Anda di halaman 1dari 16

Nama : Muhammad Ansyori Wibowo

NIM : 1707114043
Kelas : Teknik Kimia S1 C

PENANGANAN PENCEMARAN LAHAN ATAU TANAH

A. PENAMBANGAN SISTEM TERBUKA RAMAH LINGKUNGAN


DAN UPAYA REKLAMASI PASCA TAMBANG UNTUK
MEMPERBAIKI KUALITAS SUMBERDAYA LAHAN DAN
HAYATI TANAH
1.1 Pendahuluan
Sejalan dengan umur dan proses deposit bahan tambang, posisi timbunan
bahan tambang dapat berada di lapisan dalam, dekat permukaan ataupun terbuka
di permukaan tanah. Tertimbunnya bahan tambang oleh tanah penutup dapat
terjadi sebagai hasil pelapukan bahan tambang itu sendiri sebagai bahan induk
pembentuk tanah. Akibatnya tanah penutup bagian atas (tanah pucuk) yang telah
mengalami pelapukan lanjut memiliki kesuburan fisik, kimia dan biologi lebih
baik dibanding tanah penutup bagian di bawahnya (overburden/subsoil) yang
belum mengalami pelapukan lanjut. Untuk penambangan yang berada di
permukaan tanah atau dekat permukaan pada umumnya dilakukan dengan sistem
penambangan terbuka dengan mengupas tanah penutup di atasnya. Sementara
penambangan yang berada di lapisan dalam dilakukan dengan penambangan
dalam (underground mining) dengan sistem pengeboran ataupun membuat
terowongan bawah tanah, sehingga tidak banyak mengganggu kondisi permukaan
lahan.
Sistem penambangan terbuka yang berada di permukaan tanah banyak
mengubah bentang lahan dan keseimbangan ekosistem permukaan tanah, maka
berdasarkan UU No.41/1999, Pasal 38, Ayat 4, sistem penambangan terbuka ini
dilarang dilakukan di kawasan hutan lindung. Hermawan et al. (2009) menyatakan
bahwa kegiatan penambangan timah di Provinsi BangkaBelitung yang dilakukan
dengan cara terbuka telah menimbulkan perubahan lingkungan dengan
menurunkan produktivitas tanah dan mutu lingkungan.
Perubahan lingkungan pasca penambangan yang terjadi, selain perubahan
bentang lahan juga kualitas tanah hasil penimbunan setelah penambangan.
Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya, juga tanah lapisan atas
bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas digantikan tanah
dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah lapisan atas yang subur
berada di lapisan bawah. Demikian juga populasi hayati tanah yang ada di tanah
lapisan atas menjadi terbenam, sehingga hilang/mati dan tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah lapisan atas pasca penambangan untuk
pertumbuhan tanaman menjadi rendah.

