Anda di halaman 1dari 17

“Tugas

KONSERVASI DAN REHABILITASI

LAHAN BEKAS TAMBANG

Dosen Pengampu :

Oleh :

Hariadi Tomia

03281811049

VII/B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2021
KATA PENGANTAR

Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan penggunaan lahan yang


bersifat sementara dan akan berakhir pada saat penambangan tidak ekonomis
lagi atau setelah tidak ada lagi bahan tambang pada lokasi setempat. Setelah
kegiatan penambangan selesai, lahannya menjadi lahan yang sangat tidak subur
dari aspek kimia, fisik dan biologi tanahnya, sehingga dalam pemanfaatannya
untuk berbagai kegiatan pertanian memerlukan proses rehabitlitasi.

Dalam rangka mendukung percepatan pemanfaatan lahan bekas tambang


untuk pertanian, Badan Litbang Pertanian melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan pada lahan bekas tambang sejak tahun 2016, terutama pada lahan
bekas tambang timah di Pulau Bangka, dan tambang batubara di Kalimantan
Timur. “Petunjuk Teknis Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang untuk Pertanian”
ini diharapkan dapat membantu para praktisi lapang tingkat Kabupaten,
Provinsi, dan Nasional dalam memberikan penjelasan/sosialisasi kepada petani
tentang pengelolaan lahan untuk produksi tanaman dan tanaman pakan ternak
pada lahan bekas tambang. Contoh yang diberikan pada buku ini kebanyakan
berasal dari lahan bekas tambang timah, namun cara pengelolaan hara dan bahan
organik tidak banyak berbeda antara lahan bekas tambang timah dan lahan bekas
tambang batubara.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu penghasil utama mineral timah


dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Riau, dan Provinsi
Kepulauan Riau sebagai wilayah penghasil timah utama. Kegiatan tambang
timah dilakukan di darat dan di laut, namun aktivitas penambangan
terbanyak adalah di darat. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki
1.085 Izin Usaha Penambangan (IUP) timah yang terdiri atas IUP milik
perusahaan negara, perusahaan swasta, dan perorangan (Kementerian ESDM
2015).

Luas areal IUP timah pada tahun 2012 mencapai 0,47 juta ha (29%) dari
total luasan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 1.64 juta ha (Dinas
Pertambangan dan Energi Kepulauan Bangka Belitung 2016). Dari area IUP
tersebut, lahan bekas tambang di Pulau Bangka seluas 79.163 ha, terdiri atas lahan
darat seluas 70.176 ha dan kolong seluas 8.987 ha, sedangkan di Pulau Belitung
seluas 45.675 ha, terdiri atas lahan darat seluas 42.515 ha dan kolong seluas 3.160
ha (Sukarman dan Gani 2017). Ini menunjukkan bahwa luas lahan bekas tambang
timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sekitar 27% dari luas area
IUP dan sisanya adalah permukaan lahan biasa yang belum terpengaruh galian atau
timbunan hasil galian. Ini berarti pula bahwa lahan bekas tambang timah di
Kepulauan Pulau Bangka Belitung adalah sekitar 11% (= 40% x 27%) dari luas
total daratan. Luas ini dapat bertambah sejalan dengan bertambah luasnya aktivitas
penambangan.

Kegiatan penambangan timah yang dilakukan oleh perusahan tambang


maupun penambang inkonvensional secara signifikan menurunkan kualitas lahan
dan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari buruknya lanskap, sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah bekas penambangan timah. Lahan-lahan bekas tambang timah sangat
didominasi oleh tekstur pasir yang memiliki status kesuburan tanah sangat buruk
untuk mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman. Oleh karena itu, saat
kegiatan penambangan dinyatakan berakhir, maka perusahaan penambang timah
diwajibkan melakukan kegiatan reklamasi lahan untuk memperbaiki kondisi
biofisik lahan seperti semula.

