Anda di halaman 1dari 15

Remaja, Pemimpin dan Kepemimpinan

Oleh
Dwien Anugraheni
1522100007
Program Magister Psikologi Profesi
UNTAG-SBY

ABSTRAK
Permasalahan seputar kehidupan remaja tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas dan
dipelajari, dari jendela ilmu manapun, baik ilmu social, biologi, teknologi, hukum, agama dan
sebagainya, topik tentang remaja menarik untuk diulas. Fase remaja, dipandang sebagai tahapan
kehidupan manusia yang sarat dengan dinamika, pertumbuhan dirinya, perubahan lingkungannya
bahkan bagaimana kedua areal tersebut saling bersinergi dan berdampak satu sama lain. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pembahasan problematika remaja akan selalu membawa dan mengarahkan
pada suatu tempat, lingkungan, habitat dimana si remaja tersebut tumbuh. Dimana sekolahnya?
siapa orang tuanya? bagaimana keluarganya? Apa yang terjadi dengan pengasuhannya? siapakah
teman-temannya? bagaimana pergaulannya? Dan masih banyak lagi “keranjang” yang harus kita
bongkar apabila target bahasan kita adalah remaja. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis
akan mengkerucutkan bahasan remaja, dan hanya terfokus pada remaja laki-laki yang tumbuh
tanpa keterlibatan atau kehadiran seorang ayah, yang sering diistilahkan
dengan fatherless boy, merujuk pada kondisi dimana tidak hadirnya sosok ayah
sebagai orang tua di keseharian kehidupan si remaja.
Ada apakah dengan remaja-remaja ini? Apakah kondisi tersebut berdampak terhadap kehidupan
mereka ? Apa yang membuat mereka “nampak” berbeda dengan remaja-remaja yang lain?
Mereka sama, mereka semua adalah generasi penerus bangsa, yang akan meneruskan tongkat
estafet kepemimpinan bangsa ini. Meskipun belum pasti, bisa jadi 20-30 tahun ke depan
merekalah yang berada di deretan kursi pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin
organisasi, pemimpin perusahaan dan sebagainya. Dan yang lebih pasti adalah mereka semua
akan menjadi seorang ayah, yang memimpin keluarganya, seorang kepala keluarga. Lantas,
siapkah mereka mengemban tugas tersebut? mengingat di rentang perjalanan hidupnya, mereka
“haus” akan kehadiran sosok pemimpin yaitu ayahnya. Seberapa besar dampak ketidakhadiran
sosok pemimpin keluarga dalam perkembangan sikap dan karakter “leader” seorang remaja?
Kalaulah memang kepemimpinan adalah suatu kompetensi yang bisa dibentuk, dibangun,
diajarkan dan dilatihkan, bisakah tugas ayah sebagai pembangun karakter kepemimpinan
anaknya “digantikan” oleh program-program pelatihan kepemimpinan?
Dalam review literature ini, penulis berupaya menyajikan serangkaian dinamika berpikir dan
mencoba menganalisa temuan-temuan yang ada sehingga
ada ruang untuk memberikan solusi bagi keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar sebagai
tempat dimana karakter generasi bangsa ini
terbangun, terbentuk dan bertumbuh.
Pendahuluan
Fenomena kenakalan remaja sepertinya dari masa ke masa tidak pernah
surut, makin marak, dan makin meluas. Tidak hanya terjadi pada remaja di kota-
kota besar atau yang biasa kita sebut dengan istilah remaja ibukota tetapi sudah
merambah ke daerah dan pedesaan, yang justru jauh dari eforia dan hingar-bingar
kehidupan. Tingkat kenakalan yang dilakukan remaja juga semakin tidak
terkendali, mulai dari kenakalan asocial, amoral sampai dengan kenakalan yang
mengarah pada tindak kriminalitas (seperti kekerasan seksual, pembunuhan,
pemakaian narkoba dll).
Seperti data yang dilansir oleh databoks.katadata.co.id yang bersumber dari
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per 31 Agustus 2020, dilaporkan
bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 123 kasus
Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai pelaku hingga Agustus
2020. Kriminalitas terbanyak kekerasan fisik sebanyak 30 kasus dan kekerasan
seksual 28 kasus. Selain itu, anak sebagai pelaku kecelakaan lalu lintas dan
pencurian menyusul dengan masing-masing 13 dan 12 kasus. Menurut Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.
Dari grafik diatas jelas sekali terlihat bahwa remaja dan segala permasalahannya
tidak bisa lagi dipandang sebelah mata dan dianggap sekedar masalah nakalnya
anak-anak, yang solusi atau jalan keluarnya hanya dibebankan pada keluarga atau
sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal yang “ditugaskan” mengajar dan
mendidik mereka.

