Oleh
Dwien Anugraheni
1522100007
Program Magister Psikologi Profesi
UNTAG-SBY
ABSTRAK
Permasalahan seputar kehidupan remaja tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas dan
dipelajari, dari jendela ilmu manapun, baik ilmu social, biologi, teknologi, hukum, agama dan
sebagainya, topik tentang remaja menarik untuk diulas. Fase remaja, dipandang sebagai tahapan
kehidupan manusia yang sarat dengan dinamika, pertumbuhan dirinya, perubahan lingkungannya
bahkan bagaimana kedua areal tersebut saling bersinergi dan berdampak satu sama lain. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pembahasan problematika remaja akan selalu membawa dan mengarahkan
pada suatu tempat, lingkungan, habitat dimana si remaja tersebut tumbuh. Dimana sekolahnya?
siapa orang tuanya? bagaimana keluarganya? Apa yang terjadi dengan pengasuhannya? siapakah
teman-temannya? bagaimana pergaulannya? Dan masih banyak lagi “keranjang” yang harus kita
bongkar apabila target bahasan kita adalah remaja. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis
akan mengkerucutkan bahasan remaja, dan hanya terfokus pada remaja laki-laki yang tumbuh
tanpa keterlibatan atau kehadiran seorang ayah, yang sering diistilahkan
dengan fatherless boy, merujuk pada kondisi dimana tidak hadirnya sosok ayah
sebagai orang tua di keseharian kehidupan si remaja.
Ada apakah dengan remaja-remaja ini? Apakah kondisi tersebut berdampak terhadap kehidupan
mereka ? Apa yang membuat mereka “nampak” berbeda dengan remaja-remaja yang lain?
Mereka sama, mereka semua adalah generasi penerus bangsa, yang akan meneruskan tongkat
estafet kepemimpinan bangsa ini. Meskipun belum pasti, bisa jadi 20-30 tahun ke depan
merekalah yang berada di deretan kursi pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin
organisasi, pemimpin perusahaan dan sebagainya. Dan yang lebih pasti adalah mereka semua
akan menjadi seorang ayah, yang memimpin keluarganya, seorang kepala keluarga. Lantas,
siapkah mereka mengemban tugas tersebut? mengingat di rentang perjalanan hidupnya, mereka
“haus” akan kehadiran sosok pemimpin yaitu ayahnya. Seberapa besar dampak ketidakhadiran
sosok pemimpin keluarga dalam perkembangan sikap dan karakter “leader” seorang remaja?
Kalaulah memang kepemimpinan adalah suatu kompetensi yang bisa dibentuk, dibangun,
diajarkan dan dilatihkan, bisakah tugas ayah sebagai pembangun karakter kepemimpinan
anaknya “digantikan” oleh program-program pelatihan kepemimpinan?
Dalam review literature ini, penulis berupaya menyajikan serangkaian dinamika berpikir dan
mencoba menganalisa temuan-temuan yang ada sehingga
ada ruang untuk memberikan solusi bagi keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar sebagai
tempat dimana karakter generasi bangsa ini
terbangun, terbentuk dan bertumbuh.
Pendahuluan
Fenomena kenakalan remaja sepertinya dari masa ke masa tidak pernah
surut, makin marak, dan makin meluas. Tidak hanya terjadi pada remaja di kota-
kota besar atau yang biasa kita sebut dengan istilah remaja ibukota tetapi sudah
merambah ke daerah dan pedesaan, yang justru jauh dari eforia dan hingar-bingar
kehidupan. Tingkat kenakalan yang dilakukan remaja juga semakin tidak
terkendali, mulai dari kenakalan asocial, amoral sampai dengan kenakalan yang
mengarah pada tindak kriminalitas (seperti kekerasan seksual, pembunuhan,
pemakaian narkoba dll).
Seperti data yang dilansir oleh databoks.katadata.co.id yang bersumber dari
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per 31 Agustus 2020, dilaporkan
bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 123 kasus
Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai pelaku hingga Agustus
2020. Kriminalitas terbanyak kekerasan fisik sebanyak 30 kasus dan kekerasan
seksual 28 kasus. Selain itu, anak sebagai pelaku kecelakaan lalu lintas dan
pencurian menyusul dengan masing-masing 13 dan 12 kasus. Menurut Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.