1.2 Kegiatan Penambangan Sistem Terbuka Konvensional


Penambangan dengan sistem tambang terbuka (open pit mining) dilakukan
dengan cara pengupasan tanah penutup bahan tambang. Tanah penutup
dikeluarkan dari areal tambang dan bahan tambang digali dan diangkut keluar.
Setelah seluruh bahan tambang dikeluarkan, maka terjadi sisa lubang-lubang
galian berupa kolong-kolong. Pada perusahaan yang memiliki izin kuasa
penambangan (KP), kolong-kolong lubang galian ini ditimbun kembali dengan
tanah yang diambil dari tanah sekitar ataupun dari tanah penutup sebelumnya.
Apabila penutupan kembali ini dilakukan kurang tepat, maka tanah lapisan atas
yang memiliki kesuburan tinggi bercampur dengan tanah lainnya atau tertimbun
di bagian bawah. Sebaliknya tanah lapisan bawah (subsoil) yang belum
mengalami perkembangan (tidak subur) justru berada di lapisan atas. Daya
dukung tanah bekas system penambangan terbuka konvensional ini menjadi
rendah dan bahkan dengan struktur tanah yang rusak, sehingga berpeluang mudah
tererosi.
Proses penambangan sistem terbuka pada prinsipnya dimulai dengan
membersihkan permukaan tanah, kemudian mengupas tanah penutup, menggali
bahan tambang, dan mengangkut bahan tambang ke tempat penampungan
(stockyard) untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Alur
kegiatan penambangan selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Pembersihan lahan dari vegetasi yang menutupi lapisan tanah permukaan
(clearing and grubing) dilakukan dengan Buldozer dan Excavator.
2. Pengupasan tanah penutup. Tanah penutup dikupas dan diangkut ke tempat
penimbunan sementara, atau ditata dan disebar di area pembuangan
(disposal) akhir.
3. Penggalian dan pengambilan bahan tambang (ore) dengan alat gali muat
(ore getting). Ore diangkut keluar melewati jalan tambang ke Export
Transite Ore (ETO) dan Export Final Ore (EFO) di dekat pelabuhan.
4. Penimbunan kembali kolong bekas galian dengan tanah penutup. Setiap
selesai penambangan, tanah penutup dan tanah sisa penambangan
ditimbun kembali di area bekas galian sesuai dengan design yang telah
ditentukan.
5. Penanaman kembali tanaman penutup tanah. Kegiatan penambangan
terbuka pada prinsipnya diwajibkan untuk menutup kembali areal bekas
tambang yang ditinggalkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang
lebih besar dan dipulihkan kembali kondisi ekosistemnya
sekurangkurangnya seperti kondisi sebelumnya.
Dari kegiatan penambangan sistem terbuka ini dihasilkan: (1) bahan organik
dari tanaman penutup tanah, baik berupa kayu ataupun dedaunan; (2) tanah
penutup yang terdiri dari tanah lapisan atas (tanah pucuk/topsoil) yang
mempunyai kesuburan fisik, kimia dan biologi yang baik sebagai media
pertumbuhan tanaman dan tanah bawah permukaan (subsoil/ overburden). Tanah
subsoil umumnya berupa bahan tanah peralihan dari bahan tambang sebagai
bahan induk pembentuk tanah dan tanah lapisan atas yang telah berkembang.
Tanah subsoil ini belum mengalami perkembangan lanjut, sehingga memiliki
kesuburan kimia, fisika dan biologi rendah; (3) bahan/material tambang, yaitu
bahan mineral sebagai bahan yang dipanen untuk diangkut keluar dan
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri; dan (4) lubang bekas galian (kolong),
terdapatnya kolong-kolong bekas galian akan mengurangi luas lahan untuk
budidaya ataupun dapat mengubah tata air dan bentang lahan.

1.3 Masalah Penambangan Sistem Terbuka Konvensional


Pada penambangan sistem terbuka nampak bahwa apabila penanganan
kurang hatihati permasalahan yang mungkin terjadi adalah perubahan bentang
lahan, rusaknya struktur tanah, dan hilangnya tanah lapisan atas. Hasil penelitian
Subardja (2009) menunjukkan bahwa lahan bekas penambangan rakyat sistem
terbuka memiliki permukaan lahan tidak teratur, kesuburan tanah rendah, dan
rawan erosi, sehingga daya dukung tanah untuk tanaman rendah.
Hermawan et al. (2009) mendapatkan bahwa dampak langsung
penambangan timah secara terbuka di Bangka Belitung telah menurunkan
produktivitas lada dari 2 t/ha (tahun 2000) menjadi 1 t/ha (tahun 2004), kerusakan
hutan 60% dari luas total hutan (tahun 2007), terdapat 887 kolong dengan
kedalaman 9,5 m (tahun 1999) menjadi >1.000 kolong (tahun 2009), dan juga
terjadi pendangkalan sungai. Namun apabila kegiatan penambangan sistem
terbuka ini dilakukan dengan baik, pada prinsipnya justru dapat diperoleh hal-hal
positif, antara lain :
1. Bahan tambang yang merupakan akumulasi bahan mineral yang
terkonsentrasi dapat dipanen dan dimanfaatkan untuk kepentingan lain
yang lebih berdaya guna dan bernilai ekonomi.
2. Bahan tambang yang berupa logam berat dapat diangkut keluar dari lahan,
sehingga dapat terhindar dari potensi pencemaran logam berat hasil
pelapukan bagi lahan yang ada di bawahnya
3. Penyusutan volume permukaan lahan dapat menurunkan tingkat kemiringan
lahan, sehingga dapat memudahkan dalam pengelolaan selanjutnya serta
dapat mengurangi risiko terjadinya erosi tanah.
4. Ketebalan tanah lapisan atas dapat ditingkatkan dengan menurunnya luas
permukaan tanah akibat penurunan kemiringan lahan.
5. Kepadatan tanah lapisan bawah dapat disesuaikan dengan target perbaikan
yang ingin dicapai, sehingga dapat meningkatkan daya dukung lahan
untuk perkembangan akar serta meningkatkan laju infiltrasiperkolasi,
mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah.
6. Bentang lahan dapat diatur sesuai dengan yang diharapkan, sehingga nilai
fungsi lahan tetap terjaga dan bahkan dapat lebih ditingkatkan dari
sebelumnya.

