Anda di halaman 1dari 10

STUDY PERKEMBANGAN PERDAGANGAN DI KABUPATEN

TEBO DI BAWAH PEMERINTAHAN HINDIA- BELANDA


(1906-1942) SEBAGAI BAHAN AJAR PADA PEMBELAJARAN
SEJARAH DI MAN 2 KOTA JAMBI

PROPOSAL PENELITIAN

Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Pengaruh Barat

DISUSUN OLEH:

ANINDA SALMA RAHMAWATI

NIM. A1A221026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
SEPTEMBER, 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian yang berjudul “Perdagangan di Kabupaten Tebo di Bawah
Pemerintahan Hindia-Belanda (1906-1942) Sebagai Bahan Ajar Pada
Pembelajaran Sejarah di MAN 2 Kota Jambi” dengan baik.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Indonesia Pengaruh Barat. Dalam penulisan penelitian ini, penulis tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih terutama kepada Ibu Reka Seprina S.Pd., M.Pd selaku dosen mata kuliah
Sejarah Indonesia Pengaruh Barat serta semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

Saya sendiri sebagai penulis menyadari bahwa proposal ini masih terdapat
beberapa kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar penulis dapat menyajikan karya-karya yang lebih baik di waktu
yang akan datang. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
umumnya dan penulis pada khususnya.

Jambi, 03 September 2022


Penulis

Aninda Salma Rahmawati


Nim. A1A221026
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..............................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................
DAFTAR BAGAN...................................................................................................
DAFTAR TABEL.....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Awal kedatangan bangsa Belanda datang ke Jambi dengan maksud tujuan


mencari rempah-rempah. Masuknya Belanda ke wilayah kerajaan Jambi pada tahun
1615 M pada masa kekuasaan Sultan Abdul Kahar dengan berlabuhnya dua buah
kapal dagang Belanda Wapen’s Van Amsterdam dan Middleburg oleh Abraham Strek
dengan maksud mendapatkan izin untuk mendirikan Loji Dagang di Muara Kumpeh
(Usman, 2006:8). Kedatangan Belanda ke wilayah Jambi mendapatkan perlawanan
dari rakyat Jambi, karena rakyat Jambi merasa bahwa Belanda tidak hanya
memonopoli perdagangan semata tetapi juga sering mengadakan campur tangan
dalam usaha pemerintahan dan juga dalam penggantian Sultan. Selain itu, juga dalam
perselisihan dikalangan istana sendiri mereka memanfaatkan untuk memperkuat
posisi mereka di daerah ini, sehingga akhirnya merekalah yang menentukan jalannya
pemerintahan (Masjukri, 1985:18). Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Jambi
terhadap Belanda belum merupakan perlawanan bersenjata, melainkan berupa
pemboikotan atas penjualan hasil bumi. Perlawanan ini berhasil, terbukti dengan
ditutupnya kantor dagang Kompeni Belanda di Muara Kumpeh pada tahun 1623 M.
Untuk tetap menguasai Jambi, Belanda menggunakan politik pecah belah secara
sistematis. Pelaksanaan politik pecah belah devide et impera. Belanda melihat ada
pintu masuk paling strategis untuk memecah belah kesultanan Jambi melalui dua jalur
yakni pertama, Terletak pada sistem pemerintahan dimana ada kekuasaan Sultan dan
ada kekuasaan Pangeran Ratu. Rakyat Jambi menolak segala bentuk pemerasan dan
penjajahan. Sultan Thaha Saifuddin, putra Sultan Muhamad Fachruddin yang
merupakan sultan Jambi terakhir tidak mau mengakui semua perjanjian yang telah
dibuat oleh Belanda, sultan juga tidak mau berunding atau mengadakan perjanjian
baru dengan pihak Belanda. (Zuraima, 1996:73).
Pada tahun 1916 terjadilah peristiwa pemberontakan terhadap Belanda. Laskar
Duatip Bin Duahid asal Dusun Lubuk Mandarsah tertangkap Belanda namun berhasil
melarikan diri ke Muara Tembesi. Sampai di Tembesi dia mengaku dirinya sebagai
Raden Mattaher dan diangkatlah beliau menjadi Sultan Rajo Batu yang wilayah
kekuasaannya adalah Muara Tembesi. Ia hanya bertahan di Muara Tembesi selama
15 hari disebabkan Belanda datang menyerang dengan kekuatan 7 kapal perang.
Sultan Rajo Batu pun mundur ke Sengkati. Sepeninggal Rajo Batu yang melakukan
perjalanan ke arah Muara Tebo, Sebagian pasukannya yang tinggal di Teluk Rendah
mengadakan perlawanan terhadap Belanda dibawah Pimpinan Datuk Ijuk. Pasukan
yang masih hidup segera menyusul Rajo Batu ke Muara Tebo dengan rute Teluk
Rendah – Sungai Bengkal - Betung Bedarah - Lubuk Mandarsah - Semabu.
Mendengar pergerakan tersebut, Belanda memaksa rakyat Jati Belarik, Bedaro
Rampak, Tambun Arang, Mangun Jayo, Dusun Tengah dan Teluk Pandak untuk
membuat Benteng dari kawat2 berduru setinggi 5 meter.  Sementara itu dari
Rombongan Rajo Batu singgah di Pelayangan untuk mengatur penyerbuan ke
Benteng Belanda di Muara Tebo. Sultan Rajo Batu memerintahkan sejumlah 60
orang dari Lubuk Mandarsah untuk masuk Muara Tebo pertama kalinya yang
dipimpin Panglimo Jintan (Ramli, 2020).