Keresahan yang terjadi di masyarakat yang ditimbulkan oleh maraknya


tindak-tindak kekerasan yang dilakukan remaja, sudah barang tentu tidak hanya
menuntut kesigapan para penegak hukum untuk segera melakukan tindakan
koersif, tetapi lebih jauh dari itu, hal-hal yang juga perlu dipikirkan dan
dipertimbangkan lebih dalam adalah tindakan preventifnya.

“Kalau tidak ada api, tidak akan ada asap”, segala kejadian selalu ada
penyebabnya. Untuk menemukan tindakan preventif yang efektif, kita perlu paham
betul apa yang menjadi factor-faktor penyebab kenakalan remaja. Banyak media
massa, artikel dan sumber-sumber berita dari berbagai sudut pandang,
mengungkap dan menyajikan dengan kajian yang dalam tentang faktor-faktor yang
menjadi penyebab perilaku/tindak kekerasan yang dilakukan remaja. Salah satu
factor yang paling sering mendapat sorotan adalah factor keluarga. Kondisi
keluarga yang bagaimana ? pola asuh yang seperti apa ? dan segala macam hal yang
terjadi di lingkup keluarga sangat berkontribusi pada permasalahan-permasalahan
tindak kekerasan yang dilakukan remaja. Artikel yang dilansir dari liputan6.com
(2019) menuliskan bahwa Faktor penyebab kenakalan remaja disebabkan oleh dua
faktor penting, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan. Dua faktor
ini memiliki peran penting pada perkembangan pemikiran dan kehidupan seorang
remaja untuk masa depannya. 
Di dalam keluarga, sebagai sebuah bentuk organisasi terkecil dalam suatu
masyarakat, didalamnya ada seperangkat peran dan tugas yang harus dijalankan
oleh tiap-tiap anggotanya agar tercipta keseimbangan dan terjaga keutuhan serta
kelangsungan hidup organisasi tersebut. Peran dan tugas orang tua dalam
pengasuhan anak-anaknya (parenting role), adalah peran dan tugas yang diemban
oleh ayah dan ibu, bukan hanya salah satunya. Jika hal itu terjadi, maka yang
muncul adalah ketidakseimbangan.
Setiap organisasi sudah pasti memiliki seorang pemimpin, begitu juga dalam
keluarga, yang merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat. Dalam keluarga
peran dan tugas itu berada di pundak sang ayah. Figur pemimpin yang pertama kali
dilihat oleh seorang anak adalah ayahnya. Dari sosok ayah lah, seorang anak (laki-
laki maupun perempuan) belajar tentang memecahkan masalah, mengambil
keputusan, membuat perencanaan, menanggung resiko, bertanggung jawab, meraih
target, bangkit dari kegagalan dan masih banyak lagi karakter “leader” yang bisa
diajarkan, ditularkan dan diwariskan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya.
Lantas bagaimanakah dengan remaja fatherless yang tumbuh tanpa
“pemimpin” dalam menjalani hari-harinya, kalau memang karakter pemimpin bisa
dibangun, dirancang, dibentuk dan diajarkan, bukankah itu yang sedang mereka
butuhkan? Untuk membuat mereka mampu “memimpin” dirinya sendiri. Apakah
program-program pelatihan kepemimpinan tersebut bisa menjadi salah satu upaya
preventif menekan tindakan kekerasan/kriminalitas yang dilakukan remaja ?

Metode
Metode penelitian pada makalah ini adalah studi pustaka atau review
literatur melalui jurnal, artikel ilmiah, dan penelitian seputar dampak dari
ketidakhadiran peran ayah (fatherless) pada remaja laki-laki, pemimpin dan
kepemimpinan serta segala keterkaitan hal-hal tersebut yang memunculkan
fenomena-fenomena dalam masyarakat.
Berangkat dari teori-teori kepemimpinan bahwa traits/karakter seorang
pemimpin bisa dibentuk dan diajarkan, maka penulis berupaya mengasumsikan
bahwa sebuah pelatihan kepemimpinan yang tepat bisa dirancang sebagai terapi
intervensi bagi remaja laki-laki fatherless untuk membentuk, menumbuhkan dan
melatih sikap serta skill kepemimpinan tertentu (self konsep, control diri,
kemampuan mengatasi konflik, pengambilan keputusan, dll)
Selanjutnya, lebih jauh lagi, selain menjadi terapi intervensi, program
pelatihan kepemimpinan dimungkinkan menjadi suatu bentuk upaya preventif
yang bisa dilakukan masyarakat/pemerintah ataupun lembaga-lembaga Pendidikan
guna menekan angka tindak kekerasan/kriminalitas yang dilakukan remaja

