Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Ansyori Wibowo

NIM : 1707114043
Kelas : Teknik Kimia S1 C

PENANGAN LIMBAH CAIR


I. Pendahuluan
Tumbuh dan berkembangnya industri-industri di Indonesia membantu
peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, tetapi disisi
lain menimbulkan dampak yang kurang baik bagi lingkungan, yaitu adanya
limbah yang dihasilkan sebagai hasil samping dari suatu proses pengolahan dalam
industri. Limbah yang dihasilkan tersebut kadang kurang diperhatikan oleh
pengelola industri dengan kata lain dibuang begitu saja tanpa melalui pengolahan
limbah terlebih dahulu, sehingga membawa beberapa efek buruk bagi lingkungan.
Pada industri rumah tangga biasanya limbah cair langsung dibuang ke lingkungan.
Penimbunan secara alami yang terus menerus berlangsung dari senyawa
dalam limbah tersebut (misal: logam berat, zat warna sintetis atau senyawa
organik) akan mempunyai dampak lingkungan yang serius. Apabila timbunan zat-
zat tersebut terbawa ke dalam jaringan manusia akan bersifat dapat merangsang
terjadinya kanker (karsinogenik). Selain itu menimbulkan bau, rasa yang tidak
sedap dan mengganggu ekosistem dalam air.
Limbah hasil industri menjadi salah satu persoalan serius di era
industrialisasi. Oleh karena itu, regulasi tentang industrialisasi ramah lingkungan
menjadi isu penting (Basaran, 2013; Wilson, et al., 2012). Alasan yang mendasari
sebab limbah tidak hanya dari proses produksi tapi juga kelangsungan hidup. Oleh
karena itu, pengolahan limbah harus dilakukan sedari dini ketika proses produksi
terjadi. Artinya, pengolahan limbah harus dilakukan dari hulu sampai hilir karena
jika ini tidak dilakukan maka ancaman terhadap pencemaran akan berakibat fatal
(Xue, et al., 2013; Mohanty, 2012).
Persoalan mendasar penanganan dan pengelolaan limbah yaitu tentang
minimnya pengetahuan pelaku usaha, utamanya dari kelompok industri kecil. Hal
ini kemudian menjadi pembenar tentang rendahnya kesadaran dari pelaku usaha
industry kecil terhadap manajemen penanganan dan pengelolaan limbah.
II. Penangan Limbah Cair Industri
Industrialisasi merupakan alternatif pilihan model pembangunan yang
menjadi wajib dilakukan oleh berbagai negara untuk memacu pertumbuhan
ekonomi. Terkait hal ini, di satu sisi industrialisasi memberikan percepatan
terhadap pertumbuhan, meski di sisi lain dampak dari industrialisasi tetap harus
diwaspadai. Fakta dari dampak tersebut salah satunya yaitu keberadaan limbah
hasil industri (Bottero, et al., 2011). Oleh karena itu, ini justru menimbulkan
tuntutan terhadap proses produksi yang ramah lingkungan. Bahkan proses
perkembangan ini kemudian menimbulkan revolusi hijau termasuk salah satunya
yaitu munculnya tuntutan terhadap produk hijau yaitu produk yang tidak hanya
ramah lingkungan tapi juga bisa di daur ulang (Simpson, 2010).
Persoalan limbah industrialisasi juga menjadi persoalan di kasus industri
kecil. Hal ini mengacu persoalan unit pengolah yang tidak ada karena berbagai
pertimbangan, misal ketersediaan lahan, biaya mahal dan kesadaran pelaku usaha
industri kecil yang masih rendah (Khalil dan Khan, 2009). Oleh karena itu, isu
kajian tentang penanganan dan pengelolaan limbah hasil industri, termasuk pada
kasus di sentra industri kecil tahu di Kartasura menjadi sangat menarik. Realita ini
terutama mengacu nilai penting terkait manajemen lingkungan dan komitmen
terhadap penciptaan produk hijau yang ramah lingkungan karena bisa di daur
ulang.
Sinergi antara industrialisasi dan manajemen lingkungan pada dasarnya
terkait dua aspek penting, pertama: minimalisasi sumber penghasil limbah. Hal ini