Dari grafik diatas jelas sekali terlihat bahwa remaja dan segala permasalahannya
tidak bisa lagi dipandang sebelah mata dan dianggap sekedar masalah nakalnya
anak-anak, yang solusi atau jalan keluarnya hanya dibebankan pada keluarga atau
sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal yang “ditugaskan” mengajar dan
mendidik mereka.
“Kalau tidak ada api, tidak akan ada asap”, segala kejadian selalu ada
penyebabnya. Untuk menemukan tindakan preventif yang efektif, kita perlu paham
betul apa yang menjadi factor-faktor penyebab kenakalan remaja. Banyak media
massa, artikel dan sumber-sumber berita dari berbagai sudut pandang,
mengungkap dan menyajikan dengan kajian yang dalam tentang faktor-faktor yang
menjadi penyebab perilaku/tindak kekerasan yang dilakukan remaja. Salah satu
factor yang paling sering mendapat sorotan adalah factor keluarga. Kondisi
keluarga yang bagaimana ? pola asuh yang seperti apa ? dan segala macam hal yang
terjadi di lingkup keluarga sangat berkontribusi pada permasalahan-permasalahan
tindak kekerasan yang dilakukan remaja. Artikel yang dilansir dari liputan6.com
(2019) menuliskan bahwa Faktor penyebab kenakalan remaja disebabkan oleh dua
faktor penting, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan. Dua faktor
ini memiliki peran penting pada perkembangan pemikiran dan kehidupan seorang
remaja untuk masa depannya.
Di dalam keluarga, sebagai sebuah bentuk organisasi terkecil dalam suatu
masyarakat, didalamnya ada seperangkat peran dan tugas yang harus dijalankan
oleh tiap-tiap anggotanya agar tercipta keseimbangan dan terjaga keutuhan serta
kelangsungan hidup organisasi tersebut. Peran dan tugas orang tua dalam
pengasuhan anak-anaknya (parenting role), adalah peran dan tugas yang diemban
oleh ayah dan ibu, bukan hanya salah satunya. Jika hal itu terjadi, maka yang
muncul adalah ketidakseimbangan.
Setiap organisasi sudah pasti memiliki seorang pemimpin, begitu juga dalam
keluarga, yang merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat. Dalam keluarga
peran dan tugas itu berada di pundak sang ayah. Figur pemimpin yang pertama kali
dilihat oleh seorang anak adalah ayahnya. Dari sosok ayah lah, seorang anak (laki-
laki maupun perempuan) belajar tentang memecahkan masalah, mengambil
keputusan, membuat perencanaan, menanggung resiko, bertanggung jawab, meraih
target, bangkit dari kegagalan dan masih banyak lagi karakter “leader” yang bisa
diajarkan, ditularkan dan diwariskan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya.
Lantas bagaimanakah dengan remaja fatherless yang tumbuh tanpa
“pemimpin” dalam menjalani hari-harinya, kalau memang karakter pemimpin bisa
dibangun, dirancang, dibentuk dan diajarkan, bukankah itu yang sedang mereka
butuhkan? Untuk membuat mereka mampu “memimpin” dirinya sendiri. Apakah
program-program pelatihan kepemimpinan tersebut bisa menjadi salah satu upaya
preventif menekan tindakan kekerasan/kriminalitas yang dilakukan remaja ?
Metode
Metode penelitian pada makalah ini adalah studi pustaka atau review
literatur melalui jurnal, artikel ilmiah, dan penelitian seputar dampak dari
ketidakhadiran peran ayah (fatherless) pada remaja laki-laki, pemimpin dan
kepemimpinan serta segala keterkaitan hal-hal tersebut yang memunculkan
fenomena-fenomena dalam masyarakat.