Generasi tanpa Ayah (Fatherless Generation)


“Tahukah Anda… Suatu hasil survei yang mengejutkan yang pernah dillakukan
di Amerika menunjukkan bahwa, “85% anak-anak yang bermasalah ternyata
tumbuh tanpa ayah”. Lalu, “71% anak sekolah menengah berhenti sekolah
ternyata juga tanpa ayah”.  Jadi, tak diragukan lagi peran ayah bagi
perkembangan anaknya. Bahkan, konon hasill penelitian itu dilakukan di
Amerika tatkala di era Obama menjadi presiden. Ceritanya, pernah ada masa
ketika tingkat kriminalitas remaja meningkat begitu tajam. Lalu para peneliti
diminta untuk menggali, apakah yang menjadi latar penyebab masalahnya.
Ternyata, selidik demi selidik, mereka menemukan satu kesamaan yang
menarik di antara para pelaku criminal ini yakni tidak hadirnya figur ayah
(fatherless) dalam kehidupan mereka”.

Potongan artikel diatas dilansir dari salah satu blog anthonydiomartin.com,


dijelaskan bahwa data tersebut adalah akumulasi dari hasil-hasil temuan dan kajian
para peneliti di Amerika Serikat untuk menindaklanjuti himbauan yang diberikan
oleh Presiden Obama saat terjadi penembakan yang dilakukan seorang remaja dan
menewaskan beberapa siswa dan guru di sekolah tersebut
Memasuki abad ke-21, jumlah penembakan di sekolah Amerika Serikat
semakin bertambah. Dalam rentang 2000 hingga 2018, peneliti menghitung terjadi
22 kasus penembakan dan telah menewaskan 66 orang. Sejak 2000 hingga 2018,
77% pelaku penembakan di sekolah adalah para remaja. Menurut Antonis
Katsiyannis, salah satu peneliti dari Universitas Clemson, angka ini bisa dibilang
cukup menghawatirkan. Sebab, kebanyakan korban tewas tidak memiliki
hubungan yang jelas dengan pelaku penembakan. Selain itu, deretan kasus ini
menunjukkan remaja di masa kini lebih mudah mengakses senjata api. Lebih jauh
lagi, Katsiyannis menambahkan, banyaknya kasus penembakan menunjukkan para
remaja lebih rentan terkena masalah kesehatan mental dan memiliki keterbatasan
cara penyelesaian konflik

Fatherless atau ketiadaan ayah hakikatnya adalah ketika ayah hanya ada secara
biologis namun tidak hadir secara psikologis di dalam jiwa anak. Fungsi ayah
lambat laun menjadi dipersempit kepada dua hal yakni: memberi nafkah dan
memberi izin untuk menikah. Sementara fungsi pengajaran atau transfer nilai-nilai
kebaikan justru hilang yang mengakibatkan anak tak mendapatkan figur ayah
dalam dirinya secara utuh. Lalu, apa penyebab kondisi seperti ini? Munculnya
fenomena fatherless bisa dikarenakan (1) ayah meninggal dunia, (2) peristiwa
ketidakharmonisan perkawinan atau perceraian, sehingga anak tumbuh dan
berkembang dalam pengasuhan “single parent” (3) paradigma pengasuhan yang
dipengaruhi oleh budaya lokal, dimana muncul stereotype bahwa laki-laki itu tak
pantas urus anak dan tak boleh terlibat dalam urusan pengasuhan.

Sementara tantangan pengasuhan setiap masa semakin bertambah.


Ditambah lagi kebutuhan materil masyarakat modern yang makin bertambah yang
mengakibatkan kesibukan bekerja menjadi prioritas hidup demi mengejar segala
target yang berkenaan dengan materil. Akhirnya waktu kebersamaan bersama
anak berkurang dan cenderung tidak berkualitas. Meski dari 3 fenomena fatherless
diatas, belum ditemukan (diteliti) perbedaan derajat pengaruhnya terhadap
perkembangan anak, namun beberapa penelitian dan literatur menyatakan bahwa
ada dampak fenomena fatherless ini bagi perkembangan anak.