mengacu prinsip produk yang sekecil mungkin menghasilkan limbah. Artinya, hal
ini tergantung jenis produk yang dihasilkan dan proses untuk menciptakan produk
itu sendiri. Oleh karena itu, setiap produk memiliki karakteristik proses produksi
tersendiri yang berbeda dengan produk lainnya dan ini secara tidak langsung
berpengaruh terhadap jenis limbah yang dihasilkan dan kualitas limbah. Relevan
dengan hal ini maka sistem otomatisasi dalam proses produksi diharapkan bisa
mereduksi sumber penghasil limbah. Selain itu, modernisasi alat-alat produksi
juga bisa menjadi acuan terhadap minimalisasi sumber penghasil limbah. Oleh
karena itu, proses ini dikenal dengan zero waste yang saat ini semakin
berkembang dalam bentuk lean production di mayoritas industri (de Souza dan
Carpinetti, 2014; Prasanna dan Vinodh, 2013).
Kedua: optimalisasi pemanfaatan limbah hasil industri. Jika mereduksi
sumber penghasil limbah tidak bisa dilakukan karena tergantung kepada jenis
produk dan jenis proses produksinya maka harapan terakhir dari industrialisasi
adalah bagaimana upaya untuk melakukan optimalisasi limbah yang dihasilkan.
Proses ini terkait dengan proses pengolahan limbah selama proses produksi
sehingga hasil akhir dari pengolahan limbah adalah limbah yang minimalis. Selain
itu, proses pengolahan limbah juga berorientasi kepada pemanfaatan limbah yang
bernilai sosial ekonomi. Langkah ini dapat dilakukan sendiri dan atau bisa
melibatkan unit usaha lain sehingga memberikan keuntungan bagi industri dan
juga pengolah limbah serta lingkungan, termasuk juga masyarakat sebagai
konsumen dari proses produksi yang dihasilkan.
Keyperson yang terlibat dalam indepth interview adalah Bapak Gito Suparji
yang memiliki usaha industri tahu lebih 20 tahun dan beralamat di Kampung
Purwogondo Rt 5/Rw 1, Kartasuro. Selain itu keyperson juga menjadi sesepuh
dari Paguyuban Sumber Rejeki yang beranggotakan 38 orang pengusaha industri
tahu. Keyperson merupakan salah satu pengusaha tahu di kampung tersebut yang
selalu menjadi narasumber atau informan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
kasus limbah hasil industri tahu. Hal ini terutama dikarenakan di lokasi rumah
keyperson terdapat satu unit pengolah limbah yang dibangun sebagai proyek
percontohan dari Kementrian Lingkungan Hidup. Meski di daerah tersebut ada
unit pengolah limbah lain yaitu milik Bapak Harto Suwito (juga anggota
Paguyuban Sumber Rejeki), namun unit pengolah limbah di rumah Bapak Gito
Suparji adalah yang terbesar. Keyperson yang hanya 1 orang didasarkan
pertimbangan bahwa perilaku pengusaha di industri tahu di Kartasura atau
dimanapun cenderung sama sehingga hal ini dianggap mampu mewakili
karakteristik secara umum.
Komponen Pemanfaatan Limbah Hasil Produksi
Industri tahu adalah salah satu industri rumah tangga yang jumlahnya
sekitar 84.000 unit dan kapasitas produksi 2,6 juta ton per tahun sehingga
produksi limbah cairnya 20 juta m3 per tahun dan emisi sekitar 1 juta ton CO2 .
Mayoritas industri tahu di Jawa sehingga konsentrasi pencemaran dari hasil
industri tahu ada di Jawa (Setiawan dan Rusdijati, 2014). Meski industri tahu
mayoritas berskala kecil tapi kontribusi terhadap ekonomi domestik dan
penyerapan kerja cukup besar. Oleh karena itu, pemanfaatan limbanya perlu
dioptimalkan.
Komponen pemanfaatan limbah hasil produksi merupakan faktor penting
yang akan menjadi kajian penelitian ini. Persoalan utama proses produksi adalah
limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu tuntutan saat ini adalah zero waste atau
proses produksi minim limbah. Hal ini dapat dilakukan dilakukan dengan
