http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6633
Ruang Jurnal Sejarah, Gedung C5 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: : pradiptamnw@gmail.com
141
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
142
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
143
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
pedagang gilo-gilo yang berjualan antara tahun arsip terkait, dan foto-foto serta ilustrasi dari
1960-2000, masyarakat sekitar yang sudah lama narasumber.
menjadi pemasok makanan, dan juga pengurus Tahapan selanjutnya atau ketiga adalah
RT setempat. Sumber lisan dari hasil wawancara interpretasi, fakta-fakta sejarah yang telah
tersebut akan dijadikan sebagai sumber primer diwujudkan perlu dihubung-hubungkan dan
karena memberikan fakta sejarah yang tidak dikait-kaitkan satu sama lain sedemikian rupa
termuat dalam sumber-sumber tertulis. Menurut sehingga antara fakta satu dengan fakta yang lain
Kuntowijoyo (1994), sumber sejarah lisan kelihatan sebagai satu rangkaian yang masuk
mampu mengembangkan substansi penulisan akal, dalam arti menunjukkan kecocokan satu
sejarah, pertama, memberikan kemungkinan sama lainnya (Widja, 1989: 25). Dalam tahapan
yang hampir tak terbatas untuk menggali sejarah ini sumber yang terpecah-pecah digabungkan
dari pelaku-pelaku sejarah. Kedua, dapat dengan rangkaian yang kronologis sehingga
menemukan pelaku-pelaku yang tidak menjadi satu kesatuan yang utuh dan matang.
disebutkan dalam dokumen. Ketiga, Setelah sumber terverifikasi maka akan dirangkai
memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, menjadi fakta yang kronologis awal mula
karena tidak terbatas hanya dengan dokumen perkembangan pedagang gilo-gilo, bagaimana
tertulis. Adapun dalam pengumpulan sumber perjalanannya, dan bagaimana dampak ynag
lisan adalah wawancara, menyalin, menyunting. ditimbulkan bagi masyarakat sekitar.
Sumber sejarah lisan mampu melestarikan Fakta-fakta yang ditemukan diverifikasi
kejadian-kejadian yang unik yang dialami oleh dan dirangkai sedemikian rupa, sehingga
seseorang atau segolongan. Selain wawancara, tercapailah langkah yang terkahir adalah
sumber primer yang digunakan berasal dari surat penulisan sejarah atau historiografi. Historiografi
kabar sezaman yang didapat dari Depo Arsip merupakan cara penulisan, pemaparan, atau
Suara Merdeka, dan sumber data dari Badan pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
Pusat Statistik. Sumber sekunder yang digunakan dilakukan. Layaknya laporan penelitian ilmiah,
berupa buku, karya ilmiah, dan sumber-sumber penulisan hasil penelitian sejarah itu hendaknya
elektronik. Sumber buku dan karya ilmiah dapat memberikan gambaran yang jelas
didapatkan di beberapa perpustakaan seperti mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase
perpustakaan Jurusan Sejarah UNNES, perencanaan) sampai dengan akhir (penarikan
perpustakaan UNDIP, perpustakaan UGM, dan kesimpulan) (Abdurrahman, 1999: 67). Ditulis
beberapa milik pribadi. Karya ilmiah yang dalam bentuk karya sejarah yang kronologis dan
digunakan berasal dari instansi-instansi nasional sistematis, yaitu perjalanan hidup pedagang gilo-
dan internasional. Sumber elektronik didapatkan gilo di Semarang kurun waktu tahun 1960 awal
dari penjelajahan internet. munculnya sampai tahun 2000 saat setelah
Tahap kedua yang dilakukan adalah kritik terjadi berbagai krisis serta bagaimana peran
sumber atau verifikasi. Hal ini dilakukan untuk pedagang gilo-gilo bagi masyarakat Kampung
mencari kebenaran dalam sumber yang diperoleh Gabahan dan Kampung Kulitan.