Dampak dari fatherless adalah kondisi kerusakan psikologis yang disebut


dengan father hunger. Hal ini mengakibatkan 7 kondisi yang terjadi kepada anak-
anak saat ini di antaranya (Munjiyat,2017) :

1. Anak cenderung minder dan rendah diri serta sulit adaptasi dengan
dunia luar. Sebab keterlibatan ayah dalam mengasuh mempengaruhi
cara pandang anak terhadap dunia luar yang membuatnya cenderung
lebih kokoh dan berani.
2. Anak memiliki kematangan psikologis yang lambat dan cenderung
kekanakkanakan.
3. Anak cenderung lari dari masalah dan emosional saat menghadapi
masalah.
4. Kurang bisa mengambil keputusan dan ragu-ragu dalam banyak situasi
yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas.

Penelitiannya menyebutkan bahwa keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan anak


dapat mendukung perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, spiritual, dan moral
dibandingkan pada anak yang dibesarkan dalam kondisi fatherless. Psikolog Phebe
Illenia mengatakan, hendaknya ayah turut berperan dalam pengasuhan terhadap
anak, bukan hanya ibu saja. Ayah diharapkan dapat mengelola waktu dengan baik
dan memaksimalkan kualitas interaksi dengan anak.

Beberapa literatur dan riset juga menunjukkan adanya dampak fatherless terhadap
anak. Lerner menyatakan (Ashari, 2017), tidak adanya peran penting ayah akan
berdampak pada rendahnya harga diri ketika dewasa, marah, malu karena berbeda
dengan anak lain dan tidak dapat memiliki pengalaman kebersamaan dengan ayah
yang dirasakan oleh anak lain. Hilangnya peran ayah juga menyebabkan anak
merasa kesepian, iri, dan sedih, dan rasa kehilangan yang besar, disertai dengan
kontrol diri yang rendah (Kruk, 2012), rendahnya inisiatif pengambilan risiko
(Williams, 2011). Lebih lanjut, berbagai tekanan psikologis yang dirasakan anak
berdampak pada penyimpangan perilaku dan ketidakbermaknaan hidupnya.

Dalam sebuah artikel ilmiah yang dihimpun dalam Stellenbosch Theological Journal
dinyatakan bahwa ketidakhadiran ayah adalah fenomena di seluruh dunia dan
kecenderungan dalam suatu masyarakat yang bisa dan mungkin terjadi di seluruh
dunia. Penelitian dilakukan di 21 (dua puluh satu) negara di dunia yaitu Amerika,
Rusia, Afrika Selatan, Brasil, Grenada, Seychelles, Chattanouga, dan lain-lain, dan di
setiap negara, ketidakhadiran ayah diidentifikasi sebagai masalah terbesar.
Statistik berikut menyajikan latar belakang para pelaku berbagai kasus kekacauan
yang terjadi di masyarakat Amerika (Freeks, 2017)
• 63% dari kasus bunuh diri berasal dari rumah tanpa ayah,
• 70% dari remaja yang ditampung oleh Lembaga/institusi Negara berasal dari
rumah tanpa ayah,
• 80% pemerkosa termotivasi oleh kemarahan berasal dari rumah tanpa ayah,
• 40% dari semua anak tidak tinggal dengan ayah biologis mereka,
• 85% anak-anak dengan masalah perilaku berasal dari rumah tanpa ayah,
• 90% dari anak-anak tunawisma (anak jalanan) berasal dari rumah tanpa ayah,
• 71% anak-anak yang tidak menyelesaikan sekolah berasal dari rumah tanpa
ayah
Dalam suatu penelitian yang lain, tentang fatherless boy, dijelaskan bahwa
ketidakhadiran ayah merupakan risiko tinggi dari kesalahan penyesuaian di antara
anak laki-laki tanpa ayah(Curran, 2003). Misalnya, remaja laki-laki pada umumnya
memiliki masalah dalam konsolidasi identitas gender karena mereka tidak memiliki
ayah sebagai panutan laki-laki dalam keluarga mereka untuk belajar arti menjadi
seorang laki-laki (Bishop, 2000). Selain itu, anak laki-laki dengan ketidakhadiran
ayah cenderung bereaksi dengan perasaan marah terhadap kepergian ayahnya
(Bishop, 2000; Blundell, 2002). Untuk mengatasinya, beberapa anak laki-laki
menekan emosi dan mengembangkan masalah internal (psikologis) di kemudian
hari, sementara yang lain lebih memilih menggunakan pendekatan eksternalisasi,
seperti berkelahi atau melakukan tindak kekerasan terkait senjata sebagai pelarian.
Tingginya munculnya perilaku maladjustment di kalangan remaja laki-laki ini
kemungkinan besar disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak
hadirnya sosok ayah.