1.4 Prinsip Dasar Penambangan Terbuka Ramah Lingkungan Dan Upaya


Reklamasi Pasca Tambang Untuk Memperbaiki Kualitas Lahan Dan
Hayati Tanah
Sejalan dengan permasalahan yang terjadi pada penambangan terbuka
konvensional perlu kiranya dilakukan antisipasi terhadap prinsip dasar
penambangan, sehingga nilai positif dari setiap kegiatan penambangan dapat
diperoleh dan nilai negatif dapat dihindari. Beberapa prinsip dasar sistem
penambangan terbuka dan antisipasi yang mungkin dapat diupayakan agar
kelestarian sumberdaya lahan dan hayati tanah bekas penambangan tetap terjaga
dan berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya dikemukakan berikut
ini.
Pengaturan tataletak bench/blok penambangan
Keberadaan deposit bahan tambang pada prinsipnya terjadi akibat angkatan
tektonik maupun deposit vulkanik, sehingga di lapangan deposit bahan tambang
dapat menyebar ataupun terkonsenrasi pada suatu tempat. Namun sesuai dengan
sistem pembentukan kepulauan di Indonesia yang berbasis aktivitas vulkanik,
maka bentang lahan umumnya berbentuk kerucut ataupun bergelombang
(berlereng). Demikian juga laju pelapukan dan curah hujan yang tinggi, sehingga
konsentrasi dan posisi deposit bahan tambang cenderung beragam mengikuti
posisi lereng. Keberadaan deposit bahan tambang pada lereng atas umumnya lebih
dangkal, sebaliknya pada lereng bawah lebih dalam. Untuk itu dalam sistem
penambangan terbuka sebaiknya dilakukan dengan sistem bench/blok.
Pengupasan tanah pucuk (topsoil)
Sesuai dengan tahapan kegiatan penambangan yang diawali dari blok pada
lereng paling bawah, maka kupasan tanah lapisan atas yang merupakan tanah
yang memiliki kesuburan paling tinggi dan mampu mendukung pertumbuhan
tanaman hendaknya disimpan pada tempat yang aman terhadap erosi dan
pengeringan. Hal ini penting agar daya dukung kimia dan biologi tanah lapisan
atas ini tidak rusak/terdegradasi. Swift et al. (1994) menyatakan bahwa tanah
lapisan atas merupakan habitat bagi bermacam-macam mikroorganisme dan fauna
tanah yang berperanan penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Peranan
tersebut antara lain: membantu menyediakan hara bagi tanaman, mengatur daur
hara dalam tanah, mensintesis dan mengurai bahan organik tanah, mempengaruhi
ketersediaan air tanah, dan mempengaruhi kesehatan tanaman melalui parasitisme,
patogenitas ataupun sebagai predator.
Pengupasan tanah penutup overburden (subsoil)
Kupasan tanah penutup hasil galian yang berupa tanah lapisan bawah (sub
soil/ overburden) dengan volume yang besar untuk sementara waktu ditempatkan
di pinggiran daerah penggalian bahan tambang masingmasing blok. Lokasi
penimbunan ini hendaknya aman dari kemungkinan erosi dan mudah dalam
pengambilan untuk ditimbunkan kembali. Setelah kegiatan penambangan selesai,
tanah penutup ini langsung dikembalikan sebagai tanah penutup kolong dan diatur
berteras.
Penggalian bahan tambang (ore)
Penggalian bahan tambang dilakukan setelah tanah penutup terkupas keluar.
Bentuk galian hendaknya menyempit di bawah, bukan melebar ke bawah. Hal ini
penting agar konstruksi tanah pasca penambangan stabil oleh adanya pemadatan
alami setelah rekonstruksi. Apabila terjadi penurunan permukaan tanah pasca
reklamasi secara alami, permukaan teras turun secara serentak dan tidak banyak
mengalami perubahan. Sebaliknya, apabila membentuk rongga-rongga di bagian
bawah akan mengganggu/merusak bangku teras yang dihasilkan dan juga
mengganggu tanaman revegetasi.
Reklamasi kolong bekas penambangan
Reklamasi lahan merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan
kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara optimal sesuai
dengan kemampuannya. Setelah selesai kegiatan penambangan secara terbuka
terjadi kerusakan lahan dengan terbentuknya kolong-kolong ataupun timbunan
tanah di sekitarnya. Apabila hal ini tidak segera direklamasi akan sangat potensial
merusak lingkungan sekitarnya, terutama akibat erosi dan perubahan iklim mikro
yang panas dan kering.

