Pemikiran Karl Marx mengenai kapitalisme yang dituangkan dalam bukunya berjudul
Das Kapital (1867). Kapitalisme sendiri merupakan sistem sosial ekonomi yang sudah
berkembang selama kurang lebih 400 tahun (Wayne & Sungyoon, 2012). Marx melihat sistem
ini sebagai sistem yang mengedepankan keuntungan sebanyak-banyaknya yang didapatkannya
dari proses produksi yakni, mengorganisir prosedur produksi dengan tepat hin gga dapat
mengurangi biaya produksi seminim mungkin (Bahari, 2010). Sistem ini kemudian
memunculkan berbagai dinamika di dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya ada
kemunculan kelas-kelas sosial.
Pada dasarnya, Marx mengkritik realitas sosial yang terjadi, khususnya pada abad ke-
19. Abad tersebut merupakan hasil dari transformasi kelas yang berawal dari gerakan revolusi
Prancis di abad ke-18. Salah satu tuntutan dari gerakan tersebut adalah penghap usan kelas
sosial yang tercipta dari sistem feodalisme. Dalam sistem ini, kata “kelas” masih jarang
digunakan. Istilah “kasta” digunakan untuk menyebut kelas sosial. Feodalisme secara langsung
merugikan kasta terbawah (pekerja, petani) yang hanya diperalat untuk membayar pajak.
Sedangkan dua kasta teratas yaitu, bangsawan dan raja tidak perlu —atau sedikit—membayar
pajak. Oleh sebab itu, para pekerja dan petani melakukan revolusi guna menghapus kekuasaan
raja, gereja, serta borjuis dan menyamaratakan kedudukannya dengan para pekerja.
Transformasi kelas juga terjadi dalam revolusi industri di abad yang sama dengan
revolusi Prancis. Di saat revolusi Prancis menghapus kelas, revolusi industri justru
menciptakan kelas baru dengan sistem yang berbeda yakni, kapitalisme. Sistem ini dikenal
sebagai sistem yang membagi dua kelas di masyarakat yakni, proletar dan borjuis. Proletar
yang merupakan pekerja (kelas bawah) dan borjuis sebagai pemilik modal (kelas atas).
Awalnya, Marx membagi masyarakat menjadi tiga kelas yakni, kaum pekerja, kaum
pemilik modal, dan tuan tanah (Magnis-Suseno, 2010). Namun, pada akhirnya, kaum tuan
tanah berada sejajar dengan para pemilik modal. Maka, hingga saat ini kelas dalam sistem
kapitalisme dibagi menjadi dua, proletar (pekerja) dan borjuis (pemilik modal). Kelas pemilik
modal yang mempunyai alat-alat produksi seperti, pabrik, tanah, mesin, dan lainnya. Kelas
pekerja ialah yang melakukan produksi untuk kelas pemilik modal. Hal ini selanjutnya akan
membawa para pekerja ke dalam keterasingan (alienasi) yang akan dijelaskan selanjutnya.
Walau pun kedua kelas ini sangat berbanding terbalik, namun mereka membutuhkan
eksistensi satu sama lain. Pekerja hanya dapat bekerja jika disediakan tempat kerja oleh pemilik
modal, dan pemilik modal mendapat keuntungan apabila pekerja bekerja di tempatnya
(Magnis-Suseno, 2010). Sayangnya, ketergantungan ini tidak imbang di kedua belah pihak.
Pekerja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia tidak bekerja. Sebaliknya, jika
para pemilik modal tidak mempunyai sumber daya untuk menggerakkan alat produksi yang
disediakannya, ia masih bisa memenuhi kebutuhannya dengan mengeksploitasi pengangguran
atau menjual alat produksinya. Dengan kata lain, pekerja tidak bisa hidup tanpa pekerjaan dari
kelas atas, dan pemilik modal masih bisa hidup dengan yang dia miliki. Hubungan dari
ketergantungan ini pada gilirannya menjadi hubungan eksploitasi atau pengisapan (Magnis-
Suseno, 2010).