Disadari ataupun tidak, diakui ataupun dipungkiri, fenomena diatas juga sudah
terjadi di Indonesia, meski penelitian lebih dalam tentang hal tersebut belum
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti tanah air. Pernyataan Ketua BPKK (Bidang
Perempuan dan Ketahanan Keluarga) DPP PKS Kurniasih Mufidayati mengatakan,
kehilangan sosok ayah sangat berbahaya untuk generasi yang akan datang. “Tanpa
peran ayah, anak-anak Indonesia akan mengalami suatu situasi fathers hungry yaitu
lapar pada sosok ayah dan ini akan sangat membahayakan bagi generasi di masa
yang akan datang,” kata Mufida pada acara “Fathers Talk” yang bertema “Sejuta
Cinta untuk Ayah”, dilansir dari Indonesi-Inside.id. Lebih lanjut dipaparkan bahwa
data yang dihimpun oleh BPKK Partai Keadilan Sosial menunjukkan bahwa kondisi
Indonesia saat ini menempati peringkat tiga besar fatherless country.

Menyedihkan dan miris bukan, dengan predikat tersebut sudah barang tentu
negara kita sedang dipenuhi oleh “genenerasi tanpa ayah” ? Mengacu pada hasil
studi dan riset yang dipaparkan diatas (yang terjadi di 21 negara), bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia. Semakin banyak remaja yang
tinggal dijalanan, semakin melonjak angka kasus kekerasan, semakin tak terkendali
perilaku-perilaku anti social dan amoralitas, kriminalitas remaja juga meningkat,
dan satu hal lagi yang wajib direnungkan dan dipikirkan dari sekarang oleh semua
pihak, mampukah generasi tanpa ayah ini menjadi generasi penerus bangsa?
Mampukah mereka meneruskan estafet kepemimpinan? Tanpa pemimpin yang
handal, mampukah negara kita naik dari sebutan “negara berkembang”? Bisakah
generasi bangsa ini bangkit dan berlari mengejar ketertinggalan?

Pemimpin itu Dibentuk, Diajarkan dan Dilatih


Banyak ahli yang mengemukakan teori – teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan
menurut para ahli ini semakin berkembang dan menyesuaikan zaman dari waktu
ke waktu. Namun, dari berbagai teori yang ada, tidak ada satu pun teori yang paling
sempurna. Tidak ada juga yang paling ideal atau efektif untuk semua kondisi. Meski
begitu, teori – teori ini tentu memiliki jasa dalam memberikan kontribusi pada
perkembangan ilmu mengenai kepemimpinan. Beberapa teori-teori dasar
kepemimpinan yang sering digunakan sebagai rujukan

 Teori perilaku kepemimpinan (Behavioral Theory of Leadership)


Dalam makalah ini, penulis merujuk pada salah satu teori besar dalam
kepemimpinan, yaitu Behavioral Theory dimana teori ini sangat berlawanan
dengan The Great Man Theory (pemimpin itu “dilahirkan”, seorang pemimpin
memang dilahirkan dengan karakteristik tertentu) dan Trait Theory (seseorang
mewarisi sifat dan ciri-ciri tertentu yang membuat mereka lebih cocok untuk
menjadi pemimpin). Teori perilaku kepemimpinan lebih berfokus pada apa yang
dapat dikerjakan oleh pemimpin, bukan siapakah pemimpin tersebut.
Misalnya saja, pemimpin memiliki sifat dasar yang keras dan cenderung emosional.
Namun, di suatu peristiwa, ia dapat memberikan keputusan yang tegas serta dapat
menolak dengan tegas segala bentuk kecurangan dan hasutan dari rekan lainnya.
Dengan demikian, focus utama dalam teori ini adalah perilaku pemimpin (bukan
sifat atau karakternya), dan perilaku dalam pendekatan behavioral adalah “produk
dari hasil belajar”. Pemimpin yang memiliki sifat dasar keras tersebut telah
menjelma menjadi seorang yang bertindak/berprerilaku tegas dalam pengambilan
keputusan.
Dalam teori ini, dipercaya bahwa pemimpin itu dapat dibuat, bukan dilahirkan. Dan
tolok ukur kesuksesan kepemimpinan ini didasarkan pada perilaku yang dapat
dikenali dan dipelajari.
Teori perilaku kepemimpinan didasarkan pada keyakinan bahwa pemimpin besar
(sukses) dibuat bukan dilahirkan. Teori kepemimpinan ini berfokus pada tindakan
para pemimpin bukan pada kualitas mental dan sifat dasarnya. Menurut teori ini,
orang dapat belajar untuk menjadi pemimpin melalui pengajaran dan observasi.
Berangkat dan berbasis dari teori inilah banyak dikembangkan berbagai model
program-program pelatihan dan pengembangan kepemimpinan.

