Anda di halaman 1dari 7

KARL MARX: DINAMIKA MASYARAKAT KAPITAL

(Nabila A. Harahap 19/439558/SA/19702)

Kapitalisme oleh Marx

Pemikiran Karl Marx mengenai kapitalisme yang dituangkan dalam bukunya berjudul
Das Kapital (1867). Kapitalisme sendiri merupakan sistem sosial ekonomi yang sudah
berkembang selama kurang lebih 400 tahun (Wayne & Sungyoon, 2012). Marx melihat sistem
ini sebagai sistem yang mengedepankan keuntungan sebanyak-banyaknya yang didapatkannya
dari proses produksi yakni, mengorganisir prosedur produksi dengan tepat hin gga dapat
mengurangi biaya produksi seminim mungkin (Bahari, 2010). Sistem ini kemudian
memunculkan berbagai dinamika di dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya ada
kemunculan kelas-kelas sosial.

Revolusi dan transformasi kelas

Pada dasarnya, Marx mengkritik realitas sosial yang terjadi, khususnya pada abad ke-
19. Abad tersebut merupakan hasil dari transformasi kelas yang berawal dari gerakan revolusi
Prancis di abad ke-18. Salah satu tuntutan dari gerakan tersebut adalah penghap usan kelas
sosial yang tercipta dari sistem feodalisme. Dalam sistem ini, kata “kelas” masih jarang
digunakan. Istilah “kasta” digunakan untuk menyebut kelas sosial. Feodalisme secara langsung
merugikan kasta terbawah (pekerja, petani) yang hanya diperalat untuk membayar pajak.
Sedangkan dua kasta teratas yaitu, bangsawan dan raja tidak perlu —atau sedikit—membayar
pajak. Oleh sebab itu, para pekerja dan petani melakukan revolusi guna menghapus kekuasaan
raja, gereja, serta borjuis dan menyamaratakan kedudukannya dengan para pekerja.

Transformasi kelas juga terjadi dalam revolusi industri di abad yang sama dengan
revolusi Prancis. Di saat revolusi Prancis menghapus kelas, revolusi industri justru
menciptakan kelas baru dengan sistem yang berbeda yakni, kapitalisme. Sistem ini dikenal
sebagai sistem yang membagi dua kelas di masyarakat yakni, proletar dan borjuis. Proletar
yang merupakan pekerja (kelas bawah) dan borjuis sebagai pemilik modal (kelas atas).

Kedua revolusi di atas sama-sama melakukan transformasi kelas dengan menggeser


sistem sosial yang ada. Singkatnya, revolusi industri hanya mengganti sistem feodalisme
menjadi kapitalisme dengan mempertahankan sistem hierarki dalam tatanan sosial. Hierarki
sejatinya tidak bisa dipisahkan dalam sistem sosial. Di mana ada yang berkuasa, sistem kelas
akan selalu ada, hanya bentuknya saja yang berbeda.
Kelas bawah dan kelas atas
Seperti yang sudah disebutkan di atas bila revolusi industri melahirkan kelas sosial yang
baru (proletar dan borjuis). Namun, sayangnya Marx tidak mendefinisikan secara eksplisit apa
itu kelas sosial. Maka dari itu, definisi kelas sosial diserahkan kepada yang diberikan oleh
Lenin. Ia mendefinisikan kelas sosial sebagai kelompok sosial di dalam masyarakat yang
ditentukan oleh posisi tertentu pada proses produksi (Magnis-Suseno, 2010).

Awalnya, Marx membagi masyarakat menjadi tiga kelas yakni, kaum pekerja, kaum
pemilik modal, dan tuan tanah (Magnis-Suseno, 2010). Namun, pada akhirnya, kaum tuan
tanah berada sejajar dengan para pemilik modal. Maka, hingga saat ini kelas dalam sistem
kapitalisme dibagi menjadi dua, proletar (pekerja) dan borjuis (pemilik modal). Kelas pemilik
modal yang mempunyai alat-alat produksi seperti, pabrik, tanah, mesin, dan lainnya. Kelas
pekerja ialah yang melakukan produksi untuk kelas pemilik modal. Hal ini selanjutnya akan
membawa para pekerja ke dalam keterasingan (alienasi) yang akan dijelaskan selanjutnya.