sebelumnya. Tahap ini pula dianggap sebagai
kunci apakah sejarah yang disusun itu benar- HASIL DAN PEMBAHASAN
benar sebuah fakta, dan bukan khayalan. Dalam Pedagang Gilo-gilo Sebagai PKL di Semarang
penelitian sejarah kritik sumber dibagi menjadi Semarang merupakan salah satu kota yang
kritik ekstern dan kritik intern (Widja, 1989: 24). berada di wilayah pesisir utara Pulau Jawa.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan sebagai salah satu kota pesisir, kota ini terus
sumber yang diperoleh antara satu dengan yang berkembang menjadi kota pelabuhan dan dagang
lainnya. Berbagai sumber yang berkaitan dengan yang penting di Jawa (Wijayati, 2017: 346). Hal
topik dibandingkan dan dikombinasikan baik tersebut membuat Semarang menjadi kota yang
sumber wawancara, surat kabar sezaman, arsip- ramai akan aktivitas perdagangan. Berbagai
macam usaha perdagangan terselenggara di
144
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
wilayah ini. Tidak hanya usaha berskala besar makanan yang anda cari” (Winalda dkk, 2019:
yang hidup, namun banyak juga usaha berskala 8). Ketiga, ada yang menafsirkan nama gilo-gilo
kecil yang berjuang dalam geliat ekonomi yang dari bahasa Klaten yaitu “Segilo” yang berarti 1
disebut sektor informal. Sektor-sektor informal (satu) rupiah (Wawancara dengan Suroto, 20
menjadi alternatif bidang pekerjaan masyarakat September 2021). Terlepas dari keberagaman
yang kala itu terbentur oleh berbagai tersebut, secara umum bahwa gilo-gilo merupakan
keterbatasan. suatu cara berdagang yang menjual berbagai
Pedagang kaki lima atau lebih dikenal ragam makanan secara berkeliling dari satu
dengan sebutan PKL merupakan salah satu jenis tempat ke tempat lain, dan terkadang berhenti
pekerjaan yang paling dominan di sektor dibeberapa titik di Kota Semarang (Adelia,
informal. Menurut Perda Kota Semarang No. 3 https://jateng.tribunnews.com/2017/11/13/ya
Tahun 2018, PKL adalah pelaku usaha yang ng-asli-semarang-pasti-tahu-penjual-gilo-gilo-tapi-
melakukan usaha perdagangan dengan tahukan-kamu-apa-artinya, diakses 6 Januari
menggunakan sarana usaha bergerak maupun 2022).
tidak bergerak, menggunakan prasarana kota,
fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan Perkembangan Pedagang Gilo-gilo Semarang
bangunan milik pemerintah dan/atau swasta Gilo-gilo diperkirakan hadir di Semarang
yang bersifat sementara atau tidak menetap. sekitar tahun 1950-an (Wawancara dengan
Sarana yang digunakan oleh pedagang kaki lima Suroto, 20 September 2021). Awalnya hanya
dapat dikelompokkan menjadi: Gerobak/kereta segelintir orang yang berdagang gilo-gilo, Orang-
dorong, Pikulan.keranjang, Warung semi orang tersebut merupakan orang asli Klaten,
permanen, Kios, Gelaran/alas (Miranti, 2012 Sukoharjo, dan daerah sekitarnya yang datang ke
dikutip dari Tuwis Hariyani, 2019: 179). Semarang atau lebih dikenal dengan istilah kaum
PKL di Semarang menjajakan berbagai urban atau kaum boro (Subandi, 2004: 2).
macam ragam jenis dan variasi dagangan. Kedatangannya ke kota untuk mencari
Menurut Mustafa (2008) PKL memiliki peran penghidupan yang lebih baik dari di desa.
yang sangat penting dalam kehidupan sistem Kemunculan gilo-gilo Semarang
ekonomi rakyat jelata (lumpen proletariat merupakan pengaruh konsep HIK yang
economical system), PKL mampu menjadi katup berkembang di daerah Solo, Klaten, dan
pengaman bagi masalah tenaga kerja di sekitarnya. HIK merupakan pedagang keliling
Semarang. Pedagang Gilo-gilo merupakan salah yang menjual wedang (minuman panas) dan
satu PKL yang eksistensinya masih bertahan jajanan pendamping minuman panas yang dijual
sampai sekarang. Berbentuk sebagai usaha kecil oleh pedagang. Awalnya pedagang HIK
masyarakat, gilo-gilo hadir ditengah kehidupan berdagang secara berkeliling menggunakan
masyarakat Semarang. Menurut beberapa pikulan sebagai sarana berdagang, lambat laun
kalangan gilo-gilo memiliki beberapa pengertian. terjadi perubahan menggunakan gerobak yang
Pertama, ada yang mengatakan bahwa gilo-gilo difungsikan sebagai meja makan sekaligus etalase
diambil dari perilaku penjualnya yang saat masih memajang beraneka macam makanan
berjualan dengan cara dipikul para pedagang gilo- (Kristiyawati, 2010: 18).
gilo kerap menggeleng-gelengkan kepalanya ke Konsep tersebut kemudian dibawa oleh
kanan dan ke kiri mengikuti irama langkah atau kaum boro dan berkembang di Semarang.
dalam Bahasa Jawa disebut gela-gelo, sehingga Bermetamorfosa mengikuti keadaan setempat,
tercetuslah nama gilo-gilo (Wibisono, 2018). gilo-gilo menjadi primadona di masyarakat.
