Anda di halaman 1dari 22

Paramita:

Paramita: Historical
Historical Studies
Studies Journal,
Journal, 26(2),
26 (2), 2016: 186-202
2016 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825
DOI:

RELASI PASAR, NEGARA, DAN MASYARAKAT:


KAJIAN PADA RUANG PERKOTAAN
SEMARANG AWAL ABAD KE-20
Putri Agus Wijayati
Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada;
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

ABSTRACT ABSTRAK
This paper aimed at explaining various prob- Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan
lems faced by the government of Semarang berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah
city in the contexts of market and society. This kota Semarang dalam konteks pasar dan
study would be presented as a contribution to masyarakat. Hasil penelitian ini akan dapat
the city government to be considered in mak- dipergunakan untuk memberikan kontribusi,
ing some policies related to market revitaliza- yaitu sebagai bahan pertimbangan bagi
tion. The specific targets to be achieved were, pemerintah kota dalam mengambil sebuah
firstly, describing the infrastructure of Sema- kebijakan terkait dengan revitalisasi pasar.
rang as a city area in the early 20 th century, Adapun target khusus yang ingin dicapai ada-
and, secondly, analyzing the socio-economic lah mendeskripsikan infrastruktur Semarang
dynamics of the city dwellers in terms of Se- sebagai sebuah wilayah perkotaan pada peri-
marang development as a city area in the con- ode awal abad ke-20. Menganalisis dinamika
texts of market and state. To achieve the tar- sosial ekonomi warga kota terkait perkem-
gets, four method principles were used; they bangan Semarang sebagai wilayah perkotaan
were collecting the data relevant to the focus dalam konteks pasar dan negara. Untuk men-
of analysis, verifying the data, interpreting the capai tujuan itu, empat prinsip metode yang
data including data analysis and fact synthesiz- digunakan meliputi mengumpulkan data yang
ing. Finally, as a form of accountability, relevan dengan fokus kajian, verifikasi data,
histo- riography was conducted. This study interpretasi atau menafsirkan yang di da-
was essential to show that historical study lamnya termasuk analisis data dan sintesis
which involves generalization and social fakta, dan sebagai wujud akuntabilitas
significance are valuable to solve various penelitian akan dilakukan historiografi.
problems of the city in recent eras. Penelitian ini memiliki arti penting yang akan
mampu menunjukkan bahwa kajian historis
Keywords: infrastructure, city, market, state, yang mengandung generalisasi dan social sig-
social significance nificance mempunyai nilai guna untuk men-
gurai berbagai problem perkotaan pada de-
wasa ini.

Kata-kunci: infrastruktur, perkotaan, pasar,


negara, social significance.

Author correspondence
Email: putrikediri1962@gmail.com 186
Available online at http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita
Paramita: Historical Studies Journal, 26(2),
2016

PENDAHULUAN pemerintah kota concern terhadap: 1) ingin


membuat kota kelihatan teratur dan tertib;
Kajian ini terinspirasi oleh fenomena ak- 2 ) di do r on g oleh ke sadar an akan
tual yang dewasa ini mengemuka, yaitu kebersihan dan kesehatan, orientasi
pembangunan Pasar Bulu Semarang yang pemerintah kota mengarah pad
telah diresmikan menteri perdagangan di a kehidupan kota agar lebih sehat,
penghujung tahun 2014 masih menyisa- karena yang tinggal di kota tidak hanya
kan persoalan. Di antaranya, lantai dua orang Pribumi, namun juga orang Eropa
dan tiga masih banyak yang kosong yang juga berkepentingan terhadap
kare- na sebagian besar pedagang memilih berbagai m a s a l a h y a n g d i s e b a b k a
ber- jualan di basement pasar n o l e h kekumuhan pasar. Jadi, kalau
(sindonews.com, 2014). Sementara itu, kota bisa bisa diatur sedemikian bersih,
seperti disampaikan Walikota Semarang, maka akan mempengaruhi kualitas dan
kekumuhan pasar dan banyaknya totalitas hidup di perkotaan. Dalam
pedagang beraktivitas di jalan, telah konteks di si- ni, karena pasar
menjadi alasan perlunya dilakukan merupakan bagian dari fisik kota, maka
renovasi. Dikatakan pula bahwa infrastruktur kota tidak berdiri sendiri,
secara fisik, konsep pembangunan Pasar namun memiliki hubungan dengan
Bulu tidak kalah dengan pasar modern infrastruktur lainnya.
(semarang.solopos.com, 2014) Dalam Berdasarkan latar belakang topik
batas tertentu, tujuan pemerintah kota dan latar belakang permasalahan di atas,
untuk mengakomodasi pedagang ke dalam maka kajian ini menjadi penting untuk
Pasar Bulu, belum seluruhnya berhasil. menjawab dan memberikan sumbangan
Lahir argumentasi yang sama dari pemikiran dan bahan pertimbangan bagi
Kepala Dinas Pasar, yaitu Pasar pembuat kebijakan terhadap persoalan
Peterongan perlu direvitalisasi karena kekinian yang masih sangat krusial
sudahtidakmampumenampun dihadapi kota-kota di Indonesia, khu-
g pedagang, sehingga menyebabkan susnya kota Semarang.
banyak pedagang berjualan di pinggir Permasalahan yang dikaji adalah
jalan atau trotoar. sebagai berikut. (1) Pertumbuhan infra-
Fenomena aktual itu merupakan struktur kota seperti apa yang menjadi
pandangan-pandangan kekinian sebagai pertimbangan pemerintah kota untuk me-
latar belakang memilih topik. Adapun modernisasi pasar; (2) Dinamika sosial
latar belakang persoalan dalam penelitian ekonomi penduduk seperti apa yang ber-
ini bisa dilihat sejak tiga dekade sebelum langsung di Semarang.
Semarang berstatus kotapraja. Semarang
telah mengalami peningkatan kegiatan
perdagangan yang pesat. Perkembangan METODE PENELITIAN
perdagangan itu ditandai sejak liberalisasi
ekonomi tahun1870, terutama Penelitian ini merupakan kajian terhadap
perdagangan gula, sehingga mampu me- fenomena kelampauan, sehingga menjadi
lahirkan raja gula, Oei Tiong Ham (Ling, relevan untuk dapat menghasilkan histori-
1991: 219-239; Tio, t.th.: 29). Diperkuat ografi, akan digunakan metode penelitian
lagi, melalui kebijakan desentralisasi telah sejarah. Suatu metode penelitian yang
meneguhkan Semarang sebagai salah satu mengacu pada proses menguji dan
kota terdepan bersama Jakarta dan Sura- menganalisis secara kritis berbagai data
baya (Coban, 1988: 266). Status kotapraja sejarah melalui beberapa tahapan
yang disandang Semarang, menurut Mi- (Garraghan, S.J., 1957; Gottschalk, 1975;
lone membawa konsekuensi-konsekuensi Kartodirdjo, 1993; Abdurrahman, 1999;
(1986: 19-26; Ketjen, 1915: 356). Dewan Sjamsuddin, 2007). Perlu disampaikan
kota sebagai pihak yang menyelenggara-
bahwa, dalam penelitian sejarah, lokasi
kan wewenang negara, membawa standar
penelitian tidak selalu harus dilakukan
B a r a t k e k o t a i n i . Di a n t a r a
pada lokus kajian. Hal ini karena, peneliti
nya
187
sejarah sering berhubungan dengan sum- yang ber lan g sun g . Per ke mba n gan
ber atau data yang tersimpan pada lem- perdagangan, didukung oleh keberadaan
baga pengelola informasi kesejarahan. pelabuhan dan Sungai Semarang.
Kajian ini mengambil cakupan tem- Semarang tumbuh dan berkembang
poral tahun 1900-an berimplikasi pada sebagai kota mengalami proses dan peru-
jenis dan metode pengumpulan data yang bahan dari waktu ke waktu. Perubahan
akan digunakan. Sumber tekstual pada yang terjadi menjadi penanda dari setiap
penelitian ini antara lain: Staatsblad van kebijakan dan kemajuan yang dialaminya.
Nederlandsch Indië (Lembaran Negara Posisi Semarang yang berada di pantai
Hindia Belanda), surat kabar sezaman (De utara Jawa, turut mendasari perkem-
Locomotief, Selompret Melajoe, Het nieuws bangan ekonominya menjadi lebih bersifat
van den dag voor Nederlandsch-Indie¨), sebagai kota pelabuhan, kota dagang, dan
Gemeente-Blad Uitgegeven voor Rekening der sebagai pusat administrasi pemerintah
Gemeente Semarang. Adapun sumber non- kolonial Jawa bagian tengah. Untuk
tekstual (artifact) atau dalam bahasa arsip melihat perubahan yang berlangsung atas
disebut arsip visual (Lohanda, 2011), di perkembangan kota hingga awal abad ke-
antaranya berupa foto dan peta 20, akan digunakan peta tahun 1800
(kartografik) mengenai Semarang. (Gambar 1) dan peta tahun 1909 (Gambar
Interpretasi atau penafsiran atas da- 2).
ta menjadi cara untuk memahami sumber. Berdasarkan peta tahun 1800
Dalam kerangka inilah, penafsiran atas (Gambar 1) terlihat bahwa kawasan yang
data dibedakan dua macam, analisis dan kemudian menjadi Kota Semarang masih
sintesis (Kuntowijoyo, 1995:101). Setelah didominasi ladang padi dan tegalan. Satu
data tentang infrastruktur kota, demografi, abad kemudian, seperti ditunjukkan da-
aspek-aspek ekonomi warga kota, terma- lam peta tahun 1909 (Gambar 2), peru-
suk kondisi pasar di Semarang telah di- bahan yang dialami Semarang begitu tam-
kumpulkan, maka dilakukan analisis un- pak, baik dari sisi infrastruktur maupun
tuk bisa menemukan fakta sejarah. Pada pertambahan penduduk, yang ditandai
dasarnya dari sumber/data terkait fokus dengan munculnya pemukiman di segala
kajian yang sudah ditentukan mengan- penjuru kota.
dung beberapa kemungkinan. Pemukiman penduduk kota cen-
derung untuk bertempat tinggal menge-
lompok di suatu kawasan yang kemudian
HASIL DAN PEMBAHASAN dinamakan kampong (Wijanarka, 2007:
27). Pengelompokkan ini didasarkan atas
Ruang Infrastruktur Sebagai Kawasan beberapa kategori, yaitu pertama etnis dan
Perkotaan kedu a ko mo di tas bar ang yang di-
Memasuki dekade pertama awal abad ke- perdagangkan. Di luar dua kategori itu,
20, Semarang telah berkembang menjadi terdapat kampung yang penduduknya
kota perdagangan yang modern. Ke- terdiri atas beberapa etnis. Keberadaan
modernan kota, secara fisik terlihat dari Kampung Melayu ( Budiman, Suara
beberapa kelengkapan infrastruktur, seper- Merdeka, 2 April 1976). sebagai contoh,
ti kantor perusahaan dagang, agen perke- pada awal abad ke-19, tidak hanya
bunan, gedung perbankan, gudang milik dihuni oleh pedagang dari Semenanjung
pemerintah dan swasta dengan jumlah Melayu melainkan juga oleh pedagang
yang semakin bertambah banyak, teruta- Arab, Su- matra, dan Kalimantan (Reid,
ma sejak tahun 1870. Beberapa bangunan 2001: 306- 310). Heterogenitas etnis
itu, memperlihatkan Semarang berkem- dalam suatu pemukiman terdapat pula
bang sebagai kota tempat bertemunya pa- pada Kampung Pedamaran (Joe, 1933:
ra pebisnis. Pertumbuhan kota yang 60). Pedagang pribumi dari berbagai
sedemikian rupa, secara ekonomi tidak daerah mendomi- nasi penghuni
terlepas dari perkembangan perdagangan kampung itu.
Pengelompokan masyarakat atas
Keterangan