Bangsa Belanda berhasil berkuasa di Tebo. Seiring dengan berjalannya waktu,


bangsa Belanda membuat pemukiman di Tebo. Terdapat bangunan-bangunan
bersejarah bergaya kolonial Belanda di kota tersebut, hanya saja bangunan-bangunan
tersebut sudah rusak dimakan waktu, kayu-kayunya hampir dimakan dengan bantuan
rayap. Namun, ada beberapa besi tua yang kondisinya masih layak pakai meski sudah
puluhan tahun digunakan. Bahkan rumah-rumah penduduk di sekitar bangunan
bersejarah tersebut juga bergaya arsitektur kolonial. Bahkan ada penertiban yang
masih di tengah kesepakatan masyarakat yang disertai dengan pendopo pada masa
kolonial (Ahmad Nurcholis, 2022:92).

Sejak awal abad ke-17 M sampai awal abad ke-18 M, lada telah menjadi
komoditas ekspor penting Kesultanan Jambi. Berdasarkan laporan VOC (Vereenige
Oost Indische Compagnie), sultan Jambi mendapat keuntungan sebanyak 30-35%
dari penjualan lada Pada periode tersebut, daerah huluan Jambi juga dikenal sebagai
penyalur merica. Sejak abad ke-17, Kesultanan Jambi sudah melakukan perdagangan
atas biji emas sampai ke Eropa. Komoditi utama kabupaten Tebo pada masa itu
adalah Lada. Pola perdagangan lada di Tebo umumnya berupa petani lada yang
berlayar ke hilir menjual lada mereka (Andaya, 2016: 80). Namun, pedagang Inggris,
Belanda ataupun pihak Kesultanan Jambi yang tidak mau menunggu begitu saja
kedatangan petani lada telah membentuk pola perdagangan lain. Mereka
mengirimkan agen ke hulu untuk membeli lada langsung dari petani. Pola
perdagangan ini diikuti para pemain lada, termasuk bangsawan Jambi yang juga
pemain lada di Jambi (Lindayanti, 2013: 68). Pengiriman lada sering terganggu
karena kesulitan akses geografis antara hulu dan hilir. Penundaaan sering berbulan-
bulan karena rakit hanya bisa melewati sungai dalam kondisi air sungai tinggi. Saat
kondisi sungai dangkal, pelayaran dari hulu berhenti setelah melewati Sungai
Tembesi. Pada kondisi normal, petani lada di hulu yang membawa hasil ladanya ke
hilir Jambi. Bangsa Eropa tidak sabar dengan kondisi ini karena hasil perdagangan
yang minim. Pada abad XVI hingga abad XVIII, kebergantungan pada alam berupa
arus laut dan angin monsun sangat tinggi. Aktivitas pelayaran sangat ditentukan
kondisi alam. Hal ini disebabkan sarana transportasi masih berupa kapal dan perahu
yang masih menggunakan layar dan bentuknya masih sederhana. Beberapa sumber
menyebut bahwa ada beberapa model dan bentuk kapal dan perahu yang ada di
Sumatra, termasuk Jambi pada zaman itu. (Asnan, 2017:3).