Kedua, penamaan gilo-gilo berasal dari Pedagang gilo-gilo pada umumnya merupakan
transformasi kata “iki lho” yang artinya “ini lho” pendatang atau mboro dari daerah Cawas,
hal itu merupakan kata-kata yang dilontarkan Gamping, dan Bayat Kabupaten Klaten. Sesuatu
oleh sang pedagang, dalam artian sang pedagang yang membedakan antara HIK dengan gilo-gilo
ingin membuktikan eksistensi diri bahwa “ini lho adalah gilo-gilo tidak menyuguhkan sajian
145
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
minuman sebagai barang dagangan, berbeda permulaan fase kejayaan pedagang gilo-gilo.
dengan HIK yang menyuguhkan sajian minuman Dalam perkembangannya, beberapa daerah lain
(Wawancara dengan Suroto, 20 September juga turut serta dalam usaha kerakyatan ini,
2021). seperti Boyolali dan Sukoharjo (Wawancara
Sejak tahun 1950-an sampai 1960 dengan Suharno, tanggal 17 September 2021).
pedagang gilo-gilo dengan jumlah sedikit Mulai tahun 1985 terjadi sebuah
mencoba peruntungan awal berjualan di perubahan cara berdagang yang semula dipikul
Semarang (Wawancara dengan Suroto, 20 menjadi menggunakan gerobak dorong.
September 2021). Sekitar tahun 1960 pedagang Transformasi ini didasari masa itu jalanan di
gilo-gilo mulai bermunculan dan memantapkan Semarang sudah banyak yang bagus dan
eksistensinya di Semarang. Mereka banyak beraspal, sehingga terpikirkan untuk lebih
bertempat tinggal di Kampung Gabahan. Seiring mempermudah berkeliling berganti sarana
berjalannya waktu bertambahnya kaum boro dagang menggunakan gerobak. Selain itu,
membuat Kampung Gabahan tidak mampu dengan menggunakan gerobak pengangkutan
menampung kelebihan tersebut. Mereka banyak barang dagangan akan lebih mudah dan jumlah
yang akhirnya tinggal di kampung-kampung dagangan akan lebih banyak dan bervariasi.
sekitarnya seperti Kampung Kulitan
(Wawancara dengan Ngatiyo, 20 September
2021). Lambat laun, Semarang memberikan
angin segar bagi pedagang gilo-gilo. Sebaliknya,
pedagang gilo-gilo pun memberikan tren positif
bagi masyarakat Semarang. Penerimaan tersebut
tidak lepas dari selera makanan masyarakat
setempat yang sama dengan apa yang
diperdagangkan oleh pedagang gilo-gilo dan juga Gerobak Dorong Pedagang Gilo-Gilo 1985 Sampai Sekarang
(Sumber: Dokumentasi Penulis, 2021)
harganya yang murah (Wawancara dengan Tahun 1980 sampai 1990-an menjadi masa
Suroto, tanggal 20 September 2021). kejayaan bagi pedagang gilo-gilo. Jumlah
pedagangnya bahkan mencapai hampir 100
orang di Semarang (Wawancara dengan
Suharno, tanggal 17 September 2021). Lokasi
yang dipilih oleh pedagang merupakan daerah
keramaian masyarakat seperti pada kawasan
perniagaan, perkantoran, pendidikan,
perumahan, dan lokasi-lokasi strategis yang
Ilustrasi Pikulan Pedagang Gilo-Gilo Tahun 1950-an sampai 1985 Oleh lainnya (Manning dan Effendi, 1985: 232).
Awal mula debut berdagang menggunakan
Bapak Suroto Pada awalnya gilo-gilo memiliki kuliner
pikulan (Wawancara dengan Paiman, tanggal 24 khas yaitu sego iwak. Sego iwak terdiri atas nasi
September(Sumber:
2021). Dilengkapi
Dokumentasi dengan lampu
Penulis, 2021)
beserta lauk seperti ikan, tempe, dan sebagainya
sentir atau teplok, pedagang gilo-gilo menyusuri ditambah dengan sambal kemudian dibungkus
jalanan Semarang yang masa itu masih minim dengan cara dipenak (Wawancara dengan Suroto,
pencahayaan. Perubahan struktur perekonomian 20 September 2021). Alas untuk membungkus
yang cepat dari pertanian ke non pertanian awalnya adalah daun jati, kemudian beralih ke
menyebabkan terkonsentrasinya pusat ekonomi daun pisang karena lebih mudah mencari daun
di wilayah perkotaan. Pertambahan ke dalam pisang dan lebih mudah mengaplikasikannya
sektor tersebut salah satunya membuat jumlah untuk membungkus. Selain sego iwak, ada juga
pedagang gilo-gilo semakin bertambah sampai ketan yang di atasnya diberi serundeng kemudian
sekitar tahun 1980. Perkembangan tersebut dibungkus seperti sego iwak. Berbagai makanan
membuat tahun 1970-an sampai 1980 menjadi lokal tersedia seperti gemblong, gethuk, jadah,
146
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
wajik, pisang goreng, pia-pia, peyek dan kerupuk memilih tempat berdagang di mana saja, asalkan
(Wawancara dengan Ngatiyo, tanggal 20 tempat tersebut belum ditempati oleh pedagang
September 2021). gilo-gilo yang lain. Hal itu di maksudkan agar
Berkembangnya pedagang gilo-gilo, sekitar tidak terjadi adanya pertemuan dua pedagang
tahun 1955 warga sekitar mulai membuat gilo-gilo di satu lokasi berjualan. Menyesuaikan
makanan dan menitipkan di pedagang gilo-gilo. dan menyamakan harga makanan juga
Beragam makanan dititipkan mulai dari lumpia, merupakan salah satu cara untuk menghindari
bakwan, aneka sate-satean, dan aneka baceman. konflik antar pedagang.
