmu alam, banyak dipengaruhi oleh pandangan positivisme. Dimana positivisme
sebagai epistemologi berpendapat bahwa yang positif adalah yang konkret, nyata dan
paham ini sangat mengingkari metafisika (sesuatu yang abstrak). Metode yang digunakan
dalam mencapai ilmu adalah observasi, eksperimen dan komparasi. Psikologi juga
mengikuti jejak-jejak ilmu alam dengan menggunakan pendekatan tersebut, hal ini dapat
diamati dengan banyaknya penelitian-penelitian psikologi menggunakan pendekatan
kuantitatif. Para peneliti psikologi mengkuantifikasikan manusia dalam alat ukur,
prosedur penelitian dan analisis data. Dapat dikatan bahwa psikologi sangat mendewakan
pendekatan kuantitatif. Kumpulan data yang diperoleh melalui observasi, eksperimen dan
komparasi, tidak memiliki arti apa-apa tanpa adanya proses dan prosedur yang memiliki
standar ilmiah.
Kajian epistemologi psikologi kognitif meliputi neurosains kognitif (pendekatan ini
menjelaskan bahwa otak manusia memiliki kemampuan untuk melakukan analisis
perhitungan terhadap sinyal-sinyal sensoris dan pemahaman. Neurosains kognitif
berhubungan dengan psikologi kognitif dalam mempelajari otak dan pikiran); sensasi,
persepsi, dan atensi (sensasi mengacu pada pendeteksian dini terhadap stimuli sedangkan
persepsi mengacu pada interpretasi hal-hal yang kita indera); pengenalan objek (merujuk
pada proses pemberian makna pada informasi sensoris dengan cara mencari kecocokan
antara stimulus yang masuk dengan gambaran dalam memori); dan memori (elemen pokok
dalam otak di mana sebagian besar proses kognitif itu terjadi dan memori diproses dan
kemudian hilang sedangkan beberapa informasi menetap di memori selamanya).
Menurut Bakry (Muhajir, Filsafat Ilmu), pemikiran positivisme menjadikan ilmu sosial
bersifat positif dan empirik, mengakibatkan ilmu sosial dapat mengalami kemajuan pesat.
Psikologi bukan lagi sebatas pemikiran (yang tidak bisa dibuktikan) namun sudah tinggal
landas dalam kenyataan, psikologi menjadi ilmu yang diharapkan dapat memecahkan
problema manusia saat ini. Untuk dapat membuktikan secara empiris, perlu adanya suatu
pengukuran. Keuntungan mengkuantifikasi objek psikologi dijelaskan oleh Nunnally, dalam
bukunya “Psychometric Theory”: a) dengan pengukuran, setiap peneliti dapat melakukan
pengukuran secara objektif dan dapat diuji oleh peneliti lain, b) pengukuran memungkinkan
peneliti untuk melaporkan penelitiannya secara detil dan tepat. Pengukuran dengan angka
memungkinkannya digunakan metode statistik, sehingga hasil suatu penelitian dapat lebih
mudah dinilai, c) pengukuran memudahkan peneliti mengkomunikasikan hasil penelitiannya
kepada peneliti lain, d) pengkuantifikasian memungkinkan untuk dilakukannya meta-analisis
yaitu penganalisisan kembali hasil-hasil penelitian sehingga ditemukan suatu metafor.
Banyak diakui bahwa dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, ilmu psikologi dalam
perkembangannya semakin mampu memberikan jawaban dan penjelasan atas problema-
problema yang dihadapi manusia dewasa ini.
Dapat dipahami bahwa kandungan epistemologi dalam ilmu psikologi adalah adanya
pembahasan mengenai bagaimana terjadinya perilaku yang nampak tersebut? apa yang
menyebabkan timbulnya perilaku yang di perlihatkan klien? sesuai dengan kondisi yang
sedang dialaminya. Maka dengan itu beberapa penelitian (yang mencakup prosedur yang
sistematis seperti : observasi, wawancara, pengukuran dll) dilakukan untuk mengetahui
dampak-dampak terjadinya permasalahan pada individu dan apa yang dapat disarankan
sehingga individu dapat kembali memiliki kehidupan yang efektif sehari hari.
Dimensi Aksiologi Ilmu Psikologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “aksios” yang
berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai. Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai.
Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah); etik dan
moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan dan
pemanfaatan ilmu dalam kehidupan manusia . Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan
sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan simbolik ataupun fisik materil. Lebih dari itu nilai-nilai juga
ditunjukan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam
kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Dalam
dimensi ini, perkembangan ilmu dilihat dari perspektif dimana suatu ilmu akan mengarah
pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai
pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau manfaat ilmu, akan
tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia.
Wibisono, menjelaskan bahwa aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika serta moral sebagai dasar normatif penelitian dan juga penggalian, dan
juga penerapan ilmu. Pendapat dari Jujun S. Suriasumantri, menegaskan aksiologi adalah
teori nilai yang berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Sehingga segala nilai yang berhubungan dengan manfaat dari pengetahuan akan dikaji
atau dibahas dalam dimensi aksiologis suatu ilmu. Secara garis besar dapat ditegaskan
bahwa melalui telaah aksiologis dapat ditinjau kegunaan/fungsi teoritis dan
kegunaan/fungsi praktis dari suatu ilmu pengetahuan. Lahirnya teori belajar dari
pendekatan behavioristik; Teori ketidaksadaran dari pendekatan psikoanalis; Need Theory
yang dicanangkan tokoh Humanistik; dan masih banyak lagi teori-teori kepribadian dari
berbagai aliran-aliran psikologi yang mampu menjelaskan dinamika terbentuk dan
terganggunya perilaku yang dimunculkan individu. Selain kegunaan teoritis, dimensi
aksiologi dari ilmu psikologi juga mengungkap kegunaan praktisnya, psikologi dalam
perkembangannya telah menunjukkan peranannya di berbagai bidang kehidupan manusia,
pendidikan, kesehatan, kriminologi, forensik, ketenagakerjaan, kebencanaan dsb.
Telaah aksiologi terhadap aliran behaviorisme yang menempatkan faktor belajar
sebagai konsep yang penting akan dapat didekati dengan teori moral imperatif dari
Immanuel Kant. Immanuel Kant mengemukakan bahwa manusia berkewajiban
melaksanakan moral imperatif. Pada satu sisi, dengan moral imperatif, manusia masing-
masing bertindak baik, bukan karena ada paksaan, melainkan karena sadar bahwa tindakan
tidak baik orang lain adalah mungkin merugikan kita dimana disini terlihat pentingnya aspek
belajar dalam kehidupan manusia. Pada sisi lain, dengan moral imperatif tersebut, semua
orang menjadi saling mengakui otonominya. Dilihat dari sisi pelaku, teori moral ini lebih
mengaksentuasikan pada kewajiban dan otonomi serta tanggung jawab pribadi.
Kajian aksiologis psikologi kognitif memiliki dampak bagi ilmu lain yaitu berpengaruh
baik terhadap ilmu psikologi itu sendiri dan ilmu lainnya. Contoh, peran dalam psikologi
pendidikan seperti pengolahan kognitif ingatan dan inteligensi terhadap prestasi. Dampak
bagi ilmu lain adalah munculnya ilmu-ilmu baru yang merupakan gabungan dengan ilmu
psikologi, misalnya linguistik, antropologi, filsafat, dan neurosains
Dimensi aksiologi terhadap Psikologi Eksistensial dapat ditinjau dengan teori etika
hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak asasi ditafsirkan
sangat individualistic. Hak kebebasan individual, pada hak negatifnya menjadi tidak
mencampuri kehidupan orang lain. Melden (1977) berpendapat bahwa hak moral
kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan antar-individu. Hal ini sangat terlihat
pada implementasi dari kode etik psikologi dalam praktek profesi dan penelitian-penelitian
psikologi. Dimana sangat menjunjung harkat dan martabat manusia sebagai object material
dari ilmu psikologi