memulai tahapan sumber produksi yang minim menghasilkan limbah. Artinya,
bahan baku yang baik berpengaruh pada hasil dengan limbah minim dan proses
produksi yang baik juga berpengaruh terhadap hasil akhir dan minimalisasi
limbah. Terkait ini, penanganan limbah pada dasarnya dimulai dari ketersediaan
bahan baku dan juga proses produksi serta yang terakhir adalah penanganan
limbah yang dihasilkan.
Komponen Pengolahan Limbah Hasil Produksi Beberapa aspek yang harus
diperhatikan terkait urgensi pengolahan limbah hasil produksi di sentra industri
tahu yaitu :
1. Reduce
Prinsip reduce adalah meminimalisasi limbah, terutama hasil akhir proses
produksi. Meski demikian, bukan tidak mungkin tahap ini juga dapat dilakukan
sedari awal yaitu bahan baku dan proses produksi. Hal ini menunjukan semua
proses produksi pada dasarnya mampu diupayakan untuk menghasilkan limbah
seminimal mungkin. Tahapan ini biasanya dilakukan dengan sistem filterisasi
sehingga semakin tinggi dari tingkatan filterisasi maka secara otomatis limbah
yang dihasilkan semakin berkurang, begitu juga sebaliknya.
2. Reuse
Prinsip reuse adalah upaya pemanfaatan kembali limbah yang dihasilkan
selama proses produksi. Yang dimaksud pemanfaatan bisa dalam bentuk proses
lanjutan atau pemanfaatan untuk kegiatan di bidang yang lain, misalnya pakan
ternak atau pemanfaatan lainnya. Terkait hal ini inovasi dan eksplorasi terhadap
pemanfaatan lain dari hasil proses produksi tahu menjadi sangat penting karena
jumlah industri tahu di Indonesia cukup banyak. Artinya, ini menjadi peluang
mencari potensi kemanfaatan dari melimpahnya limbah hasil produksi industri
tahu. Persoalan reuse banyak disebabkan karena tidak adanya kepentingan yang
bersinergi antara limbah yang dihasilkan dengan tujuan pemanfaatan. Hal ini
mengindikasikan pentingnya mata rantai industri yang terbangun dari semua
aspek, terutama hulu sampai hilir.
3. Recycle
Prinsip recycle adalah proses daur ulang dari limbah yang telah dihasilkan
sehingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain tanpa mengurangi produksi.
Pemahaman recycle tidak bisa lepas dari kepentingan untuk optimalisasi semua
hasil akhir proses produksi, baik itu berupa limbah padat, cair atau gas. Hal ini
dapat dilakukan dengan proses kimia atau non-kimia. Selain itu, proses recycle
juga bisa dilakukan dengan cara alamiah, meski ini membutuhkan waktu yang
lebih lama terutama jika dibandingkan dengan cara yang menggunakan proses
percepatan. Selain itu, proses ini juga dimungkinkan dengan pemanfaatan yang
bersifat non-ekonomi.
Kesimpulan
Hasil identifikasi persoalan tentang limbah industri tahu di sentra industri
tahu di Kartasura menunjukan adanya sejumlah temuan yang menarik dicermati.
Hal ini secara tidak langsung menunjukan problem tentang limbah tidak hanya
terkait proses produksi tetapi juga kemanfaatan yang memberikan nilai tambah
dan nilai ekonomi. Oleh karena itu, temuan persoalan keterbatasan modal, luas
areal usaha, edukasi produksi ramah lingkungan dan kemanfaatan dari limbah
menarik dicermati. Hal ini tidak saja untuk kepentingan industrialisasi tapi juga
nilai keseimbangan lingkungan ekosistem. Artinya, temuan ini menjadi acuan
membangun model industri yang lebih ramah lingkungan.
Penelitian ke depan perlu untuk memperluas cakupan telaah dengan
melibatkan keyperson yang lebih banyak dan lokasi sentra industri tahu lainnya
sehingga gambaran detail tentang persoalan limbah hasil produksi tahu dapat
teridentifikasi secara lebih detail sehingga pemetaan persoalan dan juga
optimalisasi manfaat dari limbah tahu bisa lebih berkembang.

