Dosen Pengampu :
Oleh :
Hariadi Tomia
03281811049
VII/B
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luas areal IUP timah pada tahun 2012 mencapai 0,47 juta ha (29%) dari
total luasan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 1.64 juta ha (Dinas
Pertambangan dan Energi Kepulauan Bangka Belitung 2016). Dari area IUP
tersebut, lahan bekas tambang di Pulau Bangka seluas 79.163 ha, terdiri atas lahan
darat seluas 70.176 ha dan kolong seluas 8.987 ha, sedangkan di Pulau Belitung
seluas 45.675 ha, terdiri atas lahan darat seluas 42.515 ha dan kolong seluas 3.160
ha (Sukarman dan Gani 2017). Ini menunjukkan bahwa luas lahan bekas tambang
timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sekitar 27% dari luas area
IUP dan sisanya adalah permukaan lahan biasa yang belum terpengaruh galian atau
timbunan hasil galian. Ini berarti pula bahwa lahan bekas tambang timah di
Kepulauan Pulau Bangka Belitung adalah sekitar 11% (= 40% x 27%) dari luas
total daratan. Luas ini dapat bertambah sejalan dengan bertambah luasnya aktivitas
penambangan.
PEMBAHASAN
Lahan bekas tambang (LBT) merupakan lahan yang sudah berubah dari
bentuk aslinya, terutama dalam hal lanskap, sifat fisik, sifat kimia dan biologi
tanah. Permukaan yang datar berubah menjadi berbukit atau membentuk
cekungan/lubang yang bervariasi dari kecil hingga besar, sehingga estetika lahan
menjadi terganggu. Tanah yang tercampur aduk dari lapisan top soil sampai bahan
induk menyebabkan lapisan topsoil tanah awal menjadi hilang. Hal ini berdampak
buruk terhadap kesuburan tanah, karena lapisan tanah atas (topsoil) sebagai media
tumbuh tanam sudah hilang. Begitu juga sifat fisik tanah yang telah jauh berubah
dari sifat tanah aslinya yang menjadikan tanah mudah mengalami erosi parit (gully
erosion) akibat banyaknya rongga yang terbentuk sewaktu pengembalian tanah
over burden dan tailing. Lahan adakalanya terkontaminasi logam berat bila lapisan
tanah yang mengandung logam berat tersingkap ke lapisan permukaan.
Lahan produktif saat ini semakin menyusut akibat alih fungsi lahan, di lain
pihak pemerintah sedang menggalakkan program swasembada pangan, sehingga
diperlukan lahan pertanian alternatif untuk mendukung program tersebut. Lahan
bekas tambang timah merupakan salah satu lahan sub optimal yang dapat dijadikan
alternatif untuk pengembangan lahan pertanian. Lahan tersebut dapat berupa
timbunan bergelombang hingga datar yang terdiri dari bahan batuan pasir kasar
hingga halus bercampur lumpur (tailing) dan lubang bekas galian dapat berupa
kolam atau danau (Kolong). Tailing yang berasal dari liat marin mengandung sulfat
masam dengan pH berkisar antara 2,7 sampai 3,5, yang bersifat toksik bagi
tanaman. Hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) dan mikro menjadi tidak tersedia bagi
tanaman sehingga tanaman sulit tumbuh dan berproduksi.
Pertama, pilih lahan bekas tambang yang tidak akan ditambang lagi.
Banyak kasus dimana kegiatan penambangan dihentikan untuk sementara waktu
karena menunggu harga hasil tambang yang menguntungkan. Lahan tersebut
harus dihindari, sehingga perlu dicari LBT yang benar-benar tidak akan
ditambang kembali.
Kedua, pilih lahan bekas tambang yang berada dalam kawasan peruntukan
areal penggunaan lain (APL), bukan dalam kawasan hutan produksi (HP),
apalagi hutan lindung (HL) untuk menghindari masalah hukum.
Ketiga, pilih lahan yang sudah direklamasi selama dua atau tiga tahun. Ini
bermanfaat agar LBT sudah relatif stabil, mudah diperbaiki lanskapnya, dan
mudah ditata untuk media tanam.
Keempat, pilih lokasi lahan bekas tambang yang tidak terganggu oleh
kegiatan operasional tambang aktif.
Kelima, terdapat petani atau kelompok pada areal bekas tambang sehingga
ada tenaga kerja yang akan menggarap lahan.
Keenam, yang tidak kalah penting adalah adanya kesepahaman dengan perusahaan
dan pemerintah daerah (Pemda) tentang status lahan dan rencana penggunaan lahan
Lahan bekas tambang timah dominasi fraksi pasir dengan kandungan lebih
dari 70 persen, yang dapat mengakibatkan air cepat hilang melalui infiltrasi
sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Gambar 1. Keadaan lanskap lahan bekas tambang timah sebelum direklamasi dan
direhabilitasi
Tanah pada lahan bekas tambang timah yang merupakan percampuran antara
lapisan atas sampai lapisan bahan induk, menyebabkan tanahnya sangat tidak subur
sehingga menyulitkan usaha revegetasi dan pengembangan pertanian karena
kegiatan revegetasi yang gagal. Oleh karena itu, keberhasilan kegiatan. Pemanfaatan
lapisan tanah atas untuk areal timbunan merupakan cara yang baik untuk
mengurangi dominasi fraksi pasir, sehingga tanah dapat dijadikan sebagai media
tanam. Untuk tanaman pangan yang memiliki akar serabut, lapisan tanah liat
diberikan setebal 10-20 cm dan dicampur dengan lapisan tanah timbunan lahan
bekas tambang berkedalaman 0-20 cm.
Keadaan lahan bekas tambang timah yang ditemukan di lapangan hampir semuanya
tanpa lapisan tanah atas. Hal ini sebagai akibat dari banyaknya lahan bekas tambang
yang sudah ditinggalkan oleh perusahaan di tambang kembali. Bahkan ada lahan
bekas tambang timah yang sudah direklamasi, ditambang kembali, akibatnya lahan
timbunan dilapisi krokos bercampur pasir pada bagian atasnya
Gambar 2. Permukaan tanah bekas tambang terdiri atas campuran pasir dan
krokos (kiri), gundukan tanah bekas galian tambang yang perlu diratakan
sebelum ditanami (kanan)
Saluran drainase perlu dibuat. Meskipun lahan dominan fraksi pasir, namun untuk
tanah overburden, fraksi liat dapat menghambat infiltrasi dan perkolasi air sehingga
dapat terjadi genangan yang merugikan pertumbuhan tanama terutama tanaman
berumur pendek seperti cabai, caisin, kangkung, dan bayam.
Perlu identifikasi kolong. Kolong yang kurang baik, misalnya karena bocor,
sebaiknya ditimbun, namun sebaliknya bila kolongnya baik dan airnya jernih, dapat
dipelihara untuk dijadikan sumber.
Gambar 3. Lahan bekas tambang timah yang mulai ditumbuhi semak (kiri),
kolong dan tumpukan overburden dengan lapisan permukaan berupa campuran
bahan induk dan sub-soil (kanan)
Gambar 4. Perataan tanah sebagai bagian dari reklamasi menggunakan buldoser
(kiri) dan lahan yang sudah rata (kanan)
BAB III
PENUTUP
A. Saran
Dere AL, Stehouwer RC, Aboukila E, McDonald KE. 2012. Nutrient Leaching
and Soil Retention in Mined Land Reclaimed with Stabilized Manure.
Journal of Environmental Quality 41(6): 2001-2008.