1.5 Kesimpulan
Penambangan sistem terbuka konvensional banyak mengubah bentang lahan
dan keseimbangan ekosistem permukaan tanah, menurunkan kualitas dan
produktivitas tanah dan mutu lingkungan. Untuk menghindari dampak negatif
tersebut penambangan terbuka harus ramah lingkungan dengan berorientasi pada
pelestarian sumberdaya lahan dan hayati tanah. Hal ini dapat diupayakan dengan:
(1) penambangan dilakukan secara blok dengan dimulai dari lereng paling bawah,
(2) reklamasi/ penimbunan lahan dilakukan secara langsung setelah selesai
penambangan, (3) bentukan permukaan lahan dengan terasering dengan lebar
bangku teras datar >5 m, beda tinggi antar bangku teras (4) kupasan tanah lapisan
atas (topsoil) ditempatkan kembali pada lapisan atas dengan ketebalan >20 cm
dan diperkaya dengan kapur, pupuk organik, pupuk anorganik ataupun pupuk
hayati, (5) biorehabilitasi dengan pemberdayaan cacing tanah endogaesis dan
penanaman tanaman legum sebagai tanaman pionir, dan (6) pemeliharaan
tanaman sampai mencapai klimaks ekosistem sesuai yang diharapkan.

B. PENGGUNAAN BIOKOMPOS DALAM BIOREMEDIASI LAHAN


TERCEMAR LIMBAH MINYAK BUMI
1.1 Pendahuluan
Limbah minyak bumi dapat terjadi di semua lini aktivitas perminyakan
mulai dari eksplorasi sampai ke proses pengilangan dan berpotensi menghasilkan
limbah berupa lumpur minyak bumi (Oily Sludge). Salah satu kontaminan minyak
bumi yang sulit diurai adalah senyawaan hidrokarbon. Ketika senyawa tersebut
mencemari permukaan tanah, maka zat tersebut dapat menguap, tersapu air hujan,
atau masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat beracun. Akibatnya,
ekosistem dan siklus air juga ikut terganggu (Karwati, 2009).
Penanggulangan pencemaran minyak dapat dilakukan secara fisik, kimia
dan biologi. Penanggulangan secara fisik umumnya digunakan pada langkah awal
penanganan, terutama apabila minyak belum tersebar ke mana-mana. Namun cara
fisika memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengangkutan dan pengadaan
energi guna membakar materi yang tercemar. Penanggulangan secara kimia dapat
dilakukan dengan bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi
minyak, sehingga minyak tersebut dapat terdispersi. Terutama ketika zat
pencemar tersebut dalam konsentrasi tinggi. Namun cara ini memiliki kelemahan,
yaitu mahal pengoprasiannya karena memakan biaya yang cukup besar dan
metode kimia memerlukan teknologi dan peralatan canggih untuk menarik
kembali bahan kimia dari lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif
yang lain. Mengingat dampak pencemaran minyak bumi baik dalam konsentrasi
rendah maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus berusaha mencari
teknologi yang paling mudah, murah dan tidak menimbulkan dampak lanjutan
(Nugroho, 2006).
Salah satu alternatif penanggulangan lingkungan tercemar minyak adalah
dengan teknik bioremediasi, yaitu suatu teknologi yang ramah lingkungan, efektif
dan ekonomis dengan memanfaatkan aktivitas mikroba seperti bakteri. Melalui
teknnologi ini diharapkan dapat mereduksi minyak buangan yang ada dan
mendapatkan produk samping dari aktivitas tersebut (Udiharto et al.,1995).
Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif untuk mengolah
kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, enzim tanaman atau
enzim mikroba (Gunalan, 1996).