Pada awalnya buah-buahan belum banyak dilirik Berbagai dinamika mengiringi langkah
oleh pedagang gilo-gilo seperti sekarang. Seiring pedagang gilo-gilo. Kejayaan pedagang gilo-gilo
berjalannya waktu pedagang gilo-gilo tersebut berangsur-angsur menurun semenjak
menyesuaikan dengan kondisi Semarang yang tahun 1990-an karena berbagai macam
merupakan daerah pesisir yang mana pembeli problematika yang muncul. Mulai dari krisis
menginginkan sesuatu yang segar dan murah, ekonomi yang membuat daya beli masyarakat
menyebabkan buah-buahan seperti pepaya, menurun, bahan kebutuhan pokok meningkat,
pisang, dan bengkuang menjadi ide untuk dijual dan juga perkembangan globalisasi ke arah yang
pada konsumen. lebih modern membuat beberapa pedagang gilo-
Tahun 1960 jenis makanan yang gilo sedikit demi sedikit mengalami penurunan
diperdagangkan sudah beragam jenisnya jumlah pedagang sekitar akhir 1990-an sampai
mengikuti perkembangan kota. Sejak itu juga awal 2000-an. Yang semula berjumlah hampir
pedagang gilo-gilo sudah jarang membuat 100 orang pedagang seiring berjalannya waktu
makanan sendiri. Semua makanan merupakan semakin sedikit hanya tersisa puluhan saja
titipan dari warga sekitar. Antara pedagang (Wawancara dengan Marwoto, tanggal 16
dengan pemasok makanan saling bekerja sama September 2021).
dengan sistem Ngalap Nyaur (Mustafa, 2008: Sejak tahun 1995 itu penurunan pedagang
72). Dalam sistem ini proses kredit barang gilo-gilo silih berganti. Ada yang pergi ada yang
(kulakan) dilakukan dengan cara pedagang akan masuk, mereka yang masuk biasanya merupakan
mengambil barang terlebih dahulu kemudian korban-korban gejolak ekonomi masa itu
akan membayar belakangan setelah barang sehingga terjadi PHK (Suara Merdeka, 6 Januari
terjual (Wawancara dengan Budianto, tanggal 17 1998: 3). Mulai tahun 2000 pedagang gilo-gilo
September 2021). berganti menjadi lebih dominan warga yang
Mulai tahun 1985 dengan adanya sudah lama tinggal di Semarang maupun
transformasi dari pikulan menggunakan gerobak masyarakat asli Semarang. Masyarakat
semakin menambah jumlah penitip dagangan perantauan banyak yang akhirnya pensiun dan
pedagang gilo-gilo. Aneka gorengan, aneka sate- memutuskan untuk pulang ke kampung
satean, aneka baceman, pia-pia, lumpia, tahu halamannya. Karena dirasa menjadi pedagang
petis, tahu asin, arem-arem, kerupuk menjadi gilo-gilo keuntungannya kurang bisa mencukupi
barang yang dominan. Buah-buahan yang dijual kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Selain itu,
pun mulai beragam seperti semangka, melon, banyak dari anak keturunannya yang tidak
nanas, bengkuang, pisang, pepaya yang berdagang gilo-gilo karena memiliki pekerjaan
didapatkan dari Pasar Johar maupun daerah lain. lain yang lebih baik dari berjualan gilo-gilo.