Masalah dalam mengembalikan sifat tanah seperti semula sangat


kompleks dan hampir tidak mungkin dilakukan. Ini disebabkan karena lapisan
tanah pada lahan bekas tambang timah secara total berbeda dengan lapisan tanah
asli. Untuk timbunan yang berasal dari overburden, lapisan tanah permukaan
merupakan campuran dari berbagai lapisan, mulai dari lapisan batuan induk,
lapisan bahan induk, dan lapisan tanah (solum) asli. Karena berbagai lapisan
tersebut sangat bercampur aduk, maka solum tanah asli tidak dapat lagi dikenali.
Berdasarkan ketentuan, perusahaan penambang diwajibkan mereklamasi dengan
mengembalikan lapisan tanah pucuk (topsoil) ke permukaan. Walaupun itu
dilakukan, karena lapisan tanah pucuk (menurut istilah pertambangan adalah
lapisan atas 0-1 sampai 0-1,5 m), dan topsoil (Horison A) tanah sebelum
penambangan yang relatif kaya bahan organik (menurut istilah pertanian), yang
hanya berketebalan antara 15 sampai 20 cm, akan menghilang karena
bercampur dengan tanah lapisan 0-1 sampai 0-1,5 m. Jika permukaan tanah
lapisan atas merupakan tumpukan tailing (pasir sisa pencucian bahan tambang),
maka keadaan tanahnya akan lebih buruk lagi karena didominasi oleh pasir
kuarsa yang miskin hara, tidak punya daya memegang air dan hara dan tidak
mampu meredam (buffer) fluktuasi suhu malam dan siang hari.

Reklamasi (perataan tanah dan penanaman dengan tanaman pioneer) serta


rehabilitasi (penyiapan tanah untuk dijadikan lahan pertanian) merupakan
langkah yang sulit dan mahal, namun dapat dilakukan dengan menguntungkan
dari aspek finansial dan lingkungan. Pemberian bahan organik terutama dari
pupuk kandang dan pangkasan hijauan tanaman legum merupakan perlakuan
kunci memperbaiki sifat tanah untuk dapat ditanami tanaman pionir (fast
growing) atau tanaman pertanian.

Pada umumnya kegiatan reklamasi lahan bekas tambang timah terbatas


hanya melalui penanaman komoditas tanaman kehutanan yang bersifat cepat
tumbuh (fast growing). Namun lahan tersebut sebenarnya dapat diusahakan untuk
kegiatan pertanian produktif lainnya. Untuk tanah bekas tambang yang sudah
diratakan dan dipadatkan, perbaikan sifat tanah lapisan atas dapat dilakukan
dengan penambahan bahan organik berupa pupuk kandang dengan dosis 30 sampai
40 ton ha-1. Seperti lahan pertanian lainnya, penambahan pupuk, terutama nitrogen,
posfor, dan kalium, diperlukan untuk produksi tanaman dan ternak secara
memuaskan.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian kecil lahan bekas


tambang timah telah diusahakan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian,
peternakan, dan perikanan dengan hasil yang memuaskan. Pola Integrated
Farming System efektif dalam memperbaiki kualitas lahan bekas tambang timah.
Misalnya, integrasi tanaman pakan ternak - tanaman pangan, hortikultura atau
tanaman perkebunan – ternak, dapat menciptakan suatu siklus hara antara kotoran
hewan, sisa tanaman atau pangkasan tanaman legum pakan ternak untuk tanaman
lainnya, serta penyediaan pakan untuk ternak. Dengan pola ini akan ada
penyediaan bahan organik secara kontinu. Apabila inovasi teknologi pertanian
tersebut dikombinasikan dengan kelengkapan sarana dan prasarana pertanian, serta
komitmen pemerintah untuk mendukung petani dalam hal status lahan dan bantuan
sarana dan prasarana produksi, maka lahan bekas tambang timah dapat dijadikan
sebagai alternatif lahan untuk memproduksi pangan dan ternak serta sekaligus
memperbaiki kualitas lahan dan lingkungan.

Biaya untuk reklamasi bervariasi tergantung bagaimana sistem pertanian


yang diusahakan. Biaya untuk meratakan dan memadatkan tanah yang
bergelombang, cukup tinggi, dan ini menjadi tanggungjawab perusahaan
penambang. Biaya pengelolaan selanjutnya, bila sistem yang diusahakan tanpa
integrasi tanaman dan ternak akan bervariasi. Biaya pengadaan pupuk kandang
bisa sangat mahal, namun bisa pula relatif murah, tergantung populasi ternak dan
kebiasaan petani – apakah petani pada umumnya menggunakan pupuk kandang
atau tidak.