B = Kampung Pecinan
C = Kampung Moor
D = Kampung Melayu
E = Kampung Bugis
F = Kampung Pedamaran
G = Pasar-pasar
H = Bandar (tol huise)
K = Sekolah militer
L = Dalem
M = Kompleks Artileri
O = Taman Kota
Q = Kuburan orang
Eropa S = gudang
pemerintah
T = Masjid

Gambar 1: Peta Semarang Tahun 1800 (Sumber: Gahetna.nl)

kategori etnis yang tegas, dalam peta ta- masyarakat yaitu orang Arab yang sejak
hun 1800 bisa dilihat melalui keberadaan awaltidakmemilikipemukima
Kampung Pecinan, Kampung Bugis, dan n tersendiri, melainkan tinggal di kawasan
Kampung Moor. Kampung Pecinan pemukiman orang Koja dan sebagian ting-
merujuk pada sebuah kawasan yang meru- gal di Kampung Melayu (Shokeh, 2014:
pakan pemukiman masyarakat Tionghoa, 68). Kondisi ini bisa dijelaskan melalui
yang lokasinya di sebelah selatan Kam- tulisan Raffles yang menyatakan bahwa
pung Pedamaran. Menurut Anthony setelah ditetapkan monopoli Belanda dan
Reid, komunitas pedagang Tionghoa se- dihapuskannya perdagangan dengan In-
makin meningkat pada akhir abad ke-18 dia, jumlah orang Moor berkurang,
dan selalu lebih banyak di Batavia dan bahkan mer eka t idak per nah l agi
Semarang (Reid, 2001: 301). Hal yang mengunjungi Jawa. Menurut van der
serupa, menurutnya, terjadi pula pada Kroef, pada abad ke-19 pedagang dari
komunitas pedagang dari Sulawesi Se- Arab yang datang berkelompok ke Jawa
latan. Gambaran itu dapat dilihat dalam semakin banyak (Kroef, 1953: 302 & 305),
peta yang sama melalui keberadan Kam- dan realitas itulah yang mengubah
pung Bugis (Ammarell, 2002: 54). yang Pekojan akhirnya benar-benar menjadi
l ok as iny a d i se be l ah utar a p us a t pemukiman Arab (de Jonge dalam
pemerintahan Eropa. Grijns & Nas (peny.), 2007: 152), yang
Berseberangan dengan Kampung
beberapa puluh tahun kemudian
Pedamaran, di sisi timur sungai terdapat
menjelma sebagai pemukiman dan
Kampung Moor. Kampung yang pada
perdagangan Tionghoa.
awal abad ke-19, masih ditempati oleh Masih dalam peta tahun 1800, ter-
orang-orang Moor (O’Brien, 1937: 467), dapat hal yang menarik, yaitu tidak
pada masa kemudian menjadi pemukiman terekamnya pemukiman orang-orang Ja-
orang Koja, yang oleh masyarakat Sema- wa yang sebenarnya mendominasi
rang lebih dikenal sebagai Kampung penduduk kota. Melalui bukti lain di-
Pekojan Selatan (Joe, 1933: 54; Gillion, tunjukkan, orang Jawa tersebar di
1966: 124-125; Suud, dalam Muhammad, berbagai sudut kota mendiami beberapa
1995: 237 – 244; Blackburn, 2011: 44). kampung. Beberapa di antaranya pada sisi
Selain itu, terdapat satu kelompok timur sungai, atau lebih tepatnya di sebe-
lah selatan Kampung Moor
terdapat
Kampung Petudungan, Ambengan, Gan- lama. Perkembangan baru itu tidak hanya
dekan, Gabahan, dan Deresan. Di bersifat vertikal, melainkan juga berkem-
belakang Jalan Bojong terdapat Kampung bang secara horisontal (Nas dan Pratiwo,
Poncol, Karangtengah, Sekayu, dan 2007: 267 – 268). Hal itu dapat
Logenderan. Di sebelah timur pemukiman dibuktikan dari keberadaan dua pasar di
Eropa, terdapat Kampung Karangbidara, sisi barat kota sepanjang jalan Bojong,
Kobong, dan Terboyo. yaitu Pasar Karangtengah dan Pasar
Di samping kampung, elemen lain Gendingan. Dua pasar di sisi timur kota
yang juga perlu dihadirkan tentang Kota mengikuti jalan ke arah Demak, yaitu
Semarang adalah pemerintahan. Dalam Pasar Karangbidara dan Pasar Terboyo.
konteks ini, terdapat dua kawasan yang Artinya, dari sisi per- sebaran ruang
menjadipusatkekuasaan,yait ternyata cukup lengkap. Dari sisi
u pemerintahan Pribumi dan Eropa. Di persebaran lokasi, pasar di bagian timur
sebelah barat Kampung Pedamaran dan barat kota juga ada, jadi di berbagai
dijumpai tempat tinggal bupati yang sudut kota cukup terwakili. Per- sebaran
terpisahkan oleh pasar (Tio, t. th.: 38; lokasi pasar membuktikan, bahwa pola
Muhammad, 1995: 8). Sementara di sisi pertumbuhan pasar mengikuti
timur sungai, dijumpai kawasan pem- perkembangan pemukiman yang berupa
ukiman dan pusat pemerintahan Eropa kampung dan jalan.
beserta infrastruktur yang pada peta tahun Seratus tahun kemudian, perubahan
1800 masih dikelilingi oleh tembok ben- yang terjadi begitu besar, seperti terlihat
teng. Tembok benteng ini merupakan pada peta tahun 1909. Beberapa peru-
rekonstruksi untuk kedua kalinya dan bahan yang terjadi, pertama jalur kereta
sebagai perluasan dari bangunan benteng api antara Semarang – Solo yang pem-
yang sebelumnya digunakan Kompeni bangunannya dimulai tahun 1864 - 1870,
ketika awal kepindahan dari Jepara. dan dua tahun kemudian, tahun 1872
Tembok benteng hasil rekonstruksi kedua dilanjutkan dari Solo – Jogja (Suryo,
itu kemudian dibongkar pada tahun 1824. 1989: 108). Adanya jalan kereta api, telah
Kelengkapan fisik kota untuk mendukung mempercepat transportasi antar daerah
kekuasaan Belanda cenderung pada dan memudahkan pedagang, karena
infrastruktur militer, yaitu berupa pengangkutan barang ke dan dari Sema-
kompleks artileri yang sekaran rang – pedalaman menjadi semakin cepat,
g digunakan sebagai asrama Corps Polisi ongkos lebih ringan serta tidak banyak
Militer (CPM). Pada sisi timur sungai terjadi kerusakan. Perhubungan dagang
terdapat sekolah militer ( lokasi ini Vorstenlanden – Semarang semakin besar
sekarang digunakan untuk gedung kas dan berkembang pesat.
negara). Dari sekolah militer inilah, di Demikian pula pembangunan tram, se-
kemudian hari memunculkan istilah kadet makin memperluas jaringan lalu lintas
untuk me ny e but pr eman pasar di berbagai kawasan di kota Semarang. Jalur
Semarang. tram membuka hubungan kota dengan
Dari sisi kelengkapan fisik, seperti pinggiran kota, tanpa harus selalu bergan-
dalam peta tahun 1800, Kota Semarang tung pada sungai lagi. Sebuah stasiun
memiliki delapan pasar sebagai infra- tram kota dibangun di Jurnatan sebagai
struktur ekonomi. Empat pasar lokasinya pusat jaringan tram kota, lokasinya di sisi
dekat sungai, yaitu Pasar Pedamaran, timur sungai. Jalur tram ini merupakan
Pasar Regang, Pasar Jurnatan, dan Pasar transportasi kota yang membentuk jarin-
Kampung Melayu. Empat pasar yang gan antara kawasan Jomblang di selatan
lain, kehadirannya terkait pembangunan dengan kawasan Bulu di bagian barat. Di
jalan raya pos Daendels yang telah samping itu, juga melintasi jalan sepan-
mem- bawa pola perubahan kota. jang jalur utara – selatan antara Jurnatan
Sebuah pola perkembangan baru atas – Jomblang dengan melintasi Karangturi
keberadaan pasar terbentuk, di antara sejajar dengan jalan lama yang masih ber-
keberlangsungan pola fungsi sampai saat ini, yaitu Jl.
Mataram,
dekat Pasar Semarang dengan nama
Sumenepan, diduga kuat bekerja sebagai
kuli atau menjadi pedagang kecil.
Menurut Bambang Purwanto, migran
Madura ini memiliki andil besar dalam
terciptanya usaha ekonomis baru, sebagai
tanggapan terhadap perubahan kebutuhan
masyarakat di daerah perkotaan (2000:
61).
Sementara i tu di dekat Pasar
Kampung Melayu, dapat dijumpai
beberapa komunitas baru yang bermukim