Dalam memasarkan dagangan, pedagang
gilo-gilo selalu mengurangi adanya sebuah Kontribusi di Tengah Eksistensi Pedagang Gilo-
persaingan. pedagang gilo-gilo memiliki cara yang gilo
digunakan untuk menghindari persaingan yaitu 1. Strategi Bertahan Pedagang Gilo-gilo
mengatur daerah atau lokasi berdagang antar Menurut Moser (1998) yang dikutip dari
pedagang (Wawancara dengan Suharno, tanggal karya Pardamean Daulay bahwa survive atau
17 September 2021). Pedagang gilo-gilo bebas survival adalah suatu kemampuan oleh segenap
147
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
148
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
bernama Budianto bahwa berdagang secara kebudayaan yang bersifat tangible maupun
berkeliling mampu menarik dan memudahkan bersifat intangible (Ahmad, 2006: 292-300). Sifat
minat konsumen untuk membeli dagangannya. tangible pada pedagang gilo-gilo berupa hasil
Berbagai makanan yang diperdagangkan dengan karya makanan yang diperdagangkan atau lebih
sistem jemput bola membuat dagangannya disebut sebagai kuliner, sedangkan sifat
banyak terjual. Terlebih dengan adanya intangible berupa sebuah kisah kehidupan yang
transformasi dari pikulan ke gerobak tahun 1985 melatar belakangi pedagang gilo-gilo dengan
yang membuat barang dagangan lebih banyak berbagai pernak-pernik yang melekat atau
ragamnya. istilahnya disebut gastronomi (Ketaren, 2021: 4).
Berbagai hal yang menjadi aspek-aspek Kekuatan budaya kuliner dan gastronomi
pertahanan sebelumnya tidak mungkin terwujud dapat mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan
tanpa adanya kenyamanan dalam kedaulatan pangan di daerah lokal sehingga
bermasyarakat. Interaksi yang baik antara berpengaruh pada kekayaan Indonesia antara
pedagang dengan pedagang maupun pedagang lain kekayaan sumber daya alam, seni dapur,
dengan konsumen mampu memberikan energi sejarah dan budaya, serta kearifan lokal
yang positif bagi keberlangsungan pedagang gilo- (Harmayani dan Puspita, 2021: 43). Mengangkat
gilo. Antara sesama pedagang membangun berbagai cita rasa makanan lokal sebagai pundi-
sebuah solidaritas bersama yang dibentuk dari pundi kehidupan, gilo-gilo berhasil menampilkan
kesamaan-kesamaan dalam diri pedagang gilo- local genius warisan dan martabat nenek moyang
gilo. Menurut Wiyata (2008) yang dikutip dari dalam bingkai perdagangan makanan. Berbagai
Karya Nur Azizah Hidayat bahwa unsur-unsur makanan tradisional yang dijajakan oleh
kesamaan tersebut meliputi genealogi dan pedagang gilo-gilo menjadi salah satu senjata
kekerabatan, sistem kepercayaan, bahasa atau ampuh guna membangun identitas dan karakter
dialek serta kebiasaan-kebiasaan sosial lainnya. Kota Semarang.
Persamaan budaya dan daerah asal membuat Makanan sebagai budaya tidak hanya
adanya solidaritas bersama bagi pedagang gilo- sebatas pada pemenuhan kebutuhan energi saja,
gilo. Kebersamaan tersebut tercermin dalam melainkan berkembang menjadi sebuah gaya
kegiatan keseharian mereka yang harmonis dan hidup (Harmayani dan Puspita, 2021: 43). Sejak
jarang terjadi sebuah konflik dalam berdagang tahun 1950-an gilo-gilo hadir dan berkembang
dan bermasyarakat. Antar pedagang-dengan bukan hanya memenuhi kebutuhan, melainkan
pedagang yang lain membagi aturan-aturan sebagai lifestyle dalam masyarakat yang
berdagang dengan rata tanpa ada yang dirugikan didominasi oleh golongan menengah ke bawah.
(Wawancara dengan Marwoto, tanggal 16 Kesederhanaan dan kekerabatan yang dibangun
September 2021). Disamping itu cara mereka secara kuat oleh pedagang dengan pembeli
dalam berinteraksi dengan konsumen begitu membuat tidak adanya sekat pembatas dan
harmonis dan terjalin baik. Hal tersebut secara bebas untuk saling bertukar cerita dan
menimbulkan rasa nyaman dalam informasi. Gaya hidup tersebut mampu tumbuh
komunikasinya dengan konsumen. Konsumen secara kontinu dan berkelanjutan tanpa melihat
dimanjakan dengan suasana yang penuh berbagai faktor globalisasi yang semakin
keakraban, sehingga merasa betah untuk merajalela. Gilo-gilo tetap eksis dengan berbagai
berlama-lama dan akan kembali lagi membeli ciri kekhasannya sendiri. Gaya hidup masyarakat
makanan di pedagang gilo-gilo. dengan kesederhanaannya mampu menjadi
kekayaan budaya tak benda di Indonesia.