III Penangan Limbah Cair Domestik


Sumber penghasil limbah cair terbesar di negara ini adalah dari hasil
aktivitas rumah tangga.Hal ini dikarenakan jumlah penduduk di Indonesia yang
sangat besar.Oleh karena itu volume limbah domestik yang dihasilkan juga besar
(Angga, 2007).Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi dampak
pencemaran limbah domestik namun mengalami beberapa kendala.Salah satunya
adalah mahalnya alat atau instalasi pengolahan limbah sehingga sulit dijangkau
oleh masyarakat.
Limbah cair domestik adalah air yang telah dipergunakan dan berasal dari
rumah tangga atau pemukiman termasuk di dalamnya adalah yang berasal dari
kamar mandi, tempat cuci, WC, serta tempat memasak (Sugiharto, 2008).
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 72 Tahun 2013 tentang baku
mutu air limbah bagi industri dan/atau kegiatan usaha lainnya, maka parameter
kunci untuk air limbah domestik adalah BOD, COD, TSS, pH, serta Lemak dan
Minyak.
Teknik fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan,
penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman (Chussetijowati, 2010). Mekanisme kerja
fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu: fitoekstraksi,
fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan interaksi dengan
mikroorganisme pendegradasi polutan (Kelly, 1997).
PistiastratiotesL. disebut juga dengan kayu apu.Spesies ini merupakan
tumbuhan air tawar yang umum tumbuh di daerah tropis.Tumbuhan ini
mengapung bebas di perairan kecuali menempel pada lumpur.Tumbuhnya di
genangan air yang tenang atau yang mengalir dengan lambat (Priyono,
2007).Kayu apu mempunyai banyak akar tambahan yang penuh dengan bulu-bulu
akar yang halus, panjang, dan lebat.
Tanaman kayu apu dipilih dikarenakan tanaman ini mudah untuk didapatkan
dan mudah untuk dibudidayakan.Selain itu, tanaman ini juga dapat hidup pada
lingkungan dengan air tergenang.Dengan penggunaan tanaman kayu apu ini
diharapkan mampu mendegradasi kandungan limbah yang terdapat dalam limbah
cair domestik.
Hasil Dan Pembahasan
a. Chemical Oxygen Demand (COD)
Data hasil analisa yang didapatkan menunjukkan bahwa kandungan COD
pada limbah awal sebelum diolah melebihi baku mutu air limbah domestik.
Setelah mengalami pengolahan nilai COD mengalami penurunan tetapi masih
melebihi baku mutu air limbah domestik. Tabel 4 menunjukkan besarnya laju
penurunan nilai COD.

Hasil yang didapatkan dari nilai COD menunjukkan adanya penurunan pada
semua perlakuan, dimana pada lama waktu retensi 3 hari penurunan tertinggi
terjadi pada perlakuan B2, dan pada 6 hari penurunan tertinggi juga terjadi pada
perlakuan B2. Berdasarkan data dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa laju
penurunan COD pada perlakuan B2 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan
B1, serta pada lama waktu retensi 6 hari (A6) juga lebih besar dibandingkan
dengan lama waktu retensi 3 hari (A3). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh
antara lama waktu retensi dan pemberian aerasi terhadap nilai COD.

b. pH (Tingkat Kemasaman Air)


Data hasil analisa yang didapatkan menunjukkan bahwa nilai pH pada
limbah awal sebelum diolah telah memenuhi baku mutu air limbah domestik.
Setelah mengalami pengolahan nilai pH mengalami fluktuasi tetapi masih
memenuhi baku mutu air limbah domestik.Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata pH
limbah domestik.