1.2 Hasil Dan Pembahasan


pH
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada keadaan awal pH masih berkisaran
7,25- 8,25 (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan pH optimum karena menurut Nghia
(2007) pH optimum untuk biodegradasi berada kisaran antara 6 dan 8. Namun
setelah diberi perlakuan, pH mengalami perubahan penurunan nilai pH yang
menunjukan bahwa mikroorganisme beraktivitas. Kebanyakan bakteri tumbuh
pada pH netral atau sedikit alkali. pH berpengaruh pada fungsi seluler
mikroorganisme, transport membran, dan keseimbangan reaksi (Cookson, 1990
dalam Sugoro, 2002).
Berdasarkan hasil analisis, pada umumnya semua perlakuan mengalami
penurunan nilai pH. Penurunan nilai pH tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas
konsorsium bakteri yang membentuk metabolit-metabolit asam.
Kadar Air
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil analisa kadar air,
Melihat data hasil analisis kadar air, sampel A1, A2, B1, B2, C1, C2 mengalami
kenaikan. Sampel yang mengalami kenaikanpun berbeda antara sampel yang
hanya ditambah inokulan saja, biokompos (kompos + inokulan) dan sampel
dengan kompos tanpa inokulan. Begitu juga perbedaan pada komposisi urea yang
ditambahkan. Hasil uji anova menunjukan bahwa pemberian biokompos
memberikan pengaruh terhadap % kadar air.
Kemampuan Ikat Air/Water Holding Capacity (WHC).
Kemampuan ikat air didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan untuk
menyerap dan menahan air. Hasil analisis WHC sampel, nilai WHC akhir secara
berurutan pada sampel A1, A2, B1, B2, C1, dan C2 adalah 41,47%, 43,90%,
109,04%, 115%, 118,35%, dan 124,11%. Perbedaan nilai WHC tersebut sangat
dipengaruhi oleh penambahan biokompos dan urea.
Biodegradasi hidrokarbon alifatik biasanya terjadi pada kondisi aerob.
Tahap awal degradasi hidrokarbon secara aerob adalah memasukkan molekul
oksigen ke dalam hidrokarbon oleh enzim oksigenase (Nugroho, 2009). Menurut
R.M. Atlas, and R. Bartha (1992) dalam Nugroho (2009) Jalur degradasi alkana
yang paling umum adalah oksidasi rantai terminal (Gambar 4.5). Alkana
dioksidasi menjadi alkohol dan selanjutnya menjadi asam lemak (Cookson, 1995
dalam Nugroho, 2009).
Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik, kadar
abu suatu bahan tergantung bahan dan cara pengabuannya (Sudarmadji et al.,
1996). Data gambar 4.6, menunjukan terjadi perubahan kadar abu yang nyata
antara keadaan sebelum dan setelah fermentasi degradatif dari limbah lumpur
minyak bumi. Hasil statistik anova menunjukan bahwa kadar abu di antara
keenam perlakuan berbeda nyata (P ≤ 0,05), ini menunjukan bahwa pemberian
biokompos memberikan pengaruh yang signifikan berupa peningkatan kadar abu
di akhir perlakuan.
Secara keseluruhan keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan C2)
mengalami kenaikan kadar abu. Hal tersebut disebabkan bahan yang terkandung
dalam perlakuan terjadi proses mineralisasi. Proses mineralisasi ini diakibatkan
oleh metabolisme dari tanaman dan mikrobanya, dengan cara memanfaatkan
polutan yang terkandung dalam media. Mineral tersebut terdapat dalam bentuk
garam organik, garam anorganik, atau sebagai bentuk senyawa kompleks yang
bersifat organis (Muljohardjo, 1988).