2. Sebagai Budaya Semarang pedagang gilo-gilo memiliki potensi besar yang
Gilo-gilo yang berfokus pada penjualan harus dikembangkan sebagai upaya branding
makanan, berhubungan erat dengan dunia sehingga menjadi daya tarik wisata.
kuliner di Semarang. Sebagai sebuah bentuk
budaya, gilo-gilo hadir memperkaya khazanah
149
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
3. Dampak Gilo-gilo Bagi Pedagang gilo-gilo akan memberikan bekal kepada anaknya
Gilo-gilo menjadi sebuah pekerjaan yang berupa pendidikan (Wawancara dengan Suroto,
mampu menopang kehidupan pedagangnya jauh tanggal 20 September 2021).
lebih baik dari sebelumnya. Sebelum berprofesi Seperti pedagang gilo-gilo bernama Pak
menjadi pedagang, mereka merupakan petani Paiman yang memiliki anak berjumlah 7 orang.
atau buruh harian yang memiliki penghasilan Walaupun beliau tidak bersekolah, namun
tidak menentu. Penghasilan itu tergantung atas mampu menyekolahkan anaknya sampai
keberhasilan pertanian dan bersifat musiman pendidikan tinggi ada yang kemudian menjadi
(Subandi, 2004: 178). Melihat sebuah peluang angkatan laut, pelayar, bekerja di Jepang, dan
Semarang sebagai pusat perekonomian, kaum ada yang merantau ke Jakarta (Wawancara
urban atau boro ini mencoba peruntungan dengan Paiman. Tanggal 24 September 2021).
bekerja di kota. Gilo-gilo menjadi sebuah pilihan Lain halnya dengan Pak Asmo, beliau juga salah
tatkala sulitnya mencari pekerjaan di Semarang. satu pedagang gilo-gilo yang sukses
Berbagai tindakan kreatif dan inovatif menyekolahkan anaknya sampai pendidikan
dilakukan pedagang gilo-gilo untuk meningkatkan tinggi. Memiliki anak berjumlah 5 orang, 4
produktivitasnya. Perubahan-perubahan terjadi diantaranya lulusan akademi semua
terutama dalam bidang ekonomi dan sosial ke (Wawancara dengan Suroto, 20 September
arah yang lebih maju demi kualitas kehidupan 2021). Pedagang gilo-gilo juga ada yang anaknya
mereka. Etos kerja yang dimiliki oleh pedagang kemudian menjadi pejabat di pemerintahan,
gilo-gilo seperti pekerja keras, tekun, dan ulet pedagang tersebut bernama Tri Widodo. beliau
menjadi poin tambahan untuk terus berkembang. merupakan Ayah dari Bupati Klaten Sunarna
Mereka banyak mengandalkan penghasilan yang dan mertua dari Bupati Klaten Sri Mulyani
diperoleh dari berdagang gilo-gilo. Besarnya (Wawancara dengan Suroto, tanggal 20
penghasilan yang diperoleh apabila dirata-rata September 2021).
memiliki keuntungan yang lebih besar Berbagai perjuangan hidup dilalui oleh
dibandingkan penghasilan mereka dari sektor pedagang gilo-gilo demi kebutuhan hidup dan
pertanian. Keuntungan yang diperoleh dari gilo- kebutuhan pendidikan. Pendidikan yang semakin
gilo dapat diterima setiap hari, bukan seperti maju di kalangan anak pedagang gilo-gilo mampu
pertanian yang mendapat keuntungan saat masa meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan
panen atau masa tanam saja. status sosial derajat orang tua dan keluarga
Keyakinan yang dimiliki oleh para nantinya. Pemikiran maju terhadap pendidikan
pedagang bahwa nasib mereka di desa dapat tersebut juga membentuk generasi-generasi
berubah apabila mereka berusaha semaksimal tenaga kerja terampil dan berpendidikan yang
mungkin untuk mendapatkan kehidupan yang mampu bersaing dengan keadaan dan kemajuan.
lebih baik lagi. Berbagai risiko berani mereka Hal tersebut juga mampu membantu mengurangi
ambil dengan meninggalkan pekerjaan lama angka pengangguran akibat tidak diterimanya
sebagai petani. Dengan berbagai keterbatasan tenaga kerja di sektor formal sebagai akibat dari
yang ada, pedagang gilo-gilo mengalami minimnya keterampilan dan pendidikan.
peningkatan yang cukup tinggi dalam hal Perkembangan pedagang gilo-gilo ke arah yang
pemenuhan kebutuhan hidup primer seperti lebih maju memberikan berbagai keuntungan
pangan, sandang, papan, dan juga pendidikan. bagi pedagangnya. Meningkatnya perekonomian
Gilo-gilo memberikan pengaruh dan kehidupan sosialnya menjadi keuntungan
perkembangan ekonomi yang positif bagi para yang didapatkan.