di dalam masing-masing kampung yang
bernama Kampung Banjar. Untuk
mengetahui keberadaan kampung ini,
Gambar 2. Peta Semarang Tahun 1909 akan meminjam penjelasan Bambang
(Sumber: kitlv.nl) Purwanto, yang menyatakan bahwa
intervensi militer Belanda abad ke-19 di
yang dipisahkan oleh perkampungan berbagai wilayah Nusantara berpengaruh
pribumi, serta menghubungkan kawasan terhadap pola migrasi penduduk. Para
Jurnatan dengan Bulu yang melintasi Jl. pedagang tekstil dan keris dari Banjar
Bojong. Perkembangan transportasi yang menguasai pasar di wilayah tertentu
terjadi, tidak sebatas menjadikan Sema- (2000: 57). Orang Banjar yang datang ke
rang sebagai kota dagang modern, namun Jawa tidak lagi bekerja di perkebunan,
juga telah menjadi magnet bagi penduduk seperti yang ditunjukkan dalam catatan
dari luar Semarang (White, 1991: 64). Bambang Purwanto tentang tenaga kerja
Fenomena itu memperkuat kajian White di perkebunan karet Palembang
tentang migrasi desa kota yang pada (Purwanto dalam Lindblad (ed.), 2002:
dasarnya merupakan reaksi terhadap tidak 213). Pola inovatif migrasi orang Banjar
adanya peluang pendapatan di luar ke Jawa Tengah bekerja sebagai pedagang
pertanian dalam perekonomian desa, (Basri, Prisma, 1988: 43). Sementara
sehingga mereka harus mencarinya dalam menurut Potter, orang Banjar yang
kehidupan ekonomi kota. Oleh karena itu, semuanya beragama Islam, kadang-
menjadi semakin banyak penduduk yang kadang digolongkan sebagai
memasuki kota. Realitas yang kemudian “Melayu” (Potter dalam Lindblad (ed.),
mengemuka adalah fenomena pem- 2000: 372). Sebagai sebuah kebetulan atau
ukiman menjadi semakin padat dan analisis Potter bisa diterima, yang pasti
berhimpit (Cobban, 1974: 403-427). keberadaan Kampung Banjar berdekatan
Perubahan kedua, pada dua kawa- dengan Kampung Melayu. Kampung
san, yaitu sekitar Pasar Kampung Cerbonan, Kampung Bandengan, dan
Melayu dan Pasar Pedamaran Kampung Pranakan. Sebuah kawasan
memperlihatkan pertumbuhan baru yang kemudian berkembang menjadi
pemukiman semakin be- ragam. pemukiman kampung pribumi terletak di
Perkembangan pemukiman peda- gang di sebelah selatan kota adalah Peterongan,
sekitar Pasar Pedamaran, ditandai dengan sekalipun masih dipenuhi sawah dan
munculnya nama-nama pem- ukiman tegalan, namun penduduk pribumi sudah
baru, seperti Sedogan, Purmasan, banyak yang mendirikan rumah dan
Ngabangan, dan Sumenepan. Lahirnya membuka warung, seperti nampak dalam
kampung ini bisa dikaitkan dengan Gambar 3.
Di luar kategori itu, dijumpai pula
migrasi yang dilakukan kelompok
tempat hunian lebih kecil dari orang-
masyarakat muslim yang berasal dari
orang Jawa, mereka tinggal di dalam ru-
Madura. Di antara migran Madura, yang
masuk ke Kota Semarang dan bermukim
mah komunal yang disebut pondok. pelabuhan terkemuka di pantai utara Jawa
Penghuni pondok biasanya pedagang kecil bagian tengah. Perkembangan yang di-
yang datang ke kota hanya untuk bekerja. capai kota ini merupakan hasil dari proses
Mereka datang dari daerah asal yang sa- yang berlangsung selama lebih kurang dua
ma, mempunyai rumah permanen di desa, abad sebelumnya. Posisi Semarang se-
di mana istri dan anak-anaknya tetap bagai kota pelabuhan dengan basis
t in gg al di desa ( Hugo, 1982 : 61 ; ekonomi perdagangan, telah menjadi
Wertheim, 1956: 163). Sementara kajian magnet berbagai kelompok etnis dan suku
Irwan Abdullah yang menangkap adanya bangsa untuk memasuki kota ini.
fenomena pondok sebagai rumah kon- Dalam perkembangan selanjutnya,
trakan yang didirikan di kota untuk orang- mereka kemudian menjadi salah satu ele-
orang Bawean dan berfungsi untuk men kota yang turut mewarnai kemajuan
mengakomodasi pendatang baru dalam maupun kemunduran Semarang. Ke-
menjalankan usaha (1994: 33). Beberapa hadiran mereka merupakan bagian dari
di antaranya, seperti nampak dalam peta proses pengotaan yang menghuni kam-
tahun 1909 dapat ditemukan nama Pon- pung-kampung secara berkelompok ber-
dok Pati, Pondok Gresik, dan Pondok dasar latar belakang etnis. Berbagai
Tu- ban. Dalam peta yang sama, realitas komunitas etnis dan pengelompokan per-
kota yang tampak, menunjukkan bahwa mukiman di dalam lokalitas yang terdefi-
Sema- rang telah tumbuh sebagai sebuah nisikan secara tegas, menurut Bambang
kota. Realitas itu diperkuat oleh laporan Purwanto, hanya saling berhubungan
berita yang dimuat dalam Selompret secara longgar melalui perdagangan
Melajoe beri- kut ini. (2009; Furnivall, 2009: 474). Artinya,
kepentingan ekonomi mampu mencairkan
Iboe negeri Semarang pada masa ini
makin bertambah sadja eloknja, sedang
struktur masyarakat yang terbangun, dan
roemah-2nja dibaharoei, malahan pasar di kota merupakan ruang yang men-
agaknja tiada ada berhentinja orang jadi tempat berbaurnya penduduk yang
membangoenkan roemah-2 gedong, terpisah secara sosial.
seperti: di pinggir Hooenraaslaan di Menurut Frederick (1983),
djalan ke Tjandi, dalam kota dan lain-2 penduduk kota lebih dilihat sebagai
tempat. Slokan-2 poen kebanjakan keragaman etnis. Keberagaman itu terk-
soedah diberi tamping batoe, dan deras lasifikasi secara hirarkis atas dasar hukum
alir airnja, hingga menambahi kenja- kolonial menjadi tiga tingkatan, yang
manan badan dan kesenangan jang menempatkan kelompok orang Eropa pa-
melihatnja (Selompret Melajoe, 21
da lapisan teratas. Orang Tionghoa dan
Djanoeari 1908).
Timur Asing lainnya (Kroef, 1953: 301).
merupakan kelompok yang berada pada
Namun kenyataan itu tidak didukung oleh
lapisan menengah dan orang pribumi
kebersihan jalan yang seharusnya hadir di
sana. Di beberapa bagian kota ditemukan (Indonesia) diposisikan pada strata
tempat-tempat yang tidak sehat, seperti bawah. Berbagai kelompok etnis dan suku
yang ditunjukkan oleh Hendrik Freerk bangsa itu hidup dalam struktur masyara-
Tillema. Dalam artikelnya yang berjudul kat kolonial yang segregatif.
“Jalan Daendels”, ia menyampaikan Mereka tersegregasi di dalam
bahwa jalan yang merupakan kebanggaan kegiatan sosial yang ditandai dengan
Belanda di koloni ini telah menjadi munculnya kekhasan yang menjadi nama
“sebuah jamban besar” (Mrάzek, 2006: 35 kampung-kampung tertentu, dan pada
– 36). gilirannya akan menjadi penanda nama-
nama pasar. Terbentuknya kampung-
kampung sebagai tempat pemukiman
Demografi dan Dinamika Sosial Kota
berbagai etnis dan suku bangsa, sebenar-
Pada penghujung abad ke-19, Semarang
nya bukan sesuatu yang baru ketika
sudah berkembang sebagai kota
Belanda secara formal memiliki bentuk
dari jumlah penduduk kota 71.186 jiwa,
artinya terdapat pertambahan populasi
penduduk pribumi 33.974 jiwa (41,13
%), atau secara keseluruhan terjadi
pening- katan sekitar 59,26 % dalam 40
tahun. Dari jumlah 71.186 orang, terdiri
atas orang Eropa 3.565 jiwa, orang
Tionghoa
12.104 jiwa dan orang Timur Asing lain
1.543 jiwa (Brommer, et al., (ed.), 1995:
23).
Empat puluh tahun kemudian, pada 1890
Gambar 3. Warung pribumi di Kota Semarang penduduk pribumi menjadi 53.974 jiwa
tahun 1900 (Sumber: gahetna.nl)