1.3 Kesimpulan
1. Penambahan kompos dan urea dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH
dan diperoleh hubungan positif antara jumlah penambahan kompos dan urea
terhadap tingkat degradasi TPH.
2. Komposisi medium terbaik dalam mendegradasi TPH adalah perlakuan C2
(100 g berat kering lumpur minyak bumi, 100 g berat kering biokompos, 9 g
urea, rasio C/N = 5) dengan tingkat degradasi 91,15%,.
3. Faktor lingkungan yang menghasilkan kondisi optimal ini dicapai pada
remediasi diperoleh melalui kondisi awal pH 8,25; kadar air 49,97%; WHC
101,64%; dan kadar abu 63,76% dan kondisi akhir pH 6,25; kadar air
55,04%; kadar abu 73,39%; dan WHC 124,11%.

C. RESPONSIVENESS PENANGGULANGAN DAN PEMULIHAN


PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI PADA LAHAN PERTANIAN
DI KAWASAN RANCAEKEK
1.1 Pendahuluan
Fenomena transformasi struktural dari pertanian ke industri, membuat
banyak lahan pertanian, Ruang Terbuka Hijau (RTH) terkonversi menjadi lahan
industri. Kondisi seperti ini menyebabkan munculnya eksternalitas, baik positif
maupun negatif. Eksternalitas positif yang paling dirasakan berkaitan dengan
lapangan kerja. Namun adanya sisi positif itu tidak dibarengi dengan orientasi
terhadap lingkungan hidup, sehingga eksternalitas negatif yang paling dirasakan
yakni persoalan limbah menjadi ancaman yang tidak hanya untuk saat ini, tapi
dapat pula menjadi masalah yang lebih serius lagi di masa yang akan datang.
Disinilah diperlukan peran dari pemerintah untuk mengurus dan merespon
eksternalitas yang ada, terlebih jika eksternalitas negatif berupa limbah sudah
lintas wilayah administratif.
Adanya eksternalistas negatif, seperti limbah industri, dari suatu daerah
pada daerah lain tentu memerlukan responsiveness pemerintah daerah yang saling
berkaitan agar dampak negatif tersebut dapat dikendalikan sesuai dengan regulasi
yang ada. Namun faktanya eksternalitas negatif sangat sulit dikendalikan, terlebih
jika sudah lintas administratif. Hal ini terjadi di Kawasan wilayah terdampak
pencemaran berada di Kabupaten Bandung, sedangkan sumber pencemarnya
adalah pelaku usaha yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten
Sumedang
Setelah mempelajari fenomena diatas dan melakukan wawancara serta
obeservasi awal, peneliti menemukan beberapa indikasi masalah BPLHD Provinsi
Jawa Barat, BPLH Kabupaten Bandung, dan BLH Kabupaten Sumedang dalam
penanggulangan dan pemulihan pencemaran limbah industri pada lahan pertanian
di kawasan Rancaekek sebagai berikut:
1. Pencemaran di kawasan Rancaekek sejak tahun 1991, namun hingga 2016,
air sungai yang merupakan sumber irigasi tetap hitam pekat dan
menimbulkan bau busuk, lahan pertanian yang tetap tak produktif, lahan
pertanian yang tercemar justru semakin meluas dengan trend meningkat
dari tahun ke tahun
2. Letak kawasan Rancaekek yang masuk dalam dua wilayah administratif
menjadi masalah tersendiri. Terdapat perbedaan persepsi dari aspek
regulasi dan aspek aparatur. Hal ini memicu perbedan sudut pandang antar
aparat Badan. Kondisi ini menunjukkan adanya ego sektoral antar
pemerintah daerah Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan
Provinsi Jawa Barat, sehingga penanggulangan dan pemulihan
pencemaran limbah industri pada lahan pertanian di kawasan Rancaekek
berjalan lamban.
3. Kurang harmonisnya komunikasi antar Badan. Informasi yang ada di antar
Badan, hanya dimiliki Badan tersebut saja, tidak ada alur informasi antar
Badan, dan hanya beberapa anggota Badan saja yang mengetahui
pencemaran di Kawasan Rancaekek ini.