pedagangnya. Perkembangan itu mampu dilihat
dalam kehidupan keseharian mereka guna 4. Dampak Gilo-gilo Bagi Masyarakat sekitar
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pedagang gilo- Gilo-gilo tidak hanya mampu menopang
gilo di dalam kehidupannya bukan hanya sekedar kehidupan pedagangnya, namun lebih dari itu
mencari materi berupa uang, namun pedagang bahwa gilo-gilo juga sangat berpengaruh terhadap
150
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
meningkatnya taraf kehidupan masyarakat apa yang digunakan. penghasilan yang diperoleh
sekitar. Berbagai perubahan terjadi terutama dari usaha tersebut mampu menopang
dalam hal ekonomi, sosial, dan pendidikan. kekurangan keuangan keluarga sebagai akibat
Keberadaannya menjadi sangat penting tatkala dari penghasilan suami yang tidak menentu.
pedagang gilo-gilo sudah jarang memproduksi Pekerjaan sebagai penitip dagangan ini bisa
makanan sendiri (Wawancara dengan Sugianto, sebagai pekerjaan pokok maupun sampingan,
tanggal 20 September 2021). namun kebanyakan merupakan pekerjaan
Keberadaan gilo-gilo mampu membuka sampingan keluarga. Pekerjaan pokok tetaplah
kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. menjadi tugas suami sebagai kepala keluarga.
Selaras dengan kehidupan pedagang gilo-gilo Peranan wanita sebagai seorang wirausaha
sebagai masyarakat kecil, antara pedagang gilo- mengakibatkan tumbuhnya industri-industri
gilo dengan masyarakat sekitar saling bekerja rumahan berbasis makanan di dua kampung
sama dalam hal kreativitas dan memanfaatkan tersebut.
peluang yang ada guna mendapatkan tujuan Peranan wanita sebagai seorang wirausaha
bersama. Adanya pembagian tugas antara kaum mengakibatkan tumbuhnya industri-industri
laki-laki dengan perempuan. Pedagang gilo-gilo rumahan berbasis makanan di Kampung
yang didominasi oleh kaum laki-laki bertugas Gabahan dan Kampung Kulitan (Wawancara
sebagai penjaja makanan sedangkan pembuat dengan Sugianto, tanggal 20 September 2021).
makanan yang didominasi oleh kaum wanita ini Antara pedagang dengan pemasok makanan
bertugas memasok makanan pedagang gilo-gilo saling bekerja sama dengan sistem Ngalap Nyaur
(Wawancara dengan Sugianto, tanggal 20 (Mustafa, 2008: 72). Dalam sistem ini proses
September 2021). Peranan wanita sudah kredit barang (kulakan) dilakukan dengan cara
mengalami peningkatan yang semula hanya pedagang akan mengambil barang terlebih
menganggur di rumah maupun hanya sebagai ibu dahulu kemudian akan membayar belakangan
rumah tangga berubah menjadi wirausaha yang setelah barang terjual. Dibutuhkan kejujuran,
mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah kepercayaan, dan ketertiban dalam
sendiri. Melihat peluang yang ada kaum wanita melaksanakan sistem ini karena pembayaran
secara sukarela berinisiatif untuk memproduksi tidak dilakukan secara langsung saat barang
makanan dan menitipkannya tanpa adanya diambil. Hal itu mengakibatkan timbulnya sifat
paksaan dari siapa pun. kepercayaan, toleransi dan kekerabatan yang
Ibu Nur menjadi salah satu pentitip sangat erat dalam masyarakat kampung.
makanan di pedagang gilo-gilo. Berawal sekitar Sistem tersebut menciptakan sebuah
tahun 1980-an, beliau menitipkan Aneka interaksi sosial yang positif di dalam masyarakat
gorengan mulai dari tahu, tempe, dan lainnya antara kaum urban dan masyarakat sekitar.
(Wawancara dengan Nur, tanggal 16 September Menurut Soerjono Soekanto interaksi tersebut
2021). Senada dengan Ibu Nur, tahun 1990-an masuk ke dalam bentuk interaksi asosiatif yaitu
Ibu Sri juga menitipkan lumpia ke pedagang gilo- suatu hubungan yang mengarah pada kerja sama
gilo (Wawancara dengan Dinda, tanggal 17 (Taneko, 1984: 115). Timbulah sikap kegotong-
September 2021). Penghasilan tersebut royongan, keguyub-rukunan, kekerabatan antar
digunakan untuk menambah kebutuhan rumah warga masyarakat tanpa melihat latar
tangga disamping penghasilan suami, untuk belakangnya.
membeli bahan baku produksi keesokan harinya, Melihat kehidupan bermasyarakat yang
dan untuk tambahan biaya menyekolahkan anak, semakin bertambah tahun peningkatan taraf
dan sisanya untuk tabungan rumah tangga. hidup terus bertumbuh dan berkembang,
Penghasilan yang didapatkan setiap membuat sebagian besar produsen makanan
produsen makanan satu dengan yang lain yang memiliki pemikiran maju menginginkan
berbeda. Perbedaan tersebut tergantung berapa anaknya untuk memperoleh pendidikan yang
banyak makanan yang terjual dan bahan baku tinggi. Pendidikan bagi produsen yang maju
151
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
merupakan salah satu hal yang penting. Hal debut berdagang menggunakan pikulan sebagai
tersebut menimbulkan keinginan orang tua untuk sarananya. Perkembangan tersebut terus terjadi
mampu menyekolahkan anaknya setinggi secara kontinu dan menunjukan tren yang positif.