Gusti Asnan dalam bukunya Sejarah Sumatra menjelaskan, petani lada di hulu
memilih pasar Muaro Tebo yang saat itu juga pusat perdagangan penting di daerah
hulu. Muaro Tebo memiliki akses jaringan transportasi ke Indragiri dan Kuala
Tungkal melalui Sungai Sumai dan dilanjutkan dengan jalan setapak menembus
hutan. Cara ini merupakan bentuk ketidakpatuhan dari masyarakat hulu sungai
terhadap pusat pemerintahan di bagian hilir. Ketidakpatuhan dilakukan dengan tidak
melakukan kontak langsung dengan pusat pemerintahan. Tegasnya, penghindaran
dilakukan dengan tidak melintasi perairan yang melewati ibu kota kerajaan. Tindakan
menghindar dari kontrol penguasa adalah dengan cara pindah sungai. Sebagai contoh,
penduduk atau saudagar yang berasal dari hulu sungai Batang Hari menghindari pusat
Kesultanan Jambi dengan menggunakan jalan setapak untuk pindah ke sungai lain
untuk menghindari hegemoni penguasa (Asnan, 2016: 87). Pada musim kemarau saat
perdagangan dengan Pelabuhan Jambi terhenti, Muaro Tebo berperan menjadi
pelabuhan transit bagi produk lada dari daerah Minangkabau dan dari daerah
Tanjung, Kuamang, dan Sumai. Muaro Tebo begitu ramai karena barang-barang
dagangan berupa tekstil dan garam dibawa orang Melayu dari Kuala Tungkal.
Kedekatannya dengan jaringan perdagangan Melayu di Selat Melaka maka kadang-
kadang Muaro Tebo disebut Melaka Kecil (Lindayanti, 2013: 73).

Semua hasil pertanian, perikanan, perkebunan, hasil hutan, kerajinan, dan emas
menjadi komoditas ekspor Kesultanan Jambi yang dijual sampai ke Malaka dan
Singapura dan Eropa melalui Pelabuhan Jambi. Komoditas ekspor tersebut ditukar
oleh sultan-sultan Jambi dengan beras, garam, kain tekstil, dan perkakas dari logam
dan besi. Khusus untuk kain sutera dan mori, dibeli langsung dari pedagang Belanda
dan Cina untuk membuat tenun ikat, sulam benang emas, dan kain bermotif bunga
hingga batik Jambi. Penduduk mulai mengenal dan menanam karet setelah
pemerintah Hindia Belanda mewajibkan penanaman karet di beberapa afdeeling dan
onderfdeeling di Keresidenan Jambi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan
masyarakat Eropa akan karet. Karet menjadi tanaman komersial penting satu-satunya
di Keresidenan Jambi sampai periode kolonial akhir. Selama dasawarsa 1920-an,
Jambi menjadi produsen karet rakyat terbesar di Hindia Belanda, dilihat dari jumlah
pohon karet yang ditanam. Kebun karet pertama dibuka tahun 1904 di dekat ibukota
keresidenan, yaitu di Afeeling Muara Tembesi. Pada periode selanjutnya tepatnya
pada tahun 1900-1914 Karet ditanam di tanah milik dusun berupa kompleks
perkebunan yang terbentang ke selatan sepanjang 6 km dan ke arah timur sepanjang
12km. Kebun karet milik pemerintah Hindia Belanda juga dibuka di Afdeeling
Sarolangun, Bangko, Bungo, Tebo, Jambi, dan Kerinci tahun 1907-1912 (Yulita,
2019:21).