 Program Pelatihan Kepemimpinan


Program pelatihan kepemimpinan adalah suatu program yang telah dirancang
secara sistematis untuk meningkatkan pengetahuan pemimpin, keterampilan,
kemampuan, dan komponen lainnya yang harus dimiliki pemimpin (Day, 2000).
Sejak trend munculnya program pelatihan kepemimpinan ini dijalankan dan
kemudian merebak di Indonesia, program ini seolah didominasi oleh program-
program untuk memenuhi kebutuhan organisasi (perusahaan ataupun instansi),
menyorot dan focus pada pelatihan kepemimpinan untuk menyikapi tuntutan
kebutuhan akan sosok atau model kepemimpinan di dunia bisnis, manajemen,
politik. Alih-alih adalah sebuah model pelatihan yang sasarannya (pesertanya)
adalah sekumpulan orang-orang dewasa dengan segala atribut paten yang
disandangnya, dan juga sejumlah follower yang sudah “tersedia” untuk
mengaplikasikan ilmu kepemimpinannya, sehingga effektivitas sebuah program
pelatihan tidak sulit untuk dievaluasi. Oleh karena itu, masih terbatas jumlah riset
ataupun studi-studi yang meninjau seberapa efektifnya sebuah pelatihan
kepemimpinan untuk pemuda atau remaja, karena dirasa tidak mudah menemukan
indicator sukses atau berhasilnya.

“Before you are a leader, success is all about growing yourself,


when you become a leader, success is about growing others”.—
Jack Welch
Seiring dengan banyaknya wacana tentang kepemimpinan millenial, dimana
[Cite your source here.]
kecenderungan public untuk memilih kaum muda sebagai sosok “leader” di
berbagai aspek bermasyarkat.
Conner & Strobel memberikan ulasan bahwa remaja, seperti juga orang
dewasa, mengembangkan kompetensi kepemimpinan pada tahap yang berbeda dan
oleh karena itu harus diberi ruang dan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai
cara untuk mempelajari keterampilan mereka baik dalam pelatihan formal maupun
informal (2007) saat mereka mengelola proses pengembangan identitas
kepemimpinan (Komives & Dugan, 2014). Penjelasan lain juga diberikan oleh
Higham, Freathy, dan Wegerif (2010) menegaskan bahwa program kepemimpinan
pemuda merupakan elemen penting untuk menanamkan karakter pada anak muda
sekaligus mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup.
Beberapa peneliti dan pemerhati masalah pemuda menjelaskan bahwa Youth
leadership training programme adalah bagian dari proses pengembangan pemuda
yang berupaya mengembangkan: (a) kemampuan untuk menganalisis kekuatan dan
kelemahannya sendiri, menetapkan tujuan pribadi dan karirnya, dan memiliki
harga diri, kepercayaan diri, motivasi, dan kemampuan untuk melaksanakannya
(termasuk kemampuan untuk membangun jaringan pendukung untuk sepenuhnya
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mempengaruhi perubahan sosial
yang positif); dan (b) kemampuan untuk membimbing atau mengarahkan orang
lain pada suatu tindakan, mempengaruhi pendapat dan perilaku orang lain, dan
mampu berperan sebagai role model/panutan (Wehmeyer, Agran, & Hughes, 1998).
Pemuda harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
melatih dan mengembangkan karakter kepemimpinan dan berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat sekitarnya, hal-hal yang perlu diberikan pada program
pengembangan pemuda adalah sbb :
 pengetahuan dan keterampilan khusus yang berkaitan dengan
kepemimpinan, dan mengeksplorasi gaya kepemimpinan.
 belajar sejarah, nilai-nilai, dan keyakinan komunitas mereka.
 pengenalan, pemahaman, dan pengetahuan tentang budaya dan masyarakat
lain dan menunjukkan rasa hormat kepada semua orang.
 keterlibatan dalam pembelajaran pengalaman dan memiliki kesempatan
untuk kepemimpinan sejati, mengambil tanggung jawab utama untuk
mengembangkan rencana, melaksanakan keputusan, dan memecahkan
masalah.
 berpartisipasi dalam pelayanan kepada orang lain di lingkungan keluarga,
komunitas, lebih luas lagi adalah bangsanya..
 mengidentifikasi dan menggunakan sumber daya di komunitas mereka.
Dari uraian diatas dan dari beberapa literatur, artikel ilmiah serta sumber-sumber
yang lain penulis menyimpulkan bahwa sebuah program pelatihan dan
pengembangan kepemimpinan yang diberikan pada remaja akan mempengaruhi
atau berdampak pada hal-hal sbb :