pemerintahan. Menurut Resink, per-


mukiman orang asing yang memiliki pe-
mimpin dari komunitas masing-masing
telah ada di Jawa sejak abad ke-11. Lebih
lanjut Resink menyatakan, bahwa tradisi
itu diteruskan dalam koloni Hindia Bel-
anda, sebagai contoh, salah satunya diper-
tegas melalui pemukiman orang Tionghoa
di bawah kontrol pimpinan kapiten, se-
mentara pemukiman orang Arab, Bengali
(India), Bugis, dan Moor di bawah
pimpi- nan “kepala kampung” masing-
masing. Opsir polisi di Paterongan,
J.L. Van Gelder (19 Mei 1880); Opsir
di Boeloe,
A.M.F. Fisscher (5 Maret 1881); Mayor-
tituler Tionghoa, Lim Yan Bing (24
S ep temb er 18 83 ) ; K a pi ten - t i tu l er
Tionghoa, Tan Ing Bie (16 Januari
1884); Luitenan Tionghoa, Tjoa Sien
Tjing (24 September 1883); Kepala
kampung Arab dan orang Bengali
dipegang oleh kapiten Arab, Said
Achmad bin Salim Moetahar ( 2
J anu ar i 1882 ) ; Kapi t e n Moor ,
Mohammad Elia Djenal Aziekein (5 Juni
1878); Kapiten Bugis, Daeng Abdoel
Rachman (12 Agustus 1884)
(Regeringsalmanak voor Nederlandch-Indië
1885, 1884:155; Resink, 2012: 194).
Sekalipun keberagaman etnis hadir
di Kota Semarang, tetapi penduduk
pribumi terlihat dominan. Hal ini
ditunjukkan dalam populasi penduduk di
Kota Semarang pada pertengahan abad ke
-19. Dari jumlah keseluruhan penduduk
kota sebesar 29.000 jiwa, 20.000 orang di
antaranya merupakan penduduk pribumi.
Satu dekade kemudian, tahun 1900
penduduk kota secara keseluruhan men-
jadi 89.286 orang yang terdiri atas
pribumi 70 . 426 orang, Eropa 4 . 800
orang, Tionghoa 12.372 orang, dan
Timur Asing lain 1.688 orang
(Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-
Indië 1902: 9). Populasi penduduk
kota terus meningkat dari tahun ke
tahun dan 20 tahun kemudian, tahun
1920 jumlahnya sudah berada pada
angka
158.036 jiwa (Penduduk Pribumi
126.628 jiwa, orang Eropa 10.151 jiwa,
orang Tionghoa 19.720 jiwa dan orang
Timur Asing lain 1.530 jiwa (Brommer,
1995: 23), berarti mengalami
pertambahan sebe- sar 68.750 jiwa.
Angka itu menunjukkan sejak dua
puluh tahun pertama awal abad k e - 2 0
berlangsung pertumbuhan
penduduk secara pesat. Padahal
pada a b a d s e b e l u m n y a , y a i t u s
e l a m a pertengahan kedua abad ke-19,
angka itu baru dapat terpenuhi dalam
rentang waktu 50 tahun.
Uraian di atas memperlihatkan
adanya keberagaman etnis warga kota.
Keberagaman itu berimplikasi pada
keanekaragaman jenis pekerjaan yang
ditekuni. Orang Eropa banyak yang
ber- profesi sebagai pegawai pada
instansi pemerintahan, manajer dan
menjadi staf pada agen perkebunan
maupun agen perdagangan swasta,
pedagang terutama dalam skala besar
(grosir), dan dinas kem- i literan. Tidak
semua orang Eropa berprofesi sebagai
pedagang besar. Di antara mereka, ada
juga yang berprofesi sebagai pembuat
gerobak, menempa besi, membuat
pelana, tukang jam, penjahit, berjualan
buku dan kertas, fotografi, pem- buat
topi wanita, dan pengurus rumah p e
n g i n a p a n ( S u r y o , 1 9 8 9 : 17 5 ) .
Kenyaataan di atas menunjukkan
bahwa
tidak semua orang Eropa yang tinggal di dasarkan caping (tudung) di sepanjang
Kota Semarang termasuk dalam kategori jalan yang kemudian dinamakan Petudun-
orang yang “berada” (Selompret Melajoe, 8 gan. Fakta lain, nampak dengan adanya
Agust 1908). pemukiman tempat pembuat gong dan
Sementara, di kalangan penduduk tukang gending yang menurut konsepsi
pribumi menekuni pekerjaan bidang per- Jawa, kelompok ini mempunyai keahlian
tanian, perikanan, perdagangan dalam khusus (Jacobson,. van Hasselt, and An-
skala kecil atau yang disebut pedagang drew Toth, 1975: 129). Orang-orang
eceran. Istilah pribumi dalam penelitian Jawa memperoleh pengakuan
ini mengacu pada Regeeringsalmanak voor internasional un- tuk jenis pekerjaan yang
N e d e r l a n d s c h - Indië y a n g m e mb u a berhubungan dengan logam, seperti gong
t kategorisasi pribumi terdiri atas berbagai dan keris (Dick, dalam Lindblad (ed.),
etnis di Indonesia masa kolonial. Dalam 2002: 179). Pemukiman itu kemudian
konteks Kota Semarang etnis Jawa, Mela- dinamakan Kampung Gendingan,
yu, Bugis, Madura, Banjar, dan Sunda. sebagai bukti keberadaan kelompok
Pedagang eceran ini menangani kebu- masyarakat terse- but. Masih banyak lagi
tuhan hidup sehari-hari, di antaranya ber- nama-nama kam- pung di Kota Semarang
jualan beras, palawija, ikan, minyak ke- yang menunjuk- k a n l a t a r b e l a k a n
lapa, sayur, buah, garam, gula aren, dan g p e k e r j a a n penduduknya. Nama
tembakau. Pekerjaan dalam bidang ke- kampung seperti ditunjukkan dalam peta
rajinan dengan skala industri kecil rumah tahun 1909 antara lain: Kampung
tangga juga dilakukan kelompok pribumi. Pandean, Bandengan, Pur- masan,
Pusat kegiatan yang menekuni industri Kulitan, Kapoeran, Paderesan,
rumah tangga, terutama pakaian batik, Petolongan, Kentangan.
misalnya, ditandai dengan adanya Kam- Sementara itu, komunitas
pung Batikan. Tionghoa, Arab, dan Bengali sebagian
Realitas di atas menunjukkan besar menekuni bidang perdagangan dan
bahwa pekerjaan tersebut tidak hanya jasa. Di antara ketiga komunitas ini, orang
dilakukan oleh kaum laki-laki. Pada tahun Tionghoa mempunyai posisi lebih utama
1907, ditemukan perempuan pribumi Ja- jika dibandingkan dengan orang Arab dan
wa melakukan pekerjaan sebagai kuli Bengali maupun penduduk pribumi.
bangunan ketika dilakukan pembangunan Menurut Leirissa, kelompok Tionghoa
selokan di sepanjang Jalan Bojong. Di menduduki tempat khusus karena po-
satu pihak, penggunaan tenaga kerja sisinya tidak terikat oleh birokrasi koloni-
perempuan didasarkan pada pertim- al, tetapi secara ekonomi memiliki peran-
bangan ekonomis, yaitu upah yang
an penting dan hubungan erat dengan
diberikan lebih murah dibandingkan laki-
pemerintah (Leirissa, 1985: 10; Nas dan
laki. Pada pihak lain, dalam segi waktu,
Welmoet Boender, dalam Nas (ed.), 2007:
perempuan tidak banyak meninggalkan
209).Peran kelompok ini, terutama orang
pekerjaannya hanya untuk mencari korek
Tionghoa kaya yang menjadi opsir
api untuk menyalakan rokok, seperti yang
mempunyai posisi strategis. Strategis
banyak dilakukan laki-laki ketika bekerja
secara sosial karena mendapatkan ke-
(Selompret Melajoe, 29 Nov 1907).
hormatan besar, secara ekonomis juga
Sebagai sebuah realitas historis, sangat strategis dengan keuntungan finan-
hadirnya nama kampung di Kota Sema- sial yang diperolehnya. Salah satu keun-
rang banyak yang disesuaikan dengan tungan finansial itu, berasal dari hak
jenis pekerjaan penduduknya. Sebagai pemungutan pajak yang diborongkan
gambaran, selain yang telah disebutkan di ataupun dijual kepada orang Tionghoa
atas, adalah lahirnya sebuah kampung kaya, yang telah berlangsung sejak masa
kecil yang disebabkan banyaknya warung Kompeni. Hak pemungutan pajak oleh
penginapan untuk bermalam pedagang Kompeni biasanya dijual kepada orang-
dari Jepara, sebelum pagi harinya men- orang Tionghoa yang sekaligus menjadi
opsir, dengan pangkat mayor, kapiten,
sampai paling bawah yaitu luitenant marang “menyerupai” jabatan turun