Keamanan pangan (food safety) sering dipertanyakan bila lahan bekas


tambang digunakan untuk pertanian karena sebagian lahan bekas tambang
mengandung logam berat dengan konsentrasi tinggi. Akan tetapi untuk lahan bekas
tambang timah di kepulauan Bangka Belitung, data menunjukkan bahwa
konsentrasi unsur logam berat tidak berbeda nyata antara lahan bekas tambang
dengan lahan di sekitarnya yang bukan bekas tambang.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Tima Untuk Pertanian

Lahan bekas tambang (LBT) merupakan lahan yang sudah berubah dari
bentuk aslinya, terutama dalam hal lanskap, sifat fisik, sifat kimia dan biologi
tanah. Permukaan yang datar berubah menjadi berbukit atau membentuk
cekungan/lubang yang bervariasi dari kecil hingga besar, sehingga estetika lahan
menjadi terganggu. Tanah yang tercampur aduk dari lapisan top soil sampai bahan
induk menyebabkan lapisan topsoil tanah awal menjadi hilang. Hal ini berdampak
buruk terhadap kesuburan tanah, karena lapisan tanah atas (topsoil) sebagai media
tumbuh tanam sudah hilang. Begitu juga sifat fisik tanah yang telah jauh berubah
dari sifat tanah aslinya yang menjadikan tanah mudah mengalami erosi parit (gully
erosion) akibat banyaknya rongga yang terbentuk sewaktu pengembalian tanah
over burden dan tailing. Lahan adakalanya terkontaminasi logam berat bila lapisan
tanah yang mengandung logam berat tersingkap ke lapisan permukaan.

Lahan produktif saat ini semakin menyusut akibat alih fungsi lahan, di lain
pihak pemerintah sedang menggalakkan program swasembada pangan, sehingga
diperlukan lahan pertanian alternatif untuk mendukung program tersebut. Lahan
bekas tambang timah merupakan salah satu lahan sub optimal yang dapat dijadikan
alternatif untuk pengembangan lahan pertanian. Lahan tersebut dapat berupa
timbunan bergelombang hingga datar yang terdiri dari bahan batuan pasir kasar
hingga halus bercampur lumpur (tailing) dan lubang bekas galian dapat berupa
kolam atau danau (Kolong). Tailing yang berasal dari liat marin mengandung sulfat
masam dengan pH berkisar antara 2,7 sampai 3,5, yang bersifat toksik bagi
tanaman. Hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) dan mikro menjadi tidak tersedia bagi
tanaman sehingga tanaman sulit tumbuh dan berproduksi.

Petunjuk teknis ini membahas teknik rehabilitasi lahan bekas tambang


timah dengan cara membangun penyediaan sumber bahan organik secara in- situ
(pada lokasi setempat). Hal ini penting karena kunci keberhasilan rehabilitasi
LBT adalah peningkatan bahan organik tanah. Sumber bahan organik yang
dihasilkan selain dari pupuk kandang, tandan kosong kelapa sawit, juga dari
tanaman legum yang ditanam sebagai tanaman rehabilitasi, serta dari sisa
tanaman setelah panen. Disamping itu, pemanfaatan tanaman pagar jenis legum
yang dipangkas secara periodik sangat membantu dalam penyediaan bahan
organik secara in-situ.

B. Pemilihan Lokasi untuk Pengembangan Pertanian

Pemilihan lahan bekas tambang untuk dijadikan areal pertanian agar


mempertimbangkan enam aspek sebagai berikut:

Pertama, pilih lahan bekas tambang yang tidak akan ditambang lagi.
Banyak kasus dimana kegiatan penambangan dihentikan untuk sementara waktu
karena menunggu harga hasil tambang yang menguntungkan. Lahan tersebut
harus dihindari, sehingga perlu dicari LBT yang benar-benar tidak akan
ditambang kembali.

Kedua, pilih lahan bekas tambang yang berada dalam kawasan peruntukan
areal penggunaan lain (APL), bukan dalam kawasan hutan produksi (HP),
apalagi hutan lindung (HL) untuk menghindari masalah hukum.