Walau pun kedua kelas ini sangat berbanding terbalik, namun mereka membutuhkan
eksistensi satu sama lain. Pekerja hanya dapat bekerja jika disediakan tempat kerja oleh pemilik
modal, dan pemilik modal mendapat keuntungan apabila pekerja bekerja di tempatnya
(Magnis-Suseno, 2010). Sayangnya, ketergantungan ini tidak imbang di kedua belah pihak.
Pekerja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia tidak bekerja. Sebaliknya, jika
para pemilik modal tidak mempunyai sumber daya untuk menggerakkan alat produksi yang
disediakannya, ia masih bisa memenuhi kebutuhannya dengan mengeksploitasi pengangguran
atau menjual alat produksinya. Dengan kata lain, pekerja tidak bisa hidup tanpa pekerjaan dari
kelas atas, dan pemilik modal masih bisa hidup dengan yang dia miliki. Hubungan dari
ketergantungan ini pada gilirannya menjadi hubungan eksploitasi atau pengisapan (Magnis-
Suseno, 2010).

Melihat fenomena ketimpangan kelas ini, Marx memunculkan tiga teori kelas yang
dikutip oleh Magnis-Suseno (2010). Pertama, borjuis dan proletar memiliki kepentingan yang
berbeda. Hal tersebut ditentukan oleh kedudukan mereka dalam proses produksi. Kedua,
kepentingan yang berbeda akan memunculkan pertentangan. Oleh sebab itu, mereka berdua
mengambil sikap yang berbeda dalam perubahan sosial. Pemilik modal y ang konservatif
mempertahankan kedudukannya, dan pekerja yang revolusioner yang mengharapkan
perubahan. Ketiga, perubahan serta kemajuan dalam tatanan masyarakat hanya bisa dilakukan
dengan revolusi.
Gerakan revolusi sangat diharapkan oleh para kelas pekerja, guna memperbaiki taraf
hidup mereka agar tidak dikuasai oleh para borjuis. Ditambah lagi para pekerja merasakan
keterasingan dari sistem kapitalis yang mengikat mereka.

Terperangkap dalam Alienasi

Dalam sistem kapitalisme, Marx mengutarakan bila para kelas pekerja kerap
mengalami fenomena alienasi. Alienasi adalah situasi di mana para buruh atau pekerja merasa
terasing dengan pekerjaannya atau produk yang ia buat. Sebagai gambaran, para pekerja,
terutama buruh, menghasilkan produk untuk suatu perusahaan, namun mereka tidak menikmati
hasil produk yang mereka buat, mereka pun merasa asing karena produk yang mereka produksi
hanya dinikmati oleh para pemilik modal (atau perusahaan tersebut).

Alienasi ini tidak dapat dihindarkan oleh para pekerja, karena hubungannya antara
kaum pekerja dan pemilik modal yang saling melengkapi. Hal ini sejalan dengan pendapat
(Hendrawan, 2017), bilamana pemilik modal membutuhkan para pekerja untuk menggerakkan
alat produksinya, dan para pekerja akan rela bekerja untuk mendapat upah guna memenuhi
kebutuhan hidupnya.

Marx kemudian menjelaskan dalam bukunya The Paris Manuscript—atau lebih dikenal
dengan judul Economic and Philosophical Manuscript (1977), jika alienasi yang dialami oleh
kelas pekerja dapat diidentifikasikan melalui empat tipe:

1. Alienasi dari produknya


Seperti penggambaran di awal, teralienasi dari produknya terlihat dari para
pekerja yang tidak menikmati hasil produk yang mereka buat. Mereka membuat produk
atas keinginan oleh pemilik modal, bukan untuk dirinya sendiri (Hendrawan, 2017).
Mereka kian mengerahkan seluruh dirinya hingga melupakan esensi akan dirinya
sendiri. Hendrawan (2017) menjelaskan bila ada hubungan objektivikasi antara pekerja
dan pemilik modal. Hubungan di mana para pekerja mencurahkan hidupnya pada suatu
objek yang dia produksi, alhasil hidup mereka sepenuhnya milik objek tersebut, bukan
lagi miliknya.
2. Alienasi dari proses produksi
Bila para pekerja hanya mempunyai sedikit—atau tidak sama sekali—kontrol
terhadap objek yang diproduksinya, maka dalam prosesnya pun mereka juga merasakan
hal yang sama (Yuill, 2005). Dalam proses ini, pekerja akan mengekspresikan dirinya
seutuhnya. Namun, dalam kapitalisme, selama melakukan proses produksi, para
pekerja tidak merasakan keterlibatan dirinya (Hendrawan, 2017). Hal ini akan berefek
pada kejenuhan dan ketidaknyamanan di tempat kerja (Hendrawan, 2017). Efek dari
keterasingan ini terlihat dari cepat letih, rasa bosan, dan hasrat ingin cepat mengakhiri
pekerjaannya. Mereka merasakan dirinya sendiri di luar pekerjaan yang diembannya.
Marx (1977) menjelaskan,
“[...] The worker therefore only feels himself outside his work, and in his work feels outside
himselfy the spontaneous activity of the human imagination, of the human brain and the human heart,
operates on the individual independently of himy it is the loss of self (Yuill, 2005).”
3. Alienasi dari spesiesnya
Menurut Marx dalam Hendrawan (2017), manusia hidup untuk memproduksi
menghasilkan sesuatu guna bertahan hidup yang salah satunya direalisasikan melalui
pekerjaan. Oleh sebab itu, manusia mendapatkan esensinya sebagai manusia dengan
bekerja. Namun, dalam kehidupan kapitalis, mereka telah merasa terasing dari
kehidupan yang semestinya. Akhirnya, mereka kehilangan rasa kemanusiaannya dan
kebebasannya. Mereka tidak bisa memandang dirinya sendiri sebagai insan yang bebas,
karena dalam bekerja mereka hanya beraktivitas untuk memenuhi hasrat dan ambisi
orang lain (Hendrawan, 2017).
4. Alienasi dari sesamanya
Dalam sistem kapitalisme, tujuan utama mereka (para pemilik modal) adalah
mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang memunculkan sikap
kompetitif antara sesama pemilik modal dan mengasingkan satu sama lain dan
menanggap semuanya adalah saingan dalam pasar.

Alienasi dan berbagai tipenya sejatinya merupakan kontradiksi dalam pekerjaan.


Manusia bekerja untuk mencari esensi dan membuat keberadaannya lebih bermakna. Namun,
sistem kapitalisme ini membuat aktivitas bekerja membuat manusia mengasingkan diri dari
berbagai aspek yang telah disebutkan.

Sayangnya, fenomena ini tidak dapat dihindarkan begitu saja. Sistem yang sudah
mengakar hingga kini membuatnya sulit untuk dibenahi. Selain sistem, terdapat faktor di dalam
masyarakat yang membuat kapitalisme mengakar kuat yakni, agama.

Agama: obat para kelas pekerja

Marx menyebutkan bila agama—dalam sistem kapitalis—adalah suatu ilusi untuk


mengurangi rasa sakit serta tertindas akibat eksploitasi dan tekanan dari para kelas borjuis
(pemilik modal).
“Religion is an illusion which eases the pain produced by exploitation and oppression (Haralambos &
Holborn, 2013).”

Menurut Marx, ada beberapa faktor mengapa agama dapat mengurangi tekanan yang
ditanggung para pekerja. Pertama, agama menjanjikan adanya kebahagiaan abadi—yang biasa
disebut surga—setelah meninggal. Lalu, agama seraya menjanjikan datangnya kebaikan
setelah ditimpa penderitaan, seakan ada hikmah di baliknya. Ketiga, agama kerap menawarkan
solusi dalam mengatasi masalah-masalah berupa campur tangan hal-hal astral. Terakhir, agama
hadir demi membenarkan struktur sosial serta posisi seseorang di dalamnya. Singkatnya, agama
menghimbau orang-orang untuk pasrah akan realitas yang dihadapi dan lebih memikirkan hal-
hal surgawi dibanding penderitaan secara material yang terkesan fana (Seran & Latupeirissa,
2021).

Marx lebih menggarisbawahi agama yang tertanam pada kaum proletar (pekerja).
Agama dijadikan sebagai tempat beristirahat para pekerja untuk melupakan rasa menderita dan
tertindas yang dihasilkan dari para borjuis. Agama dianggap sebagai opium yang memberikan
efek candu yang pada gilirannya melahirkan kesadaran palsu (false consciousness).

“Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against
real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul
of soulless conditions. It is the opium of the people (Luchte, 2009).”