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui bahwa nilai pH berfluktuasi


baik pada perlakuan 3 hari maupun 6 hari.Angka pH tertinggi pada perlakuan 3
hari terjadi pada perlakuan B2, begitu juga pada 6 hari pH tertinggi juga terjadi
pada perlakuan B2.Nilai pH yang cenderung basa dapat disebabkan oleh
banyaknya zat-zat yang bersifat basa yang terdapat pada sabun, shampo, dan
deterjen yang sering digunakan dalam aktivitas sehari-hari.Nilai pH tersebut
dipengaruhi oleh nilai pH awal limbah yang berbeda-beda dalam setiap perlakuan.
c. Minyak dan Lemak
Dari hasil analisa yang didapatkan menunjukkan bahwa kandungan minyak
dan lemak pada limbah awal sebelum diolah sebagian besar telah memenuhi baku
mutu air limbah domestik. Setelah mengalami pengolahan kandungan minyak dan
lemak mengalami penurunan dan telah memenuhi baku mutu air limbah domestik.
Tabel 7 menunjukkan nilai penurunan minyak dan lemak.

Berdasarkan data dari tabel dapat diketahui bahwa laju penurunan minyak
dan lemak pada perlakuan B2 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan B1,
serta pada lama waktu retensi 6 hari (A6) juga lebih besar dibandingkan dengan
lama waktu retensi 3 hari (A3). Laju penurunan minyak dan lemak pada perlakuan
B1 lebih kecil dibanding dengan perlakuan B2 disebabkan karena proses
degradasi bahanbahan organik dalam air limbah dipengaruhi oleh keberadaan
oksigen terlarut, karena banyaknya minyak dan lemak yang mengapung di
permukaan air limbah, maka difusi oksigen ke dalam air limbah menjadi
terhambat (Widyaningsih, 2011). Oleh karena itu pada perlakuan B2 laju
penurunan minyak dan lemak lebih tinggi karena pada perlakuan B2 dilakukan
penambahan aerasi.