1.2 Tinjauan Teoritis


Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori responsiveness dari Igor
Ansoff dan E. McDonnell (1990) yang dijabarkan lebih lanjut dalam Popescu
(2014) karena terdapat relevansi dengan permasalahan yang diteliti. Permasalahan
pencemaran limbah indusri di Kawasan Rancaekek tidak semata berkaitan dengan
kebijakan yang ada, namun berkaitan pula dengan isu-isu yang ada, baik di
lingkungan masyarakat maupun pemerintah, dalam merespon permasalahan
tersebut, dan hal demikian relevan dengan teori yang diangkat oleh Popescu
(2014) yang memandang responsiveness dapat dikaji aspek (1) climate (will to
respond), (2) competence (ability to respond) and (3) capacity (volume of
response)

1.3 Hasil Dan Pembahasan


Climate (Will to Respond)
Dalam konteks penelitian ini, climate mengarah pada bagaimana suasana
dan pengaruh lingkungan bagi pemerintah dalam merespon permasalahan dengan
cara tertentu dan bagaimana cara meresponnya, berkenaan dengan Will to
Respond dari Badan, yang dipengaruhi oleh beberapa factor
Berdasar hasil penelitian, pemerintah pada dasarnya memiliki power untuk
melakukan penanggulangan dan pemulihan pencemaran limbah industri di
Kawasan Rancaekek.. Namun Pemertintah Daerah terkait belum mampu
memanifestasikannya, adanya faktor lemahnya regulasi menurut aparat, sisi
dilematis yang harus dihadapi, serta daya yang dimiliki perusahaan membuat
responsiveness penanggulangan dan pemulihan pencemaran limbah industri pada
lahan pertanian di Kawasan Rancaekek tidak sebagaimana mestinya
Dalam konteks penelitian ini, subaspek structure mengarah pada bagaimana
hubungan atau kolektivitas dari susunan (unit/bidang) Badan, dan unit/bidang
yang menjadi representasi Badan. Berdasar wawancara didapat hasil bahwa di
masing-masing Badan terdapat bidang yang memang menjadi representasi Badan,
namun kurangnya kolektivitas pada tiga Badan tentu memberi pengaruh atas
lambannya respon terhadap masalah penanggulangan dan pemulihan pencemaran
limbah industri di Kawasan Rancaekek.
Dalam membahas subaspek culture penulis mengaitkannya dengan
bagaimana pola dan kebiasaan Badan dalam menentukan jadwal inspeksi dan
bagaimana Badan berhubungan denganmasyarakat dan pelaku usaha. Merujuk
pada hasil wawancara dan pengamatan penulis, kebiasaan dan pola badan dalam
merespon permasalahan limbah di Kawasan Rancaekek sangat normatif,
menunggu hingga terjadi hal kasuistik, dan minim dalam melibatkan masyarakat.
Dari keterangan informan, penulis berpandangan bahwa, terdapat ego
sektoral yang cukup kentara. Terdapat missing link antara BLH Kabupaten
Sumedang dan BPLH Kabupaten Bandung bahkan BPLHD Jawa Barat, namun
tidak ada pembahasan atau tindak lanjut yang menghasilkan titik temu, karena
tetap saling mempertahankan kepentingan sektoral mereka. Berdasar hasil
penelitian didapat bahwa memang masih terdapat ego sektoral dan saling lempar
tanggungjawab, sikap pasif, serta menurunnya semangat dalam penanggulangan
dan pemulihan pencemaran pada lahan pertanian di Kawasan Rancaekek ini,
sehingga membuat penyelesaian masalah sulit menemukan solusi dan kesatuan
tindakan.
Competence (Ability To Respond)
Aspek competence mengarah pada kemampuan organisasi untuk merespon,
bagaimana organisasi menyiapkan sistem, dan tentu di tentukan oleh berbagai
subaspek.
Dengan mengetahui perkembangan masalah yang ada, maka dapat
ditentukan dengan segera tindakan yang harus dilakukan. Pengetahuan mengenai
permasalahan yang ada akan berhubungan dengan laporan dan data mengenai
permasalahan tersebut. Berdasar keterangan informan dan observasi penulis, tidak
banyak aparat yang mengetahui terkait permasalahan dan data-data terkait
permasalahan sangat minim, sehingga merupakan hal yang wajar apabila
seringkali menimbulkan perbedaan persepsi antar Badan dan tak memunculkan
solusi baru dalam penanggulangan dan pemulihan lahan di Kawasan Rancaekek.
Berdasar keterangan informan dan observasi penulis, sulitnya
mengklasifikasi antara limbah industri dan limbah domestik bukan karena aparat
tidak mampu membedakannya karena memang dapat diukur dan dapat ditentukan
sesuai hitungan parameter dan baku matu. Hal yang membuat masih adanya
kegamangan antara limbah industri dan limbah domestik adalah akumulasi dari
limbah dibanding dengan daya tampung dan belum terpisahnya IPAL untuk
industri dan untuk domestik/gabungan. Kondisi tersebut menghambat respon
pemerintah
Pembahasan subaspek structure systems mengarah pada metode,
kesepakatan atau standar yang digunakan antar Badan dalam merespon
permasalahan. Dengan adanya metode yang jelas dari Badan dalam merespon
permasalahan akan memberikan progres dan arah yang jelas. Penelitian
penunjukan hasil bahwa Badan memang tetap berpatokan pada regulasi, dari sisi
Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Sumedang mengharapkan provinsi.
Sementara itu provinsi tetap mengharapkan pihak perusahaanperusahaan pelaku
pencemar, padahal pada saat yang bersamaan pun mengetahui bahwa hal tersebut
sulit terwujud, namun tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai
penanggulangan dan pemulihan lahan ini.
Berdasar observasi dan wawancara, penulis menemukan bahwa komunikasi
dan pertemuan antar Badan dalam membahas penanggulangan dan pemulihan
hingga tindaklanjut yang akan dilakukan masih minim. Hal ini pun ditambah
dengan tidak semua anggota ketiga Badan mengetahui permasalahan, sehingga
sangat bergantung pada segelintir orang saja, dengan saat yang bersamaan
permasalahan limbah industri tidak hanya di Kawasan Rancaekek
Capacity (Volume of Response)
Kapasitas dalam penelitian ini berbicara bagaimana kemampuan dan apa
yang dimiliki oleh personal dan organisasional Badan.
Berdasar wawancara, secara umum mengenai kapasitas SDM aparat Badan
tidak menjadi masalah bagi BPLHD Jawa Barat dan BPLH Kabupaten Bandung,
bagi BLH Kabupaten Sumedang di beberapa posisi memang tidak sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan. Kemudian dari segi anggaran, menurut BLH
Kabupaten Sumedang, hal tersebut menjadi salah satu hambatan, selain sarana.
Sementara itu BPLHD Jawa Barat menyebutkan meskipun dananya tersedia, tetap
saja perusahaanlah yang seharusnya menanggung. Sedangkan BPLH Kabupaten
Bandung tidak mempermasalahkan mengenai anggaran.