Alhasil, para kaum pekerja pun tidak sadar dan tidak dapat melihat bentuk penindasan
yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Hal ini sejalan dengan Marx dalam Seran & Latupeirissa
(2021) menyebutkan agama mengilusi kesadaran mereka dari kenyataan yang riil. Setiap
mereka merasakan tekanan, agama menjadi jalan keluarnya, terlepas dari nyata tidaknya efek
dari agama tersebut.

Agama pun dianggap sebagai hasil dari ciptaan masyarakat yang merupakan ekspresi
dari kepentingan kelas (Seran & Latupeirissa, 2021). Para pemilik modal melihat fenomena
agama di tengah kelas pekerja sebagai peluang untuk terus mengeksploitasi. Agama seraya
menjadi alat pendukung dalam sistem kapitalis, karena melahirkan kesadaran palsu yang
sebelumnya sudah disebutkan. Seran dan Latuperissa (2021) berpendapat, bila agama sangat
menguntungkan bagi para borjuis, karena dapat menjamin proses produksi, dan bagi proletar,
agama menguatkan mereka dari penindasan serta penderitaan serta menerima kenyataan apa
adanya. Dikarenakan agama menjanjikan kebahagiaan yang abadi setelah penderitaan yang
dialami, maka mereka (pekerja) tidak keberatan dengan tindak eksploitasi dan tidak melawan
(Lela Saputri & Gunaryo, 2021).

Revolusi sebagai solusi

Dengan sistem kapitalisme yang sudah mengakar, akan sukar bagi masyarakat untuk
terlepas dari dinamika yang sudah diciptakan. Dalam menanggapi hal ini, Marx menyuarakan
bila revolusi secara total butuh diadakan terhadap kelompok . Revolusi ini bertujuan untuk
membebaskan kaum yang dikuasai, yakni pekerja atau buruh dari keterasingan yang mereka
alami penguasa (Seran & Latupeirissa, 2021).

Dengan diadakannya revolusi total, Marx menaruh harapan akan terhapusnya sistem
hak milik pribadi atas aset-aset produksi yang dipegang oleh kelas borjuis. Hal ini pada
gilirannya akan menciptakan tatanan masyarakat tanpa kelas (classless society) (Seran &
Latupeirissa, 2021). Masyarakat tanpa kelas yang didambakan oleh Marx terbilang utopis
karena sulit diterapkan di dalam masyarakat modern dan berbanding terbalik dengan fakta
kehidupan masyarakat (Bahari, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Bahari, Y. (2010). KARL MARX : SEKELUMIT TENTANG HIDUP DAN


PEMIKIRANNYA. Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora, 1(1), 1–10.

Haralambos, M., & Holborn, M. (2013). Sociology Themes and Perspectives (7th ed.).
HarperCollins Publishers.

Hendrawan, D. (2017). Alienasi Pekerja Pada Masyarakat Kapitalis Menurut Karl Marx.
Jurnal Filsafat Arete, 6(1), 13–33.
http://journal.wima.ac.id/index.php/ARETE/article/view/1640/1503

Lela Saputri, P., & Gunaryo, A. (2021). Reviewing Poverty in Indonesia: Karl Marx’S View
of Religion Is an Opium. Jurnal Alwatzikhoebillah : Kajian Islam, Pendidikan,
Ekonomi, Humaniora, 7(1), 50–57. https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v7i1.335

Luchte, J. (2009). Marx and the sacred. Journal of Church and State, 51(3), 413–437.
https://doi.org/10.1093/jcs/csp095

Magnis-Suseno, F., 2010. Pemikiran Karl Marx. 10th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mukhopadhyay, Roudro. (2020). Karl Marx's Theory of Alienation.


10.13140/RG.2.2.20186.47044

Seran, P., & Latupeirissa, D. S. (2021). AGAMA SEBAGAI ALIENASI MANUSIA.


LUMEN VERITATIS JurnalTeologidanFilsafat, 12(1), 39–64.
https://journal.unwira.ac.id/index.php/LUMENVERITATIS

Wayne, M., & Sungyoon, C. (2012). Marx’s Das Kapital for beginners (Vol. 3).
www.forbeginnersbooks.com

Yuill, C. (2005). Marx: Capitalism, Alienation and Health. Social Theory and Health, 3(2),
126–143. https://doi.org/10.1057/palgrave.sth.8700046

Anda mungkin juga menyukai