Berangkat dari teori-teori kepemimpinan bahwa traits/karakter seorang
pemimpin bisa dibentuk dan diajarkan, maka penulis berupaya mengasumsikan
bahwa sebuah pelatihan kepemimpinan yang tepat bisa dirancang sebagai terapi
intervensi bagi remaja laki-laki fatherless untuk membentuk, menumbuhkan dan
melatih sikap serta skill kepemimpinan tertentu (self konsep, control diri,
kemampuan mengatasi konflik, pengambilan keputusan, dll)
Selanjutnya, lebih jauh lagi, selain menjadi terapi intervensi, program
pelatihan kepemimpinan dimungkinkan menjadi suatu bentuk upaya preventif
yang bisa dilakukan masyarakat/pemerintah ataupun lembaga-lembaga Pendidikan
guna menekan angka tindak kekerasan/kriminalitas yang dilakukan remaja
Fatherless atau ketiadaan ayah hakikatnya adalah ketika ayah hanya ada secara
biologis namun tidak hadir secara psikologis di dalam jiwa anak. Fungsi ayah
lambat laun menjadi dipersempit kepada dua hal yakni: memberi nafkah dan
memberi izin untuk menikah. Sementara fungsi pengajaran atau transfer nilai-nilai
kebaikan justru hilang yang mengakibatkan anak tak mendapatkan figur ayah
dalam dirinya secara utuh. Lalu, apa penyebab kondisi seperti ini? Munculnya
fenomena fatherless bisa dikarenakan (1) ayah meninggal dunia, (2) peristiwa
ketidakharmonisan perkawinan atau perceraian, sehingga anak tumbuh dan
berkembang dalam pengasuhan “single parent” (3) paradigma pengasuhan yang
dipengaruhi oleh budaya lokal, dimana muncul stereotype bahwa laki-laki itu tak
pantas urus anak dan tak boleh terlibat dalam urusan pengasuhan.
1. Anak cenderung minder dan rendah diri serta sulit adaptasi dengan
dunia luar. Sebab keterlibatan ayah dalam mengasuh mempengaruhi
cara pandang anak terhadap dunia luar yang membuatnya cenderung
lebih kokoh dan berani.
2. Anak memiliki kematangan psikologis yang lambat dan cenderung
kekanakkanakan.
3. Anak cenderung lari dari masalah dan emosional saat menghadapi
masalah.
4. Kurang bisa mengambil keputusan dan ragu-ragu dalam banyak situasi
yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas.
Beberapa literatur dan riset juga menunjukkan adanya dampak fatherless terhadap
anak. Lerner menyatakan (Ashari, 2017), tidak adanya peran penting ayah akan
berdampak pada rendahnya harga diri ketika dewasa, marah, malu karena berbeda
dengan anak lain dan tidak dapat memiliki pengalaman kebersamaan dengan ayah
yang dirasakan oleh anak lain. Hilangnya peran ayah juga menyebabkan anak
merasa kesepian, iri, dan sedih, dan rasa kehilangan yang besar, disertai dengan
kontrol diri yang rendah (Kruk, 2012), rendahnya inisiatif pengambilan risiko
(Williams, 2011). Lebih lanjut, berbagai tekanan psikologis yang dirasakan anak
berdampak pada penyimpangan perilaku dan ketidakbermaknaan hidupnya.
Dalam sebuah artikel ilmiah yang dihimpun dalam Stellenbosch Theological Journal
dinyatakan bahwa ketidakhadiran ayah adalah fenomena di seluruh dunia dan
kecenderungan dalam suatu masyarakat yang bisa dan mungkin terjadi di seluruh
dunia. Penelitian dilakukan di 21 (dua puluh satu) negara di dunia yaitu Amerika,
Rusia, Afrika Selatan, Brasil, Grenada, Seychelles, Chattanouga, dan lain-lain, dan di
setiap negara, ketidakhadiran ayah diidentifikasi sebagai masalah terbesar.
Statistik berikut menyajikan latar belakang para pelaku berbagai kasus kekacauan
yang terjadi di masyarakat Amerika (Freeks, 2017)
• 63% dari kasus bunuh diri berasal dari rumah tanpa ayah,
• 70% dari remaja yang ditampung oleh Lembaga/institusi Negara berasal dari
rumah tanpa ayah,
• 80% pemerkosa termotivasi oleh kemarahan berasal dari rumah tanpa ayah,
• 40% dari semua anak tidak tinggal dengan ayah biologis mereka,
• 85% anak-anak dengan masalah perilaku berasal dari rumah tanpa ayah,
• 90% dari anak-anak tunawisma (anak jalanan) berasal dari rumah tanpa ayah,
• 71% anak-anak yang tidak menyelesaikan sekolah berasal dari rumah tanpa
ayah
Dalam suatu penelitian yang lain, tentang fatherless boy, dijelaskan bahwa
ketidakhadiran ayah merupakan risiko tinggi dari kesalahan penyesuaian di antara
anak laki-laki tanpa ayah(Curran, 2003). Misalnya, remaja laki-laki pada umumnya
memiliki masalah dalam konsolidasi identitas gender karena mereka tidak memiliki
ayah sebagai panutan laki-laki dalam keluarga mereka untuk belajar arti menjadi
seorang laki-laki (Bishop, 2000). Selain itu, anak laki-laki dengan ketidakhadiran
ayah cenderung bereaksi dengan perasaan marah terhadap kepergian ayahnya
(Bishop, 2000; Blundell, 2002). Untuk mengatasinya, beberapa anak laki-laki
menekan emosi dan mengembangkan masalah internal (psikologis) di kemudian
hari, sementara yang lain lebih memilih menggunakan pendekatan eksternalisasi,
seperti berkelahi atau melakukan tindak kekerasan terkait senjata sebagai pelarian.