1.4. Kesimpulan
Responsiveness BPLHD Jawa Barat, BPLH Kabupaten Bandung, dan BLH
Kabupaten Sumedang dalam penanggulangan dan pemulihan pencemaran limbah
industri pada lahan pertanian di Kawasan Rancaekek kurang baik karena belum
sepenuhnya power bagi Badan berupa ketentuan perundangundangan
dilaksanakan, masih kurangnya kolektivitas Badan meskipun telah ada bidang
yang menjadi representasi Badan, pola penyelesaian yang hanya kasuistik, secara
mentality masih adanya ego sektoral dari Badan, ditambah adanya pengaruh dari
lingkungan yang menjadi sisi dilematis Badan.
Secara kualifikasi aparat Badan sudah baik, namun hanya sedikit aparat
yang mengetahui permasalahan, tidak adanya structure system yang jelas dalam
merespon penanggulangan dan pemulihan lahan tercemar, membuat upaya yang
dilakukan lamban. Share knowledge yang kurang baik sehingga perbedaan
persepsi masih sering terjadi membuat belum ditemukannya solusi pasti.
k dari perusahaan yang tidak kunjung dirasakan pun menentukan keputusan
yang diambil Badan menjadi lamban. Keterbatasan kapasitas Badan berupa
anggaran, sarana dan prasarana serta dirasa kurangnya aparat secara kulitas dan
kuantitas membuat responsiveness Badan tidak menunjukkan perbaikan yang
jelas.

Anda mungkin juga menyukai