Melihat fenomena ketimpangan kelas ini, Marx memunculkan tiga teori kelas yang
dikutip oleh Magnis-Suseno (2010). Pertama, borjuis dan proletar memiliki kepentingan yang
berbeda. Hal tersebut ditentukan oleh kedudukan mereka dalam proses produksi. Kedua,
kepentingan yang berbeda akan memunculkan pertentangan. Oleh sebab itu, mereka berdua
mengambil sikap yang berbeda dalam perubahan sosial. Pemilik modal y ang konservatif
mempertahankan kedudukannya, dan pekerja yang revolusioner yang mengharapkan
perubahan. Ketiga, perubahan serta kemajuan dalam tatanan masyarakat hanya bisa dilakukan
dengan revolusi.
Gerakan revolusi sangat diharapkan oleh para kelas pekerja, guna memperbaiki taraf
hidup mereka agar tidak dikuasai oleh para borjuis. Ditambah lagi para pekerja merasakan
keterasingan dari sistem kapitalis yang mengikat mereka.
Dalam sistem kapitalisme, Marx mengutarakan bila para kelas pekerja kerap
mengalami fenomena alienasi. Alienasi adalah situasi di mana para buruh atau pekerja merasa
terasing dengan pekerjaannya atau produk yang ia buat. Sebagai gambaran, para pekerja,
terutama buruh, menghasilkan produk untuk suatu perusahaan, namun mereka tidak menikmati
hasil produk yang mereka buat, mereka pun merasa asing karena produk yang mereka produksi
hanya dinikmati oleh para pemilik modal (atau perusahaan tersebut).
Alienasi ini tidak dapat dihindarkan oleh para pekerja, karena hubungannya antara
kaum pekerja dan pemilik modal yang saling melengkapi. Hal ini sejalan dengan pendapat
(Hendrawan, 2017), bilamana pemilik modal membutuhkan para pekerja untuk menggerakkan
alat produksinya, dan para pekerja akan rela bekerja untuk mendapat upah guna memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Marx kemudian menjelaskan dalam bukunya The Paris Manuscript—atau lebih dikenal
dengan judul Economic and Philosophical Manuscript (1977), jika alienasi yang dialami oleh
kelas pekerja dapat diidentifikasikan melalui empat tipe:
Sayangnya, fenomena ini tidak dapat dihindarkan begitu saja. Sistem yang sudah
mengakar hingga kini membuatnya sulit untuk dibenahi. Selain sistem, terdapat faktor di dalam
masyarakat yang membuat kapitalisme mengakar kuat yakni, agama.
Menurut Marx, ada beberapa faktor mengapa agama dapat mengurangi tekanan yang
ditanggung para pekerja. Pertama, agama menjanjikan adanya kebahagiaan abadi—yang biasa
disebut surga—setelah meninggal. Lalu, agama seraya menjanjikan datangnya kebaikan
setelah ditimpa penderitaan, seakan ada hikmah di baliknya. Ketiga, agama kerap menawarkan
solusi dalam mengatasi masalah-masalah berupa campur tangan hal-hal astral. Terakhir, agama
hadir demi membenarkan struktur sosial serta posisi seseorang di dalamnya. Singkatnya, agama
menghimbau orang-orang untuk pasrah akan realitas yang dihadapi dan lebih memikirkan hal-
hal surgawi dibanding penderitaan secara material yang terkesan fana (Seran & Latupeirissa,
2021).
Marx lebih menggarisbawahi agama yang tertanam pada kaum proletar (pekerja).
Agama dijadikan sebagai tempat beristirahat para pekerja untuk melupakan rasa menderita dan
tertindas yang dihasilkan dari para borjuis. Agama dianggap sebagai opium yang memberikan
efek candu yang pada gilirannya melahirkan kesadaran palsu (false consciousness).
“Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against
real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul
of soulless conditions. It is the opium of the people (Luchte, 2009).”
Alhasil, para kaum pekerja pun tidak sadar dan tidak dapat melihat bentuk penindasan
yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Hal ini sejalan dengan Marx dalam Seran & Latupeirissa
(2021) menyebutkan agama mengilusi kesadaran mereka dari kenyataan yang riil. Setiap
mereka merasakan tekanan, agama menjadi jalan keluarnya, terlepas dari nyata tidaknya efek
dari agama tersebut.
Agama pun dianggap sebagai hasil dari ciptaan masyarakat yang merupakan ekspresi
dari kepentingan kelas (Seran & Latupeirissa, 2021). Para pemilik modal melihat fenomena
agama di tengah kelas pekerja sebagai peluang untuk terus mengeksploitasi. Agama seraya
menjadi alat pendukung dalam sistem kapitalis, karena melahirkan kesadaran palsu yang
sebelumnya sudah disebutkan. Seran dan Latuperissa (2021) berpendapat, bila agama sangat
menguntungkan bagi para borjuis, karena dapat menjamin proses produksi, dan bagi proletar,
agama menguatkan mereka dari penindasan serta penderitaan serta menerima kenyataan apa
adanya. Dikarenakan agama menjanjikan kebahagiaan yang abadi setelah penderitaan yang
dialami, maka mereka (pekerja) tidak keberatan dengan tindak eksploitasi dan tidak melawan
(Lela Saputri & Gunaryo, 2021).
Dengan sistem kapitalisme yang sudah mengakar, akan sukar bagi masyarakat untuk
terlepas dari dinamika yang sudah diciptakan. Dalam menanggapi hal ini, Marx menyuarakan
bila revolusi secara total butuh diadakan terhadap kelompok . Revolusi ini bertujuan untuk
membebaskan kaum yang dikuasai, yakni pekerja atau buruh dari keterasingan yang mereka
alami penguasa (Seran & Latupeirissa, 2021).
Dengan diadakannya revolusi total, Marx menaruh harapan akan terhapusnya sistem
hak milik pribadi atas aset-aset produksi yang dipegang oleh kelas borjuis. Hal ini pada
gilirannya akan menciptakan tatanan masyarakat tanpa kelas (classless society) (Seran &
Latupeirissa, 2021). Masyarakat tanpa kelas yang didambakan oleh Marx terbilang utopis
karena sulit diterapkan di dalam masyarakat modern dan berbanding terbalik dengan fakta
kehidupan masyarakat (Bahari, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Haralambos, M., & Holborn, M. (2013). Sociology Themes and Perspectives (7th ed.).
HarperCollins Publishers.
Hendrawan, D. (2017). Alienasi Pekerja Pada Masyarakat Kapitalis Menurut Karl Marx.
Jurnal Filsafat Arete, 6(1), 13–33.
http://journal.wima.ac.id/index.php/ARETE/article/view/1640/1503
Lela Saputri, P., & Gunaryo, A. (2021). Reviewing Poverty in Indonesia: Karl Marx’S View
of Religion Is an Opium. Jurnal Alwatzikhoebillah : Kajian Islam, Pendidikan,
Ekonomi, Humaniora, 7(1), 50–57. https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v7i1.335
Luchte, J. (2009). Marx and the sacred. Journal of Church and State, 51(3), 413–437.
https://doi.org/10.1093/jcs/csp095
Magnis-Suseno, F., 2010. Pemikiran Karl Marx. 10th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wayne, M., & Sungyoon, C. (2012). Marx’s Das Kapital for beginners (Vol. 3).
www.forbeginnersbooks.com
Yuill, C. (2005). Marx: Capitalism, Alienation and Health. Social Theory and Health, 3(2),
126–143. https://doi.org/10.1057/palgrave.sth.8700046