mungkin. Memiliki pendidikan tinggi Sejak tahun 1985 terjadi perubahan cara
dimaksudkan agar anak-anak mereka dapat berdagang yaitu dari pikulan beralih ke
merasakan kehidupan dan memiliki pekerjaan penggunaan gerobak. Peralihan tersebut
yang lebih baik lagi daripada kedua orang tuanya. dimaksudkan agar mempermudah pembawaan
selain itu, pendidikan tinggi mampu barang dagangan yang semakin banyak. Tahun
meningkatkan sebuah prestise atau kebanggaan 1970-an sampai 1990-an menjadi tahun-tahun
keluarga dalam kehidupan sosial di masyarakat. kejayaan bagi pedagang gilo-gilo. Semakin
Hubungan sosial yang baik terjalin antar eksisnya dan bertambahnya pedagang sebagai
warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. akibat dari antusiasme masyarakat dalam
Diibaratkan seperti ungkapan Jawa seiyeg saeko membeli dagangan pedagang gilo-gilo. Kejayaan
proyogo yang artinya bahwa bergerak bersama- tersebut berangsur-angsur menurun semenjak
sama untuk mencapai tujuan bersama (Ardianto, tahun 1990-an pedagang gilo-gilo silih berganti
2014: 78). Pola hubungan sosial yang terjalin datang dan keluar karena berbagai macam hal
antara pedagang gilo-gilo dengan masyarakat mulai dari krisis ekonomi yang membuat daya
sekitar mampu dilihat dari kerukunan yang beli masyarakat menurun, bahan kebutuhan
terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka. pokok meningkat, dan juga pengaruh globalisasi
Perwujudan yang dapat dilihat sebagai warga yang semakin merajalela.
masyarakat adalah saling membantu antar Perkembangan gilo-gilo di Kampung
warga. Hal tersebut dapat dilihat ketika ada salah Gabahan dan Kampung Kulitan sangat
satu tetangga yang membutuhkan bantuan atau berdampak dalam peningkatan perekonomian
lebih dikenal dengan sambatan (Wawancara masyarakatnya. Keberadaannya mampu
dengan Suroto, tanggal 20 September 2021). menyediakan lapangan pekerjaan bagi
Antara pedagang dengan masyarakat sekitar masyarakat sekitar yang menganggur, terutama
saling menyempatkan waktunya untuk bergotong para perempuan atau ibu rumah tangga. Mereka
royong. mampu membantu menambah perekonomian
Kebersamaan juga tercermin manakala keluarga. Penghasilan yang didapat digunakan
melihat setiap warga masyarakat dan pedagang untuk menambah keuangan keluarga selain dari
gilo-gilo saling bergotong royong dalam penghasilan suami yang tidak menentu.
melakukan kerja bakti di kampungnya Perubahan tersebut berdampak juga pada pola
(Wawancara dengan Sugianto, tanggal 20 berpikir dari pedagang maupun masyarakat
September 2021). Jaringan tersebut kemudian terhadap pendidikan. Antara pedagang dengan
memfasilitasi terjadinya sebuah komunikasi dan masyarakat sekitar saling bekerja sama dalam
informasi yang saling percaya dan bekerja sama. meningkatkan pendapatan ekonominya.
Keberadaan pedagang gilo-gilo yang berinteraksi Pedagang gilo-gilo juga memberikan kontribusi
dengan masyarakat setempat mampu dalam khazanah budaya di Semarang. gilo-gilo
memperluas jaringan sosial yang lebih kokoh.. mampu menampilkan berbagai cita rasa lokal
sebagai local genius warisan dan martabat budaya
SIMPULAN setempat dalam dagangannya. Berbagai
Tumbuh dan berkembangnya pedagang makanan tradisional yang dijajakan oleh
gilo-gilo bukan hanya mampu memenuhi pedagang gilo-gilo menjadi salah satu senjata
kebutuhan hidupnya melainkan sebagai ampuh guna membangun identitas dan karakter
penopang hidup masyarakat sekitar. Hal tersebut Kota Semarang. Cita rasa tradisional mampu
terlihat sejak berkembangnya pedagang gilo-gilo tetap bertahan dan eksis walaupun
tahun 1960, tahun ini menjadi tonggak awal perkembangan jaman semakin maju
eksistensi mereka di jalanan Semarang. Awal
152
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
153
Pradipta Mahatma NW & Andy Suryadi / Journal of Indonesian History 10 (2) (2021); pg. 141-154
154