(Williams, 1956: 375-376; Rush, 1983: 52- temurun. Bahkan untuk mempertahankan
64). Model pemborongan pajak itu disebut posisi itu, mereka menempuh jalan
sistem pacht. Sistem ini diberlakukan anta- dengan menikahkan anak- anaknya.
ra lain terhadap penjualan candu, garam, Menurut Onghokham (Onghokham,
bunga (rente) rumah gadai, penyeberangan Prisma, 1983: 17), fenomena ini selama
kali, dan pasar. Bagian itu merupakan beberapa generasi berada di tangan satu
pemasukan pemerintah yang cukup besar keluarga sehingga keuntungan dan
yang berasal dari pajak perbandaran penumpukan modal dapat meningkat san-
kepada orang Tionghoa, dengan menjual gat cepat. Struktur masyarakat dan segre-
lisensi untuk mengoperasikan pasar gasi sosial yang telah terbentuk seperti
(Deventer, 1904: 98; Blackburn, 2011: 40). diuraikan di atas, ternyata juga memicu
Pemegang pacht, yang dinamakan hadirnya beberapa permasalahan sosial.
pachter tidak sebatas memiliki keuntungan Permasalahan sosial itu ditunjukkan oleh
finansial, namun juga mempunyai kebeba- sering munculnya laporan tentang peram-
san untuk tinggal di luar Kampung Peci- pasan, penipuan, pembegalan, dan penco-
nan. Sementara itu, bagi orang Tionghoa petan di dalam surat kabar lokal. Sebagai
kebanyakan, yang tidak dalam konteks contoh, ditemukan dua orang keturunan
pachter hanya diizinkan tinggal di Pecinan Eropa (Eurasia) di kawasan Depok yang
dan mobilitas mereka dibatasi melalui sis- sering melakukan perampasan terhadap
t e m p a s s e n s t e l s e l . Lim Th i a n J o e penjual susu untuk dipaksa dengan an-
menyebutkan, bahwa sistem pas atau izin caman agar menyerahkan satu hingga dua
dibedakan ke dalam 4 macam: 1) louw-dji botol. Sebelumnya, seorang budak dokter
(surat izin ketika akan pergi dari satu yang tinggal di Karangaturi juga mengala-
tempat ke tempat lain; 2) Pa-sat-dji (izin mi hal yang sama. Kawasan Depok
untuk mereka yang pergi ke pasar di luar merupakan kedudukan tuan Schout yang
kota setiap hari pasaran), kebanyakan tentu saja ada penjagaan opas polisi,
diperuntukkan bagi orang Tionghoa yang namun pelaku yang beraksi pada siang
tinggal di tempat kecil, karena kegiatan har i m e n u n j u kk an keber an ia nny a
dagang berjualan keliling desa. Dalam (Selompret Melajoe, 10 Okt 1906).
surat izin harus tertulis secara jelas, pergi Beberapa kasus penipuan yang
ke pasar mana dan barang dagangan apa terjadi antara lain, barang tidak sampai di
saja yang akan dijual. Selain tempat yang tempat tujuan. Dalam hal ini ada
di seb utkan dalam pas maka t idak keluhan dari para pedagang yang
diperkenankan dikunjungi. Pas dibuat di mengirimkan barang dengan
atas zegel f 1, 50 dan setiap tahun menggunakan gerobak seringkali
diperbarui; 3) Le-sa-dji (izin pergi ke desa mengeluh karena barangnya tidak sampai
dalam melakukan pembelian tembakau, tujuan. Sekalipun ada upaya untuk
kopra, dan padi; 4) Ni-dji, yaitu izin mencegahnya, dengan cara si pengi- rim
tahunan untuk pergi dari satu tempat ke barang meminta karcis yang tertulis nama
tempat lain atau dari satu kota ke kota tukang dan nomer gerobak, tetapi tidak
lain, dan digunakan oleh saudagar yang semua pedagang mengetahui cara ini
sering pergi. Passenstelsel ini tahun 1906 (Selompret Melajoe, 26 November 1907;
dicabut oleh pemerintah, menyusul Selompret Malajoe, 8 Sept 1910). Bentuk
penghapusan wijkenstelsel tahun 1915 (Joe, penipuan yang lain dilakukan dengan ber-
1933: 88, 90). Kebebasan yang dimiliki penampilan rapi. Surat kabar lokal
pachter sebagai agen pajak digunakan juga menceritakan bahwa pada hari Minggu
untuk berdagang, sehingga keluarga opsir pukul 08.00, seorang yang baru datang
dan pachter mendominasi perdagangan dari Demak turun dari tram. Dia hendak
lokal. meneruskan perjalanannya, namun ketika
Kedudukan sebagai opsir yang sampai di sebelah timur Kali Semarang,
sekaligus sebagai pemegang pacht di Se- dia bertemu dengan seseorang yang
berpakaian rapi dan minta tolong
ditunjukkan letak Kampung Ilir. Dalam ternama, sajang kaloek misih ada kèrè
perjalananya dia berjumpa dengan menjerang berhampiran kota....
seorang yang mengaku kehilangan
dompet, dan yang terjadi kemudian ada- Masyarakat yang dijadikan objek sasaran
lah dilakukannya penggeledahan terhadap kadet, tidak sebatas kelas bawah, tetapi
kedua orang tersebut. Tanpa disadari, juga kelas atas, seperti yang dialami
uang yang ada di dalam ikat pinggang Raden Widjojo Atmodjo ketika kekoetila
orang Demak telah diambil oleh si arloji emas pada peristiwa peringatan
penggeledah. Dia baru menyadari ketika (thedakan) Sampeyan Dalem Kanjeng Su-
membuka ikat pinggangnya, uangnya suhunan di Stadion Semarang (Selompret
sudah tidak ada (Selompret Melajoe, 26 Melajoe, 5 Maart 1908).
November 1907). Dalam hal ini, lebih Selain persoalan ekonomi dan so-
lanjut Selompret Melajoe melaporkan sial, secara kultural kehidupan masyarakat
bahwa penipuan itu dilakukan oleh kadet, kota tidak selalu mampu mengimbangi
seperti berikut ini perubahan atas kemajuan kota yang ber-
langsung. Salah satu kemajuan itu
… Baroelah ia tahoe kena t ipoe ditandai oleh tumbuhnya kesadaran akan
moeslihat kadet. Orang jang minta di-
arti penting kebersihan dan kesehatan
toendjoekkan kampoeng Ilir itoe me-
mang teman kadet, dan ia kadet djoega, lingkungan. Namun demikian dalam re-
maka poera-2 mendapat dompet, soepa- alitas keseharian, kaum perempuan
ja jang berpakai tjara hadji jaitoe te- pribumi dari kelas sosial bawah yang ting-
mannja, boleh menggledah orang jang gal di kampung-kampung kota belum se-
hendak dirampas oeangnja. Soenggoeh penuhnya mempunyai kesadaran itu. Ke-
tjerdik kadet pada zaman kemadjoean hadiran dokter yang akan melakukan
ini. pemeriksaan kesehatan masyarakat kam-
pung, misalnya, tidak serta merta disam-
Aktivitas yang dilakukan oleh kadet tidak but dengan kesiapan mental, namun justru
sebatas peni puan, melainkan juga menimbulkan ketakutan, seperti yang
perampasan dan bentuk-bentuk kejahatan digambarkan dalam berita berikut
yang lain, dengan sasaran masyarakat, (Selompret Melajoe, Selasa, 26 November
seperti diberitakan dalam harian lokal 1907).
berikut (Selompret Melajoe, 7 Maart 1908)
Kemaren hari Minggoe, di kampoeng
… di lengkong Pedamaran itoe tempat Pindrian teroes di Boeloe, orang2 per-
perlindoengan kèrè-2 itoe benar, mala- ampoean sama ketjil hati, sebab
han marika itoe tidak mentingken mendengar kabar kalau maoe kedatan-
minta-2 sadja, djoega dengen mengadet; gan toean docter, kira2 poekoel 1 ada
orang membawa apa djoeapoen, asal anak ketjil taoe ada Belanda masoek di
sadja terdoekoeng, boleh dikata kei- itoe kampoeng, tapi boekan docter, itoe
langanlah bila liwat di sitoe. Kemarin anak taoe lantas lari, sama bertreak2
doeloe ada seorang prampoean soedah bilang ada docter, ada docter!. Wah
toea djoeal goela, liwat di sitoe, goela gegernja orang2 perampoean sama lari,
jang didoekoeng itoe hendak diambil, jang djoealan tinggal lintjaknja, jang
tapi ketaoeanlah hal itoe, prampoean batik tinggal batikannja, jang baroe