 menumbuhkan kesadaran diri, meliputi kesadaran akan kelemahan dan


kekurangannya, cita-citanya, kebutuhan dan keyakinan (nilai-nilai moral,
religiulitas)
 kemampuan mengendalikan diri dan juga mengendalikan situasi/lingkungan
 kemampuan mengenali masalah
 kemampuan menyediakan solusi alternatif dari suatu masalah atau beragam
potensi masalah yang muncul
 mampu membangun komunikasi yang efektif dengan siapa saja (kritik,
saran, kemampuan argumentasi, negosiasi,persuasi)
 memahami dan melatih manajemen resiko, diantaranya :
(1)bertanggungjawab dan percaya diri, berdiri sendiri saat menghadapi
masalah (2)memiliki strategi coping yang taktis dan adaptif (3)mampu
berpikir positif, memaknai situasi/kejadian (4)kemampuan pengambilan
keputusan
 mengembangkan kecerdasan emosi a.l adaptif pada perubahan, fungsi
kendali diri yang stabil, resiliensi optimal, bisa menerima saran/kritik, dll)

Sebuah program pelatihan kepemimpinan dan sekaligus studi longitudinal yang


dilakukan di salah satu kota urban di Michigan (negara bagian AS) kepada
beberapa pemuda. Program ini sudah berjalan cukup lama dan saat ini telah
menginjak tahun ke-9. Dalam program ini peserta mempelajari 22 keterampilan
kepemimpinan kehidupan. Kurikulum program saat ini difokuskan pada
kepemimpinan dan pengembangan keterampilan hidup di berbagai bidang seperti:
Tidak Memiliki Ayah, Permintaan Maaf (forgiveness therapy), Kepercayaan, Cinta,
Persahabatan, Penetapan Tujuan dan perencanaan hidup, Pendampingan,
Pendidikan Seks/Kencan, Resolusi Konflik, Manajemen Kemarahan, Komunikasi,
Kebersihan/Pakaian, Pekerjaan, Rekreasi, Pengaruh Ayah, Identitas Pribadi,
Warisan Anda, Keputus-asaan, Berbicara di Depan Umum (public speaking),
Keuangan, dan kemudian diakhiri dengan Ritus Perjalanan. Pendiri program ini
juga tumbuh sebagai seorang anak yang hidupnya hancur saat ia mencari kasih
saying dan bimbingan dari seorang ayah. Ia tumbuh sebagai pemuda fatherless.
Selama 15 tahun terakhir, pendiri program telah melakukan perjalanan ke seluruh
negeri untuk membantu para pemuda (khususnya para remaja tanpa ayah), dengan
memberikan pelatihan kepemimpinan yang terstruktur kepada para pemuda dan
remaja tanpa ayah, mereka menyadari bahwa kehidupan yang mereka jalani hari ini
adalah warisan yang akan mereka tinggalkan untuk masa depan. Sampai saat ini,
lebih dari 300 pemuda fatherless telah mengambil bagian dalam program ini.

Adapun model pengembangan kepemimpinan yang diterapkan di program tersebut


adalah mengacu pada Model Kepemimpinan Perubahan Sosial (Social Change
Model of Leadership/SCML) Mereka mengevaluasi effektivitas program baik
secara kualitatif maupun kuantitatif dengan kerangka tematik yang telah menjadi
rumusan dari model SCML. Yang didalamnya terkandung interkonektivitas dari 3
aspek nilai dasar (nilai diri, kelompok dan masyarakat). Memahami diri sendiri
adalah inti dari SCML (Dugan & Komives, 2007). Peserta program diajak untuk
lebih sadar diri, cenderung penuh perhatian dan memiliki kemampuan untuk
mendeteksi perbuatan dan pikiran mereka sendiri (Astin, 1993). Dengan kesadaran
diri tersebut mereka diharap mampu menempatkan dan memfungsikan dirinya
dalam kelompok (keluarga) dan selanjutnya dalam masyarakat.