IV Penangan Limbah Cair Hotel


Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat. Selain
dikenal dengan sebutan Kota Kembang, Bandung dikenal dengan sebutan kota
wisata, mulai dari wisata kuliner, hingga wisata belanja. Setiap hari selalu
berdatangan wisatawan dari luar kota mengunjungi Kota Bandung dengan
beragam kebutuhan. Kawasan yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari luar
kota adalah Jalan Braga yang merupakan kawasan cagar budaya, yang memiliki
bangunan-bangunan dengan nilai budaya dan historis yang tinggi. Sebagai
penunjang kebutuhan para wisatawan yang berdatangan ke Kota Bandung,
dilakukan pengembangan serta peningkatan industri perhotelan mulai dari segi
kuantitas hingga kualitas. Pengembangan di bidang perhotelan memberi dampak
positif dan negatif. Dampak positif yang terjadi akibat peningkatan jumlah hotel
di Kota Bandung adalah peningkatan pada aspek perekonomian daerah.
Peningkatan jumlah hotel di Kota Bandung memberi dampak negatif yang
tidak dapat dianggap sepele, yaitu meningkatnya timbulan limbah cair. Apabila
permasalahan limbah cair ini tidak ditanggulangi dengan cara yang tepat, dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan di badan air penerima yang akan
berdampak pula pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Pencemaran
lingkungan oleh limbah cair kegiatan hotel akan semakin besar apabila
pembuangan limbah cair hotel dilakukan secara langsung tanpa pengolahan
terlebih dahulu. Pengolahan limbah cair secara umum dapat dilakukan
mengggunakan tiga macam proses yaitu proses fisika, kimia dan biologi. Salah
satu contoh proses pengolahan limbah cair secara biologi adalah dengan
fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan suatu proses dimana tumbuhan tertentu
yang bersimbiosis dengan mikroorganisme dalam media yang dapat mengubah zat
pencemar menjadi zat yang tidak berbahaya bahkan berguna secara ekonomis.
Pada penelitian ini, dilakukan proses fitoremediasi dengan tumbuhan eceng
gondok untuk mengolah limbah cair Hotel Aston Braga City Walk. Tumbuhan
eceng gondok pada kenyataannya merupakan gulma pada perairan, akan tetapi
tumbuhan eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan yang bernilai
ekonomis serta dapat pula digunakan dalam pengolahan limbah cair. Selain
mudah didapat, tumbuhan eceng gondok diyakini dapat memberikan nilai efisiensi
pengolahan yang tinggi dalam pengolahan limbah cair, khususnya pengolahan
limbah cair dengan proses fitoremediasi. Pada penelitian ini dilakukan variasi
pada waktu kontak dan jumlah eceng gondok yang digunakan dalam reaktor.
Untuk variasi waktu kontak yang digunakan adalah 0, 2, 4, 6, dan 8 hari.
Sedangkan untuk variasi jumlah eceng gondok yang digunakan dalam reaktor
adalah 0 eceng gondok pada perlakuan pertama (P1), 1 eceng gondok pada
perlakuan kedua (P2), dan 2 eceng gondok pada perlakuan ketiga (P3). Parameter
yang diamati adalah parameter BOD, COD, TSS, pH (mengacu pada Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 52 Tahun 1995 mengenai Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Hotel), bau, dan kekeruhan (mengacu kepada pertimbangan
aspek estetika). Tujuan awal dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
informasi apakah proses fitoremediasi dapat diterapkan sebagai proses pengolahan
limbah cair Hotel Aston Braga City Walk. Tujuan lainnya adalah mengetahui
waktu kontak dan perlakuan terbaik yang menghasilkan efisiensi pengolahan
tertinggi. Karena dilakukan variasi jumlah eceng gondok,pada akhir penelitian
dapat diketahui apakah jumlah eceng gondok memberikan pengaruh terhadap nilai
efisiensi pengolahan, dimana informasi tersebut akan sangat berguna saat
dilakukan pengaplikasian di lapangan.
Hasil Penelitian
Proses fitoremediasi dalam penelitian ini dilakukan selama 8 hari, dan 2 hari
sekali dilakukan pengukuran terhadap parameter-parameter yang telah ditentukan
yaitu BOD, COD, TSS, pH, bau dan kekeruhan. Penentuan parameter yang diukur
merupakan mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 52
Tahun 1995, Tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Kegiatan Hotel. Parameter
yang tercantum pada KepMen tersebut antara lain adalah parameter BOD, COD,
TSS dan pH. Dilakukan pula pengukuran terhadap dua parameter tambahan, yaitu
parameter bau dan kekeruhan. Parameter bau dan kekeruhan diukur dengan
pertimbangan aspek estetika. Pada penelitian ini limbah cair hotel mendapat 3
perlakuan berbeda, yaitu perlakuan I. Tanpa Eceng Gondok (kontrol), perlakuan
II.Dengan 1 Eceng Gondok, dan perlakuan III. Dengan 2 Eceng Gondok. Masing-
masing perlakuandilakukan secara duplo. Pada hari ke-0 dilakukan pengukuran
kualitas limbah cair hotel sebelum dilakukan pengolahan menggunakan proses
fitoremediasi. Hasil pengukuran yang diperoleh ditampilkan pada tabell dibawah
ini.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan pengolahan limbah Hotel Aston Braga City
Walk dengan proses fitoremediasi menggunakan tumbuhan eceng gondok cukup
optimal dalam penyisihan parameter BOD, TSS dan kekeruhan. Dengan kata lain,
proses fitoremediasi ini dapat diaplikasikan sebagai proses pengolahan limbah cair
Hotel Aston Braga City Walk. Perlakuan III menghasilkan nilai efisiensi tertinggi
yaitu 84,48 % untuk penyisihan BOD, 89,95% untuk penyisihan TSS, dan 87,76
% untuk penyisihan kekeruhan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa jumlah
eceng gondok yang digunakan memberikan pengaruh terhadap nilai efisiensi
pengolahan.Waktu kontak yang paling optimum adalah hari ke-6 dimana untuk
setiap perlakuan baik perlakuan I, II maupun III, nilai efisiensi yang ditunjukkan
pada hari ke-6 merupakan nilai efisiensi tertinggi.

Anda mungkin juga menyukai