toea marah sanget; kadet lantas ambil makan tinggal nasinja, ach! Kalau be-
batoe, dilemparkannja kepala pram- gitoe kasihan orang perampoean di da-
poean itoe, sahingga berloemoeran lem kampoeng lama2 djadi koeroes
darah sambil menangis, kasianlah; ka- sakitnja dibikin sendiri. Tentang itoe
det laloe melindoeng. Moedah-2an poli- tentoelah selamanja ta’akan berobah
tie soeka mengiring dia terbawa di ma- djika orang-2 itoe beloem terang betoel
na moestinja, ta mengapa merabah dia apa maksoednja diperiksa itoe....
sedikit nanti ditjoetji baoe jang melekat
di tangan sebentar kan ilang, sebab di Menjadi Gemeente
Semarang soedah dikata negeri jang Bentuk pemerintahan kolonial secara legal
d i mu l a i a w a l a b a d k e - 19 , k e t ik a sil
mengambilalih kekuasaan Kompeni.
Diawali oleh Herman Willem Daendels
(1808 – 1811) sebagai Gubernur Jendral
ke ti ka me mp er ke nal kan ke sa tuan
administrasi pemerintahan prefektur Day,
1905: 162-163); Suryo, 2009: 123), yang
pada masa Letnan Gubernur Thomas
Stamford Raffles (1811 – 1816) diganti
dengan sistem karesidenan (Bastin, 1957).
Di dalam sistem ini, Semarang sebagai
kota, ditempatkan di bawah yurisdiksi
asisten residen dan dikategorikan sebagai
afdeeling (Malo & Nas dalam Nas, 2007:
500). Artinya, sejak awal abad ke-19,
Semarang menjadi ibukota dua pusat
pemerintahan, yaitu kabupaten dan
karesidenan.
Pertengahan abad ke-19, sistem
pemerintahan kolonial menunjukkan
sifatnya yang sangat sentralistik di bawah
pimpinan tunggal gubernur jendral di
Batavia, dengan kerangka kekuasaan tidak
langsung (Suryo, 1989: 7). Sistem ini
direpresentasikan oleh pejabat Eropa
mulai dari residen, asisten residen, dan
kontrolir yang mempunyai yurisdiksi atas
orang Eropa dan penduduk timur asing.
Sementara yurisdiksi atas penduduk
pribumi berada di bawah kontrol pejabat
pribumi, antara lain bupati, patih,
wedana, asisten wedana, lurah atau
kepala kampung. Sistem sentralistik yang
berimplikasi pada tidak adanya daerah
otonom berlangsung sepanjang abad ke-
19.
Suatu perubahan penting terjadi pa-
da awal abad ke-20, yaitu sebuah pemba-
haruan administrasi pemerintahan di
kota- kota Indonesia yang hadir
bersamaan dengan lahirnya ideologi
politik etis, menurut Bambang Purwanto,
sering dise- jajarkan dengan
pembangunanisme. Ber- beda dengan
era tanam paksa yang bertujuan untuk
memaksimalkan potensi ekonomi.
Orientasi politik etis, yaitu
memperkuat posisi negara di dalam
mengelola sebuah koloni, sehingga salah
satu ciri adalah intervensi atau keiku-
tsertaan negara dalam beberapa hal,
dengan alasan adalah negara berkepent-
ingan agar programnya berha
(Puwanto, 2004: 130). Sebuah pertimbangan keputusan atas berbagai
kebijakan desentralisasi atas dasar problem perkotaan, setidaknya mulai
prinsip efisiensi dan otonomi dilibatkan. Problem perkotaan ber- mula
diundangkan secara resmi tahun dari pemerintah kota, orang-orang yang
1903, telah membawa perubahan atas berkuasa terhadap kota, yaitu dewan kota.
kota-kota di Indonesia. Salah satu Dewan kota yang didominasi orang
kota di Indonesia yang memperoleh Eropa memperlihatkan bagaimana kota
ben- tuk pemerintahan gemeente
sebagai imple- mentasi dari undang-
undang itu adalah Semarang, melalui
Staatsblad van Neder- lansdch Indië
(Stbl.) 1906 №. 120.
Tiga hal yang menarik dari
Stbl. 1906, yaitu pertama, bagian
Karesidenan (afdeeling) Semarang
yang menjadi ibukota Semarang
disebut gemeente Semarang
(Kuncoro, 1995: 6). Gemeente
dilengkapi 19 komisi dewan kota
untuk mendukung terselenggaranya
pemerintahan, yang salah satunya
adalah komisi pasar. Kedua, mengenai
perawatan, perbaikan, pemba- haruan
dan pembuatan pasar, yang secara
finansial menjadi tanggung jawab
ge- meente. Ketiga, pada 1 April 1906
dibentuk dewan kota Semarang yang
terdiri 23 ang- gota dengan
komposisi 15 orang Eropa, 5 orang
Pribumi, 3 orang Cina dan Timur
Asing lainnya dengan Asisten
Residen
L.R. Priester sebagai ketua dewan.
Lima belas keanggotaan golongan
Eropa terdiri atas 8 orang dari
pemerintahan dan 6 orang dari
swasta. Demikian halnya ke-
terwakilan golongan pribumi, terdiri
atas 3 orang dari pemerintahan dan
2 orang perwakilan swasta. Satu
anggota dari go- longan Eropa, yaitu
seorang insinyur dari Burgelijke
Openbare Werken (BOW) sedang
m en gam b il cuti pergi ke
B elan da (Selompret Melajoe, Selasa,
30 Djanoeari 1906).
Keanggotaan dewan kota,
sekalipun mewakili kelompok etnis
yang tinggal di kota, menurut
Basundoro, tidak men- cerminkan
representasi kuantitatif
(Basundoro, 2012: 107). Terlepas
dari tingkat keterwakilan yang tidak
propo- sional, pengikutsertaan
golongan pribumi dalam
diidealkan. Mereka membawa standard har sebagai pasar terbesar menjadi
barat ke kota ini, di antaranya: 1) ingin produktif bagi kotapraja, tanpa menam-
membuat kota kelihatan teratur, tertib, bah beban penduduk (Selompret Melajoe,
dan indah; 2 ) membangun sebuah 22 Joeni 1907; De Locomotief, 24 Joeli
kesadaran di antara warga kota akan 1907). Dalam rapat juga dibahas
kebersihan dan kesehatan. pengurusan Pasar Johar, karena
Ideologi pemerintah kota merupakan salah satu persoalan kota
diorientasikan pada kehidupan di kota
adalah bagaimana menebus loods-
agar lebih sehat, karena yang tinggal di
loods Pasar Johar dari tan- gan penjual (
kota tidak hanya orang pribumi, namun
Selompret Melajoe, 29 November 1907).
juga orang-orang Eropa. Untuk itulah,
Pada hari-hari pertama di Semarang
pemerintah kota ingin menciptakan kondi-
diadakan rapat untuk membahas kemung-
si pasar-pasar di kota menjadi pasar yang
kinan reorganisasi pasar di kota itu. Pada
tertib, teratur, bersih, dan sehat. Jadi, ka-
sidang tanggal 10 Desember 1907, dibahas
lau pasar-pasar di Kota Semarang bisa anggaran tahun 1908 termasuk persoalan
bisa diatur sedemikian tertib dan bisa pasar yang belum disetujui oleh residen
dibuat sedemikian bersih, maka akan me- karena belum ada peraturan yang menen-
mengaruhi kualitas hidup dan totalitas tukan pengurusan pasar (Selompret
hidup di perkotaan. Melajoe,
Pemikiran itu nampaknya terkait
3 Desember 1907). Sementara dalam
dengan bagaimana orang Eropa mempu-
pemeriksaan residen, sebatas pembayaran
nyai ke khawatiran terhadap t idak
oeang sapon kepada tukang sapu, belum
sehatnya pasar. Orang Eropa mempunyai
ada kesepakatan akan dimasukkan ke da-
kepentingan terhadap menyebarnya pen-
lam kas pemerintah kota, sehingga perlu
yakit yang disebabkan oleh kekumuhan
diadakan peraturan baru, agar anggaran
dan ketidakbersihan pasar. Hendrik Fre-
tentang pasar bisa diterima gemeente. Oleh
erk Tillema, salah satu anggota dewan
karena itu, ketua dewan mengusulkan
kota, yang memiliki kepedulian atas tidak
untuk membuat peraturan pasar atas
sehatnya kampung-kampung di Semarang
dasar Stbl. 1906 №. 120 yang
(Nas dan Theuns, dalam Nas, 2007: 67-
menyatakan bahwa semua ruang publik,
90). Kampung dan pasar yang tidak bersih
seperti alun- alun dan pasar kota
telah menjadi salah satu pertimbangan
diserahkan pada wewenang gemeente