Peristiwa yang menarik perhatian penulis mengenai tema yang akan dikaji di
proposal ini adalah Kabupaten Tebo yang merupakan bagian dari keresidenan
Jambi dibawah kekuasaan Kolonial Belanda Hal ini yang membuat penulis tertarik
untuk menulis tentang bagaimana Perdagangan di Kabupaten Tebo di Bawah
Pemerintahan Hindia – Belanda (1906-1942) dalam perspektif sejarah.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana perkembangan perdagangan di Kabupaten Tebo dibawah
pemerintahan Hindia – Belanda pada tahun 1906-1942?
2) Bagaimana perkembangan perdagangan di Kabupaten Tebo dibawah
pemerintahan Hindia – Belanda pada tahun 1906-1942 dijadikan sebagai
bahan ajar di MAN 2 Kota Jambi?

1.3 Tujuan Penelitian


1) Mendeskripsikan perkembangan perdagangan di Kabupaten Tebo
dibawah pemerintahan Hindia – Belanda pada tahun 1906-1942.
2) Mendeskripsikan perkembangan perdagangan di Kabupaten Tebo
dibawah pemerintahan Hindia – Belanda pada tahun 1906-1942
dijadikan sebagai bahan ajar di MAN 2 Kota Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian


1) Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, serta bisa menjadi referensi,
wawasan tentang Perdagangan di Kabupaten Tebo pada masa colonial
Hindia – Belanda (1906-1942) dan dijadikan sebagai sumber belajar.

2) Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
konstribusi positif pada sekolah tersebut dalam rangka perbaikan
serta peningkatsn kualitas dan hasil belajar.
b. Bagi guru, sebagai alternatif sumber dan bahan ajar yang efektif
dan efisien untuk pembelajaran serta membantu dalam
penguasaan materi tentang Perdagangan di Kabupaten Tebo pada
masa colonial Hindia – Belanda (1906-1942) sesuai dengan
kompetensi inti dan kompetensi dasar.
c. Bagi siswa, mempermudah siswa dalam memahami materi
tentang Perdagangan di Kabupaten Tebo pada masa colonial
Hindia – Belanda (1906-1942).
d. Bagi peneliti, menambah pengetahuan, wawasan dan
pengalaman dalam melakukan penelitian. Serta menambah
pengetahuan peneliti tentang Perdagangan di Kabupaten Tebo
pada masa colonial Hindia – Belanda (1906-1942).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Nurcholis. 2022. Kota Tua Muara Tebo Sebagai Tempat Bersejarah.
Jurnal Krinok. 1(2): 89-95.
Andaya, Barbara Watson. 2016. Hidup Bersaudara di Sumatra Tenggara Abad
XVII dan XVIII. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Bustaman, Zuraima. 1996. Biografi Pahlawan Nasional Sultan Thaha Saifuddin,


Jambi: CV, Lazuardi Indah Jambi.

Masjkuri. 1985. Sultan Thaha Saifuddin. Jakarta: Depdikbud. Proyek Inventarisasi


dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Meng, Usman. 2006. Napak Tilas Liku-liku Provinsi Jambi. Jambi: Pemerintah
Provinsi Jambi.

Lindayanti, T. Noor, Junaidi, dan Ujang Hariadi. 2013. Jambi Dalam Sejarah
1500-1942. Jambi: Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi.

Lindayanti, Witrianto, dan Ulqayyim. 2010. Harmoni Kehidupan di Provinsi Multi


Etnis: Studi Kasus Integrasi Antara Penduduk Pendatang dan Penduduk Asli di
Jambi. Padang: Laporan Penelitian Universitas Andalas.

Yulita, O. 2019. Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Dalam Menentang Belanda.


Jurnal Hadharah. 13 (2).

Anda mungkin juga menyukai