Kesimpulan
Landasan ilmu psikologi dipahami dari 3 dimensi sistematika filsafat:
 Berdasarkan landasan ontologisnya maka psikologi adalah ilmu yang mengkaji
tentang tingkah laku manusia dan proses-proses mental yang melatarbelakanginya.
Perbedaan aliran-aliran filsafat (ontologi) dan perspektif dalam memandang tingkah
laku manusia tentu akan memunculkan berbagai macam aliran-aliran dalam
psikologi yang memengaruhi ontologi psikologi itu sendiri dan kemudian
memengaruhi epistimologinya
 Dari kajian aspek epistimologinya, psikologi sendiri merupakan ilmu yang banyak
dipengaruhi oleh pendekatan empirisme dan filsafat fenomenologi. Psikologi terus
mengembangkan berbagai metode dalam mengkaji tingkah laku, misalnya melalui
survey, eksperimen, pengembangan alat ukur, penyusunan modul-modul
terapi/intervensi yang sistematis, adanya studi kasus yang metodologis untuk
penegakan diagnosa, dan sebagainya.
 Dalam ranah aksiologisnya, perjalanan dan perkembangan psikologi telah
dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, seperti pendidikan,
industri, ekonomi, politik, peradilan, kesehatan, dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi,
aspek aksiologis ilmu psikologi juga menyorot bagaimana penerapan kode etik
psikologi. Psikologi dalam penerapannya akan banyak bersinggungan dengan
persoalan harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia. Prodesur penelitian
psikologi serta aplikasi teori dan konsep-konsepnya seyogyanya berlandaskan pada
kode etik yang berlaku, khususnya terkait etika terhadap umat manusia.
Dengan demikian, menggunakan sistematika filsafat, kajian-kajian serta riset-riset psikologi
yang terus berkembang sampai dengan sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya
dengan hakikat hidup dan kehidupan masyarakat serta akan lebih mampu lagi
meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup umat manusia.

-oOo-

Anda mungkin juga menyukai