dalam kebijakan pemerintah kota sejak
Semarang. Pelim- pahan wewenang itu
dekade pertama abad ke-20. Oleh karena
berimplikasi pada pendanaan untuk
itu, kebersihan dan kesehatan masyarakat
membersihkan tempat- tempat tersebut
menjadi wacana publik yang berkembang
haruslah berasal dari kas gemeente, dan
kuat di Semarang setelah menjadi ge-
yang menjalankan pekerjaan itu menjadi
meente.
Ketua dewan kota, kontrolir polisi, pegawai gemeente juga. Oleh karenanya,
dan sekretaris dewan telah melakukan dewan kota memiliki kuasa untuk
pemeriksaan terhadap kondisi pasar. mengeluarkan keputusan, antara lain: 1)
Pemer iksa an ini ber tu ju an untu k tukang sapon untuk pembersihan pasar-
merencanakan pengadaan pegawai pasar, pasar yang menjadi milik Gemeente
yang pekerjaannya semata-mata menguru- Semarang, akan diberi gaji dari kas ge-
si pasar dan mengawasi masuknya cukai meente; 2) oeang sapon akan dimasukkan
pasar (Selompret Melajoe, 22 Djoeni 1907). dalam kas gemeente; 3) keputusan ini mulai
Dalam sidang gemeenteraad, residen berlaku pada 4 Januari 1908 (Selompret
menyatakan bahwa jika pasar akan Melajoe, 12 Desember 1907).
dimasukkan ke dalam kewenangan De Locomotief mencatat tentang
gemeente, maka harus dibuatkan peraturan sebuah pasar yang baik menjadi penyebab
pasar lebih dulu. Gemeenteraad kemajuan bagi banyak kota besar di Ero-
mempertimbangkan bagaimana Pasar Jo- pa. Perkembangan dan perbaikan lembaga
pasar bagi kota menghasilkan keuntungan
langsung dan tidak langsung yang sangat
besar. Keuntungan bisa diharapkan,
keti-
ka pasar diserahkan pengelolaannya kepa- kota yang sehat. Dengan demikian akan
da dewan kotapraja (De Locomotief, 27 Juli berpengaruh terhadap kesehatan ling-
1907). Dana ini bisa diserahkan kepada kungan, mengganggu transportasi, mem-
dewan kota untuk menutup pengeluaran buat pedagang-pedagang liar tidak bisa
yang diperlukan guna memperbaiki kondi- ditertibkan.
si yang dialami penduduk pribumi. Saldo Sampai tahun 1910-an meski telah
untung dari eklsploitasi pasar, sebagian dilakukanberbagaiupayauntu
dialokasikan untuk membangun prasarana k menjadikan Kota Semarang sebagai
(jalan) antara pedalaman dan pasar di ko- kota yang ideal dengan berbagai
ta. Jalan tersebut di Semarang sangat bu- kelengkapan infrastrukturnya, masih
ruk, karena lereng bukit Candi sangat cu- dihadapkan pada kondisi fisik pasar yang
ram. Jalan untuk kereta barang penduduk tidak sehat dan tidak teratur. Dalam
pribumi dapat dibiayai dari kelebihan ta- kondisi demikian, menunjukkan bahwa
hunan hasil pasar. pasar sebagai salah satu ruang
Dalam laporan desentralisasi
infrastruktur kota, menjadi per- soalan
disampaikan, bahwa dewan kota sibuk
yang harus diselesaikan oleh
mempersiapkan peraturan lembaga pasar
pemerintah Kota Semarang. Penguasa
yang baik. Peraturan ini terutama untuk
kota (pemerintah kota) yang sebagian be-
memenuhi kebutuhan yang paling men-
sar diwakili oleh orang-orang Eropa, telah
dasar, yaitu kondisi kesehatan pasar agar
melahirkan kesadaran tentang pentingnya
sesuai dengan tuntutan ide- ide ke-
kesadaran kesehatan lingkungan, kebersi-
modernan (Ketjen, 1915: 354-357). Selain
han, ketertiban, sehingga diperlukan
itu, lembaga pasar yang teratur bagi ko-
sebuah modernisasi atas pasar.
tapraja merupakan salah satu usaha kota
terpenting (Hasselt, 1929: 955).
DAFTAR PUSTAKA
SIMPULAN Abdullah, Irwan. 1994. The Muslim Business-
men of Jatinom: Religious reform and eco-
Dalam konteks kota dagang - kota pusat nomic modernization in a Central Javanese
pemerintahan Jawa bagian tengah, serta town. Universiteit van Amsterdam.
kota tempat tinggal para pejabat dan pen- Ammarell, Gene. 2002. “Bugis Migration and
gusaha Eropa-, menunjukkan bahwa be- Modes of Adaptation to Local Si-
berapa infrastruktur di Semarang telah tustions”. Ethnology, 41 (1), p. 54.
Basri, Hasan. 1988. “Perpindahan Orang Ban-
dikembangkan sesuai konsep perencanaan
jar ke Surakarta: Kasus Migrasi Inter Et-
kota-kota di Eropa. Beberapa gambaran nis di Indonesia.” Prisma, XVII (3).
infrastruktur di atas, memperlihatkan Bastin, John. 1957. The Native Policies of Sir
bahwa pembangunan gedung-gedung Stamford Raffles in Java and Sumatra, An
pemerintah, kantor dagang, dan agen- Economic Interpretation. Oxford: The Clar-
agen perkebunan dapat dijadikan simbol endon Press.
kemodernan sebuah kota. Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah
Pasar dapat juga dijadikan element Kota .Yogyakarta: Penerbit Ombak.
primer dan dapat pula menunjukkan dina- Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400
mika pertumbuhan ekonomi perkotaan, Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
tetapi pasar di Semarang lebih Brommer, B., et al., (ed.). 1995. Semarang,
menunjukkan pribumi style. Secara fisik Beeld van een Stad .Voorburg: Asia Maior.
Budiman, Amen. 1976. “Semarang Riwayat-
ruang pasar di Semarang menjadi sesuatu
mu Dulu: Boom Lama – Boom Baru”,
yang dianggap tidak teratur, tidak bersih, Suara Merdeka, 2 April.
mengganggu, dan tidak sesuai dengan Cobban, James L. 1974.“Uncontrolled Urban
syarat- syarat kesehatan lingkungan Settlement: The Kampong Question in
perkotaan Semarang yang modern, Semarang 1905 – 1940.” Bijdragen tot de
sehingga tidak memenuhi sebagai sebuah Taal-, Land- en Volkenkunde, 130 (4),
hlm. 403-427
Day, Clive, Vertaling van H.D.H. Bosboom. Leirissa, R.Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gaga-
1905. Nederlandsch Beheer over Java Ge- san, Sejarah Masyarakat Indonesia 1900–
durende Drie Eeuwen. Gravenhage: W.P. 1950. Jakarta: Akademika Pressindo.
Van Stockum & Zoon.
Malo, Manasse dan Nas, P.J.M. 2007.
De Locomotief, “De Pasars”, 24 Joeli 1907, “Otonomi daerah, Manajemen perkotaan
Jg:12, №: 143. di Indonesia 1991”, dalam P.J.M. Nas
De Locomotief, “Uit de Indische Bladen, In- (ed.). Kota-Kota Indonesia, Bunga Rampai .
dische Passers”, 27 Juli 1907.Selompret Terjemahan Nin Bakdi Soemanto dkk.
Melajoe, “Gemeenteraad di Semarang” Yogyakarta: Gadjah Mada University
Selasa, 30 Djanoeari 1906, №.13. Press.
Dick, H.W. 2002. “Industrialisasi Abad ke-19, Muhammad, Djawahir. 1995. Semarang Sepan-
Sebuah Kesempatan yang Hilang?”, da- jang Jalan Kenangan. Semarang: Pemda
lam J. Thomas Lindblad (ed.) Fondasi Kodia Semarang – DKJT – Aktor Studio.
Historis Ekonomi Indonesia .Yogyakarta: Nagata, Judith A. 1990. “Apa Itu Orang Me-
Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM layu? Seleksi Identitas Etnik Berdasarkan
– Pustaka Pelajar. Si tua s i dal am Suatu Mas yara kat
Edw. Jacobson, Edw., Van Hasselt, J.H., and Majemuk”, dalam Ahmad Ibrahim, Sha-
Toth, Andrew. 1975. “The Manufacture ron Siddique, dan Yasmin Hussain (ed.).
of Gongs in Semarang”, Indonesia, 19, Islam di Asia Tenggara: Perkembangan Kon-
April, hlm. 129. temporer. Terjemahan Hasan Basari. Ja-
Frederick, William H. 1983. “Hidden Change karta: LP3ES
in Late Colonial Urban Society in Indo- Nas, P.J.M., dan Pratiwo. 2007. “Jawa dan
nesia”, Journal Southeast Asia Studies. 4 De Groote Postweg, La Grande Route,