Temuan dalam studi tersebut menunjukkan bahwa program kepemimpinan


berbasis kelompok yang diterapkan selama enam bulan memberikan beberapa
hasil yang positif dan bertahan lama (efek menetap). Yang pertama berkisar
melayani orang lain. Lebih khusus lagi, layanan yang diterima dari para
mentor/trainer menginspirasi perubahan positif dalam diri mereka dan komunitas
mereka. Efek dari pembelajaran kepemimpinan dalam program tersebut
tampaknya bukan hanya sekedar pengetahuan dan pelajaran yang bersifat
sementara, diakui oleh para alumni peserta bahwa ada yang tetap melekat pada diri
mereka. Dalam sebuah interview evaluasi, beberapa alumni peserta mengatakan
bahwa pendiri program menjadi hampir seperti “penyelamat" bagi para pemuda
karena masing-masing dari mereka sekarang mampu menjadi mentor bagi dirinya
sendiri seumur hidup dan berperan sebagai “agen” perubahan positif tidak hanya
bagi dirinya namun juga untuk sekitarnya, keluarga, masyarakat dan negaranya.

Kesimpulan
Setiap manusia, dalam perjalanan hidupnya memiliki tantangan hidup yang
beragam, dan setiap dari mereka-pun punya cara yang mereka anggap ampuh
untuk melewati dan melalui tantangan-tantangan tersebut, sebuah cara yang tidak
membawa pada sebuah kehancuran, mampu bertahan, siap gagal, mampu bangkit
dan bahkan mampu melompat lebih tinggi. Seseorang yang berjiwa pemimpin
diajarkan, dididik dan dilatih untuk mampu melewati apapun tantangan yang
terjadi.

Menghabiskan masa remaja dalam pencarian sosok ayah adalah tantangan,


tumbuh dewasa tanpa kehadiran ayah, juga merupakan tantangan. Tugas kita
sebagai manusia adalah sama, mencari cara yang ampuh untuk melewati hal itu,
hanya saja mereka -para remaja- tidak dan belum menemukan caranya, hingga
beberapa dari mereka “kalah dalam peperangan”. Studi literatur ini berupaya
menyoroti cara yang ampuh yang bisa kita ajarkan pada mereka, sebuah program
pelatihan kepemimpinan dipandang cukup memungkinkan menjadi alternatif
solusi. Jika memang ada ruang, jalan dan kesempatan untuk merancang, Menyusun
dan mengajarkan hal itu kepada mereka, mengapa harus ditunda ? Tulisan ini
hanya sekedar memberi gambaran bahwa ada PR yang harus kita kerjakan
bersama, untuk mereka dan untuk bangsa ini.

-ooOoo-
Referensi :

Dwight D. Eisenhower Leadership Development Program u.s. Department of Education, A Social Change
Model of Leadership Development; Higher Education Research Institute, University of California, Los
Angeles

Jonas Radl,1 Leire Salazar, 2 and Héctor Cebolla-Boado2 ;Does Living in a Fatherless Household


Compromise Educational Success? A Comparative Study of Cognitive and Non-cognitive Skills; Published
online 2017 Mar 23. doi: 10.1007/s10680-017-9414-8

Freeks Fazel;North-West University. 10589686@nwu.ac.za;Responding to the challenge of father absence


and fatherlessness in the South African context: A case study involving concerned fathers from the North
West Province; ARTICLES; STJ vol.3 n.1 Stellenbosch  2017; http://dx.doi.org/10.17570/stj.2017.v3n1.a05

Azhar Azis Pawennay;Waspada, Fenomena Lapar Ayah Ancam Anak-Anak Indonesia; Sabtu, 20/11/2021
23:37 WIB

Eric Buschlen,Tzu-Fen Chang,California State University, Bakersfield; Dena R. Kniess-University of


WestGeorgia; My brother’s keeper: Transcendent leadership lessons learned from an inner-city program
for fatherless, adolescent boys; The Journal of Leadership Education 17(3):1-
25DOI:10.12806/V17/I3/R1July 2018

Yulinda Ashari1 Faculty of Psychology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Fatherless in indonesia and its
impact on children’s psychological development

Ihorindengera Aline and Dr. S Ramkumar;Leaders are not born, they are made
International Journal of Applied Research (2018)

BusinessKnowledge.com-8majorLeadershipTheory
Bymegalomania/singlepost-2017

Christina N. Lacerenza, Denise L. Reyes, and Shannon L. Marlow Rice University Dana L. Joseph University
of Central Florida Eduardo Salas Rice University
Leadership Training Design, Delivery, and Implementation: A Meta-Analysis

Wehmeyer, M. L., Agran, M., & Hughes, C. (1998). Teaching self-determination to students with
disabilities: Basic skills for successful transition. Baltimore: Paul H. Brookes.

Anda mungkin juga menyukai