Ketiga, pilih lahan yang sudah direklamasi selama dua atau tiga tahun. Ini
bermanfaat agar LBT sudah relatif stabil, mudah diperbaiki lanskapnya, dan
mudah ditata untuk media tanam.

Keempat, pilih lokasi lahan bekas tambang yang tidak terganggu oleh
kegiatan operasional tambang aktif.

Kelima, terdapat petani atau kelompok pada areal bekas tambang sehingga
ada tenaga kerja yang akan menggarap lahan.
Keenam, yang tidak kalah penting adalah adanya kesepahaman dengan perusahaan
dan pemerintah daerah (Pemda) tentang status lahan dan rencana penggunaan lahan

C. Keadaan Lahan Bekas Tambang Timah

Kegiatan penambangan timah umumnya (>60 %) dilakukan dengan cara


terbuka (open-pit-mining). Kegiatan ini menyebabkan bukit terpotong,
terciptanya bukit-bukit baru dan terbentuk lubang besar berwujud kawah hingga
danau yang disebut dengan “kolong” (Gambar 1). Permukaan lahan yang tidak
beraturan merusak estetika lahan, tanah tidak berstruktur, miskin hara, aktivitas
mikroba tanah berkurang, dan tanah peka terhadap erosi.

Lahan bekas tambang timah dominasi fraksi pasir dengan kandungan lebih
dari 70 persen, yang dapat mengakibatkan air cepat hilang melalui infiltrasi
sehingga tidak tersedia bagi tanaman.

Gambar 1. Keadaan lanskap lahan bekas tambang timah sebelum direklamasi dan
direhabilitasi

Tanah pada lahan bekas tambang timah yang merupakan percampuran antara
lapisan atas sampai lapisan bahan induk, menyebabkan tanahnya sangat tidak subur
sehingga menyulitkan usaha revegetasi dan pengembangan pertanian karena
kegiatan revegetasi yang gagal. Oleh karena itu, keberhasilan kegiatan. Pemanfaatan
lapisan tanah atas untuk areal timbunan merupakan cara yang baik untuk
mengurangi dominasi fraksi pasir, sehingga tanah dapat dijadikan sebagai media
tanam. Untuk tanaman pangan yang memiliki akar serabut, lapisan tanah liat
diberikan setebal 10-20 cm dan dicampur dengan lapisan tanah timbunan lahan
bekas tambang berkedalaman 0-20 cm.
Keadaan lahan bekas tambang timah yang ditemukan di lapangan hampir semuanya
tanpa lapisan tanah atas. Hal ini sebagai akibat dari banyaknya lahan bekas tambang
yang sudah ditinggalkan oleh perusahaan di tambang kembali. Bahkan ada lahan
bekas tambang timah yang sudah direklamasi, ditambang kembali, akibatnya lahan
timbunan dilapisi krokos bercampur pasir pada bagian atasnya

Gambar 2. Permukaan tanah bekas tambang terdiri atas campuran pasir dan
krokos (kiri), gundukan tanah bekas galian tambang yang perlu diratakan
sebelum ditanami (kanan)

D. Penataan Lahan Bekas Tambang Timah untuk Tanaman Pertanian

Penataan lahan merupakan kegiatan pasca tambang yang sangat penting


karena berhubungan dengan upaya revegetasi baik untuk tanaman tahunan
maupun semusim. Beberapa hal penting untuk diperhatikan dalam penataan
lahan bekas tambang timah untuk tanaman pertanian adalah:
1) Desain lanskap dapat memberikan estetika dan keserasian/keselarasan
terhadap alam sekitarnya serta mempermudah perbaikan plotting area tanam,
2) Buat media tanam yang sesuai dengan jenis tanaman, bila yang ditanam
tanaman berumur pendek pastikan bedengan penanaman dekat dengan
sumber air,
3) Kemiringan lahan dibuat agar tidak lebih curam dari 5 persen,

Saluran drainase perlu dibuat. Meskipun lahan dominan fraksi pasir, namun untuk
tanah overburden, fraksi liat dapat menghambat infiltrasi dan perkolasi air sehingga
dapat terjadi genangan yang merugikan pertumbuhan tanama terutama tanaman
berumur pendek seperti cabai, caisin, kangkung, dan bayam.
Perlu identifikasi kolong. Kolong yang kurang baik, misalnya karena bocor,
sebaiknya ditimbun, namun sebaliknya bila kolongnya baik dan airnya jernih, dapat
dipelihara untuk dijadikan sumber.