(2), September. The Great Mail Road, Jalan Raya Pos”,
Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda, Studi Ten- dalam P.J.M. Nas (ed.). Kota-Kota Indone-
tang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom sia, Bunga Rampai . Terjemahan Nin
Institute. Bakdi Soemanto dkk. Yogyakarta: Gad-
Gillion, K.L., .Review: Satish C. Misra,1966. jah Mada University Press.
“Muslim Communities in Gujarat. Pre- Nas, P.J.M., dan Boender, Welmoet. 2007.
liminary Studies in their History and So- “Kota Indonesia dalam teori perkotaan
cial Organization.” Journal of Southeast 2002”, dalam P.J.M. Nas (ed.). Kota-Kota
Asian History, 7 (2), hlm. 124-125. Indonesia, Bunga Rampai . Terjemahan
Hugo, Graeme J. 1982. “Circular Migration Nin Bakdi Soemanto dkk. Yogyakarta:
in Indonesia.” Population and Development Gadjah Mada University Press.
Review, 8 (1), hlm. 61. Nas, Peter J.M. dan Theuns, Kristen. 2007.
Huub de Jonge. 2007. “Sebuah Minoritas Ter- “Semarang, Apakah H. F. Tillema
belah, Orang Arab Batavia”, dalam Kees Seorang Sutradara Perubahan Kota?”
Grijns dan Peter J.M.Nas (peny.). Jakarta dalam P.J.M. Nas (ed.). Kota-Kota Indone-
Batavia: Esai Sosio-Kultural. Jakarta: Bana- sia, Bunga Rampai . Terjemahan Nin
na-KITLV. Bakdi Soemanto dkk. Yogyakarta: Gad-
Joe, Liem Thian. 1933. Riwajat Semarang jah Mada University Press.
1416 O'Brien, Aileen. 1937. “The Moors in Spain.”
– 1931 . Semarang – Batavia: Boekhandel The Irish Monthly, 65 (769), hlm. 469-474
Ho Kim Yo. Onghokham. 1983. “Merosotonya Peranan
Justus M. van der Kroef, 1953. “The Arabs in Pribumi dalam Perdagangan Komoditi.”
Indonesia.” Middle East Journal, 7(3), Prisma, 12 (8).
Summer, hlm. 302-305. Potter, Lesley. 2000. “Orang Banjar di dan di
Ketjen, W.J. 1915. “Decentralisatie Verslag Luar Hulu, Kalimantan Selatan: Studi
1912-1913”, dalam Kolonial Tijdschrift, tentang Kemandirian Budaya, Peluang
Uitgegeven door de Vereeniging van Ekonomi dan Mobilitas.” dalam J.
Ambtenaren bij het Binnenlandsch Thomas Lindblad (ed.) Sejarah Ekonomi
Bestuur in Nederlandsch-Indië, Deerde Modern Indonesia, Berbagai Tantangan Ba-
Jaargang-eerste Halfjaar, ‘s-Gravenhage. ru. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Kuncoro, Mudrajad. 1995. “Desentralisasi Purwanto, Bambang. 2004. “Antara Sentrali-
Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan sasi dan Desentralisasi: Ekonomi dan
Ketergantungan.” Prisma, 14 (4). Otonomi Daerah dalam Realitas Se-
Lea E. Williams. 1956. “Indonesia’s Chinese jarah.” Lembaran Sejarah, 7(7).
Educate Raffles”, Indonesie, 9e Jg. Oct.
Purwanto, Bambang. “Ekonomi Karet vember 1907, №.141.
Rakyat Indonesia, Tahun 1890-an
Selompret Melajoe, “Gemeenteraad”, Kamis, 12
Sampai 1940”, dalam J. Thomas Lindblad
Desember 1907, №.148.
(ed.). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia
Selompret Melajoe, “Gemeenteraad”, Selasa, 3
.Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia
Desember 1907, №.144.
Tenggara UGM – Pustaka Pelajar.
Selompret Melajoe, “Kemadjoean dan Kemoen-
Purwanto, Bambang. 2000. “Merajut Jaringan
doeran Semarang”, Selasa, 21 Djanoeari
di Tengah Perubahan: Komunitas
1908, №.9.
Ekonomi Muslim di Indonesia Pada
Selompret Melajoe, “Kadet”, Kamis, 5 Maart
Ma- sa Kolonial.”Lembaran Sejarah,2(2).
Purwanto, Bambang. 2009. “Sejarah dan Ja- 1908, №.28.
tidiri Dalam Ingatan Bersama Asia Selompret Melajoe, “Sarang Kadet”, Saptoe, 7
Tenggara”, dalam Adrian Vickers, Maart 1908, №.29.
Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Selompret Melajoe, “Orang Kasihan”, Saptoe, 8
Asia Tenggara .Denpasar: Pustaka La- Agust 1908, №. 95.
rasan – Udayana University Press. Selompret Malajoe, “Ketangkap”, Kemis, 8 Sept
Raben, Remco. 2007. “Seputar Batavia: Et- 1910, №.107.
nisitas dan Otoritas di Ommelanden, Seputar Semarang, “Kampung Melayu Kawa-
1650 – 1800”, dalam Kees Grijns dan san Perdagangan di Abad 18” 7-13
Peter J.M. Nas (ed.) Jakarta Batavia, Desember 2004, №.67, hlm. 9.
Esai Sosio – Kultural. Jakarta: KITLV. Shokeh, Mukhamad. 2014. Gerakan Keaga-
Regeeringsalmanak v o o r Nederlandsch- maan dan Perubahan Sosial, Dakwah
Indië .Batavia: Landsdrukkerij, 1902. Islam dan Misi Katolik di Semarang 1890-
Regeringsalmanak voor Nederlandch-Indië 1885, 1940. Pati: Kireinara.
Tweede Gedeelte: Kalender en Per- Staatsblad van Nederlansdch Indië 1903,
sonalia .Batavia- Landsdrukkerij, 1884. No.329 .Batavia: Landsdrukkerij.
Reid, Anthony. 2001. “Understanding Mela- Suryo, Djoko ( Ed.). 2009. Transformasi
yu .Malay as a Source of Diverse Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi
Modern Identities”, Journal of Southeast Indonesia Modern .Yogyakarta: Penerbit
Asian Stud- ies, 32 (3). STPN Press.
Resink, G. 2012. Bukan 350 Tahun Dijajah. Suryo, Djoko. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan
Jakarta: Komunitas Bambu. Karesidenan Semarang 1830–1900 . Yogya-
Rudolf Mrάzek. 2006. Engineers of Happy Land, karta: PAU Studi Sosial, UGM.
Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme Suud, Abu. 1995. “Nama Pekojan dan Asal
di sebuah Koloni. Diterjemahkan Hermojo. Usulnya”, dalam Djawahir Muhammad
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (ed.), Semarang Sepanjang Jalan Kenangan.
Rush, James R. 1983. “Social Control and Semarang: Pemda Kodia Semarang –
Influence in Nineteenth Century Indone- DKJT – Aktor Studio.
sia: Opium Farms and The Chinese of Tio, Jongki. tt. Kota Semarang Dalam Ke-
Java.”Indonesie, 5e Jg. April 1983. nangan .Semarang.
Selompret Melajoe, “Vergadering Membitjara- Van Deventer, C. TH.1904. Overzicht van den
kan Pasar”, Sabtoe, 22 Joeni 1907 Economischen Toestand Inlandsche
Selompret Melajoe, “Peperiksa’an Pasar”, Sab- Bevolking van Java en Madoera .‘s-
toe, 22 Djoeni 1907. Gravenhae: Marti- nus Nijhoff.
Selompret Melajoe, “Begal”, Sabtoe, 10 Okt Van Hasselt, J. 1929. “Enkele Opmerkingen
1906, №.135. Betreffende het Passarwezen”, dalam
Selompret Melajoe, “Gegernja orang peram- Locale Belangen, XVI, 1929.
poean”, Selasa, 26 November 1907, Wertheim, W.F. 1956. Indonesian Society In
№.141. Transition: A Study of Social Change .Van
Selompret Melajoe, “Membawa barang dengan Hoeve, Bandung: Mij Vorkink, Sumur
grobag”, Selasa, 26 November 1907, Bandung.
№.141. White, Benjamine. 1991. “Economic Diversi-
Selompret Melajoe, “Menghimat”, Selasa, 29 fication and Agrarian Change in Rural
November 1907, №.129. Java, 1900 – 1990” dalam Paul Alexan-
der, Peter Boomgaard, Ben. White (ed.).
Selompret Melajoe, “Pasar Djohar dalam Ge-
In Shadow of Agriculture: Non-Farm Activi-
meenteraad”, Selasa, 29 November 1907,
ties in the Javanese Economy, Past and Pre-
№.129.
sent .Amsterdam: Royal Tropical Insti-
Selompret Melajoe, “Tjerdik”, Selasa, 26 No-
tute.
Wijanarka. 2007. Semarang Tempo Dulu: Teori Zuhri, Saifuddin. 1980. Sejarah Kebangkitan
Desain Kawasan Bersejarah .Yogyakarta: Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Ombak. Bandung: P.T. Alma’Arif.

Anda mungkin juga menyukai