Tingginya munculnya perilaku maladjustment di kalangan remaja laki-laki ini
kemungkinan besar disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak
hadirnya sosok ayah.
Disadari ataupun tidak, diakui ataupun dipungkiri, fenomena diatas juga sudah
terjadi di Indonesia, meski penelitian lebih dalam tentang hal tersebut belum
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti tanah air. Pernyataan Ketua BPKK (Bidang
Perempuan dan Ketahanan Keluarga) DPP PKS Kurniasih Mufidayati mengatakan,
kehilangan sosok ayah sangat berbahaya untuk generasi yang akan datang. “Tanpa
peran ayah, anak-anak Indonesia akan mengalami suatu situasi fathers hungry yaitu
lapar pada sosok ayah dan ini akan sangat membahayakan bagi generasi di masa
yang akan datang,” kata Mufida pada acara “Fathers Talk” yang bertema “Sejuta
Cinta untuk Ayah”, dilansir dari Indonesi-Inside.id. Lebih lanjut dipaparkan bahwa
data yang dihimpun oleh BPKK Partai Keadilan Sosial menunjukkan bahwa kondisi
Indonesia saat ini menempati peringkat tiga besar fatherless country.
Menyedihkan dan miris bukan, dengan predikat tersebut sudah barang tentu
negara kita sedang dipenuhi oleh “genenerasi tanpa ayah” ? Mengacu pada hasil
studi dan riset yang dipaparkan diatas (yang terjadi di 21 negara), bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia. Semakin banyak remaja yang
tinggal dijalanan, semakin melonjak angka kasus kekerasan, semakin tak terkendali
perilaku-perilaku anti social dan amoralitas, kriminalitas remaja juga meningkat,
dan satu hal lagi yang wajib direnungkan dan dipikirkan dari sekarang oleh semua
pihak, mampukah generasi tanpa ayah ini menjadi generasi penerus bangsa?
Mampukah mereka meneruskan estafet kepemimpinan? Tanpa pemimpin yang
handal, mampukah negara kita naik dari sebutan “negara berkembang”? Bisakah
generasi bangsa ini bangkit dan berlari mengejar ketertinggalan?
Kesimpulan
Setiap manusia, dalam perjalanan hidupnya memiliki tantangan hidup yang
beragam, dan setiap dari mereka-pun punya cara yang mereka anggap ampuh
untuk melewati dan melalui tantangan-tantangan tersebut, sebuah cara yang tidak
membawa pada sebuah kehancuran, mampu bertahan, siap gagal, mampu bangkit
dan bahkan mampu melompat lebih tinggi. Seseorang yang berjiwa pemimpin
diajarkan, dididik dan dilatih untuk mampu melewati apapun tantangan yang
terjadi.
-ooOoo-
Referensi :
Dwight D. Eisenhower Leadership Development Program u.s. Department of Education, A Social Change
Model of Leadership Development; Higher Education Research Institute, University of California, Los
Angeles
Azhar Azis Pawennay;Waspada, Fenomena Lapar Ayah Ancam Anak-Anak Indonesia; Sabtu, 20/11/2021
23:37 WIB
Yulinda Ashari1 Faculty of Psychology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Fatherless in indonesia and its
impact on children’s psychological development
Ihorindengera Aline and Dr. S Ramkumar;Leaders are not born, they are made
International Journal of Applied Research (2018)
BusinessKnowledge.com-8majorLeadershipTheory
Bymegalomania/singlepost-2017
Christina N. Lacerenza, Denise L. Reyes, and Shannon L. Marlow Rice University Dana L. Joseph University
of Central Florida Eduardo Salas Rice University
Leadership Training Design, Delivery, and Implementation: A Meta-Analysis
Wehmeyer, M. L., Agran, M., & Hughes, C. (1998). Teaching self-determination to students with
disabilities: Basic skills for successful transition. Baltimore: Paul H. Brookes.