Gambar 3. Lahan bekas tambang timah yang mulai ditumbuhi semak (kiri),
kolong dan tumpukan overburden dengan lapisan permukaan berupa campuran
bahan induk dan sub-soil (kanan)
Gambar 4. Perataan tanah sebagai bagian dari reklamasi menggunakan buldoser
(kiri) dan lahan yang sudah rata (kanan)
BAB III

PENUTUP

A. Saran

Pendekatan lansekap penting dalam rehabilitasi lahan bekas tambang karena


adanya saling keterkaitan antara cekungan (termasuk kolong) dengan gundukan
yang terbentuk selama aktivitas penambangan. Perataan lahan merupakan
langkah awal yang perlu ditempuh sebelum lahan dapat dijadikan lahan
pertanian. Kunci keberhasilan selanjutnya dalam mengelola LBT adalah
kemampuan memproduksi dan menggunakan bahan organik secara in-situ.
Bahan organik utama yang berkualitas tinggi adalah pupuk kandang, terutama
yang sudah diproses menjadi kompos. Selain pupuk kandang, hijauan tanaman
legum, baik berupa legum menjalar, maupun legum pohon merupakan sumber
bahan organik yang penting untuk peningkatan kesuburan tanah serta perbaikan
kualitas pakan ternak.

Bila ada jaminan ketersediaan bahan organik, terutama pupuk kandang


sebanyak 20-40 ton/ha pada awal rehabilitasi, dan sekitar 10-20 ton per ha pada
tahun berikutnya, maka diyakini bahwa lahan bekas tambang timah dapat
direhabilitasi menjadi lahan pertanian produktif.

Pendekatan sosial dan kelembagaan penting dalam pemilihan lokasi serta


sosialisasi dan diseminasi hasil penelitian. Ini dikarenakan kompleksnya masalah
status lahan, regulasi, dan keadaan sosial ekonomi terkait lahan bekas tambang.
B. Kesimpulan

Pemanfaatan lahan terlantar bekas tambang (LBT) untuk perluasan areal


pertanian merupakan suatu peluang untuk memecahkan persoalan pangan,
minimal ketahanan pangan rumah tangga (household food security), dan masalah
lingkungan. Namun perlu dipahami bahwa LBT mempunyai berbagai masalah
biofisik berupa sangat rendahnya kesuburan tanah, di samping berbagai masalah
sosial ekonomi dan kelembagaan. Oleh karena itu, untuk melaksanakan
reklamasi dan pemanfaatan lahan bekas tambang secara tepat perlu dukungan
data dan informasi terkait kondisi biofisik dan social ekonomi sehingga upaya
reklamasi dapat dilakukan dengan baik. Dari data tersebut akan dapat
diperkirakan berapa dan bagaimana input untuk rehabilitasi yang diperlukan dan
dengan biaya berapa.
DAFTAR PUSTAKA

Asmarhansyah, Subardja D. 2013. Perbaikan kualitas lahan bekas tambang


timah Bangka Tengah melalui penggunaan tanah mineral dan pupuk
organik. Pros. Semnas Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan
Terdegradasi. Bogor, 29-30Juni 2012. 369-384. Badan Litbang Pertanian,
Jakarta.

Buyantogtokh U, Guo M. 2013. Reclamation of Abandoned mine land through


poultry litter biochar amendment. Poster paper was presented at the 2013
National Meeting of the American Society of Mining and Reclamation,
Laramie, WY Reclamation Across Industries,June 1–6, 2013. R.I.
Barnhisel (Ed.) ASMR, 3134, Lexington (USA).

Dere AL, Stehouwer RC, Aboukila E, McDonald KE. 2012. Nutrient Leaching
and Soil Retention in Mined Land Reclaimed with Stabilized Manure.
Journal of Environmental Quality 41(6): 2001-2008.

Anda mungkin juga menyukai